Afrinaldi, . (2012) Penentuan Awal Bulan Qomariyah Prespektif Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah Kota Metro. Undergraduate thesis, STAIN Jurai Siwo.
AbstractPerbedaan dalam Penentuan awal bulan Qomariyah terutama bulan Syawalmerupakan fenomena yang kerap kali terjadi di Negara Indonesia ini. Sebagaimanayang dialami pada tahun 1992M /1412H ada yang berhari raya Idul Fitri pada hari Jum’at(03 April) mengikuti Arab Saudi, ada yang hari sabtu (04 April) sesuai hasil rukyah NU,dan juga ada Minggu (05 April) bedasarkan pada Imkanur rukyah. Penentuan awal bulanSyawal juga pernah mengalami perbedaan pada tahun 1993M/1413H dan1994M/1414H. Kemudian menyusul pada tahun 2006M/1427H dan pada tahun2007M/1428H,dan terakhir terjadi yaitu pada tahun 2011 M /1432H. Ormas-Ormas Islam mengeluarkan ijtihadnya sendiri-sendiri. SepertiNahdlatul Ulama dengan metode rukyatul hilalnya, Muhammadiyah dengan metodehisab wujudulhilal, Hizbut Tahrir dengan rukyah global, Pemerintah dan PERSISdengan imkanurrukyah. Setiap Ormas bersekukuh bahwa ijtihadnyalah yang palingbenar. Akibatnya terjadi perbedaan dalam jumlah hari pada bulan Ramadhan,otomatis Idul fitripun ikut berbeda. Dengan demikian kegiatan ibadah seperti puasa,zakat fitrah, dan shalat Idul fitri menjadi berbeda sesuai dengan pemahaman Ormasdan keyakinan masing-masing. Dalam penelitian ini penulis mencoba untuk membahas penyebab dariperbedaan tersebut. Ormas yang akan penulis teliti adalah Nahdlatul Ulama danMuhammadiyah Kota Metro. Karena kedua Ormas ini yang mencolok (dari padaOrmas lain) perbedaanya. Penelitian ini dilatar belakangi adanya ketidak sesuaian antara konsep teoriNahdlatul Ulama yang menggunakan rukyatul hilal dan konsep Muhammadiyah yangmenggunakan hisab wujudul hilal. Dari dua konsep ini melahirkan ijtihad yangberbeda. Nahdlatul Ulama menganggap bahwa untuk menentukan awal bulanQomariyah harus dengan melihat hilal dengan mata kepala sedangkan hisabdigunakan sebagai alat bantu untuk keberhasilan rukyah sedangkan Muhammadiyahmenganggap bahwa hisab sama kedudukanya dengan rukyah.Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan prespektif Nahdlatul Ulamadan Muhammadiyah dalam menentukan awal bulan Qomariyah terutama bulanSyawal. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (Field Research) yang bersifat deskriptif kualitatif. Penelitian ini menggunakan sumber data primer, yaitu data yangdiperoleh langsung dari subyek penelitian dilapangan yang berupa wawancara. Dandata sekunder yang diperoleh dari buku-buku atau literatur hukum danperaturanperundang-undangan serta sumber lainnya yang berkaitandengan objek penelitian,berupa putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah atau Lajnah Bahsul Masail NahdlatulUlama, kitab-kitab fikih, tafsir, yang terkait dengan objek penelitian, kamus danensiklopedia. Sumber data sekunder ini digunakan untuk mendukung sumber dataprimer. Semua data-data tersebut dianalisis secara Induktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyabab perbadaan dalam penetuanawal bulan Qomariyah terutama bulan syawal karena perbedaan dalam metode yangdi pakai baik oleh Nahdlatul Ulama maupun oleh Muhammadiyah. NahdlatulUlamamenggunakan rukyatul hilal kalau tidak berhasil maka menggunakan metode Istikmalyaitu menggenapkan bilangan bulan sebelumnya menjadi 30 hari. SedangkanMuhammadiyah berpendapat bahwa hisab astronomi sudah berkembang pesat dansangat akutrat oleh karena itu maka kedudukan hisab sama dengan rukyah. Dan hisabsendiri termasuk rukyah yaitu rukyah bil ilmi. Actions (login required)
