Show tirto.id - Peran besar Ali Sastroamidjojo dalam mendorong terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung, 62 tahun lalu, tenggelam di bawah bayang-bayang nama besar pemimpin Dunia Ketiga seperti Sukarno, Jawaharlal Nehru, dan Gamel Abdul Nasser. Mereka mendapat panggung dan menjadi sorotan internasional di KAA dan setelahnya. Sedangkan peran vital Sastroamidjojo sebagai inisiator dan “pembangun infrastruktur” KAA terabaikan.
Ali Sastroamidjojo adalah tokoh besar diplomasi Indonesia yang dilupakan dalam historiografi KAA dan solidaritas Asia-Afrika yang ditulis oleh banyak sejarawan Barat dan non-Barat. Banyak orang lebih mengingat bahwa Sukarno berperan besar terhadap kemunculan gagasan KAA. Padahal, bung besar bukanlah inisiator utama di balik munculnya peristiwa historis tersebut. Sastroamidjojo, waktu itu menjabat Perdana Menteri Indonesia, adalah figur utama yang dengan karisma dan kematangan berdiplomasinya meyakinkan negara Asia-Afrika harus bersatu untuk mencari solusi atas permasalahan yang menimpa dunia saat itu.
Keinginan Sastroamidjojo untuk menyelenggarakan KAA sebagian besar muncul sebagai respons atas Perang Dingin yang semakin memanas di Asia. Namun, bila ditelusuri secara genealogis, gagasan Ali Sastroamidjojo tentang KAA sebetulnya tidak muncul secara tiba-tiba. Visi internasionalisme Ali Sastroamidjojo tentang pentingnya pembentukan kerjasama politik negara Asia-Afrika telah dibentuk sejak lama oleh perjalanan politiknya semenjak mahasiswa-aktivis di Belanda sampai menjadi duta besar Indonesia di Amerika Serikat. Sastroamidjojo, Anak Gaul Asia-AfrikaSejak berkuliah di Belanda pada 1923, Ali Sastroamidjojo telah mengamati dan bertemu dengan banyak aktivis anti-kolonial Asia dan Afrika yang membangun gerakan politik transnasional di Eropa. Saat menjadi mahasiswa hukum di Leiden, ia memutuskan untuk menjadi anggota Perhimpunan Indonesia (PI), simpul utama pergerakan anti-kolonial Indonesia di Belanda. Pada 1925, PI mempunyai strategi politik baru: agar perjuangan politik lebih kuat dan efektif maka PI akan berkonsentrasi mempropagandakan pandangan politiknya dalam dunia internasional.
Salah satu programnya adalah menjalin kontak dengan organisasi dan aktivis anti-kolonial di Eropa, baik yang berasal dari negara jajahan ataupun negara Eropa, dan mempunyai perhatian pada perjuangan kemerdekaan negara jajahan. Untuk mendorong misi tersebut, PI mulai aktif membangun jejaring politik dengan para aktivis dan intelektual dunia jajahan lain serta mengikuti konferensi internasional yang digelar di ibukota imperial Eropa.
Paris adalah salah satu metropolis anti-imperial yang paling sering dikunjungi oleh para aktivis PI untuk membangun kontak dengan gerakan anti-kolonialisme global Asia dan Afrika. Seperti para aktivis PI lainnya, Sastroamidjojo yang beberapa kali mengunjungi Paris terkesima meresapi geliat aktivitas pergerakan anti-kolonialisme para aktivis Asia-Afrika di sana. Pengalamannya tentang aktivisme Paris dituangkan dalam otobiografinya Tonggak-Tonggak di Perjalananku (1974). “Pertukaran ide antara para pemuda Indonesia dan para pemuda Asia dan Afrika membantu dan memperkaya gagasan perjuangan anggota-anggota PI. Dari kontak-kontak yang terbangun ini, keyakinan politik kita menjadi bertambah kuat,” tulis Sastroamidjojo.
Salah satu konferensi penting yang diikuti oleh PI adalah 'Konferensi Melawan Penindasan Kolonial dan Imperialisme' di Brussels pada 1927. Saat itu delegasi PI diketuai oleh Mohammad Hatta yang, dalam kesempatan tersebut, untuk kali pertama bertemu dengan Nehru muda dan para pemimpin muda pergerakan Asia dan Afrika. Sastroamidjojo memang bukan salah satu delegasi PI yang berangkat, tetapi ide-ide yang disampaikan oleh konferensi itu serta pengalamannya berinteraksi dengan aktivis Asia dan Afrika memengaruhi visi politiknya mengenai pentingnya membangun kerjasama antara pergerakan anti-kolonial Asia dan Afrika. Nilai penting Konferensi Brussels sebagai akar terbentuknya solidaritas Asia-Afrika diingatkan kembali oleh Sukarno dalam pidato pembukaannya di KAA.
