Nilai-nilai yang terkandung dalam upacara turun mandi

ANALISIS NILAI-NILAI TRADISI TURUN MANDI DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU DI KANAGARIAN SELAYO KAB. SOLOK Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Bukittinggi e-mail: Diterima: 17 November 2015 Direvisi : 24 November 2015 Diterbitkan: 17 Desember 2015 Abstract The tradition of turun mandi (which literally means: going down to bathe) in Minangkabau society in Selayo District of Solok is a hereditary tradition, and it is actually a baby blessing ceremony, a tradition to thank for the blessings of a newborn baby given by Allah. Prior to the ritual of turun mandi tradition, the baby s mother family and baby s bako (father s family) prepare everything to do the ritual, including preparing various foods, preparing bathing covering (tapihan mandi), betel and areca nut, fishing gear (tangguak), torch (suluah), bareh babiyak, bareh randang, and sprouted coconut. The process of this ritual involves bako (father s family) and baby s family. The values contained in the tradition of turun mandi in Kenegarian Selayo are : 1) to introduce the child to the world outside the house, 2) after growing up, the child is expected to be a torch for society, religion, and nation, 3) being courageous in upholding the truth, being able to be a successful person in terms of the finance, education, and other fields of life, 4) being able to be an independent person who does not depend the life on someone else, and 5) being a generous person. Key words: Value Analysis, Baby blessing ceremony, Minangkabau Abstrak Tradisi turun mandi dalam masyarakat Minangkabau di kenagarian Selayo Kabupaten Solok merupakan tradisi yang turun temurun, dan merupakan tradisi untuk mengucapkan syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT berupa bayi yang baru lahir. Sebelum pelaksanaan tradisi turun mandi keluarga ibu bayi dan bako bayi mepersiapkan segala sesuatu untuk pelaksanaan turun mandi, di antaranya mempersiapkan berbagai menu makanan, mempersiapkan tapian mandi, sirih dan pinang, tangguak (alat penangkap ikan), suluah (obor), bareh babiyak, bareh randang, dan kelapa yang sudah bertunas. Proses pelaksanaanya dengan melibatkan bako dan keluarga bayi. Nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi turun mandi di kenegarian Selayo ini adalah 1) memperkenalkan anak dengan lingkungan alam skitarnya, 2) setelah anak besar nanti diharapkan dapat menjadi penerang bagi masyarakat, agama, dan bangsanya, 3) pemberani dalam menegakan kebenaran, dapat menjadi orang yang sukses, sukses dari segi ekonomi, pendidikan dan kemapanan dari segala bidang, 4) dapat menjadi orang yang mandiri, tidak menggantungkan hidupnya dengan orang lain, dan 5) nilai yang terkandung dalam tradisi turun mandi yaitu menjadi orang yang tidak pelit dan suka memberi serta dermawan. Kata Kunci: Analisis Nilai, Tradisi Turun Mandi, Minangkabau Latar Belakang Negara Indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa, agama, bahasa, dan adat istiadat yang berbeda satu sama lainnya. Namun semboyan Bhineka Tunggal Ika, dapat mempersatukan perbedaan tersebut dalam satu tanah air, suku bangsa dan satu bahasa yaitu bahasa Indonesia, terdapat 200 lebih macam suku bangsa di Indoesia, bahkan lebih banyak lagi bila dikaitkan dengan agama yang dianutnya yang mendiami lebih dari 13.000 kepulauan Indonesia. Setiap suku bangsa atau satu kelompok masyarakat akan mempunyai berbagai macam corak khas ritual upacara adat yang berbeda dengan masyarakat lainnya yang tata cara pelaksanaannya berdasarkan kepada nilai-nilai dan aturan-aturan yang ada dalam masyarakat dimana kebudayaan itu berada. Di antara suku bangsa yang mendiami Indonesia adalah sala satunya etnis Minangkabau. Masyarakat Minangkabau merupakan salah satu suku terbesar di Pulau Sumatera yang penduduknya sebagian besar bertempat tinggal diwilayah propinsi Sumatera Barat. Masyarakat Minangkabau seperti suku lainnya memiliki tradisi daerah, adat istiadat dan corak kebudayaan yang berbeda dengan suku bangsa 187

daerah lainnya. Tradisi merupakan kebiasaan yang turun temurun dalam suatu masyarakat. Tradisi adalah mekanisme yang dapat membantu untuk memperlancar perkembangan pribadi anggota masyarakat, misalnya dalam membimbing anak menuju kedewasaan. Tradisi juga penting sebagai pembimbing pergaulan bersama di dalam masyarakat. W.S. Rendra menekankan pentingnya tradisi dengan mengatakan bahwa tanpa tradisi, pergaulan bersama akan menjadi kacau, dan hidup manusia akan menjadi biadab. Namun demikian, jika tradisi mulai bersifat absolut, nilainya sebagai pembimbing akan merosot. Jika tradisi mulai absolut bukan lagi sebagai pembimbing, melainkan merupakan penghalang kemajuan. Oleh karena itu, tradisi yang diterima perlu direnungkan kembali dan disesuaikan dengan zamannya. 1 Tradisi (Bahasa Latin: traditio, diteruskan ) atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah. Tradisi yang dilakukan dalam masyarakat Minangkabau dikenagarian Selayo Kabupaten Solok terdapat berbagai bentuk tradisi seperti tradisi kelahiran dan tradisi kematian. Tradisi ini dilakukan ada perbedaan dan persamaanya dengan daerah lainya. Di Nagari Selayo Kacamatan Kubung Kabupaten Solok pelaksanaan trdisi turun mandi dilakukan ketika umur bayi sudah lima belas hari keatas. Dalam pelaksanaan tradisi turun mandi di Nagari Selayo dibantu oleh bako (keluarga dari pihak bapak bayi) dengan menggunakan berbagai peralatan dan simbol-simbol. Peralatan dan simbol-simbol yang digunakan dalam tradisi turun mandi tersebut memiliki makna dan nilai-nilai dalam masyarakat setempat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu berusaha mengungkapkan makna peri laku dan tindakan orang-orang dalam berbagai situasi sosial di masyarakat dalam kaitannya dengan tradisi turun mandi di Salayo. Pendekatan kualitatif bertitik tolak dari pandangan fenomenologis yang penekanannya pada Verstehen yaitu pemahaman 1 Mardimin Johanes, Jangan Tangisi Tradisi (Yoyakarta: Kanisius, 1994), h. 12-13. makna tingkah laku manusia sebagaimana yang dimaksudkan oleh pelakunya sendiri, dan bagi peneliti sendiri sifatnya interpertatif. Sumber data atau informan diambil dari orang-orang yang betul-betul memiliki pengetahuan tentang obyek penelitian, agar data yang didapat benar-benar dapat dipercaya. Ini diambil dari orang yang terlibat langsung dalam proses pelaksanaan tradisi turun mandi, seperti orang yang mengerti adat-istiadat masyarakat di kenagarian Salayo. Dalam hal ini peneliti memulainya dari sumber kunci seperti Bundo Kanduang, Ninik Mamak, penghulu adat, alim ulama, dan masyarakat yang melaksanakan tradisi turun mandi, serta beberapa masyarakat yang terlibat langsung dalam tradisi turun mandi tersebut. Dalam memperoleh data dan informasi yang lengkap dan menyeluruh diadakan tiga cara, yaitu sebagai berikut : 1) Wawancara, peneliti berupaya mengajukan pertanyaan langsung kepada informan sesuai dengan data yang diperlukan. Dalam hal ini peneliti berangkat dari beberapa orang informan kunci, berlanjut berbagai informan lainnya sampai pada suatu keadaan yang menunjukan bahwa data atau informasi sudah dirasakan cukup memadai karena dirasakan tidak ditemukan lagi informasi-informasi baru yang signifikan, atau menggunakan teknik snowball sampling. 