Pembagian tugas disesuaikan dengan keterampilan masing-masing orang merupakan pengamalan pancasila

  1. LANDASAN PENDIDIKAN PANCASILA

Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945, ditetapkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan dengan UUD NRI Tahun 1945 yang diundangkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II Nomor 7. Seluruh warga negara kesatuan Republik Indonesia sudah seharusnya mempelajari, mendalami dan mengembangkannya serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendalaman, penghayatan, pengembangan terhadap Pancasila tentulah disesuaikan dengan kemampuan masing-masing orang dengan memperhatikan potensi yang ada padanya. Tingkat-tingkat pembelajaran mengenai Pancasila karena itu dapat dihubungkan dengan tingkat-tingkat pengetahuan ilmiah. Kaelan (1999: 15) membagi tingkatan pengetahuan ilmiah menjadi empat yakni pengetahuan deskriptif, pengetahuan kausal, pengetahuan normatif, dan pengetahuan esensial. Pengetahuan deskriptif menjawab pertanyaan bagaimana, yakni memberikan keterangan, penjelasan yang objektif tanpa adanya unsur subjektivitas. Pancasila dapat diuraikan secara objektif misalnya dalam perspektif kajian sejarah perumusannya, kedudukan dan fungsinya, dan sebagai dasar, ideologi bangsa dan negara Indonesia. Pengetahuan kausal memberikan jawaban terhadap pertanyaan ilmiah mengapa, sehingga sifat jawabannya adalah tentang sebab akibat. Pengetahuan kausal ini dalam kaitannya dengan Pancasila berhubungan dengan kausalitas terjadinya Pancasila yang meliputi empat kausa: kausa materialis (asal mula bahan dari Pancasila), kausa formalis (asal mula bentuk), kausa efisien (asal mula karya), dan kausa finalis (asal mula tujuan). Tingkatan pengetahuan normatif merupakan hasil dari pertanyaan ilmiah ke mana, yang berkaitan dengan ukuran-ukuran, parameter, norma-norma. Tingkatan normatif ini membedakan apa yang senyatanya (das sein) dan apa yang seharusnya (das sollen). Jadi das sollen bagaimana seharusnya Pancasila itu direalisasikan, sehingga diperlukan norma, ukuran yang jelas seperti misalnya norma hukum, norma kenegaraan dan norma moral, sedangkan das sein adalah Pancasila dalam kenyataan faktual yang senantiasa mengikuti dinamika kehidupan serta perkembangan zaman. Tingkat pengetahuan esensial mengajukan pemecahan terhadap pertanyaan apa, (apa sebenarnya), merupakan persoalan terdalam karena diharapkan dapat mengetahui hakikat. Pengetahuan esensial/hakikat tentang Pancasila adalah untuk mendapatkan pengetahuan tentang inti sari atau makna terdalam dalam sila-sila Pancasila atau secara filsafati untuk mengkaji hakikatnya.

Pelajaran atau pembelajaran Pancasila pada perguruan tinggi, tentulah tidak sama dengan pelajaran Pancasila yang diberikan pada sekolah menengah. Materi maupun pendekatan pendidikan Pancasila di sekolah menengah seharusnya tidaklah sama dengan tingkat sekolah dasar, sedangkan di masyarakat luas dapat dipilih jenjang sesuai dengan kemampuan yang ada. Bertolak dari hal tersebut, civitas akademika di lingkungan pendidikan tinggi memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk mempelajari dan mengembangkan Pancasila secara formal ilmiah, baik dalam tingkat deskriptif, kausal, normatif, maupun esensial-filosofis.

Tanggung jawab yang lebih besar untuk mempelajari dan mengembangkan Pancasila itu sesungguhnya terkait dengan kebebasan yang dimilikinya. Achmad Charris Zubair (1995: 44) menjelaskan, sikap moral yang dewasa bagi orang yang memiliki kebebasan adalah sikap bertanggung jawab. Tidak ada kebebasan tanpa adanya tanggung jawab. Kebebasan mengandung pengertian: 1) kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri; 2) kemampuan untuk bertanggung jawab; 3) kedewasaan manusia; dan 4) keseluruhan kondisi yang memungkinkan manusia untuk melaksanakan tujuan hidupnya. Seseorang yang memiliki kepandaian atau tingkat pendidikan lebih tinggi daripada orang lain, dalam kaitan ini, seharusnya lebih mampu untuk membebaskan diri dari ketidaktahuan dan kebodohan, sehingga memiliki tanggung jawab yang lebih besar pula.

