Orang yang berselisih dalam sidang di pengadilan yang pertama kali harus menunjukkan bukti adalah

Penulis: Gillang Pamungkas

GAMBARAN UMUM SAKSI DALAM PERKARA PERDATA

Ketentuan saksi dalam perkara perdata diatur dalam Pasal 145 dan 146 HIR / Pasal 172 Rbg, menjelaskan tentang saksi-saksi mana saja yang tidak dapat didengarkan keterangannya secara mutlak, dan saksi-saksi yang dapat mengundurkan diri untuk memberikan kesaksian. Terhadap ketentuan di dalam Pasal 145 ayat (1) HIR menjelaskan mengenai saksi yang tidak dapat didengar keterangannya, yaitu :

1.       Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak dalam garis keturunan lurus;

2.       Suami atau isteri meskipun sudah cerai;

3.       Anak belum berusia atau belum diketahui dengan pasti apa 15 tahun;

4.       Orang gila walaupun sekali-kali mereka dapat menggunakan pikirannya yang sehat;

Larangan untuk memberikan kesaksian oleh pihak-pihak yang kedudukannya seperti yang disebut di atas pada dasarnya tidak mutlak diberlakukan, atau dengan kata lain dalam beberapa kondisi tertentu pihak tersebut diperbolehkan untuk memberikan kesaksian tanpa disumpah. Pembahasan hal tersebut dibagi menjadi dua bagian saksi yaitu yang pertama adalah saksi yang tertera dalam angka 1 dan 2, kemudian yang kedua adalah saksi yang tertera dalam angka 3 dan 4.

Khusus mengenai saksi yang masuk dalam kategori angka 1 dan 2 di atas, pada dasarnya dilarang memberikan keterangan sebagai saksi. Akan tetapi kondisi tertentu yang memungkinkan golongan tersebut memberikan kesaksian disebutkan dalam Pasal 145 ayat (2) HIR, yang menyatakan “Akan tetapi kaum keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara perselisihan kedua belah pihak tentang keadaan menurut hukum perdata atau tentang sesuatu perjanjian pekerjaan”. Makna pasal tersebut dijelaskan dalam bukunya, R. Soesilo – RIB/HIR Dengan Penjelasan, yang dimaksud "tentang keadaan menurut hukum perdata" yaitu "tentang kedudukan warga" dalam bahasa Belanda tentang "burgerlijke stand", seperti misalnya perselisihan tentang perkawinan, perceraian, keturunan dan lain sebagainya.

Dalam prakteknya, pernah dijumpai pemeriksaan Saksi dalam perkara perdata dimana saksi tersebut adalah saksi dewasa yang sehat secara akal memberikan keterangan tanpa disumpah. Yang mana seharusnya sesuai Pasal 145 ayat (4) HIR yang memperbolehkan tidak disumpahnya saksi dalam memberikan keterangan hanya terhadap anak di bawah 15 (lima belas) tahun dan terhadap orang yang sakit ingatan / akal sehatnya, yang disebut dalam Poin 3 dan 4. Dengan demikian tidak dibenarkan jika seorang saksi di atas usia 15 (lima belas) memberikan keterangan tanpa disumpah. Hal tersebut sesuai dengan yurisprudensi putusan MA No.:1409K/Sip/1975, yang pada intinya jika seseorang saksi memiliki hubungan keluarga seperti kakak kandung salah satu pihak, maka terhadap saksi tersebut dapat memberikan kesaksian dan wajib disumpah. Adapun hak undur diri yang dimiliki itu berarti jika dia tidak bersedia untuk disumpah maka keterangannya tidak diperlukan di persidangan.

SAKSI DALAM PERKARA PERDATA PERMOHONAN

Permasalahan lain yang ditemukan penulis dalam memeriksa saksi dalam perkara perdata khususnya saksi yang tercantum dalam Pasal 145 Ayat ayat (1) poin 1 dan 2 HIR adalah dalam perkara permohonan. Terdapat perbedaan pemahaman dalam hal menyumpah saksi dalam Perkara permohonan seperti ganti nama dalam dokumen kependudukan akta kelahiran. Mengingat jika saksi yang dihadirkan oleh Pemohon adalah keluarga sedarah dalam garis lurus seperti orang tua, atau anak kandungnya, maka berdasarkan ketentuan Pasal 145 HIR tersebut pihak-pihak itu tergolong dalam pihak yang tidak boleh didengar sebagai saksi. Pertimbangannya adalah orang-orang yang memiliki hubungan darah dalam garis lurus tidak dapat memberikan keteragan sebagai saksi secara objektif. Dari permasalahan tersebut muncul pertanyaan apakah saksi dalam perkara permohonan termasuk dalam golongan saksi yang dikecualikan dan boleh memberikan keterangan di bawah sumpah sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 145 ayat (2) HIR. Menurut penulis, berdasarkan penjelasan sebelumnya mengenai "tentang keadaan menurut hukum perdata" yaitu "tentang kedudukan warga”, tidak hanya terbatas pada perkara perkawinan saja. Melainkan dalam perkara permohonan ganti nama juga masuk dalam ranah perkara tentang kedudukan warga. Mengingat dasar hukum Pengadilan Negeri dalam memeriksa perkara permohonan ganti nama adalah berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan, dimana dalam peraturan tersebut mengatur mengenai hak-hak penduduk untuk memperoleh dokumen kependudukan dan dengannya itu penduduk mendapatkan kepastian hukum dalam kedudukannya sebagai warga negara. Karena tanpa identitas yang jelas, seorang warga negara kesulitan dalam mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara.