2) Observasi, peneliti melakukan pengamatan langsung dilokasi penelitian dalam upaya membandingkan hasil wawancara dengan hasil observasi. penelitian ini dilakukan dengan menggunakan observasi partisipasi (participan observation) untuk memperoleh data mengenai tradisi turun mandi. Nilai-nilai Tradisi dalam Masyarakat Minangkabau Nilai yang dalam bahasa Inggris disebut value, menurut Dardji 2, dapat artikan sebagai harga, makna, isi dan pesan, semangat, atau jiwa yang tersurat dan tersirat dalam fakta, konsep, dan teori, sehingga bermakna secara fungsional. Di sini, nilai difungsikan untuk mengarahkan, mengendalikan, dan menentukan kelakuan seseorang, karena nilai dijadikan standar perilaku. Sedangkan menurut Dictionary dalam Winataputra 3, nilai 2 Dardji Darmodihardjo, Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila dalam Sistem Hukum Indonesia (Jakarta: Rajawali, 1996) h. 21. 3 Udin Winataputra, Apa dan Bagaimana Pendidikan Kewarganegaraan, Makalah dalam Lokakarya Civic Education Dosen IAIN/STAIN Se-Indonesia 2001, 188

adalah harga atau kualitas sesuatu. Artinya, sesuatu dianggap memiliki nilai apabila sesuatu tersebut secara intrinsik memang berharga. Menurut Zakiah Darajat, nilai adalah suatu perangkat keyakinan atau perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak yang khusus kepada pola pemikiran dan perasaan, keterikatan maupun perilaku. 4 Kalau definisi nilai merupakan suatu keyakinan atau identitas secara umum, maka penjabarannya dalam bentuk formula, peraturan atau ketentuan pelakasanaannya disebut dengan norma. Dengan kata lain, norma merupakan penjabaran dari Nilai sesuai dengan sifat dan tata nilai. Kajian tentang nilai dalam bidang filsafat dibahas dan dipelajaran secara khusus pada salah satu cabang filsafat yang disebut Filsafat Nilai atau yang terkenal dengan istilah Axiology, The Theori of Value. Cabang filsafat ini sering juga diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah nilai di dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness), dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian. Di dalam Dictionary of Sociology and Related Sciences ditemukan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok (The beleived Capacity of any object to statisfy a human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu itu mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu, misalnya bunga itu indah, perbuatan itu susila. Indah, susila adalah sifat atau kualitas yang melekat pada bunga dan perbuatan. Dengan demikian, maka nilai itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang tersembunyi di balik kenyataan- kenyataan lainnya. Ada nilai itu, karena adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai yang disebut wartrager 5 Menilai berarti, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu merupakan keputusan nilai yang Sawangan-Depok. 4 Zakiah Derajat, Dasar-dasar Agama Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 260. 5 Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan (Yogyakarta: Paradigma, 2003), h. 87. dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, indah atau tidak indah. Keputusan yang dilakukan oleh subjek penilai tentu berhubungan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia, sebagai subjek penilai, yaitu unsur-unsur jasmani, akal, rasa, karsa (kehendak) dan kepercayaan. Sesuatu itu dikatakan bernilai apabila sesuatu itu berharga, berguna, benar, indah, baik, dan lain sebagainya. Kalau definisi nilai merupakan suatu keyakinan atau identitas secara umum, maka penjabarannya dalam bentuk formula, peraturan atau ketentuan pelakasanaannya disebut dengan norma. Dengan kata lain, norma merupakan penjabaran dari Nilai sesuai dengan sifat dan tata nilai. Adapun definisi nilai yang benar dan dapat diterima secara universal menurut Linda dan Ricard Eyre adalah sesuatu yang menghasilkan perilaku dan perilaku berdampak positif baik yang menjalankan maupun bagi orang lain. Nilai Adat dan Tradisi dalam Agama Islam Luasnya materi ajaran agama Islam haruslah dipahami oleh seorang mukmin yang ingin mengamalkan ajaran Islam secara kaffah, akan tetapi dari kesemuanya itu yang juga penting untuk diketahui adalah pemahaman tentang nilainilai atau unsur-unsur yang terkandung dalam agama Islam. Pendidikan Islam di kalangan umatnya merupakan salah satu bentuk manifestasi cita-cita hidup Islam untuk melestarikan, mengalihkan dan mentransformasikan nilai-nilai Islam kepada pribadi penerusnya. Dengan demikian pribadi seorang muslim pada hakikatnya harus mengandung nilai-nilai yang didasari atau dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Allah SWT sebagai sumber mutlak yang harus ditaati. Ketaatan kepada kekuasaan Allah SWT yang mutlak itu mengandung makna sebagai penyerahan diri secara total kepadanya. Dan bila manusia telah bersikap menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah, berarti ia telah berada dalam dimensi kehidupan yang dapat mensejahterakan kehidupan didunia dan membahagia kan kehidupan di akhirat. Adapun dimensi kehidupan yang mengandung nilai-nilai ideal Islam dapat dikategorikan kedalam tiga kategori, yaitu: Dimensi yang mengandung nilai yang meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di dunia. Dimensi yang mengandung nilai yang mendorong manusia untuk meraih kehidupan di akhirat yang membahagiakan. Dimensi yang 189

mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi.6 Dari dimensi nilai-nilai kehidupan tersebut, seharusnya ditanam tumbuhkan didalam pribadi Muslim secara seutuhnya melalui proses pembudayaan secara paedagogis dengan sistem atau struktur kependidikan yang beragam. Dari sinilah dapat diketahui bahwa dimensi nilai-niali Islam yang menekankan keseimbangan dan keselarasan hidup duniawi ukhrawi menjadi landasan ideal yang hendak dikembangkan/ dibudayakan dalam pribadi Muslim melalui pendidikan sebagai alat pembudayaan. Adapun nilai-nilai pendidikan Islam pada dasarnya berlandaskan pada nilai-nilai Islam yang meliputi semua aspek kehidupan. Baik itu mengatur tentang hubungan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Dan pendidikan disini bertugas untuk melestarikan mempertahankan, menanamkan, dan mengembangkan nilai dan kelangsungan berfungsinya nilai-nilai Islam tersebut. Adapun nilai-nilai Islam apabila ditinjau dari sumbernya, maka dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu: 1) Nilai Illahi; Nilai Ilahi adalah nilai yang bersumber dari Al-Qur an dan hadits. Nilai ilahi dalam aspek teologi (kaidah keimanan) tidak akan pernah mengalami perubahan, dan tidak berkecenderungan untuk berubah atau mengikuti selera hawa nafsu manusia. Sedangkan aspek alamiahnya dapat mengalami perubahan sesuai dengan zaman dan lingkungannnya. 2) Nilai Insani; Nilai insani adalah nilai yang tumbuh dan berkembang atas kesepakatan manusia. Nilai insani ini akan terus berkembang ke arah yang lebih maju dan lebih tinggi. Nilai ini bersumber dari ra yu, adat istiadat dan kenyataan alam. 7 Perlu kita ketahui, sumber nilai-nilai yang tidak berasal dari Al-Qur an dan Hadits, dapat digunakan sepanjang tidak menyimpang atau dapat menunjang sistem nilai yang bersumber pada Al-Qur an dan Hadits. Sedangkan nilai bila ditinjau dari orientasinya dikategorikan kedalam empat bentuk nilai yaitu: 1) Nilai etis; nilai etis adalah nilai yang mendasari orientasinya pada ukuran baik dan buruk. 2) Nilai Pragmatis; nilai pragmatis adalah nilai yang mendasari orientasinya pada berhasil atau gagalnya. 3) Nilai efek sensorik: nilai efek 6 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h. 20. 7 Muhaimin Abd Mujib, Pemikiran Agama Islam (Bandung: Bumi Aksara, 1991), h. 111. sensorik adalah nilai yang mendasari orientasinya pada hal yang menyenangkan atau menyedihkan. 4) Nilai religius: nilai religius adalah nilai yang mendasari orientasinya pada dosa dan pahala, halal dan haramnya. Kemudian sebagian para ahli memandang bentuk nilai berdasarkan bidang apa yang dinilainya, misalnya nilai hukum, nilai etika, nilai estetika, dan lain sebagainya. Namun pada dasarnya, dari sekian nilai diatas dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: a) Nilai formal; Yaitu nilai yang tidak ada wujudnya, tetapi memiliki bentuk, lambang, serta simbol-simbol. Nilai ini terbagi menjadi dua macam, yaitu nilai sendiri dan nilai turunan. b) Nilai material: yaitu nilai yang berwujud dalam kenyataan pengalaman rohani dan jasmani. Nilai ini juga terbagi menjadi dua macam, yaitu: nilai rohani yang terdiri dari : nilai logika, nilai estetika, nilai etika, dan nilai religi, yang kedua yakni nilai jasmani yang terdiri dari: nilai guna, nilai hidup, dan nilai ni mat. Untuk memperjelas mengenai nilai-nilai diatas, maka akan dirinci mengenai nilai-nilai yang mendominasi jika ditinjau dari segala sudut pandang, yaitu antara lain: 1) Nilai etika; Nilai etika adalah nilai yang mempunyai tolak ukur baik atau buruk. Sedangkan pandangan baik dan buruk dalam nilai etika sangatlah beragam. Hal ini karena sudut pandang tinjauannya berbeda. 2) Nilai estetika; Nilai estetika ini mutlak mutlak di butuhkan oleh manusia, karena merupakan bagian hidup manusia yang tak terpisahkan, yang dapat membang kitkan semangat baru dan gairah berjuang. Nilai ini merupakan fenomena sosial yang lahir dari rangsangan cipta dalam rohani seseorang. Rangsangan tersebut untuk memberikan ekspresi dalam bentuk cipta dari suatu emosi, sehingga akan melahirkan rasa yang disebut dengan indah. 3) Nilai logika; Nilai logika merupakan nilai yang banyak menca kup pengetahuan, penelitian, keputusan, penuturan, pembahasan, teori atau cerita. Nilai ini bermuara pada pencarian kebenaran. 4) Nilai religi; Nilai religi merupakan tingkatan integritas kepri badian yang mencapai tingkat budi, juga sifatnya mutlak kebenarannya, universal, dan suci. Sistem Kekerabatan Minangkabau Masyarakat komunal dengan pola perkawinan eksogami menimbulkan hubungan kekerabatan yang mempunyai daya ikat antar individu di luar jalur stelsel matrilineal dan system persukuan. Dapat juga dikatakan bahwa oleh 190

hubungan kekerabatan menurut jalurnya akan sa ngat dan dapat membangkitkan sovinisme kesukuan. Namun, oleh karena hubungan kekerabatan akibat perkawinan itu dengan sendirinya dapat melenyapkan kebanggaan suku yang berlebih-lebihan, maka sovinisme tidak dapat terjadi. Perkawinan bukan semata-mata hubungan Antara dua orang individu, tetapi juga hubungan antara dua kerabat dan bahkan hubungan antara seluruh kerabat yang telah berhubungan karena perkawinan itu. Sistem kekerabatan di Minangkabau adalah bersifat matrilineal yaitu menurut keturunan ibu. Anak-anak yang dilahirkan para ibu termasuk suku (clan) ibunya atau saudara-saudara ibunya, sementara ayah termasuk dalam suku ibunya pula. Seluruh anak-anak seorang ibu, baik laki-laki maupun perempuan masuk dalam suku ibunya. Status kesukuan ini bersifat permanen, tidak ada perpindahan suku dalam sistem kekerabatan matrilinal Minangkabau 8. Sistem kekerabatan matrilineal tidak menciptakan keluarga inti (nuclear family) yang baru meskipun perkawinan dilangsungkan, sebab suami atau istri tetap menjadi anggota dari garis keturunan ibu mereka masing-masing. Keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak sebagai unit tersendiri tidak terdapat dalam struktur sosial Minangkabau karena selalu bernaung dalam sistem garis keturunan ibu. Selanjutnya Radjab 9 menjelaskan kekerabatan matrilineal di Minangkabau yang menganut sistem penghitungan keturunan menurut garis ibu semata-mata, pusaka dan waris diturunkan pada garis ibu, anak laki-laki dan perempuan termasuk dalam kaum ibunya. Menurut Navis 10 budaya masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal, terdapat empat jenis hubungan kekerabatan, yaitu: (1) tali kerabat mamak kemenekan, (2) tali kerabat suku sako, (3) tali kerabat induak bako anak pisang (keluarga perempuan ayah dan anak saudara laki-laki) dan (4) tali kerabat andan pasumanandan (tali kerabat yang berbentuk segitiga, hubungan antara anggota suatu rumah). Tali kerabat mamak 8, Upacara Kematian dalam Masyarakat Minangkabau di Kenagarian Selayo Kabupaten Solok (Bukittinggi: P3M STAIN Bukitinggi, 2010). 9 Radjab, M., Sistem Kekerabatan di Minangkabau (Padang: Cenre for Minangkabau Studies Press, (1969), h. 20. 