Tujuan pokok pembelajaran Pancasila adalah mengembangkan watak bangsa yang kukuh. Hal ini penting karena dewasa ini bangsa Indonesia menghadapi banyak tantangan terutama terkait dengan percaturan global. SK (surat keputusan) Dirjen Dikti nomor 356/Dikti/Kep/1995 menegaskan, tujuan pembelajaran Pancasila adalah membentuk sikap pandang agar mahasiswa dapat memahami, menghayati dan melaksanakan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 dalam kehidupan sehari-hari sebagai warga negara RI yang berjiwa Pancasila, juga menguasai pengetahuan dan pemahaman tentang beragam masalah dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang hendak diatasi dengan pemikiran yang berlandaskan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Pembelajaran Pancasila juga ditujukan untuk memupuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma Pancasila (Kaelan, 1998: 12).

Tujuan di atas sangat relevan dan logis jika memperhatikan situasi di dunia global kini. Dunia global sekarang ini dapat disaksikan terjadinya fenomena pluralisme moral, tidak saja pada masyarakat yang berbeda tetapi terjadi pula pada masyarakat yang sama. Hal ini akan semakin kelihatan jelas karena pengaruh arus perkembangan teknologi dan informasi yang semakin deras. Masalah-masalah etis bermunculan. Komunikasi dapat terjalin dengan mudah berkat daya topang ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga kondisi saling pengaruh mempengaruhi dan saling merasa peduli terhadap persoalan-persoalan mendasar manusia seperti persoalan HAM (Hak Asasi Manusia), persoalan lingkungan hidup dan lain sebagainya menjadi ciri dunia dewasa ini. Sangat disayangkan jika keadaan ini akan berkembang menjadi sikap mencampuri urusan negara lain, sehingga mengancam keutuhan eksistensi Bangsa Indonesia. T. Jacob (1999: 9) menjelaskan, teknologi dan informasi masuk secara berlebihan sehingga difusi kultural mengalir terlalu banyak dalam kurun waktu yang singkat. Bangsa Indonesia menjadi tidak kekurangan informasi akan tetapi terlalu banyak dan malahan dapat berupa informasi yang tidak diperlukan, sedangkan yang sangat diperlukan justru sulit untuk didapatkan.

Adapun visi pembelajaran Pancasila adalah terwujudnya kepribadian sivitas akademika yang bersumber pada nilai-nilai Pancasila. Bertolak dari visi tersebut kemudian dijabarkan dalam misi pembelajaran Pancasila bahwa: 1. Mengembangkan potensi akademik peserta didik; 2. Menyiapkan peserta didik untuk hidup dan berkehidupan dalam masyarakat; 3. Membangun budaya ber-Pancasila sebagai salah satu determinan kehidupan; 4. Mengkaji dan mengembangkan pendidikan Pancasila sebagai sistem pengetahuan terintegrasi atau disiplin ilmu sintetik sebagai misi akademik. (Munir, 2014: 11). Agar latar belakang dilaksanakannya pembelajaran Pancasila di atas dapat dipahami lebih mudah, selanjutnya akan diuraikan tentang landasan pembelajaran dan pengertian Pancasila secara material, formal, historis, kultural, dan konseptual.

Perguruan tinggi merupakan sarana dan wahana dalam mempersiapkan warga masyarakat memasuki kehidupan masa depan, memiliki peran serta dalam proses evolusi ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menyediakan fasilitas pengajaran dan penelitian yang baik agar dapat mencapai tujuannya. Tujuan umum pendidikan tinggi menurut The International Bureau of Education (IBE), UNESCO, adalah the holistic development of the individual through attention to mental, spiritual, ethical, aesthetic, emotional, physical and social growth of the pupil. Sedangkan tujuan utamanya adalah preparing students for future employment and to play active roles in their country’s economic and social development, serta to prepare students to cope with challenges of rapidly changing, technologically advanced, culturally diverse society. Berdasarkan tujuan utama itu kemudian dirumuskan tujuan khusus yang khas sesuai dengan kepentingan masing-masing negara (Sutardjo, 1999: 3). Konsistensinya kurikulum pendidikan tinggi yang diusulkan oleh the international commision on education for the 21st century terdiri atas 4 kelompok unsur kegiatan yakni:

  1. Learning to know
  2. Learning to do
  3. Learning to behave
  4. Learning to live together.

Bentuk usulan kurikulum itulah yang dapat menyatukan hasil, proses, dan nilai tambah seseorang dalam mengikuti pendidikan tinggi di masa yang akan datang. Mata kuliah umum, yang di Indonesia salah satunya adalah Pendidikan Pancasila, masih tetap diselenggarakan dan dipertahankan juga di banyak negara. Buku Accreditation Board for Engineering and Technology (ABET) mencantumkan bahwa studies in humanities and social sciences serve not only to meet the objectives of a broad education but also to meet the objectives of engineering profession.

Suatu mata pelajaran yang memiliki kesamaan latar belakang tentang pentingnya pembelajaran Pancasila adalah civics. Civics yang diajarkan di Amerika, yang dimulai sejak tahun 1790 sebenarnya merupakan pelajaran Americanization atau peng-Amerika-an. Pengertian istilah peng-Amerika-an adalah proses untuk menjadikan seseorang Amerika atau orang yang ingin menjadi warga negara Amerika berbudaya Amerika. Negara-negara lain pun di dunia memiliki kepentingan yang sama untuk menjadikan warga negaranya cinta terhadap tanah air dan bangsanya. Maksud yang sama juga dengan pembelajaran Pancasila, tetapi bukan berarti kecintaan yang chauvinistik, membanggakan bangsa sendiri dan meremehkan bangsa lain, sebab di dalam Pancasila itu sendiri juga terkandung ajaran hormat menghormati antarbangsa di dunia dalam kerangka hubungan internasional. Materi perkuliahan Pancasila juga diharapkan dapat memberikan bekal tentang perlunya Pancasila sebagai dasar negara menghadapi tantangan dunia global. Konsekuensinya diperlukan pengertian dan pemahaman Pancasila dalam arti yang sesungguhnya, karena itu Pembelajaran Pancasila di perguruan tinggi dipelajari secara ilmiah. Materi pembelajaran Pancasila memenuhi usulan the international commission on education for the 21st entury, yakni terutaman unsur learning to behave dan learning to live together.

Pancasila secara material memang diperlukan sebagai suatu dasar yang mewadahi atau mewakili seluruh kepentingan bangsa Indonesia, yang terdiri dari beraneka ragam suku dan agama untuk melangsungkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenyataan membuktikan bahwa Pancasila telah ada dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari sejak bangsa Indonesia itu ada, meskipun waktu itu keberadaan Pancasila masih belum terumuskan secara sistematis seperti yang sekarang dapat dijumpai. Pancasila pada masa tersebut identik dengan nilai-nilai luhur yang dianut bangsa Indonesia sebagai nilai budaya.

Pembelajaran Pancasila menjadi sangat penting jika dilihat kesesuaian model pembangunan dengan keadaan masyarakat Indonesia. Pembangunan haruslah memperhatikan interaksi simbiotis untuk memelihara ketahanan dan kelestarian bangsa, yakni harus ada keseimbangan antara individualisme dengan kolektivisme, vertikalitas (hierarki yang kuat) dan horizontalitas (persaudaraan), monetifitas (segalanya diukur dengan uang) dan spesifitas (sesuatu yang memang mempunyai nilainya sendiri tanpa harus diukur dengan uang), pemanfaatan alam dan keramahan manusia, serta keseimbangan alam dan budaya (Jacob, 1999: 16). Pendapat Koento Wibisono (1999: 22) dalam membahas proses reformasi yang ditinjau secara filsafati, dikatakan bahwa Pancasila merupakan aset nasional yang dapat dijadikan paradigma untuk menyusun platform bersama menuju cita-cita sebagaimana tatkala kemerdekaan bangsa ini diperjuangkan kelahirannya, yakni masyarakat yang adil dan makmur yang kemudian dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Proses pelaksanaan Pembelajaran Pancasila didukung oleh peraturan-peraturan formal yang juga memiliki kekuatan material secara historis, yakni teruji dalam hal isinya. Peraturan perundang-undangan yang terkait dan memiliki kekuatan formal untuk mengatur diadakannya pembelajaran Pancasila adalah sebagai berikut:

  1. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945)

