Orang yang suka merusak alam dan berbuat maksiat menunjukkan bahwa mereka tidak

In New

Oleh: KH.Habib Syarief Muhammad Al’Aydrus  Lingkungan alamiah (natural enviroment) adalah suatu keadaan atau kondisi alam yang terdiri atas benda-benda (makhluk) hidup benda-benda tak hidup yang berada di bumi atau bagian dari bumi secara alami dan saling berhubungan satu dengan lainnya. Adapun lingkungan hidup sebagaimana Undang-Undang RI No.4 Tahun 1982 adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termuasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.    Manusia hidup tidak lepas dari lingkungan dimana mereka berada. Lingkungan harus mendukung kehidupan mereka agar hidup nyaman, aman, dan tentram. Lingkungan yang rusak membuat manusia tidak nyaman hidup. Agama Islam telah melarang segala bentuk perusakan alam sekitar, baik langsung maupun tidak langsung. Manusia harus jadi yang terdepan dalam menjaga dan melestarikan alam sekitar. Karena itu, seharusnya setiap manusia harus memahami regulasi pelestarian lingkungan hidup karena merupakan tanggung jawab semua manusia sebagai pemikul amanah untuk menghuni bumi Allah ini. Allah SWT melarang perbuatan merusak lingkungan hidup karena dapat membahayakan kehidupan manusia itu sendiri. Mengapa saat ihram dalam melaksanakan haji atau umrah tidak bisa mencabut pohon? Betapa Allah sangat memperhatikan menjaga lingkungan hidup sekalipun saat berihram. Manusia tidak boleh semena-mena mengeksplorasi alam tanpa memikirkan akibat yang muncul. Allah SWT menciptakan alam ini bukan tanpa tujuan. Alam ini merupakan sarana bagi manusia untuk melaksakan tugas pokok mereka yang merupakan tujuan diciptakan jin dan manusia. Alam adalah tempat beribadah hanya kepada Allah semata. Syariat Islam sangat memperhatikan kelestarian alam. Manusia tidak diperbolehkan membakar dan menebangi pohon tanpa alasan dan keperluan yang jelas. Menebang pohon harus diimbangi dengan menanam pohon. Orang bijak berkata, “walau umurmu satu hari lagi tanamlah pohon”.    Kerusakan alam dan lingkungan hidup yang kita saksikan sekarang ini merupakan akibat perbuatan manusia. Firman Allah SWT ;  ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ Artinya: “Telah Nampak kerusakan di darat dan di laut di sebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. A-Rum :41). Ibnu katsir menjelaskan dalam tafsirannya, Zaid bin Rafi’ berkata, ”Telah Nampak kerusakan, maksudnya hujan tidak turun di daratan yang mengakibatkan paceklik dan di lautan yang menimpa binatang-binatangnya.” Mujahid ra.  Mengatakan, “Apabila orang zalim berkuasa lalu ia berbuat zalim dan kerusakan, maka Allah SWT akan menahan hujan, hingga hancurlah pertahanan dan anak keturunan. Atau kalau pun hujan, akan terjadi banjir karena air tidak di tampung pada pohon-pohon sebab di tebangi sembarangan. Apakah kerusakan yang terjadi itu hanya disebabkan perbuatan manusia yang merusak lingkungan atau mengekplorasi alam semena-mena ataukah juga disebabkan kekufuran, syirik dan kemaksiatan yang mereka lakukan? Jawabnya adalah kedua-duanya. Abul ‘Aliyah berkata, “Barangsiapa berbuat maksiat kepada Allah di muka bumi, berarti ia telah berbuat kerusakan padanya. Karena kebaikan bumi dan langit adalah dengan ketaatan.    Salah satu bukti bahwa Islam sangat memperhatikan lingkungan adalah perintah Nabi SAW untuk menyingkirkan gangguan dari jalan yang beliau jadikan sebagai salah satu cabang keimanan. Juga perintah Nabi SAW untuk menanam pohon walaupun esok hari kiamat. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga lingkungan hidup. Bukankah satu pohon adalah jatah untuk dua orang? Pemerintah berhak memerintahkan rakyat untuk menanam pohon. Al-Qurthubi berkata dalam tafsirannya, “Bercocok tanam termasuk fardhu kifayah. Imam (penguasa)  berkewajiban mendesak rakyatnya untuk bercocok tanam dan menanam pohon. Bahkan pemerintah saat ini menganjurkan bagi yang akan menikah agar mewakafkan masing-masing mempelai satu pohon. Untuk memotivasi umat agar gemar menanam pohon Rasul SAW bersabda, “Seorang muslim yang menanam sebuah pohon lalu ada orang atau hewan yang memakan dari pohon tersebut, niscaya akan di tuliskan baginya sebagai pahala sedekah”. Bahkan pohon itu akan menjadi asset pahala baginya sesudah ia wafat akan terus mengalirkan pahala baginya. “Tujuh perkara yang pahalanya akan terus mengalir bagi seorang hamba sesudah ia mati dan berada dalam kuburnya, yaitu orang yang mengajarkan ilmu, mengalirkan air, menggali sumur, menanam pohon kurma, membangun masjid, mewariskan mushaf atau meninggalkan anak yang memohonkan ampunan untuknya sesudah ia mati.    Menebang pohon, menggunduli hutan, membuang limbah ke sungai, membuang sampah sembarangan dan lainnya sudah jelas termasuk perbuatan merusak lingkungan hidup yang bisa mendatangkan bencana bagi umat manusia. Banjir bandang, kabut asap, pemanasan global adalah beberapa diantara akibatnya. Namun sadarkah kita, bahwa kerusakan alam bukan hanya factor-faktor riil seperti itu saja. Kekufuran, syirik dan kemaksiatan juga punya andil dalam memperparah kerusakan alam. Bukankah banjir besar yang melanda kaum Nabi Nuh as disebabkan kekufuran dan penolakan mereka terhadap dakwah Nabi Nuh as? Bukankah bumi dibalikkan atas kaum Luth sehingga yang atas menjadi bawah dan yang bawah menjadi atas disebabkan kemaksiatan yang mereka lakukan? Sebaliknya, keimanan, ketaatan dan keadilan juga berperan bagi kebaikan dan keberkahan bumi. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Diantara pengaruh buruk perbuatan maksiat terhadap bumi adalah banyak terjadi gempa dan longsor di muka bumi serta terhapusnya berkah. Rasulullah SAW pernah melewati kampung kaum Tsamud, beliau melarang mereka (para sahabat) melewati kampung tersebut kecuali dengan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum airnya, menimba sumur-sumurnya, hingga beliau memerintahkan agar menggunakan air yang mereka bawa untuk mengadon gandum. Karena maksiat dan pengrusakan lingkungan hidup kaum Tsamud ini telah mempengaruhi air disana. Sebagaimana pengaruh dosa yang mengakibatkan berkurangnya hasil panen buah-buahan. Apabila manusia tidak segera kembali kepada agama Allah dan sunnah Nabi-Nya, maka berkah itu akan berganti menjadi musibah.    Menurut BMKB curah hujan di bulan Januari-Februari 2017 meningkat. Dampak dan akibat hujan pada lingkungan harus menjadi kewaspadaan pemerintah dan seluruh elemen masyarakat. Hujan yang semestinya Allah turunkan untuk membawa keberkahan di muka bumi, namun karena ulah manusia itu sendiri, hujan justru membawa berbagai bencana bagi manusia. Banjir, tanah longsor dan bencana muncul saat musim hujan tiba. Bahkan di tempat-tempat yang biasanya tidak banjir sekarang menjadi langganan banjir. Tidakkah manusia menyadarinya? Atau manusia terlalu egois memikirkan diri sendiri tanpa mau menyadari pentingnya menjaga lingkungan hidup yang kita wariskan kepada generasi mendatang. Allah SWT memberi manusia untuk memakmurkan bumi ini, mengatur kehidupan lingkungan hidup yang baik dan tertata. Karena itu, kita sebagai umat muslim seharusnya memahami arti pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup. Allah berfirman:  وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