10 Navis, AA., Alam Takambang Jadi Guru (Jakarta: Temprit, 1984), h. 20 kemenakan dan tali kerabat suku sako bersifat kedalam dan timbul karena pertalian darah. Tali kerabat induk bako anak pisang dan tali kerabat andan pasumandan bersifat keluar, timbul karena perkawinan. a. Tali kerabat mamak kemenakan ialah hubungan antara seorang anak laki-laki dan saudara laki-laki ibunya, atau hubungan seorang anak laki-laki dengan saudara perempuannya bagi seseorang, saudara laki-laki ibunya adalah kemenakan saudara laki-laki ibunya, sedangkan anak saudara perempuanya merupakan kemenakan dan ia adalah mamak anak saudara perempuan. b. Tali kerabat suku sako dikenal sebagai hubungan kerabat yang bersumber dari sistem kekerabatan geneologis yang berstelsel matrilineal pada lingkungan kehidupan sosial sejak dari rumah sampai ke nagari yang lazim disebut suku, suatu nagari didiami penduduk yang terdiri dari sekurang-kurangya 4 buah suku, nagari itu terdiri dari beberapa kampung, setiap kampung diisi beberapa kelompok rumah, tiap-tiap kelompok rumah itu didiami oleh saparuik (seperut). c. Induak bako anak pisang merupakan hubungan kekerabatan mereka antara seseorang anak dan saudara perempuan dan anak-anak saudara-saudara laki-lakinya, dengan demikian saudara seorang perempuan merupakan induak bako anak saudara laki-lakinya dan iapun merupakan anak pisang saudara perempuan bapaknya. d. Andan pasumandan merupakan hubungan antara anggota suatu rumah, rumah gadang, atau kampung yang lain sebab salah satu ang gota kerabatnya melakukan perkawinan. Keempat jenis tali kerabat inilah yang bertanggung jawab untuk melangsungkan hidup anggotanya dengan melakukan aktifitas baik sebagai penentu, perencana, dan pelaksana hal-hal yang berkaitan dengan kerabatnnya masing-masing. Di samping itu, keempat tali kerabat ini menjadi daya ikat dan yang menyatakan individuindividu ke dalam suatu jaringan yang kompleks. Meskipun kompleks, tata tertib yang mengaturnya dapat menjamin kesatuan, kesamaan, dan keutuhan pendirian sikap dan perbuatan seorang individu terhadap suatu kasus yang mnyentuh kehidupan kekerabatan. 191

Ikatan dalam tali kekerabatan ini memunculkan beberapa tradisi dalam menjaga kelanggengan ikatan kekerabatan mulai dari tradisi perkawinan, upacara kehamilan, turun mandi bayi, dijapuik bako, khitanan, upacara kematian dan tradisi budaya lain, yang semuanya itu diadakan untuk menjaga kelanggengan ikatan perkawinan. Sejarah Singkat dan Monografi Nagari Selayo Kabupaten Solok Asal usul masyarakat Selayo terdapat dua pendapat 11, pertama: menurut naskah Tjuraian asal mula Nagari Selayo menjelaskan bahwa nenek moyang penduduk asli Solok dan Selayo berasal dari datangnya 73 orang dari Kubung Agam ke daerah Solok, 13 orang diantaranya tinggal di Solok dan Selayo serta mendirikan nagari-nagari. 60 orang lainnya meneruskan perjalanan ke daerah Alahan Panjang, Surian, dan Muara Labuh yang dipertuankan Padang Galundi. Lantak Kubuang di Selayo, Nik Koto di Linjuang Koto Tinggi, Rajo Jihin di Talang dan Bagajabin di Kinari. Kedatangan mereka diperkirakan terjadi pada abad XIV yaitu pada masa Aditiawarman yang punya derah campuran Jawa-Melayu. Ke-13 orang buang an yang menetap di Solok ini akhir nya menjadi asal nama Kubuang Tigo Baleh, merekalah yang mendirikan nagari sekitar Solok dan Selayo. Kedua, berdasarkan Tambo menyatakan Penduduk Selayo berdasar dari Pariangan Padang Panjang. Rute perjalanan mereka adalah Pariangan menuju keselatan kemudian menyusuri punggung bukit Ribu-Ribu (Padang Simawang) sebelah timur danau Singkarak sampai di Aripan, dan dari sini ada dua jalan, yaitu 1) arah Singkarak Saning Bakar leretan Kayu Merunduk Kasiak, Sumani, Kumur Kecil, Kumur Gadang, Hulu Imang, Batang Guguk, selingkar Gunung Tanag. 2) Arah Kuncir ke Taluang Laing, Tanjung Paku, Solok, Selayo, Koto Baru, Gaung, Gantung Ciri, Jawi-Jawi, Talang, Talago Dadok (Sungai Janiah). Dari dua pendapat di atas terlihat, pendapat pertama keterangannya lebih kuat dan jelas, terperinci dan masuk akal. Pendapat kedua kurang terperinci dan tidak jelas mengapa mereka pindah serta berapa jumlahnya dan kapan terjadinya. Di Nagari Selayo terdapat 7 macam suku, yaitu 1) suku Tigo Korong, terdiri dari Caniago, Supanjang, dan Lubuak Batang, 2) suku Ampek Ninik, terdiri dari suku Piliang, Koto, Kutianyie, dan suku Jambak, 3) suku Subarang Tabek, terdiri 11 Soewardi Idris, Upacara Adat di Selayo (Jakarta: Ikatan Keluarga Selayo, 1992), h. 15. dari suku Subarang Tabek dan suku Parak Panjang, 4) suku Tambang Padang, 5) suku Kampai, 6) suku Tapi Aie, dan 7) suku Melayu. Nagari Salayo berada di Kecamatan Kubuang Tigo Baleh Kabupaten Solok. Nagari ini disebut-sebut sebagai model tata ruang tradisional masyarakat Minangkabau sebagai contoh ideal adalah tata ruang tradisional Nagari Salayo yang terletak di Kubuang Tigo Baleh Kabupaten Solok. Pemukiman masyarakat Nagari Salayo adalah pola melingkar dan mengelompok. Pola ini ditandai dengan adanya pusat pemukiman yang merupakan pusat nagari yang dikelilingi oleh hutan rendah dan hutan tinggi. Hutan rendah adalah daerah pertanian yang dapat dijangkau oleh air, daerah ini kemudian dijadikan sebagai sawah dengan tanaman utamanya padi. Hutan tinggi adalah daerah pertanian yang tidak terjangkau oleh air, sehingga kemudian dijadikan sebagai ladang atau dalam istilah setempat disebut parak 12. Pusat Nagari Salayo terletak di bekas Jorong Salayo Ateh dan Salayo Baruh yang sekarang menjadi Jorong Galanggang Tangah setelah bergabung dengan Jorong Subarang pada waktu dilakukan Penataan Desa di Sumatera Barat pada tahun 1990. Sebelum Nagari Salayo menjadi sebuah pemukiman, Penghulu Nan Batujuah beserta Tuanku Nan Batigo telah membuat rancangan tata ruang bagi pemukiman warganya. Hal ini dilandasi oleh pemikiran bahwa penduduk Nagari Salayo terdiri dari kelompok-kelompok sapruik, sakaum, dan sasuku. Tata ruang Nagari Salayo yang disusun oleh Ninik Nan Sapuluah tersebut merupakan tata ruang yang sangat baik dan tidak kalah dengan tata ruang yang dikembangkan oleh ahli tata ruang modern dewasa ini. Hal ini menunjukkan ketinggian budaya nenek moyang orang Minangkabau. Pusat Nagari Salayo memanjang sekitar 1,5 km dari selatan ke utara dan berbatasan dengan Nagari Kotobaru di selatan dan Nagari Solok di utara. Di sebelah barat pusat nagari dipisahkan oleh hamparan sawah yang luas dengan Jorong Munggu Tanah dan Jorong Sawah Sudut. Di sebelah timur pusat nagari dipisahkan oleh Sungai Batang Lembang dengan Jorong Subarang. Wilayah pusat nagari ini terbagi atas tiga bagian 12 Witrianto, Tata Ruang Tradisional Nagari Selayo, <http://www.nagarisalayo.blogspot. co.id/2013_02_01_archive.html> [diakses pada tanggal 20 September 2015] 192