Pancasila dasar filsafat negara secara formal terdapat di dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dengan sendirinya mempunyai pengaruh terhadap Pancasila, yaitu sebagai pokok kaidah negara yang fundamental, dan merupakan peraturan hukum yang tertinggi di Indonesia. Pancasila sebagai dasar filsafat negara merupakan ketentuan hukum yang tertinggi. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, termasuk penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dan Pancasila merupakan rangka, suasana, dasar, dan tujuan pendidikan ilmu pengetahuan di Indonesia. Penyelenggaraan pembelajaran Pancasila dilaksanakan dengan undang-undang yang dijiwai, didasari, dan bersumber dari Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, sedangkan Pembukaan memuat tujuan nasional, yang antara lain berbunyi mencerdaskan kehidupan bangsa.

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945)

Catatan perlu diberikan bahwa untuk pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945 sekalipun dimungkinkan terjadi perubahan dengan amandemen, tetapi nilai-nilainya nanti tidak boleh bertentangan dengan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang berjiwakan Pancasila. Pancasila dengan demikian ditempatkan sebagai suatu kesepakatan bersama bagi kokohnya eksistensi bangsa dan negara Indonesia. Rapat-rapat ad hoc Dewan Perwakilan Rakyat memberi penafsiran bahwa amandemen memiliki makna tidak mengubah teks-nya. Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran setidak-tidaknya nilai-nilainya akan tetap berlaku. Berlaku juga ayat 2 pada pasal ini yang berbunyi Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan pendidikan nasional dalam suatu sistem pengajaran nasional yang diatur dalam undang-undang. Selain itu yang terpenting lagi adalah berkaitan dengan tujuan negara secara khusus yakni Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa yang cerdas bukan hanya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersifat pragmatis, tetapi juga memiliki moralitas yang tangguh sehingga Indonesia sebagai bangsa akan tetap memiliki eksistensi yang kuat dan terhormat di dalam percaturan global.

  1. Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

Ketetapan-ketetapan MPR sejak awal terbentuk dan dalam persidangannya MPR selalu menetapkan Pancasila dalam sistem pendidikan nasional sebagai suatu materi yang terus-menerus perlu ditingkatkan di berbagai jenjang dan jenis pendidikan. Pembelajaran Pancasila dan unsur-unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda harus ditingkatkan dalam kurikulum dalam semua jenjang pendidikan.

Undang-undang yang perlu diperhatikan, yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 yang menyebutkan arah kebijakan pendidikan nasional dan pendidikan tinggi di Indonesia yang intinya adalah bahwa pendidikan nasional dan pendidikan tinggi yang berdasar pada kebudayaan bangsa Indonesia, berdasarkan pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa dan kualitas sumber daya manusia, mengembangkan manusia dan masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbudi pekerti yang luhur. Memiliki pengetahuan, keahlian dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, serta berkepribadian yang mantap dan mandiri. Pendidikan nasional dan pendidikan tinggi juga ditujukan untuk menumbuhkan dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan, wawasan keunggulan, kesetiakawanan sosial dan kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan serta berorientasi ke masa depan. Pembelajaran Pancasila termasuk pendidikan moral Pancasila, pendidikan Agama dan pendidikan Kewarganegaraan dilanjutkan dan ditingkatkan di semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan termasuk pra sekolah sehingga terbentuk watak dan karakter bangsa yang kuat dan kokoh.

  1. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam Bab I pasal 1 ditegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatas spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Bab II pasal 3 Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pembelajaran Pancasila merupakan penciri utama muatan kurikulum learning to behave dan learning to live together dalam kehidupan abad ke-21, maka hampiran, metode proses pembelajaran dan aktualisasinya dalam kehidupan bermasyarakat perlu terus menerus dikaji agar dapat mengikuti perkembangan jaman sesuai dengan dimensi fleksibilitasnya.

  1. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Kurikulum Pendidikan Tinggi.

Pasal 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 menentukan, bahwa sistem pendidikan tinggi di Indonesia harus berdasarkan Pancasila. Pasal 35 ayat (5) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 menentukan, bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia.

Bangsa Indonesia terbentuk melalui satu proses sejarah yang panjang, yaitu sejak zaman kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit, sampai datangnya bangsa Barat yang menjajah Indonesia. Bangsa Indonesia melalui perjalanan sejarah yang panjang telah menemukan kepribadiannya sendiri, yang di dalamnya tersimpul sifat, karakter, dan ciri khas bangsa Indonesia. Para pendiri negara merumuskannya menjadi lima sila yang diberi nama Pancasila.