Di dalam ketentuan Undang-Undang Tentang Administrasi Kependudukan dapat dijumpai beberapa kewenangan pengadilan untuk memeriksa perkara permohonan yang berhubungan dengan peristiwa penting. Peristiwa penting itu sendiri nantinya dicatatkan dalam Kutipan Akta Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, diantarnya yaitu:

a.       kelahiran;

b.       kematian;

c.       perkawinan;

d.       perceraian;

e.       pengakuan anak;

f.        pengesahan anak.

Kesemua peristiwa tersebut merupakan sesuatu yang menentukan kedudukan warga atau yang disebut sebagai “burgerlijke stand”. Selain peristiwa yang secara eksplisit disebutkan dalam ketentuan tersebut, pada dasarnya UU Tentang AdministrasI Kependudukan membuka peluang peristiwa penting lainnya yang berhubngan dengan hak kewargaan, salah satunya disebutkan dalam penjelasan pasal 56 ayat (1), yang menyatakan “Yang dimaksud dengan “Peristiwa Penting lainnya” adalah peristiwa yang ditetapkan oleh pengadilan negeri untuk dicatatkan pada Instansi Pelaksana, antara lain perubahan jenis kelamin”. Secara gramatikal dapat dipahami bahwa penggunan kata “antara lain” berarti masih membuka kemungkinan bagi Pengadilan untuk memeriksa perkara permohonan lain selain daripada hal-hal yang telah disebutkan dalam peraturan tersebut.

Dengan demikian, pemeriksaan saksi dalam perkara perdata permohonan perubahan nama, beserta perkara permohonan-permohonan lainnya yang berhubungan dengan peristiwa penting kedudukan kewargaan sebagaimana uraian di atas adalah dikecualikan juga dari ketentuan Pasal 145 ayat (1) HIR tersebut, mengingat justru orang-orang terdekat yang mengetahui peristiwa kependudukan dan peristiwa penting Pemohon. Sehingga saksi-saksi yang dihadirkan dalam perkara permohonan yang berhubugan dengan kedudukan kewargaan memang selayaknya adalah saksi-saksi keluarga terdekat Pemohon. Kedudukan saksi dalam keluarga sedarah atau semenda dari salah satu pihak dalam garis keturunan lurus tersebut adalah sah dan wajib memberikan keterangan di bawah sumpah, mengingat justru saksi-saksi tersebut lah yang paling bisa memberikan keterangan lengkap mengenai duduk permasalahan pemohon. Bahkan khusus dalam perkara perceraian dengan alasan perselisihan, secara tersirat kehadiran saksi-saksi keluarga dekat termasuk keluarga sedarah ataupun semenda dalam garis keturunan lurus adalah hal yang diutamakan. Hal tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 22 ayat (2), yang menyatakan “Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-isteri itu”. Dari ketentuan tersebut telah jelas nampak bahwa dalam perkara yang berhubungan dengan kedudukan kewargaan, kehadiran pihak keluarga dan orang terdekat untuk bersaksi dibawah sumpah sangatlah penting dengan dasar bahwa hanya orang-orang terdekat lah yang dapat menjelaskan duduk perkara pihak-pihak dalam perkara tersebut.

KEWAJIBAN SAKSI HADIR DI PERSIDANGAN

Selain permasalahan di atas, dalam prakteknya terdapat beberapa permasalahan yang dijumpai perihal pemeriksaan saksi dalam perkara perdata. Salah satunya adalah terkait dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 139 HIR, yang menyatakan “Jika penggugat atau tergugat hendak meneguhkan kebenaran tuntutannya dengan saksi-saksi, akan tetapi oleh sebab mereka tidak mau menghadap atau oleh sebab hal lain tidak dapat dibawa menurut yang ditentukan pada pasal 121, maka pengadilan negeri akan menentukan hari persidangan kemudian, pada waktu mana akan diadakan pemeriksaan serta memerintahkan supaya saksi-saksi yang tidak mau menghadap persidangan dengan rela hati dipanggil oleh seorang penjabat yang berkuasa menghadap pada sidang hari itu”. Ketentuan tersebut memberikan kewenangan kepada Hakim untuk memanggil saksi-saksi secara paksa ke persidangan. Paksa bukan dalam hal kehadirannya itu dipaksakan dengan tenaga, melainkan adanya sanksi yang dikenakan jika yang bersangkutan tidak menghadiri panggilan tanpa alasan yang sah. Ketentuan tersebut diatur oleh Pasal 143 ayat (1) HIR, yang menyatakan “Tidak seorang pun yang dapat dipaksa datang menghadap pengadilan negeri untuk memberi kesaksian di dalam perkara perdata, jika tempat diamnya atau tempat tinggalnya di luar keresidenan, tempat kedudukan pengadilan negeri itu”.