yaitu Kapalo Koto yang terletak bersebelahan dengan Nagari Kotobaru di selatan, Tangah Koto, dan Ikua Koto yang terletak bersebelahan dengan Nagari Solok di utara. Tangah Koto merupakan pusat pemukiman yang terpadat, di sinilah pusat aktivitas kehidupan bernagari dilaksanakan yang ditandai dengan adanya sejumlah bangunan penting yang merupakan lambang keberadaan sebuah nagari, seperti pasar nagari, kantor wali nagari, balai adat, kantor Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN), Masjid Raya, dan sekarang juga dilengkapi dengan sebuah puskesmas bertingkat yang berdiri megah persis di pusat nagari. Tata ruang yang diciptakan oleh Ninik Nan Sapuluah Nagari Salayo tersebut dimulai dengan membuat sebuah jalan utama yang membelah pusat nagari menjadi dua bagian, yaitu Jorong Salayo Ateh yang terletak di sebelah barat dan Jorong Salayo Baruah yang terletak di sebelah timur. Jalan ini pada masa pemerintahan Belanda dijadikan sebagai jalan raya yang menghubungkan Kota Solok dengan Kota Padang. Selanjutnya di kedua jorong tersebut dibangun jalan yang tegak lurus dan sejajar dengan jalan besar tersebut yang bertujuan untuk mengelompokkan penduduk berdasarkan sukunya. Dengan adanya jalan-jalan tersebut, batas kepemilikan tanah tiap suku menjadi jelas sehingga tidak terdengar adanya perselisihan warga antar-suku mengenai batas tanah di nagari Salayo 13. Jalan yang tegak lurus dengan jalan utama yang membagi dua pusat nagari di Salayo Ateh mulai dari selatan ke utara berturut-turut adalah Jalan Rumah Potong, Jalan Andaleh, Jalan Ampek Ninik, Jalan Nurul Falah, Jalan Kampai, Jalan Masjid Raya, dan Jalan Munggu Tanah. Yang sejajar dengan jalan utama adalah Jalan Kelok Sembilan, Jalan Piliang, Jalan Mesjid Raya dari arah Andaleh, dan Jalan Lubuk Batang. Di Jorong Salayo Baruah, jalan yang tegak lurus dengan jalan utama mulai dari selatan ke utara berturut-turut adalah Jalan Badenah, Jalan Tapi Aia, Jalan Labong, Jalan Caniago, Jalan Kalampaian, Jalan Tampuniak, dan Jalan Saribulan. Yang sejajar dengan jalan utama adalah Jalan Bintang Jaya, Jalan Simpang Ampek, dan Jalan Tapi Batang Aia (Sungai) Batang Lembang. 13 Witrianto, Tata Ruang Tradisional Nagari Selayo, <http://www.nagarisalayo.blogspot. co.id/2013_02_01_archive.html> [diakses pada tanggal 20 September 2015] Jalan-jalan yang ada di Nagari Salayo tersebut tidak ada yang buntu, semuanya bersambung atau mempunyai simpang dengan jalan yang lainnya. Di Salayo Baruah, jalan yang tegak lurus dengan jalan utama semuanya menuju ke Sungai Batang Lembang, sedangkan di Salayo Ateh jalan yang tegak lurus dengan jalan utama semuanya menuju ke pincuran tempat mandi yang terdapat di surau-surau atau masjid yang ada di Salayo. Jalan yang diciptakan oleh nenek moyang orang Salayo yang semuanya ternyata mengarah ke sumber air menunjukkan bahwa orang Salayo tidak bisa lepas dari air yang digunakan untuk mandi, mencuci, memasak, berwudhu untuk shalat, dan untuk pengairan sawah dan kolam ikan. Jorong-jorong lainnya di Salayo, yang semula terdiri dari 13 jorong, kecuali Jorong Subarang yang terletak di sebelah timur, 10 jorong lain nya terletak di sebelah barat pusat nagari. Jorongjorong tersebut adalah Munggu Tanah, Parak Gadang, Sawah Kandang, Sawah Sudut, Padang Kunik, Sumur Belimbing, Kubur Harimau, Lurah Ateh, Lurah Baruh, dan Pakan Sinayan. Jorong-jorong tersebut semula merupakan daerah pertanian warga Salayo yang kemudian berkembang menjadi pemukiman setelah kedatangan penduduk pendatang dari berbagai nagari di sekitar Danau Singkarak, seperti Sulit Air, Kacang, Simawang, Pasilihan, Paninggahan, dan Saniangbaka. Pendatang lainnya juga banyak yang berasal dari Mudiak, sebutan orang Salayo untuk nagari-nagari yang terletak di selatan Salayo, yaitu Bukit Sileh, Talang Babungo, Garobak Data, dan Sirukam. Di samping para pendatang, penduduk asli Selayo banyak juga yang kemudian bermukim di jorong-jorong luar pusat nagari. Mereka adalah para petani yang menggarap lahan pertanian di daerah tersebut. Untuk menghemat waktu dan tenaga mereka kemudian membuat pondok di lahan pertanian mereka yang mereka tinggali ketika pekerjaan di sawah atau ladang sedang banyak. Lama-kelamaan pondok tersebut kemudian mereka jadikan sebagai rumah tempat tinggal permanen. Sampai sekarang, penduduk asli yang tinggal di luar pusat nagari jika mengunjungi kerabatnya yang tinggal di pusat nagari, mereka menyebut nya pai pulang (pergi pulang), karena asal mereka memang dari pusat nagari. Berbeda halnya dengan penduduk pendatang, jika pergi ke pusat nagari mereka menyebutnya pai ka Salayo (pergi ke Selayo), walaupun tempt tinggal mereka pun sebenarnya masih merupakan bagian dari Nagari Salayo. 193

Tradisi Turun Mandi Upacara turun mandi adalah salah satu di antara upacara adat Minangkabau yang masih terlestarikan hingga saat ini. Upacara turun mandi merupakan upacara adat yang dilaksanakan untuk mensyukuri nikmat Allah atas bayi yang baru lahir dan upacara ini juga merupakan Sunnah Rasul. Pada upacara turun mandi inilah pertama kalinya bagi si bayi untuk melihat lingkungan dan masyarakat sekitar. Tradisi kebudayaan Minangkabau itu unik, bukan hanya karena sifat matrilinealnya, tetapi juga karena variasinya yang berbeda-beda antara satu nagari dengan nagari lainnya. Di antara perbedaan tradisi ini, terlihat perbedaan antara tradisi di kawasan pesisir dengan tradisi daerah darek di Sumatera Barat yang masih hidup sampai sekarang. Upacara turun mandi biasanya dilaksanakan di sungai (batang aie) dan tidak boleh dilakukan hanya dengan membawa air ke halaman rumah tanpa ke sungai. Yang membawa anak ini dari rumah ke sungai adalah orang yang berjasa membantu proses persalinan (dukun yang manjawek). Orang biasanya menggunakan istilah itu, tapi sekarang sudah canggih mungkin bidan atau dokter yang menolong proses melahirkan tersebut. Upacara turun mandi ini dilakukan dengan cara mengkondisikan keadaan ibu, apabila sudah kuat si ibu yang melahirkan maka sudah boleh dilakukan upacara ini. Bagi yang ingin melakukan upacara ini maka ibu dan anak yang baru lahir tidak boleh dulu keluar dari rumah. Upacara turun mandi inilah pertama kalinya bagi si bayi untuk melihat lingkungan dan masyarakat sekitar 14. Tradisi turun mandi adalah tradisi yang masih mendarah daging sampai saat ini oleh masyarakat Minangkabau di Kenagarian Selayo Kabupaten Solok. Tradisi turun mandi merupakan tradisi untuk mengucapkan syukur atas nikmat yang tak ternilai dari Allah SWT. Tradisi turun mandi merupakan ritual untuk mensyukuri nikmat Allah (berupa bayi) yang baru lahir. Dalam pelaksaanan tradisi ini, harus memperhatikan syarat-syarat yang telah kental di masyarakat Minang. Adapun langkah-langkah pelaksanaan upacara turun mandi dinagari Selayo Kab. Solok sebagai berikut 15 : 14 Yefri Pratama, Upacara Turun Mandi di Minangkabau, <http://www.expresitopia.blogspot. co.id/2012/01/upacara-turun-mandi-di-minangkabau. html> [diakses pada tanggal 12 September 2015] 15 Nurbaiiti, Wawancara Pribadi, Sabtu 12 September 2015. Setelah si anak lahir, diberitahukanlah kepada pihak keluarga bapak (induak bako) tentang sifulan telah melahirkan anak laki-laki atau perem puan. Setelah itu, pihak bako menyilau (melihat) anak tersebut dengan berbagai bawaan. Dibawakan daun marunggai (pucuk daun katu) untuk disayur oleh ibu si bayi agar air susu ibu bertambah banyak