Setiap bangsa memiliki ciri khas yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Bangsa Indonesia memiliki pandangan hidup yang berdasar pada asas kultural yang bersumber dari kehidupan bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai kebangsaan dan kenegaraan yang terkandung di dalam Pancasila diangkat dari nilai-nilai kulturalnya sendiri, sehingga generasi penerus bangsa perlu mendalaminya secara dinamis sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.

Pengertian Filsafat Pancasila dan isi arti sila-sila Pancasila yang umum universal telah dirumuskan oleh Notonagoro. Konsep Notonagoro tentang Filsafat Pancasila yang masih perlu dikembangkan adalah kejelasan pelaksanaannya atau aktualisasinya dalam kehidupan nyata. Permasalahan pelaksanaan/aktualisasi Pancasila yang penting diperhatikan adalah masalah konsep pengembangannya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di masa sekarang dan yang akan datang. Konsep Notonagoro tentang Filsafat Pancasila merupakan hasil penelitian dan pemikiran yang berkesinambungan. Notonagoro terutama meneliti sejarah perkembangan kebangsaan Indonesia serta notulen rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Bangsa Indonesia pada akhir abad XX (tahun 1998) mengalami masa krisis perekonomian yang kemudian berkembang menjadi krisis multidimensional. Awal abad XXI merupakan momentum yang sangat menentukan bagi kesiapan bangsa Indonesia untuk menjaga eksistensinya. Bangsa Indonesia perlu memiliki konsep yang mendasar untuk tetap mempertahankan nilai-nilai Pancasila sebagai kepribadiannya yang secara akulturatif akan siap menerima pengaruh nilai-nilai budaya baru. Bangsa Indonesia perlu menyusun perencanaan dengan pertimbangan-pertimbangan yang mendasar tentang jalan ke luar mengatasi ancaman disintegrasi akibat krisis multidimensional dan globalisasi. Pandangan Notonagoro bahwa Pancasila adalah kepribadian bangsa yang memberi corak dan watak khas bangsa Indonesia masa lalu, sekarang, dan yang akan datang perlu dijadikan pertimbangan sebagai sumber bahan dan nilai bagi perencanaan yang mendasar untuk menjaga eksistensi bangsa Indonesia (Sri Soeprapto, 1997:3).

  1. PANCASILA MERUPAKAN PENGETAHUAN ILMIAH

Pengertian Pancasila sebelum dibahas secara mendalam, terlebih dahulu perlu diperhatikan kata-kata mutiara pujangga besar Cina, yaitu Konfusius yang disebutkan oleh Ismaun dalam bukunya yang berjudul Tinjauan Pancasila Dasar Flsafat Negara Indonesia). Konfusius ketika ditanya oleh beberapa orang yang datang padanya: "Apakah yang mula-mula bapak kerjakan, seandainya bapak dipilih menjadi Pemimpin Negara?" Jawab Konfusius ialah: "Mula-mula yang saya kerjakan ialah menertibkan semua istilah yang ada di dalam negara agar tiap-tiap istilah tidak mempunyai tafsiran yang kabur/kacau. Seluruh warga negara dan aparat negara dengan demikian dapat melakukan semua tugas dan kewajibannya dengan jelas dan tepat".

Ringkasnya kata-kata mutiara Konfusius berbunyi demikian: "Kalau anda hendak mengatur negara dengan baik, maka terlebih dahulu tertibkanlah istilah-istilah yang ada di dalam negara itu". Ismaun kemudian menjelaskan, bahwa sebelum membahas isi materi Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia perlu diketahui terlebih dahulu apakah arti istilah "Pancasila" itu. Istilah “Pancasila” berasal dari bahasa apa dan di mana dipergunakannya serta bagaimanakah perkembangan selanjutnya.

Istilah "Pancasila" yang sekarang telah menjadi nama resmi dasar negara mempunyai proses perkembangan, baik ditinjau dari segi sejarahnya, dari segi penulisan maupun penggunaannya. Istilah Pancasila ini akan dibicarakan secara etimologis, historis, dan terminologis.

