Jelaskan mengapa pencegahan alih fungsi sawah dari PERTANIAN ke non PERTANIAN perlu dilakukan

Jelaskan mengapa pencegahan alih fungsi sawah dari PERTANIAN ke non PERTANIAN perlu dilakukan

Jelaskan mengapa pencegahan alih fungsi sawah dari PERTANIAN ke non PERTANIAN perlu dilakukan
Lihat Foto

Dok. Kementerian Pertanian

Ilustrasi sawah

KOMPAS.com - Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian (Kementan) Sarwo Edhy mengatakan, luas alih fungsi lahan pangan (khususnya sawah menjadi non-sawah) semakin meningkat pesat.

Dari tahun ke tahun konversi lahan meningkat sejalan dengan pertumbuhan industri dan perumahan.

“Konversi lahan ini berpotensi mempengaruhi produksi padi nasional dan mengancam ketahanan pangan nasional,” kata Sarwo Edhy melalui rilis tertulis, Kamis (17/10/2019).

Menurutnya, pengendalian alih fungsi lahan sawah merupakan salah satu strategi peningkatan produksi padi dalam negeri sehingga perlu dilakukan percepatan penetapan Peta Lahan Sawah Dilindungi (PLSD) dan pengendalian alih fungsi lahan sawah sebagai program strategis nasional.

Baca juga: Kementan: Inflasi Berhasil Ditekan karena Ketersediaan Pangan Stabil

Dia menyebutkan, selama ini sudah ada UU No. 41/2009 tentang Pelindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, beserta Peraturan Pemerintah (PP) No. 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Berkelanjutan.

Selain itu, ada pula PP No. 12 Tahun 2012 tentang Insentif, PP No. 21 Tahun 2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Berkelanjutan. Juga ada UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang beserta PP-nya.

“Aturan untuk menahan laju konversi lahan pertanian sudah ada, tinggal dijalankan dengan baik dan benar,” tegas Sarwo Edhy.

Peraturan Presiden (Perpres) No. 59 Tahun 2019 —yang  ditetapkan  Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 6 September 2019 dan diundangkan pada 12 September 2019, menjadi payung hukum pengendalian alih fungsi lahan sawah.

Baca juga: Ini Rencana Aksi Kementan untuk Tambah LTT Padi di Sumatera Utara

"Kehadiran Perpres ini menegaskan pentingnya perlindungan lahan pertanian di daerah sebagai lahan abadi yang tidak boleh dilakukan alih fungsi apapun," cetusnya.

Diharapkan, lanjutnya, berbagai perlindungan untuk mempertahankan lahan juga dilakukan oleh daerah yang peduli mengenai isu alih fungsi lahan tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Daerah setingkat Bupati.

Regulasi dan kebijakan yang perlu direviu adalah terkait dengan pengawasan dan juga fasilitasi dan insentif terhadap petani yang menerapkan LP2B.

 
Oleh: Yenny Nurcahya S – Perencana Madya di Perencanaan Wilayah Biro Perencanaan Kementerian Pertanian

TABLOIDSINARTANI.COM - Sumberdaya lahan pertanian Indonesia dihadapkan pada persoalan serius.   Penguasaan lahan pertanian per kapita semakin sempit dan jumlah petani gurem semakin meningkat. Laju  konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian kurang lebih 110 ha/tahun. Pada sisi lain luas lahan kritis makin meningkat, terjadi degradasi lahan pertanian dengan laju 2,8 juta ha/tahun (khususnya lahan sawah). Selain itu,  masih luasnya lahan marjinal yang tidak mendukung pertumbuhan produktivitas hasil pertanian tanpa dukungan masukan teknologi.Untuk mengatasi persoalan lahan tersebut, pada  tahun 2009 lahir Undang-undang No. 41 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.  Undang-undang tersebut diharapkan mampu menahan laju konversi lahan sawah khususnya lahan irigasi teknis sehingga mampu menopang ketahanan pangan nasional, tetapi pada kenyataannya Undang-undang nomor 41 berikut peraturan pelaksananya belum mampu menahan laju konversi lahan pertanian khususnya lahan sawah irigasi.  Alih fungsi lahan saat ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pengembangan kawasan pertanian kini dan kedepan. Peningkatan jumlah penduduk di satu sisi membutuhkan peningkatan produksi tetapi disisi lain juga membutuhkan kebutuhan papan yaitu rumah tinggal. Dua sisi yang bertolak belakang ini kesemuanya membutuhkan lahan. Kebutuhan lahan untuk papan terkadang mengorbankan lahan pertanian yang diperuntukkan untuk peningkatan produksi khususnya lahan pertanian sawah.Untuk implementasi UU No. 41 Tahun 2009,   pemerintah daerah perlu menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah. Berdasarkan hasil rekapitulasi Ditjen PSP, terdapat 25 provinsi yang telah mengeluarkan Perda Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW). Dari 25 provinsi tersebut hanya ada 4 provinsi yang telah menetapkan LP2B di dalam RTRW-nya. Di samping itu, ada 174 kabupaten yang telah menetapkan LP2B di dalam RTRW-nya sedangkan di tingkat kota baru 18 kota yang telah menetapkan. Ini berarti, provinsi ataupun kabupaten/kota yang telah menetapkan LP2B di dalam RTRWnya kurang dari 50 persen. Hal ini menunjukkan respons daerah di dalam menetapkan LP2B masing sangat kurang.