Mewujudkan Visi lewat KAASetelah Indonesia merdeka, Ali Sastroamidjojo selalu mendapatkan posisi yang berhubungan dengan dunia internasional. Ia tergabung dalam delegasi Indonesia yang dikirim untuk mengikuti Konferensi Antar-Hubungan Asia di New Delhi pada 1947. Banyak sejarawan menyebut konferensi ini sebagai tonggak penting yang berdampak signifikan memuluskan terselenggaranya KAA. Bagi Sastroamidjojo secara pribadi, sebagaimana ditulis dalam biografinya, konferensi ini menyingkap kesadaran politis bahwa Indonesia tidak berdiri sendiri dalam memperjuangkan aspirasi nasionalnya. Ia merasakan bahwa bangsa-bangsa Asia lain, yang diwakili dalam konferensi itu, sedang berjuang pula seperti Indonesia.
Kesempatan emas untuk memperluas dan merekatkan hubungan diplomatik dengan negara-negara Asia dan Afrika dilakukan oleh Sastroamidjojo ketika menjabat duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat antara 1950-1953. Ia mengakui hubungan baik dengan duta-duta besar Asia dan Afrika dipupuk dengan mengadakan pertemuan rutin sebulan sekali secara bergiliran di kediaman mereka.
Pengalaman sebagai duta besar ini tidak hanya memperdalam kemampuan diplomatiknya tetapi juga semakin meyakinkannya untuk segera membangun kerjasama antara negara Asia dan Afrika. Dalam pidatonya di parlemen, saat dilantik menjadi Perdana Menteri Indonesia pada 1953, Ali Sastroamidjojo menekankan ketegangan yang diakibatkan oleh Perang Dingin tidak bisa diredakan apabila Indonesia hanya menjalankan diplomasinya sendiri tanpa melibatkan negara-negara yang kedudukan dan keadaannya sama. Oleh sebab itu, menurutnya, kerjasama politik dengan negara Asia dan Afrika akan memperkuat usaha tercapainya perdamaian dunia.
Perang Vietnam yang memanas pada 1954 mendorong para perdana menteri Asia untuk bertindak mencari solusi guna meminimalisir kemungkinan meluasnya konflik. John Kotelawala, Perdana Menteri Sri Lanka, kemudian mengusulkan kepada negara-negara Asia yang baru merdeka, seperti India, Indonesia, Pakistan, dan Burma, untuk berkumpul dan membahas bahaya Perang Dingin di Asia. Saat diundang menghadiri konferensi inilah Sastroamidjojo membalas undangan dengan menyatakan agar Indonesia diberi kesempatan untuk mengusulkan sebuah konferensi yang melibatkan negara-negara Asia-Afrika.
Kotelawa memberikan lampu hijau. Dalam Konferensi Kolombo pada akhir April sampai awal Mei 1954, untuk pertama kali Sastroamidjojo mengemukakan ide penyelenggaraan KAA. Gagasan ini tak langsung bersambut. Empat perdana menteri lain skeptis untuk menjalankan konferensi internasional besar seperti itu. Namun, dengan menyatakan momentum menyelenggarakan konferensi ini sangat tepat, ditambah kesanggupan Indonesia untuk menjadi tuan rumah, Nehru dan Perdana Menteri Burma U Nu akhirnya menerima dan mendukung usulan itu.
Sastroamidjojo pun mengundang kembali empat perdana menteri lain ke Istana Bogor. Dalam Konferensi Bogor pada Desember 1954 inilah tujuan dari KAA disepakati oleh kelima negara pemrakarsa penyelenggaraan KAA. Ali Sastroamidjojo kemudian bertanggungjawab melaksanakan persiapan KAA dan, yang paling penting, mengirimkan undangan kepada negara-negara Asia dan Afrika. Keberhasilan penyelenggaraan KAA di Bandung pada 1955 sedikit banyak ialah buah pikiran dan kerja keras dari Ali Sastroamidjojo.