Perihal penggunaan ketentuan tersebut terdapat perbedaan pendapat dimana pendapat yang pertama menolak aturan tersebut dan pendapat lainnya memperbolehkan dengan syarat tertentu. Pendapat yang menolak ketentuan tersebut berargumen bahwa, dalam perkara perdata, yang dicari adalah kebenaran formil. Selain itu untuk menghadirkan saksi adalah kepentingan para pihak secara sukarela, sedangkan hakim bersifat pasif sehingga dengan sikap hakim yang secara aktif menghadirkan saksi untuk kepentingan salah satu pihak dianggap memihak pihak tertentu.

Meskipun pada prakteknya belum pernah dijumpai penggunaan ketentuan dalam Pasal 139 – 144 HIR, akan tetapi menurut penulis, penggunaan ketentuan tersebut diperlukan dalam kondisi tertentu untuk mempermudah pemeriksaan saksi dalam perkara perdata. Penggunaan ketentuan ini tidak membuat hakim dianggap memihak salah satu pihak. Justru dengan memberikan kesempatan yang sama untuk para pihak jika ingin menghadirkan saksi, hakim memberikan kesempatan dan memfasilitasi dengan panggilan kepada saksi-saksi ketika syarat-syarat dipenuhi. Hal demikian bertujuan agar pemeriksaan dapat berjalan dengan lancar dan mendapatkan fakta-fakta yang lengkap sehingga pertimbangan-pertimbangan dapat disusun dengan komprehensif. Dengan demikian justru dengan penerapan pasal ini putusan yang disusun lebih memberikan rasa keadilan bagi para pihak.

Mengutip pendapat Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata, yang menyatakan, “Anggapan Hakim tidak berwenang mencampuri urusan memanggil dan menghadirkan saksi adalah pendapat dan penerapan yang keliru”. Dijelaskan bahwa prinsip menjadi saksi dalam perkara perdata bukan kewajiban hukum bersifat imperatif, hanya terbatas pada keadaan tertentu yang digariskan Pasal 139 ayat (1) dan Pasal 143 HIR. Hal-hal yang harus diperhatikan agar penggunaan ketentuan ini tidak disalahgunakan sehingga menyebabkan kerugian bagi saksi-saksi yang beritikad baik, diantaranya adalah:

1.  Merupakan saksi yang dipandang sebagai saksi keterangannya dianggap penting atau menentukan, dan dapat menerangkan kebuntuan suatu peristiwa;

2.     Tempat tinggal Saksi masih dalam lingkup wilayah yurisdiksi Pengadilan Negeri tersebut (143 ayat 1 HIR). Adapun jika berada di luar wilayah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan, mekanismenya dapat menggunakan panggilan secara delegasi (143 ayat 2 dan 3 HIR);

3.      Ketidakhadiran saksi disebabkan karena alasan yang sah;

Selain pendapat ahli yang menerapkan prinsip menjadi saksi adalah wajib dalam kondisi-kondisi tertentu sebagaimana uraian di atas, keharusan atau kewajiban menjadi saksi dalam Agama Islam adalah hukumnya wajib jika dia memiliki kedudukan sebagai saksi yang benar-benar dapat menerangkan jalannya suatu peristiwa. Hal tersebut sesuai dengan Q.S. Al-Baqarah [2]: 283, “Janganlah kamu sembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya maka dia adalah orang yang berdosa hatinya”, serta dalam Q.S. Ath-Thalaq [63]: 2, “Dan tegakkanlah kesaksian itu karena Allah”.

Dalam proses pembuktian perkara perdata, alat bukti yang paling utama adalah surat. Berbeda dengan perkara pidana dimana alat bukti yang utama adalah saksi. Meskipun demikian, sudah saatnya dalam perkara perdata, yang menjadi prioritas dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara adalah untuk mengutamakan kebenaran materiil di atas kebenaran formil. Dan salah satu langkah untuk mencapai kebenaran yang hakiki tersebut adalah dengan memeriksa secara keseluruhan alat bukti yang ada, termasuk memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk menghadirkan saksi-saksi terutamanya saksi yang dianggap menentukan atau betul-betul memahami jalannya suatu peristiwa tetapi tidak secara sukarela menghadap ke persidangan tanpa alasan yang sah.

Dengan kewenangan pengadilan melalui hakim untuk melakukan pemanggilan terhadap saksi-saksi yang dianggap relevan dapat menentukan arah jalannya suatu pekara, dapat membentuk pemahaman di masyarakat bahwa penegakan hukum dari aparat penegak hukum saja tidak akan optimal tanpa adanya peran aktif dari masyarakat, salah satunya adalah dengan menghadiri panggilan untuk bersaksi baik panggilan secara sukarela dari para pihak yang berperkara maupun panggilan dari pengadilan sebagaimana ketentuan Pasal 139-144 HIR.