dari semula. Kemudian setelah anak berusia 15 hari, maka pihak siibu memberitahukan kepada pihak induak bako tentang rencana acara turun mandi, setelah hari di sepakati, Pihak bako menyediakan berbagai bahan persiapan turun mandi. Setelah bahan-bahan di siapkan pihak bako juga mempersiapkan personil rombongan yang akan ikut dalam acara turun mandi itu, sekaligus menentukan tugasnya yaitu membawa ragam bawaan yang telah disiapkan. Rombongan tersebut berjumlah lebih kurang 15 orang. Kemudian di rumah ibu si bayi yang akan diturun mandikan tadi juga di persiapkan: Persiapan malam bersama dengan bako sianak yaitu nasi dan lauk pauk selengkapnya. Yang Biasanya dilakukan sekaligus dengan pemotongan hewan aqiqah si bayi (barupa kambing atau sapi) sesuai kemampuan keluarga bayi.. Kegiatan masak-memasak ini biasanya dilakukan secara bergotong-royong antara pihak si ibu dan bako serta anggota masyarakat yang ada dilingkungan rumah ibu bayi. Membuat nasi kuning atau nasi kunyit, Jika bayi yang akan diturun mandikan itu laki-laki disediakan bareh randang (beras pulut yang di rendang). Beras rendang atau bareh babiak yang di siapkan tadi di bawa oleh rombongan bako bersama rombongan lainya dari pihak ibu menuju tepian mandi 16. Di samping itu pihak keluarga ibu bayi juga menyiapkan sirih dan pinang yang sudah dirangkai, kemudian dimasukan kedalam carano bersamaan dengan beras rendang dan beras babiak serta ditutup tudung atau songgkok adat. Berikutnya pihak keluarga ibu bayi juga menyiapkan tangguk (jaring penangkap ikan), untuk dibawa bersamaan dengan rombongan menuju tapian mandi. Kemudian sebelum berangkat menuju tapian mandi rombongan membawa suluah (obor), yang terbuat dari kain buruak (kain yang tidak terpakai lagi) dengan tangkainya menggunakan pisau, saat mau berangkat 16 Miswarti, Wancara Pribadi, Sabtu 12 September 2015. 194

ketapian suluah tersebut dinyalakan 17 Di samping itu terdapat beberapa syarat dalam upacara turun mandi adalah :pertama, Upacara turun mandi harus di laksanakan di sungai atau masyarakat Minang menyebutnya batang aie dan yang membawa anak ini dari rumah ke sungai adalah orang yang berjasa membantu proses persalinan. Kedua, Harus ada batiah bareh badulang yaitu beras yang digoreng. Batiah ini kemudian dibagikan kepada anak-anak kecil yang pergi mengikuti upacara turun mandi ini. Tujuannya, sebagai ucapan terima kasih dan memperkenalkan diri sebagai bagian dari temanteman itu kelak. Ketiga, Terdapat sigi kain buruak (obor yang terbuat dari kain-kain yang telah robek). Sigi ini dibakar dari rumah dan kemudian dibawa ke tempat upacara atau ke sungai tempat si bayi akan dimandikan. Sigi kain buruak ini memiliki makna mengajarkan kepada si bayi bahwa jika kelak telah besar nanti tidak ada satu hambatanpun dalam menuntut ilmu. Keempat, Harus ada Tampang karambia tumbua (bibit kelapa yang siap tanam). Gunanya, pada saat telah sampai di tempat upacara anak ini dimandikan, bibit kelapa tadi dihanyutkan dari atas lalu ditangkap oleh ibunya setelah kelapa tersebut mendekati anak. Setelah pulang kelapa ini ditanam dan inilah nanti menjadi bekal hidup si anak kelak. Kelima, Harus ada Tangguak. Merupakan alat yang digunakan untuk menangkap ikan. Melambangkan juga untuk bekal ekonomi si bayi kelak. Kegunaan Tangguak untuk meletakkan batu yang diambil dari sungai sebanyak tujuh buah, kemudian batu ini bersama tampang karambia dibawa pulang. Batu inilah yang dimasukkan ke dalam lubang tempat karambia ditanam. Keenam, Harus ada palo nasi (nasi yang terletak paling atas) yang telah dilumuri dengan arang serta daran ayam. Tujuan tradisi ini untuk mengusir setan, makluk halus yang ingin ikut meramaikan upacara tersebut. Syarat ini disiapkan sebanyak tiga cawan atau bejana. Dua untuk diletakkan di jalan menuju sungai yang jaraknya sudah diatur dan disesuaikan, satu dibawa ke sungai tempat upacara berlangsung. Pelaksanaan Tradisi Turun Mandi Tradisi turun mandi di Kenagarian Selayo ini dilakukan sekitar jam sembilan pagi, sebelum menuju tepian mandi, rombongan yang akan berangkat makan bersama dulu di rumah si ibu 17 Nurbaiiti, Wawancara Pribadi, Sabtu 12 September 2015. bayi, rombongan tersebut terdiri dari rombongan pihak keluarga bayi, dan rombongan pihak bako bayi. setelah itu, rombongan turun dari rumah dan menyalakan suluah yang sudah dipersiapkan sebelumnya menuju tepian tempat mandi. Anak yang akan diturunmandikan itu digendong dengan kain panjang oleh bakonya, diiringgi ang gota rombongan yang membawa kelapa, bareh randang, bareh babiak dan tangguak yang dibawa oleh pihak bakonya. Sesampai di tapian mandi peralatan yang dibawa diletakan di pinggir tapian mandi tersebut, termasuk sirih dan pinang digantung di tapian yang bertujuan untuk dimakan bagi rombongan atau masyarakat yang datang. Kebudian pakaian bayi dibuka satu-persatu oleh bako bayi. Selajutnya dibasuh muka bayi dan disirami seluruh tubuh dengan air, setelah itu disabuni serta disirami lagi dengan air bersih. Setelah selesai memandi bayi tersebut, kemudian dikeringkan badanya pakai handuk serta dipasangkan bajunya. Sementara kelapa yang sudah bertunas dan tangguak yang dibawa sebelumnya diletakan dialiran air bekas mandi bayi. Kemudian tangguak dan kelapa yang sudah bertunas diangkat dan dibawa pulang setelah selesai proses turun mandi. Kemudian kelapa yang sudah bertunas tadi ditanam dipekarangan keluarga bayi. Setelah selesai mandi bareh randang dan bareh babiyak dibagikan kepada anak-anak termasuk kepada rombongan yang ikut ketapian tempat mandi, untuk dicicipi. Selesai dimandikan, maka rombongan tadi membawa bayi pulang kerumah ibunya, sesampai ditangga rumah disambut oleh nenek dan keluarga ibu bayi dengan ditaburi dengan bungabungaan, kemudian nenek bayi mengungkapkan kata-kata yang indah dan cukup puitis puti datang rajo mananti dan setelah itu barulah naik keatas rumah. Sampai di rumah, bayi lalu sedikit diasok (diasapi), asapnya berasal dari pembakaran ramuan daun-daunan yaitu daun galundi, daun sicerek dan daun kunyit dengan maksud agar sibayi tidak cepat kedingan kalau suhu berubah. Setelah itu bayi diberi wangi-wangian. Setelah proses turun mandi dilakukan, pada malam harinya sesudah sholat magrib urang siak (bapak-bapak) berdatangan ke rumah ibu sibayi, dan duduk bersila dalam rumah, kemudian pihak tuan rumah atau keluarga bayi diwakili satu urang pandai (orang bisa dalam berbahasa atau dalam 195