Perkataan majemuk Pancasila secara etimologis atau menurut logatnya berasal dari bahasa India yakni bahasa Sanskerta, bahasa kasta Brahmana, sedangkan bahasa rakyat jelata ialah Prakerta. Muhammad Yamin menjelaskan, di dalam bahasa Sanskerta perkataan Pancasila memiliki dua macam arti yaitu “Panca” artinya lima, “syila” dengan huruf “i” pendek berarti “batu sendi”, “alas”, atau “dasar”. “Syiila” dengan huruf “i” ganda berarti peraturan tingkah laku yang “penting”, “baik”, “senonoh”. Kata syiila dengan huruf biasa berarti “berbatu sendi yang lima” atau dengan istilah lain “lima batu karang” atau “lima prinsip moral” (Yamin, tt, Pembahasan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (Prapanca, tt: 437.) Perkataan majemuk tersebut ditulis oleh Empu Prapanca, seorang penyair dan penulis istana kerajaan Majapahit (1296-1478 M), dalam buku Negara Kertagama. Istilah Pancasila dalam perjalanan sejarah Indonesia berikutnya menjadi populer di kalangan tokoh-tokoh pendiri negara Indonesia (Indonesian founding fathers) setelah istilah tersebut pertama kali dilontarkan oleh Soekarno dalam sidang BPUPKI ke-1 hari ke-3 tanggal 1 Juni 1945. Muhammad Yamin menjelaskan, Soekarno mengambil alih istilah Pancasila tetapi dengan memberikan padanya inti dan makna baru (Syafi’i-Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, 1985).

Lima sila dalam Pancasila menunjukkan ide-ide fundamental tentang manusia dan seluruh realitas, yang diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia dan bersumber pada watak dan kebudayaan Indonesia dan melandasi berdirinya negara Indonesia (Kaelan, 1996: 92). Berikut ini selanjutnya akan diuraikan tentang pengertian dari masing-masing sila Pancasila.

  1. Sila Pertama: Ketuhanan yang Maha Esa

Makna inti yang terkandung dalam sila pertama Pancasila adalah pada kata ketuhanan. Ketuhanan berasal dari kata Tuhan, pencipta seluruh alam semesta. Yang Maha Esa berarti yang maha tunggal, tiada sekutu dalam sifat-Nya, dalam dzat-Nya, dalam perbuatanNya. Dzat Tuhan tidak terdiri atas hal-hal yang banyak lalu menjadi satu, tetapi sifat-Nya adalah sempurna dan perbuatan-Nya tidak dapat disamai oleh siapa pun. Tidak ada yang dapat menyamai Tuhan, Tuhan bagi bangsa dan negara Indonesia merupakan suatu keyakinan, tetapi Ketuhanan Yang Maha Esa itu bukanlah suatu dogma atau kepercayaan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya melalui akal pikiran, melainkan kepercayaan yang berakar pada pengetahuan yang benar dapat diuji atau dibuktikan melalui kaidah-kaidah logika. Karena keyakinan yang demikianlah, maka negara Indonesia berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara memberikan jaminan sesuai dengan keyakinan dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Kehidupan para warganegara di negara Indonesia tidak boleh ada pertentangan dalam hal Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti Ketuhanan Yang Maha Esa dan anti keagamaan. Dengan kata lain di dalam negara Indonesia tidak boleh ada paham yang meniadakan atau mengingkari adanya Tuhan atau ateisme. Ketuhanan Yang Maha Esa (monoteisme) semestinya diikuti dengan toleransi terhadap kebebasan untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sumber pokok nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia, menjiwai dan mendasari serta membimbing perwujudan kemanusiaan yang adil dan beradab, penggalangan persatuan yang telah membentuk Negara Republik Indonesia yang berdaulat penuh, yang bersifat kerakyatan dan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Segala aspek penyelenggaraan negara harus sesuai dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan. Masalah-masalah yang menyangkut penyelenggaraan negara meliputi aspek material dan aspek spiritual. Aspek material misalnya bentuk negara, tujuan negara, tertib hukum, sistem negara, sedangkan yang bersifat kerohanian antara lain moral negara, moral penyelenggara negara, moral warganegara dan sebagainya.