 Artinya: Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-A’raf :56)

HUKUM universal atau berlaku umum. Seseorang mendapatkan ganjaran (reward atau punishment) dari apa yang diperbuatnya. Jika ia berbuat baik, ia akan mendapat ganjaran (reward) dari kebaikannya. Demikian pula sebaliknya. Jika ia berbuat dosa atau kesalahan, ia pun mendapat hukuman (punishment) dari perbuatan jahat yang dilakukannya. Menjadi tidak adil, jika seseorang yang berbuat salah, namun orang lain yang harus bertanggung jawab terhadap perbuatan salah tersebut, demikian sebaliknya.

Faktanya, terkait musibah dan bencana yang datangnya atas izin Allah SWT, asumsi di atas tidak selalu demikian. Ketika musibah dan bencana alam terjadi, korbannya tidak selalu mereka yang berdosa atau bersalah. Tidak sedikit orang yang tidak bersalah atau orang baik/saleh/taat beribadah ikut menjadi korbannya. Tempat-tempat maksiat bersama rumah-rumah ibadah hancur rata dengan tanah.

Kilas balik ke tahun 2004 dimana terjadi bencana alam tsunami di Aceh, sangat dahsyat, mengerikan, merenggut ribuan nyawa manusia, baik mereka yang berdosa/bersalah maupun mereka yang tak berdosa atau orang baik/saleh. Semua menjadi korban musibah tersebut. Faktanya membuktikan bahwa bencana tersebut menghancurkan sebagian bumi serambi Mekah. Setelah itu, hingga sekarang ini musibah dan bencana silih berganti. Sebagai orang beriman, wajib percaya bahwa musibah demi musibah atau bencana demi bencana dikirim ke dunia ini atas izin Allah SWT sebagaimana firman-Nya, “Tidak ada suatu musibah yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”, dikutip dari QS. At-Tagabun (64):11. Dan bagi Allah SWT sangat mudah menghentikan musibah dan bencana tersebut.

Diyakini bahwa musibah yang dialami kita semua, seperti wabah Covid-19 dan bencana alam terjadi secara massif belakangan ini disebabkan oleh banyak faktor (maksiat, zalim. khianat, rakus, kafir nikmat, orang baik/memiliki kekuatan dan kekuasaan namun diam). Semua itu bermuara pada perbuatan tangan manusia atau kesalahan diri kita sendiri sebagaimana Allah Swt berfirman,

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar”, dikutip dari Ar- Rum (30) : 41. Di ayat lain Allah SWT berfirman, “Dan musibah apapun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan banyak dari kesalahanmu”, dikutip dari QS. Sy-Syura (42): 40.

Namun sangat disayangkan, tidak banyak di antara kita yang berusaha mencari jawaban atas musibah dan bencana tersebut dari sudut pandang agama. Ada yang mencoba melihat fenomena musibah dan bencana dari prespektif agama, namun dinilai kurang tepat atau salah. Namun demikian, izinkan penulis melihat persoalan ini dari dua hal yang sangat sederhana (simple) ini sesuai kemampuan penulis.

Musibah bencana itu terjadi sebagai dampak dari perilaku rakus manusia.   

Allah Swt berfirman, “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar mentaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam negeri itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami). Kemudian Kami binasakan sama sekali negeri itu”, dikutip dari QS. Al- Isra’ (17) : 16.

Para ahli qir’at menafsirkan ayat di atas, “Allah telah memerintahkan mereka berbuat ketaatan, namun mereka malah melakukan perbuatan yang keji sehingga mereka layak mendapat siksaan.” Ibnu Abbas berkata, “Kami jadikan orang-orang jahat di negeri itu berkuasa sehingga mereka berbuat durhaka di negeri tersebut. dikutip dari Tafsir Ibnu Katsir (2016).