Lima Strategi

Pemerintah memberikan harapan besar atas ditetapkan UU No. 41 Tahun 2009 dalam menjaga kelestarian lahan-lahan pangan bagi masyarakat Indonesia.  Strategi yang dilaksanakan dalam implementasi LP2B sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 41 tahun 2009 adalah pertama, Perencanaan LP2B. Di dalam Undang-undang No. 41 tahun 2009 ditegaskan bahwa di dalam perencanaan LP2B sebelum ditetapkan memiliki kekuatan hukum, terlebih dahulu harus direncanakan. Perencanaan tersebut diawali oleh penyusunan usulan perencanaan di tingkat pemerintah, selanjutnya usulan tersebut disebarluaskan kepada masyarakat untuk memperoleh tanggapan, khususnya masyarakat yang lahannya akan dijadikan sebagai LP2B. Jika proses tersebut berjalan dengan baik, maka usulan LP2B tersebut ditetapkan dan memiliki kekuatan hukum.Kedua, Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (P2B) dan Lahan Pertanian pangan Berkelanjutan (LP2B). Sebagaimana dalam amanat UU No. 41 Tahun 2009, penetapan kawasan pertanian berkelanjutan harus ditetapkan di dalam RTRW kabupaten (UU No. 41/2009, pasal 18-19), sedangkan penetapan LP2B dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan ditetapkan dalam rencana rinci/detail tata ruang (RDTR) kabupaten (UU No. 41/2009, pasal 20-21).Ketiga, Pengembangan kawasan pertanian pangan berkelanjutan (kawasan P2B) dan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) difokuskan pada kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi. Program intensifikasi yang harus dikembangkan di dalam Kawasan P2B dan LP2B meliputi: 1. Peningkatan kesuburan tanah,  2. Peningkatan kualitas bibit,  3. Diversifikasi tanaman pangan, 4. Pencegahan dan penanggulangan,  HPT 5. Pengembangan irigasi, 6. Pemanfaatan teknologi pertanian, 7. Pengembangan inovasi pertanian, 8. Penyuluhan pertanian, 9. Jaminan akses permodalan, Sedangkan Program Ekstensifikasi meliputi kegiatan: 1. Pencetakan LP2B 2. Penetapan lahan pertanian pangan menjadi LP2B, dan 3. Pengalihan fungsi lahan non pertanian menjadi LP2BKeempat, Pengendalian LP2B, pemerintah memberikan poin khusus didalam aspek pengendalian. Aspek pengendalian dibagi atas 3 hal, yaitu insentif, disinsentif, dan alih fungsi.  Insentif yang diberikan pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2009, kepada para petani yang lahannya masuk kategori LP2B, yaitu perbaikan infrastruktur pertanian, pembiayaan penelitian benih dan varietas unggul, kemudahan akses informasi dan teknologi, penyediaan prasarana dan sarana produksi, bantuan penerbitan sertifikat tanah, penghargaan bagi petani berprestasi, dan keringanan pajak bumi dan bangunan.Kelima, Pembinaan. Sebagian besar petani akan mempertahankan lahan mereka untuk kegiatan pertanian, khususnya bagi petani yang mata pencaharian pokoknya adalah pertanian. Upaya pembinaan atas petani telah banyak dilakukan dan menjadi tugas rutin dari Dinas Pertanian/Tanaman Pangan di daerah. Khusus untuk kegiatan LP2B, pemerintah memberikan porsi yang berbeda bagi pembinaan para petani yang masuk dalam LP2B. 

Kendala dan Solusi

Regulasi dalam rangka perlindungan lahan pertanian telah banyak mengatur tentang upaya-upaya mencegah dan mengurangi alih fungsi lahan. Dimulai dari UU 41 tahun 2009 sampai dengan Peraturan Presiden nomor 59 tahun 2019 tentang pengendalian alih fungsi lahan. Namun dalam pelaksanaannya regulasi-regulasi tersebut belum mampu mengurangi bahkan mencegah alih fungsi lahan.Beberapa kendala seperti penguasaan lahan yang menjadi milik petani perorangan, harga lahan yang semakin tinggi sampai dengan kurang mendukungnya insentif yang diberikan kepada petani, menyebabkan pengendalian alih fungsi lahan sulit dilaksanakan di lapangan.Berdasarkan kondisi ini maka regulasi yang sejak tahun 2009 ditetapkan perlu didukung degan political will dari pemerintah pusat maupun daerah. Tanpa political will dari masing-masing pengambil kebijakan, maka alih fungsi lahan akan terus berlanjut meskipun ditambahkan regulasi-regulasi baru. Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk melakukan reviu regulasi khususnya pada pengawasan dan pemberian fasilitasi dan insentif pada petani yang telah melaksanakan LP2B.Pelaksanaan LP2B juga perlu diikuti dengan sosialisasi kembali pelaksanaan LP2B khususnya perencanaan LP2B dengan melengkapi database spasial. Selain itu reviu terkait RTRW dan RDTR perlu segera dilaksanakan khususnya untuk melengkapi database spasial. Apabila database spasial tidak segera dimasukkan dalam RTRW maupun RDTR, maka sulit untuk mengendalikan alih fungsi lahan karena batasan-batasan wilayah yang tidak jelas.Dalam upaya untuk mengendalikan alih fungsi lahan perlu adanya reviu terkait regulasi dan kebijakan. Regulasi dan kebijakan yang perlu direviu adalah terkait dengan pengawasan dan juga fasilitasi dan insentif terhadap petani yang menerapkan LP2B. Selain itu perda-perda RTRW maupun RDTR perlu segera direviu dan dilengkapi dengan database spasial sehingga zona kawasan yang akan dikendalikan alih fungsi dapat ditetapkan secara jelas.