pidato adat) menyampaikan maksud dan tujuan acaranya, kemudian pihak tamu juga dawakili oleh satu orang urang pandai dalam merespon yang disampaikan oleh pihak tuan rumah tadi, kemudian setelah itu dilanjutkan dengan doa yang dimintakan kepada urang siak dari pihak tamu. Selajutnya setelah selesai berdoa, pihak tuan rumah menghidangkan makanan berupa nasi dan berbagai jenis sambal, serta makanan ringan lainya, Ketika makanan sudah selesai dihidangkan maka pihak tuan rumah mempersilakan pihak tamu untuk mencicipi makananya dengan titah (bahasa) adat, titah adat ini disampaikan oleh satu orang perwakilan dari pihak tuan rumah, dan satu orang perwakilan dari pihak tamu. Setelah itu baru dilanjutkan dengan makan bersama 18. Namun dalam kesempatan lain agak bersama an dengan ritual di atas, sebelum pelaksanaan prosesi turun mandi tersebut hal yang harus dipersiapkan oleh tuan rumah (orang tua sang bayi) adalah karambia bulat (2 buah kelapa yang belum dikupas kulitnya dan diambil sedikit kulitnya dan diikat satu sama lain), bareh kampia (beras yang diletakkan dalam kantong yang terbuat dari daun pandan kering), satu ekor ayam (maksudnya disini adalah bukan sejenis makanan, tetapi se ekor ayam kampung yang beratnya sekitar 7-9 ons), limau mandi (buah jeruk purut yang direbus bersama dengan akar bunga siak-siak, sejenis bunga hutan yang mempunya akar yang wangi), katupek (ketupat yang terbuat dari beras pulut), satu buah cermin kecil, sisir, bedak dan minyak kelapa. Setelah semua bahan baku di atas dipersiapkan maka sang pemandu adat memulai prosesi turun mandi yang dimulai dengan memberikan/memasang colak(colak terbuat dari ramuan arang kayu dan jaring laba-laba yang berwarna hitam pekat) kepada bayi yang telah dia persiapkan sebelumnya dari rumah dengan menggunakan kuas bulu ayam, ini dipasang ke alis mata sang bayi. Limau mandi, katupek, cermin kecil, sisir, bedak, minyak kelapa dimasukkan kedalam sebuah nampan besar yang biasa disebut talam, yang biasanya dikenal dengan sebutan bintang limau Setelah itu bayi dan orang tuanya dibawa keluar rumah menuju sungai/tempat pemandian, sang pemandu yang menggendong bayi tersebut menggunakan payung dan memegang obor (puntung kayu bakar) yang diiringi dengan rarak September 2015. 18 Syamsul Bahri, Wawancara Pribadi, Minggu 13 talempong, bayi ini terlebih dahulu dibawa bersilat di halaman rumah oleh pemandu sebelum menuju sungai dan diringi dengan membawa bintang limau dan ayam. Sesampainya di tepian sungai, pemandu memulai prosesi turun mandi ini dengan beragam cara dan makna yang luas, diantaranya adalah sebelum mandi ke sungai sang bayi ini dipasangkan colak yang terbuat dari ramuan arang kayu dan sarang laba-laba, sarang laba-laba mempunyai makna kelak sang bayi ini sudah dewasa ia akan sama seperti laba-laba yang rajin mencari nafkah, mendudukan sang bayi di atas ayam, ini melambangkan kendaraan bagi sang bayi kelak, artinya sang bayi ini jika sudah dewasa akan mencari nafkah, menghanyutkan bara kayu ke sungai mempunyai makna melepaskan segala beban ataupun masalah terhadap bayi ini, menghadapkan sang bayi ke cermin setelah dibedaki ini mempunyai makna kelak dia akan memperhatikan penampilan nya (lai manggaya), setelah selesai mandi balimau, ketupat yang ada di dalam bintang limau tadi diperebutkan oleh para penonton yang bermakna ketupat ini adalah pemberian/sedekah dari bayi kepada orang lain dan ada juga yang menyebutkan kalau kelak nanti setelah dewasa dia akan menjadi primadona/rebutan oleh wanita jika bayi laki-laki dan sebaliknya Sesampainya dirumah sang bayi dimasukkan ke dalam ayunan yang terlebih dahulu dibuat dengan menggunakan kain sarung yang diletakkan parasoan (asap yang ditimbulkan oleh sabut kepala yang dibakar) dengan diiringi menbaca doa oleh pemandu. Setelah hitungan ayunan dinilai tepat oleh sang dukun maka sang bayi ini ditidurkan di tempat tidurnya, ini menandakan prosesi turun mandi bagi sang bayi telah selesai, Acara selanjutnya adalah makan bersama, ibu bayi dan seluruh keluarga serta para undangan makan bersama, yang menarik disini adalah ibu sang bayi dipersilahkan untuk memilih makanan apa saja yang ia sukai, setelah diletakkan dipiring maka sang dukun bayi membacakan sesuatu dan sang ibu bayi boleh makan sepuasnya tanpa harus memperhatikan segala pantangan yang sebelumnya memang sangat ketat bagi ibu bayi ini, tapi jangan coba untuk makan semaunya jika belum ditawari oleh pemandu. Jika acara turun mandi ini dilakukan dengan sangat meriah sekali, maka hal yang tak ketinggalan sisampek yang sebelumnya dibuat oleh bako 196

dari keluarga bapak sang bayi ini diperebutkan, acara ini sangat dinanti-nanti oleh anak-anak dan pe ngunjung lainnya karena selain seru mereka memperebutkan makanan yang digantungkan di sisampek tersebut. Sisampek adalah terbuat dari rangka bambu atau batang pisang yang dihiasi dengan bunga-bunga yang ditusuk dengan lidi daun kelapa yang diselipkan dengan kue-kue dan penganan kecil. Bermacam model sisampek dibuat, ada yang berbentuk kapal, pesawat terbang dan lain-lain. Setelah rentetan acara selesai maka sang dukun bayi pulang dengan membawa 1 rantang makanan, ayam dan karambial satali. Di samping tata cara upacara, atribut yang digunakan dalam upacara juga membawa fungsi enkulturasi dan internalisasi nilai-nilai Islam dalam adat Minangkabau. Salah satu atribut yang lazim digunakan adalah tirai. Tirai juga disebut langit-langit seperti juga tabir, bagian dari atribut adat dan digunakan dalam upacara adat, baik dalam upacara aspek adat istiadat maupun dalam upacara adat aspek syara (Islam). Dalam penggunaannya tirai merupakan bagian karya fann zukhrufiyah (seni dekoratif) menghiyasi tempat upacara adat, menambah kesemarakan dan kehangatan upacara adat itu dan indah. Karena ada nilai keindahan (estetika/ jamal) maka dapat dipastikan dari perspektif fungsinya ada nuansa keislaman. Karena, keindahan dalam budaya Islam, bagian penting kehidupan umat Islam itu sendiri bahkan digunakan orang arif dalam Islam sebagai canel berhubungan dekat dengan Allah swt. Karenanya pula menarik me nyidik tirai sebagai atribut adat Minangkabau dalam perspektif seni Islam. Namun keindahan yang di dengar, dibaca, dilihat dan dirasa itu mengikuti identitas seni yang bernafaskan Islam menaruh tiga nilai yakni: (1) mau izhah (advis/ pengajaran yang indah), (2) hikmah (wisdom) dan (3) irsyadah (guidance/ memberi arah lurus ke jalan yang benar). Juga yang dinikmati (didengar, dibaca, dilihat dan dirasa) itu oleh penikmat seni ada dalam batas tiga (3) kontrol yakni dirumuskan dengan 3: (1) estetika (indah), (2) erotika (erotis sebatas tidak memasuki wilayah pornografi) dan dikontrol (3) etika (menerima yang baik menolak yang buruk seperti keindahan yang kering dari nilai dan roh agama serta menolak nilai yang tidak menjiwai adat seperti fornogarafi yang merangsang seksualitas penikmat seni). Sebagai salah satu aset budaya, Tirai dalam upacara adat di Minangkabau dipakai pada alek aspek adat maupun alek aspek syara. Tidak banyak sumber tertulis ditemui selain