Sikap rakus manusia ini sempat disampaikan Muhammad Yunus, ketika beliau menyampaikan pidato Penerimaan Hadiah Nobel, 10 Desember 2006 di Oslo, Beliau menegaskan bahwa “bencana atau musibah kemiskinan adalah penyangkalan seluruh Hak Asasi Manusia dan menjadi ancaman bagi perdamaian.

Distribusi pendapatan dan kekayaan dunia tidak merata, pendapatan dan kekayaan dunia hanya milik sedikit orang. Sembilan puluh empat persen (94%) pendapatan dunia dimiliki oleh 40% penduduk dunia. Sementara 60% penduduk dunia sisanya hidup hanya dengan 6% pendapatan dunia. Saya percaya bahwa menggunakan sumber daya untuk meningkatkan kehidupan kaum miskin adalah strategi yang lebih baik ketimbang membelanjakannya buat senjata.”

Selain sikap rakus manusia, musibah bersama ini terjadi karena semua kita bersikap diam, bahkan melegalkan kemaksiatan di muka bumi ini terjadi.

Allah Swt berfirman, “Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim saja di antara kamu, Dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya”, dikutip dari QS Al-Anfal (8) : 25.

Imam Ibnu Katsir (2016) dalam kitabnya “Tafsir Ibnu Katsir” mengutip sabda  Rasulullah Saw. “Apabila kemaksiatan telah tampak merajalela pada umatku, maka Allah akan mengirim azab dari sisi-Nya secara umum”. Ummu Salamah, isterinya bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana bila pada hari itu terdapat orang yang saleh?”, beliau menjawab, “Benar”, mereka akan ikut tertimpa sebagaimana orang lainnya tertimpa”. Di hadits lain dari Imam Ahmad berkata, Rasulullah Saw bersabda “Tidaklah suatu kaum berbuat maksiat, sementara di tengah-tengah mereka ada seorang laki-laki yang lebih kuat dari mereka dan lebih disegani, namun orang yang lebih kuat dan disegani itu tidak mau (bersikap diam) mengubah kemaksiatan orang-orang, kecuali Allah akan meratakan siksa-Nya kepada mereka semua, Allah akan menimpakan siksa-Nya kepada mereka”,

Tafsir ayat tersebut di atas secara terang benderang menjelaskan bahwa musibah yang menimpa kita secara terus menerus, silih berganti dan tidak tahu kapan berhenti ini, seperti wabah virus Covid-19 dan bencana alam lainnya. Boleh jadi hukuman Allah SWT atas sikap kita yang selama ini DIAM atau membiarkan, bahkan melegalkan maksiat itu.

Mengakhiri opini ini, penulis ingin mengatakan ketika ada musibah berarti ada sesuatu yang salah dari fungsi kekhalifan kita selama ini. Selama kita tidak mau belajar, tidak menyadari, tidak memahami dan tidak menyikapi dengan baik musibah tersebut, maka tidak menutup kemungkinan musibah tersebut tidak berhenti dan akan terulang kembali. Oleh karena diperlukan muhasabah atau introspeksi. Setelah kita merasakan pahitnya penderitaan akibat musibah ini, bangunkan kesadaran kolektif masyarakat dipimpin oleh pemilik kekuasaan yang berpengaruh di masyarakat untuk kembali ke jalan yang benar. Sebagaimana firman Allah SWT, “orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Sesungguhnya kami milik Allah dan kepadanyalah kami kembali. Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”, dikutip dari QS Al-Baqarah (2) : 156-157. Di ayat lain Allah Swt berfirmal, “Kami uji mereka dengan nikmat yang baik-baik dan bencana yang buruk-buruk agar mereka kembali kepada kebenaran”, dikutip dari QS Al-A’raf (7):168.

oleh Dr Aswandi Dosen FKIP UNTAN