Pandangan NU tentang rukyat sebagai dasar penentuan awal bulan Qamariyah, khususnya awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah didasarkan atas pemahaman bahwa nash-nash tentang rukyat itu bersifat …. A. ta’aqquliy B. ta’abbudiy C. tadzarru’iy D. tafakkuriy E. ta’limiy Pembahasan: Pandangan NU tentang rukyat sebagai dasar penentuan awal bulan Qamariyah, khususnya awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah didasarkan atas pemahaman bahwa nash-nash tentang rukyat itu bersifat ta’abbudiy. Jawaban: B ----------------#---------------- Jangan lupa komentar & sarannya Email: Kunjungi terus: masdayat.net OK! 😁 Newer Posts Older Posts Judul di atas mengisyaratkan adanya keragaman pandangan tentang sistem penentuan awal bulan qamariyah. Semula umat Islam hanya mengenal sistem rukyat sebagai dasar penentuan awal bulan qamariyah khususnya awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW. Ketika ilmu hisab masuk dalam kalangan umat Islam pada abad 8 Masehi di masa Dinasti Abasiyah, maka mulai berkembang pemikiran untuk menggunakan hisab bagi penentuan awal bulan qamariyah. Dari dua sistem tersebut lahirlah perbedaan antara hisab dengan rukyat, perbedaan di dalam rukyat, dan perbedaan di dalam hisab. Sistem rukyat melahirkan beberapa pendapat:
Sistem hisab juga melahirkan beberapa pendapat:
Meskipun terdapat keragaman, tetapi di dalam sejarah sejak zaman Sahabat hingga sekarang ternyata para khalifah, sultan, ulil amri menggunakan sistem rukyat sebagai dasar itsbat awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Sesuai dengan judul di atas, maka dalam makalah ini akan dibahas pandangan NU tentang penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. NU (Nahdlatul Ulama) adalah Jam’iyah Diniyah Islamiyah (Organisasi Sosial Keagamaan Islam) yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah, yang menjunjung tinggi dan mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad SAW serta tuntunan para sahabat dan hasil ijtihad para ulama madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali). Sebagai sebuah Jam’iyah Diniyah Islamiyah, sesuai dengan tujuan keberadaannya, NU berkewajiban untuk senantiasa mengamalkan, mengembangkan, dan menjaga kemurnian ajaran agama Islam yang diyakininya, termasuk di dalamnya adalah penentuan awal bulan qamariyah khususnya yang ada hubungannya dengan ibadah, yakni bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Sikap NU tentang sistem penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah diambil melalui keputusan Muktamar NU XXVII di Situbondo (1984), Munas Alim Ulama di Cilacap (1987), Seminar Lajnah Falakiyah NU di Pelabuhan Ratu Sukabumi (1992), Seminar Penyerasian Metode Hisab dan Rukyat di Jakarta (1993), dan Rapat Pleno VI PBNU di Jakarta (1993), yang akhirnya tertuang dalam Keputusan PBNU No. 311/A.II.04.d/1994 tertanggal 1 Sya’ban 1414 H/13 Januari 1994 M, dan Muktamar NU XXX di Lirboyo Kediri (1999). Keputusan PBNU tersebut telah dibukukan dengan judul “PEDOMAN RUKYAT DAN HISAB NAHDLATUL ULAMA”. Menurut NU, penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah didasarkan pada sistem rukyat sedang hisab sebagai pendukung.