dalam kaba dan novel Minang, bahkan nyaris langka diskursus (wacana ilmiah) yang menjelaskan tentang tirai, bahkan kamus Minang pun tidak banyak menjelaskan tentang tirai langik-langik tempat upacara adat Minang itu. Tirai langik-langik barvariasi di berbagai nagari di Minang. Pada dasarnya terlihat bentuk empat persegi seperti kotak tertelungkup, yang menutupi seluruh areal ruang depan persandingan anak daro dengan marapulai. Tirai ini lebih besar dari layang-layang. Pada bagian tepi tirai langik-langik ini biasanya diberi jurai-jurai yang terbuat dari seng tipis dengan bertahtakan kuning emas sehingga bila diterpa cahaya dari kejauhan akan memancarkan pantulan cahaya yang berkilauan. Selain itu, pada pinggiran kain langiklangik ini dihiasi berbagai motif sulaman. Salah satu bentuk tirai adalah tirai adat Selayo, sejenis tirai yang memiliki warna aneka ragam. Ada warna hitam, kuning, dan warna merah. Ketiga warna itu merupakan simbol dari daerah Minangkabau, yaitu luhak nan tigo (Tanah Datar, Agam dan 50 Kota) dan menaruh kekayaan spirit masyarakat adatnya. Pada tirai itu ada komponen disebut lidah-lidah, karena memang bentuknya seperti lidah. Namun yang lebih tepatnya lagi adalah berbentuk seperti dasi yang sering digunakan laki-laki, yaitu panjang serta diujungnya berbentuk agak lancip. Jenis lidah-lidah ini ada yang bersulamkan benang emas, ada pula yang bertaburkan bintang dan ada pula yang memakai kaca kegemerlapan. Di dalam lidah-lidah itu ada pula komponen angkin, adalah sejenis aksesori atau atribut yang menyela di antara lidah-lidah. Angkin terbuat biasanya terbuat dari beludru atau kain saten. Selain itu, angkin sering juga diberi hiasan berupa manik-manik api yang bermotif flora atau fauna. Dapat juga jadi penjelasan tambahan, tirai pada fenomena histories masa lalu (tempo doeloe) bentuknya dua bentuk fann zukhrufiyah (seni dekoratif). Pertama bermotif paco-paco segi empat tertata rapi seperti langit-langit di Taluk (Pesisir Selatan) dipasang serasi dengan tabia, dan kedua polos yang seperti di kelambu tempat/ ranjang tidur penganten tempo dulu. Tirai itu menyimbolkan supremasi dan spirit adat. Dipajang di langit-langit rumah penutup loteng dan juga disebut pada langik-langik kelambu rumah. Pajangan 197

dekoratifnya serasi dengan tabia (tabir) menutup dinding. Ada juga tirai dipajang pada eksterior di labuah gadang pada gapura (gaba-gaba pintu masuk) juga ada tirai bentuk mengambil motiv alam nabati rabuang (bambu muda) yakni bapucuak rabuang (berpusuk rabung). Bahkan juga ada tirai dipajang pada makam inyiak, syeikh- syeikh atau ulama tareqat dahulu dan biasa dominar warna kuning atau putih. Warna yang dipakai tiga warna utama bersumber spirit masyarakat adat Minangkabau yakni: kuning, merah dan hitam. Fenomena tradisi budaya ini sekarang sudah didominasi warna warni amat semarak tetapi secara luas tetap berakar pada alam Minangkabau, di antaranya warna merah-merah, hijau-hijau muda, pink, kuning-kuning dsb. Secara kategoris warna dan motivnya sudah berubah jauh dari tirai warisan tempo dulu. Disebut-sebut masyarakat adat sekarang di Minangkabau, modern. Saat ini belum ada peraturan ninik mamak yang melegalkan kecenderungan tirai dan tabir dekorasi rumah dalam upacara adat yang dipakai sekarang. Artinya belum ada keputus an tegas hanya baru dengan sikap membiarkan dan membolehkan. Sikap itu seperti mendominasi tingkat keterpakaian norma adat dalam petitihnya: nan babunyi badanga/ nan barupo baliek/ nan baraso bamakan. Artinya sikap ninik mamak itu sudah merupakan aturan abstrak, manampung setiap kesukaan orang banyak. Hal itu tentu saja memperbolehkan memakai atribut adapt yang tidak bertentangan dengan adat nan diadatkan (aturan yang disusun nenek moyang seperti yang diwariskan Dt Perpatih nan Sabatang atau Dt. Katumanggungan), tidak bertentangan dengan ajaran yang menjiwai adat (budi luhur/ akhlak mulia). Nilai-nilai Adat dan Agama dalam Tradisi Turun Mandi Pada prinsipnya, fungsi upacara adat di Minangkabau dalam proses enkulturasi dan internalisasi terhadap dalam kehidupan masyarakat yang dilandasi oleh falsafah hidup yang mendasari peri kehidupan masyarakat. falsafah yang dimaksud adalah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi kitabullah. Selanjutnya disingkat dengan ABS SBK. Maksudnya adalah, adat di Minagkabau adalah berdasarkan pada syarak (agama Islam), dan agama itu dasarnya adalah al Qur an. Selanjutnya falsafah ini dilengkapi dengan syarak mangato, adat mamakai. Maksudnya adalah, agama itu memberikan perintah atau aturan, dan adat melaksanakan (memakainya). Bedasarkan wawancara dengan Nurbaiti 19 ada nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi turun mandi di Kenagarian Selayo Kabupaten Solok sebagai berikut: a. Membawa bayi keluar rumah agar memperkenalkan anak dengan lingkungan alam sekitarnya, agar anggota keluarga berharap setelah anak besar nanti ia akan akrab dengan alam, dapat hidup dari alam dan banyak meles tarikan alam. Sesuai dengan filsafah Minang berbunyi alam takambang jadi guru. b. Nilai yang terkandung pada penyalaan suluah (obor) dengan tangkai pisau menuju tapian mandi, supaya setelah bayi besar nanti dapat menjadi penerang bagi masyarakat, agama, dan bangsanya, serta pemberani dalam menegakan kebenaran. c. Makna yang terkandung dalam penggunaan tangguak (jaring penangkap ikan) dalam proses turun mandi yaitu bayi setelah besar nanti menjadi dapat orang yang sukses, sukses dari segi ekonomi, pendidikan dan kemapanan dari segala bidang. d. Nilai yang terkandung dengan membawa kelapa yang sudah bertunas ketapian mandi, agar setelah dewasa nanti dapat menjadi mandiri, tegak mandiri ibarat pohon kelapa tegak dengan posisi yang kokohnya, tidak menggantungkan hidupnya dengan orang lain. e. Membagi-bagikan bareh babiyak dan bareh randang kepada anak-anak dan rombongan agar setelah dewasa nanti menjadi yang tidak pelit suka dan memberi kesemua orang serta dermawan. Dengan demikian, secara fungsi adat, upacara turun mandi dimaksudkan untuk menghormati keturunan yang baru lahir dan berbagi kebahagiaan dengan masyarakat sekaligus memberitakan bahwa di kaum tersebut telah lahir keturunan baru. Dalam syariat Islam yang dicontohkan Rasulullah SAW ketika seorang anak lahir, maka akan diberikan setetes madu ke dalam mulutnya. Hal ini selain bermakna kesehatam sebagai antobodi alamiah bagi anak tersebut, juga sebenarnya mengandung makna filoofis dalam rangka memperkenalkan kebaikan kepada anak dari usia dini. Enkultrasi budaya yang terdapat pada upacara turun mandi ini berfungsi pembersihan anak yang lahir dari segala pengaruh-pengaruh jahat dunia. Diharapkan hakikat kesucian anak yang 19 Kasmiyati, Wawancara Pribadi, Minggu 13 September 2015. 198