  1. Sila Kedua: Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab

Inti pokok sila Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah manusia yang merupakan bentuk kata dasar dari kemanusiaan. Manusia adalah makhluk yang berbudaya dengan memiliki potensi pikir, rasa, karsa, dan cipta. Penjelasan Notonagoro (1975: 87-88), manusia memiliki unsur-unsur susunan kodrat yakni jiwa dan raga, sifat kodrat yakni makhluk individu dan makhluk sosial, dan kedudukan kodrat yaitu makhluk mandiri dan makhluk Tuhan. Karena potensi seperti yang dimilikinya itu, maka manusia memiliki martabat yang tinggi. Manusia dengan budi nuraninya menyadari nilai-nilai dan norma-norma. Kemanusiaan terutama berarti hakikat dan sifat-sifat khas manusia sesuai dengan martabatnya. Manusia merupakan pendukung pokok negara sehingga harus memiliki sifat adil dan beradab. Adil berarti wajar yakni sepadan dan seimbang antara hak dan kewajiban. Keputusan dan tindakan didasarkan pada suatu objektivitas tidak subjektivitas lebih-lebih emosionalitas semata. Pengertian itulah yang dimaksud dengan sepadan atau wajar. Beradab artinya berbudi luhur yang berkesopanan dan susila. Maksudnya sikap hidup, keputusan dan tindakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai keluhuran budi, kesopanan dan kesusilaan. Adab terutama mengandung tata kesopanan, kesusilaan atau moral, sehingga beradab berarti berdasarkan nilai-nilai kesusilaan sebagai bagian dari kebudayaan. Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kesadaran dan perbuatan manusia yang didasarkan pada potensi budi nurani dalam hubungannya dengan norma-norma dan kesusilaan umum, baik terhadap diri pribadi, sesama manusia maupun terhadap alam dan hewan. Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah sikap dan perbuatan manusia yang sesuai dengan kodrat hakikat manusia yang sopan dan susila. Potensi kemanusiaan tersebut dimiliki oleh semua manusia, tanpa kecuali. Semua manusia harus diperlakukan sebagai manusia sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, sesuai dengan fitrahnya, sebagai makhluk Tuhan yang mulia. Sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab telah menyimpulkan cita-cita kemanusiaan yang lengkap, yang adil dan beradab memenuhi seluruh hakikat makhluk manusia. Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah suatu rumusan sifat keluhuran budi manusia Indonesia. Dengan Kemanusiaan yang adil dan beradab, maka setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama terhadap Undang-undang Negara, mempunyai hak dan kewajiban yang sama, setiap warga negara dijamin hak dan kebebasannya, yang menyangkut hubungan dengan Tuhan, dengan setiap orang, dengan negara, dengan masyarakat dan menyangkut pula kemerdekaan menyatakan pendapat dan mencapai kehidupan yang layak sesuai dengan hak-hak dasar manusia. Sila kedua ini diliputi dan dijiwai oleh sila pertama, mendasari dan menjiwai sila-sila sesudahnya, yaitu sila ketiga, sila keempat dan sila kelima.

  1. Sila Ketiga: Persatuan Indonesia

Persatuan berasal dari kata satu yang berarti utuh, tidak terpecah-pecah. Persatuan mengandung pengertian bersatunya bermacam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan, yang dalam dinamika Indonesia bermakna persatuan wilayah, bangsa dan negara Indonesia. Persatuan Indonesia dalam sila ketiga ini mencakup persatuan dalam arti ideologi, politik, sosial, dan budaya serta keamanan. Persatuan Indonesia adalah persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia yang bersatu karena didorong untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat. Persatuan Indonesia merupakan faktor yang dinamis dalam kehidupan bangsa Indonesia, bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mewujudkan perdamaian dunia yang abadi. Semangat persatuan dahulu merupakan kunci yang menentukan dalam terwujudnya Indonesia merdeka, kini persatuan atau nasionalisme merupakan hal pokok ynag harus ada dan ditingkatkan demi kelangsungan pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Akan tetapi paham persatuan kebangsaan Indonesia tidaklah sempit atau chauvinistik, melainkan dalam arti menghormati bangsa lain sesuai dengan sifat kehidupan bangsa itu sendiri. Nasionalisme Indonesia mengatasi paham golongan, suku bangsa, dalam upaya membina tumbuhnya persatuan dan kesatuan sebagai satu bangsa yang padu, tidak terpecah-pecah. Hal ini sesuai dengan adanya alinea IV Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi: “kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia...”