Gagasan yang dikemukakan Ali tentang KAA, lagi-lagi, tidak dibentuk seketika sebagai respons semata terhadap Perang Dingin. Ia lahir dari buah perjalanan politik dan kejelian Ali menangkap benih-benih solidaritas antar bangsa terjajah.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya. Subscribe for updates Unsubscribe from updates
Konferensi Tingkat Tinggi Asia–Afrika (disingkat KTT Asia Afrika atau KAA; kadang juga disebut Konferensi Bandung) adalah sebuah konferensi antara negara-negara Asia dan Afrika, yang kebanyakan baru saja memperoleh kemerdekaan. KAA diselenggarakan oleh Indonesia, Myanmar (dahulu Burma), Sri Lanka (dahulu Ceylon), India dan Pakistan dan dikoordinasi oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Sunario. Pertemuan ini berlangsung antara 18-24 April 1955, di Gedung Merdeka, Bandung, Indonesia dengan tujuan mempromosikan kerjasama ekonomi dan kebudayaan Asia-Afrika dan melawan kolonialisme atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet, atau negara imperialis lainnya.[1] Sebanyak 29 negara yang mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia pada saat itu mengirimkan wakilnya. Konferensi ini merefleksikan apa yang mereka pandang sebagai ketidakinginan kekuatan-kekuatan Barat untuk mengonsultasikan dengan mereka tentang keputusan-keputusan yang memengaruhi Asia pada masa Perang Dingin; kekhawatiran mereka mengenai ketegangan antara Uni Soviet dan Amerika Serikat; keinginan mereka untuk membentangkan fondasi bagi hubungan yang damai antara Tiongkok dengan mereka dan pihak Barat; penentangan mereka terhadap kolonialisme, khususnya pengaruh Prancis di Afrika Utara dan kekuasaan kolonial Prancis di Aljazair; dan keinginan Indonesia untuk mempromosikan hak mereka dalam pertentangan dengan Belanda mengenai Irian Barat.[2] Sepuluh poin hasil pertemuan ini kemudian tertuang dalam apa yang disebut Dasasila Bandung, yang berisi tentang "pernyataan mengenai dukungan bagi kerukunan dan kerjasama dunia". Dasasila Bandung ini memasukkan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB dan prinsip-prinsip Nehru.[3] Konferensi ini akhirnya membawa kepada terbentuknya Gerakan Non-Blok pada 1961. Konferensi Asia–Afrika didahului oleh Persidangan Bogor pada tahun 1949. Persidangan Bogor merupakan pendahuluan bagi Persidangan Kolombo dan Konferensi Asia–Afrika. Persidangan Bogor ke-2 diadakan pada 28–29 Desember 1954.[4] Konferensi Asia–Afrika merefleksikan apa yang oleh para penyelenggara dianggap sebagai keengganan kekuatan Barat untuk berkonsultasi dengan mereka mengenai keputusan yang mempengaruhi Asia dalam pengaturan ketegangan Perang Dingin; keprihatinan mereka atas ketegangan antara Republik Rakyat Tiongkok dan Amerika Serikat; keinginan mereka untuk meletakkan fondasi yang lebih kuat bagi hubungan perdamaian Tiongkok dengan diri mereka sendiri dan Barat; penentangan mereka terhadap kolonialisme, khususnya pengaruh Prancis di Afrika Utara dan pemerintahan kolonialnya di Aljazair; dan keinginan Indonesia untuk mempromosikan kasusnya dalam perselisihan dengan Belanda di Nugini Barat (Irian Barat). Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, menggambarkan dirinya sebagai pemimpin kelompok negara ini, yang kemudian ia gambarkan sebagai "NEFOS" (Newly Emerging Forces, Kekuatan Dunia Baru).[5] Pada 4 Desember 1954, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengumumkan bahwa Indonesia telah berhasil mendapatkan masalah Irian Barat yang ditempatkan dalam agenda sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1955.[6] Rencana untuk konferensi Asia–Afrika diumumkan pada bulan yang sama.[7] Persidangan