Pandangan NU tentang rukyat sebagai dasar penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah didasarkan atas pemahaman, bahwa nash-nash tentang rukyat itu bersifat ta’abbudiy. Ada nash al-Quran yang dapat dipahami sebagai perintah rukyat, yaitu QS. al-Baqarah:185 (perintah berpuasa bagi yang hadir di bulan Ramadhan) dan QS. al-Baqarah:189 (tentang penciptaan ahillah). Dan tidak kurang dari 23 hadits tentang rukyat, yaitu hadits-hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Imam Malik, Ahmad bin Hambal, ad-Darimi, Ibnu Hibban, al-Hakim, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dan lain-lain . Dasar rukyat ini dipegangi oleh para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ittabi’in dan empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Rukyat atau pengamatan hilal akan menambah kekuatan iman. Pengamatan terhadap benda-benda langit termasuk bulan adalah bagian dari melaksanakan perintah untuk memikirkan ciptaan Allah agar lebih dalam mengetahui kemahabesaran Allah, sehingga memperkuat iman. Rukyat mempunyai nilai ibadah jika digunakan untuk penentuan waktu ibadah seperti shiyam, ‘id, gerhana, dan lain-lain. Rukyat adalah ilmiah. Rukyat atau pengamatan/penelitian/observasi terhadap benda-benda langit melahirkan ilmu hisab. Tanpa rukyat tidak akan ada ilmu hisab. Sebagai konsekwensi dari prinsip ta’abbudiy, NU tetap menyelenggarakan rukyatul hilal bil fi’li di lapangan, betapa pun menurut hisab hilal masih di bawah ufuk atau di atas ufuk tapi ghairu imkanir rukyat yang menurut pengalaman, hilal tidak akan kelihatan. Hal demikian ini dilakukan agar pengambilan keputusan istikmal itu tetap didasarkan pada sistem rukyat di lapangan yang tidak berhasil melihat hilal, bukan atas dasar hisab. Rukyat yang diterima sebagai dasar adalah hasil rukyat di Indonesia (bukan rukyat global) dengan wawasan satu wilayah hukum NKRI. Sehingga apabila salah satu tempat di Indonesia dapat menyaksikan hilal, maka hasil rukyat demikian ini menjadi dasar itsbatul aam yang berlaku bagi umat Islam di seluruh Indonesia. Rukyat yang dikehendaki oleh NU adalah rukyat yang berkualitas didasarkan atas:
Untuk mewujudkan rukyat yang berkualitas, maka NU menggunakan ilmu hisab dan menerima kriteria imkanur rukyat sebagai pendukung proses pelaksanaan rukyat. Hisab sebagai pendukung rukyat. Bukan sebagai dasar penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah karena ia sebagai ilmu yang dihasilkan oleh rukyat. Ilmu hisab / ilmu falak adalah ilmu pengetahuan yang membahas posisi dan lintasan benda-benda langit, tentang matahari, bulan, dan bumi dari segi perhitungan ruang dan waktu. Ilmu Hisab sebagai ilmu yang termasuk dalam kelompok ilmu pengetahuan alam, maka berlaku ketentuan-ketentuan ilmu itu; artinya dapat berkembang terus menerus sejalan dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan modern. Pengamatan atau penelitian/observasi (rukyat) terhadap benda-benda langit terus menerus dilakukan oleh para ahlinya, sehingga berkembang pula ilmu hisab yang semakin tinggi tingkat akurasinya. Dewasa ini di kalangan Umat Islam berkembang lebih dari 20 metode hisab (kitab hisab) yang dapat dibagi dalam 3 kelompok, yaitu: metode haqiqi Taqribi (disingkat taqribi), metode haqiqi tahqiqi (disingkat tahqiqi), dan metode Tadqiqi/’Ashri atau kontemporer. Untuk mendukung proses pelaksanaan rukyat, maka NU memilih metode yang tingkat akurasinya tinggi agar memperoleh hasil yang berkualitas. Dalam konteks ini, NU pun menerima kriteria imkanur rukyat. Kriteria imkanur rukyat hanyalah sebagai instrumen untuk menolak laporan adanya rukyatul hilal, sedangkan para ahli hisab telah bersepakat, bahwa hilal masih di bawah ufuq atau di atas ufuq tapi ghairu imkanir rukyat. Jadi kriteria imkanur rukyat tidak digunakan untuk menentukan awal bulan qamariyah. Jelasnya apabila menurut hitungan hisab bahwa hilal sudah imkanur rukyat, tetapi kenyataan di lapangan hilal tidak berhasil dirukyat, maka penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah didasarkan atas dasar istikmal. Jadi posisi ilmu hisab berikut kriteria imkanur rukyat bersifat ta’aqquliy sebagai sarana untuk mendukung proses penyelenggaraan rukyat. Proses pengambilan keputusan yang diterbitkan oleh PBNU sehubungan dengan hasil rukyat untuk menentukan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah melalui 4 tahap:
Jadi PBNU tidak dalam kapasitas mengitsbatkan hasil rukyat. Hak itsbat ada pada pemerintah. Hak ikhbar ada pada PBNU. Dari hal-hal yang dipaparkan di muka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
KH. Ahmad Ghazalie Masroeri, Ketua PP Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) |