  1. Sila Keempat: Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan

Kerakyatan berasal dari kata rakyat, yaitu sekelompok manusia yang berdiam dalam satu wilayah negara tertentu. Rakyat meliputi seluruh manusia itu, tidak dibedakan oleh tugas (fungsi) dan profesi (jabatan). Kerakyatan adalah asas yang baik serta tepat jika dihubungkan dengan maksud rakyat hidup dalam ikatan negara. Sila keempat yang berbunyi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan berarti bahwa Indonesia menganut demokrasi. Demokrasi yang dianut, baik demokrasi langsung maupun demokrasi tidak langsung atau dengan perwakilan. Keduanya sangat penting dalam suatu negara yang mempunyai daerah luas dan warga yang banyak seperti negara-negara modern sekarang ini. Pelaksanaan demokrasi langsung dalam tingkat negara secara rutin hampir tidak dapat dilaksanakan lagi sekarang ini, karena jumlah warga negara dan sangat luasnya wilayah. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan berarti bahwa kekuasaan yang tertinggi berada di tangan rakyat. Kerakyatan disebut pula kedaulatan rakyat (rakyatlah yang berdaulat/berkuasa) atau demokrasi. Hikmat kebijaksanaan berarti penggunaan akal pikiran atau rasio yang sehat dengan selalu mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan dilaksanakan dengan sadar, jujur dan bertanggung jawab serta didorong oleh itikad baik sesuai dengan hati nurani. Permusyawaratan adalah suatu tata cara khas kepribadian Indonesia untuk merumuskan atau memutuskan suatu hal menurut kehendak rakyat, hingga tercapai suatu keputusan yang berdasarkan kebulatan pendapat atau mufakat. Perwakilan adalah suatu sistem dalam arti tata cara mengusahakan turut sertanya rakyat mengambil bagian dalam kehidupan bernegara, antara lain dilakukan dengan melalui badan-badan perwakilan. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanan dalam permusyawaratan/perwakilan berarti bahwa rakyat dalam melaksanakan tugas kekuasaannya baik secara langsung ataupun melalui perwakilan ikut serta dalam pengambilan keputusan-keputusan dalam musyawarah yang dipimpin oleh pikiran yang sehat secara penuh tanggung jawab, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun kepada rakyat yang diwakilinya. Sila keempat ini merupakan sendi yang penting asas kekeluargaan masyarakat Indonesia. Sila keempat juga merupakan suatu asas bahwa tata Pemerintahan Republik Indonesia didasarkan atas kedaulatan rakyat, sebagaimana ditegaskan dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia yang berkedaulatan rakyat.

  1. Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Sila kelima Pancasila memiliki kekhususan karena dalam perumusannya pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 didahului dengan kata-kata: “serta dengan mewujudkan suatu...”, sehingga untuk mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini berarti bahwa keempat sila lainnya bertujuan untuk mewujudkan cita-cita sebagaimana tercantum dalam sila kelima tersebut. Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan, baik material maupun spiritual. Seluruh rakyat Indonesia maupun warga negara Indonesia yang berada di luar negeri. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berarti bahwa setiap orang Indonesia mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945, maka keadilan sosial mencakup pengertian adil dan makmur. Keadilan sosial yang dimaksud tidak sama dengan pengertian sosialisme atau komunisme, karena yang dimaksud dengan keadilan sosial dalam sila kelima tersebut bertolak dari pengertian bahwa antara pribadi dan masyarakat satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Masyarakat tempat hidup dan berkembang pribadi, sedangkan pribadi merupakan komponen masyarakat. Tidak boleh terjadi hanya mementingkan masyarakat (sosialisme), sebaliknya juga tidak boleh terjadi liberalistik yang hanya mementingkan pribadi. Keadilan sosial mengandung arti tercapainya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan masyarakat. Karena kehidupan manusia itu meliputi kehidupan jasmani dan rohani, maka keadilan itu pun meliputi keadilan di dalam pemenuhan tuntutan hakiki kehidupan jasmani serta rohani secara seimbang, atau dengan kata lain keadilan di bidang material dan di bidang spiritual. Pengertian ini mencakup pula pengertian adil dan makmur yang dapat dinikmati oleh seluruh bangsa Indonesia secara merata, dengan berdasarkan pada asas kekeluargaan, sebab keadilan adalah keadilan yang dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.