Penandatanganan perjanjian kewarganegaraan ganda Tiongkok-Indonesia. Perdebatan besar berpusat pada pertanyaan apakah kebijakan Soviet di Eropa Timur dan Asia Tengah harus dikecam bersama dengan kolonialisme Barat. Sebuah memo dikirimkan oleh 'Bangsa Muslim di bawah Imperialisme Soviet', menuduh pemerintah Soviet melakukan pembantaian dan deportasi massal di wilayah Muslim, tetapi hal tersebut tidak pernah diperdebatkan.[8] Sebuah konsensus dicapai di mana "kolonialisme dalam semua manifestasinya" dikutuk, secara implisit mengkritik Uni Soviet, serta Barat.[9] Tiongkok memainkan peran penting dalam konferensi ini dan memperkuat hubungannya dengan negara-negara Asia lainnya. Setelah selamat dari upaya pembunuhan dalam perjalanan menuju konferensi, perdana menteri Tiongkok, Zhou Enlai, menunjukkan sikap yang moderat dan damai yang cenderung untuk menenangkan kekhawatiran beberapa delegasi anti-komunis mengenai niat Tiongkok. Kemudian dalam konferensi tersebut, Zhou Enlai menandatangani artikel tersebut dalam deklarasi penutup yang menyatakan bahwa Tionghoa perantauan memiliki loyalitas utama kepada negara asal mereka, bukan ke Tiongkok – masalah yang sangat sensitif untuk tuan rumah Indonesia dan untuk beberapa negara peserta lainnya. Zhou juga menandatangani perjanjian kewarganegaraan ganda dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Sunario. Lini masa
Beberapa negara diberi "status pengamat". Seperti Brasil, yang mengirim Duta Besarnya Bezerra de Menezes. Sepuluh poin deklarasi mengenai dukungan bagi kedamaian dan kerjasama dunia, dinamakan Dasasila Bandung, yang menggabungkan prinsip-prinsip Piagam PBB diadopsi dengan suara bulat:
Komunike akhir dari Konferensi ini menggarisbawahi perlunya negara-negara berkembang untuk melonggarkan ketergantungan ekonomi mereka pada negara-negara industri terkemuka dengan memberikan bantuan teknis satu sama lain melalui pertukaran ahli dan bantuan teknis untuk proyek-proyek pembangunan, serta pertukaran pengetahuan teknologi, bagaimana dan pembentukan lembaga pelatihan dan penelitian regional. Konferensi ini diikuti oleh Konferensi Solidaritas Rakyat Afro-Asia di Kairo[12] pada September (1957) dan Konferensi Beograd (1961), yang mengarah pada pembentukan Gerakan Non-Blok.[13] Pada tahun-tahun kemudian, konflik antara negara-negara yang tidak tergoyahkan mengikis solidaritas yang diekspresikan dalam konferensi ini. Pertemuan kedua (2005)Prangko peringatan 50 tahun Konferensi Asia–Afrika Untuk memperingati lima puluh tahun sejak pertemuan bersejarah tersebut, para Kepala Negara negara-negara Asia dan Afrika telah diundang untuk mengikuti sebuah pertemuan baru di Bandung dan Jakarta antara 19-24 April 2005. Sebagian dari pertemuan itu dilaksanakan di Gedung Merdeka, lokasi pertemuan lama pada 50 tahun lalu. Sekjen PBB, Kofi Annan, Perdana Menteri Jepang, Junichiro Koizumi, Presiden Tiongkok, Hu Jintao, Presiden Pakistan, Pervez Musharraf, Presiden Afganistan, Hamid Karzai, Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Ahmad Badawi, Sultan Brunei, Hassanal Bolkiah dan Presiden Afrika Selatan, Thabo Mbeki ikut hadir di Bandung dalam pertemuan ini. KTT Asia–Afrika 2005 menghasilkan NAASP (New Asian-African Strategic Partnership, Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika), yang diharapkan akan membawa Asia dan Afrika menuju masa depan yang lebih baik berdasarkan ketergantungan-sendiri yang kolektif dan untuk memastikan adanya lingkungan internasional untuk kepentingan para rakyat Asia dan Afrika.[14] Pertemuan ketiga (2015)Peserta Konferensi Tingkat Tinggi Asia–Afrika 2015 Konferensi Asia-Afrika ke-60 dilaksanakan di 2 kota yaitu Jakarta pada 19-23 April 2015 dan Bandung pada 24 April 2015 dengan agenda meliputi "Asia-Africa Business Summit" dan "Asia-Africa Carnival". Tema yang dibawa adalah peningkatan kerja sama negara-negara di kawasan Selatan, kesejahteraan, serta perdamaian.[15][16] KTT Asia-Afrika 2015 diikuti sebanyak 89 kepala negara/pemerintahan dari 109 negara di kawasan Asia dan Afrika, 17 negara pengamat dan 20 organisasi internasional, dan 1.426 perwakilan media domestik dan asing. Para peserta di antaranya adalah Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, Presiden Tiongkok, Xi Jinping, Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, Raja Yordania, Abdullah II dari Yordania, Perdana Menteri Malaysia, Najib Tun Razak, Presiden Myanmar, Thein Sein, Raja Swaziland, Mswati III dan Perdana Menteri Nepal. Konferensi Asia Afrika 2015 telah menghasilkan 3 dokumen yaitu Pesan Bandung (Bandung Message), Deklarasi Penguatan Kemitraan Strategis Baru Asia Afrika (NAASP) dan Deklarasi kemerdekaan Palestina.[17]
|