Nehemia adalah contoh seorang pemimpin yang idealis yang rela berkorban demi bangsanya sendiri

SEORANG pemimpin tidak boleh meladeni diri sendiri. Pemimpin harus berani berkorban demi terwujudnya kebaikan bersama, dan memberikan solusi tepat. Hal ini disampaikan eks Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo, saat menjadi pembicara di acara The second Neuroleadership Forum (NLF) bertajuk “Menggerakan Inovasi Sumber Pertumbuhan Ekonomi Baru Berbasis Human Capital Intelligence and Wisdom” di Bank Indonesia Institute, Jakarta.  

“Pemimpin tidak boleh hanya mau meladeni dirinya sendiri, memikirkan kepentingannya sendiri atau kelompoknya tetapi harus berani berkorban untuk kepentingan bersama atau umum. Dia tidak boleh egois, tetapi harus bisa berbagai, merangkul dan mampu bekerja sama untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan,” ujar Syahrul, Rabu, 24 Juli 2019.

Syahrul mengaku memegang teguh empat nilai kebenaran selama menjadi pemimpin, khusus saat menjadi kepala daerah di Sulawesi Selatan selama 20 tahun. Pertama, nilai agama atau teologis. Setiap agama, kata dia, mengajarkan kebaikan dan nilai-nilai kepemimpinan.   “Kedua, nilai kebenaran sosiologis, yakni pemimpin menghadirkan manfaat bagi orang lain. Pemilih harus menjadi rahmat dan berkat bagi orang lain, bukan menjadi menjadi bencana bagi orang lain atau masyarakat,” ungkap dia.   Ketiga, pemimpin harus memegang kebenaran yuridis atau aturan yang berlaku. Menurut dia, pemimpin harus tahu dan taat terhadap aturan, tidak bertindak atas kemauan sendiri karena aturan dibuat untuk menjamin kepastian, ketertiban dan keadilan.   “Keempat adalah nilai kebenaran kultural. Pemimpin tidak bisa lepas dari budaya soal sopan santun, kerja sama, dan gotong royong. Sehebat apapun pemimpinnya, dia tidak bisa bekerja sendiri, dia butuhkan banyak orang dan dia butuhkan network yang kuat,” tutur dia.   Syahrul mengatakan seorang pemimpin juga harus sensitif terhadap kemajuan-kemajuan, dan perkembangan zaman, serta teknologi yang tidak terbendung. Pemimpin, kata dia, harus mempunyai orientasi jelas di masa depan.  

“Pemimpin harus visioner, kreatif di era seperti sekarang ini. Pemimpin harus mampu menunjuk arah kemana orang yang dipimpin mau dibawa, tentunya dibawa kepada kemajuan, kebaikan dan kesejahteraan,” ujar politikus NasDem itu.

Baca juga: Kota Cerdas Terwujud Berkat Pemimpin Cerdas Syahrul berharap pemimpin di Indonesia mempunyai spirit sama, yakni mengutamakan kepentingan rakyat, dan terus bekerja sama membangun bangsa yang kuat, mandiri dan berdikari. Menurut dia, bukan saatnya antara sesama anak bangsa saling menjatuhkan karena itu akan membuat Indonesia mudah dikuasai negara lain.   “Bangsa lain sudah jauh berkembang dan kita harus berjuang untuk bisa seperti itu. Tinggal egoisme dan sikap sektarian, mari maju bersama membangun dan mengelolah sumber daya alam Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya manusia yang tak kalah berkualitasnya,” imbuh anggota tim penasihat senior pada Kantor Staf Presiden itu.   Apalagi, kata Syahrul, saat ini Indonesia dipimpin Presiden Joko Widodo yang memiliki visi dan mimpi besar, Indonesia Maju. Syahrul mendukung upaya Jokowi menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju lain. Karena itu, kata dia, Jokowi perlu diperkuat dan tidak boleh dibiarkan bekerja dan berjuang sendirian.  

“Jokowi tidak ada lagi cerita, dia adalah pemimpin kita. Tugas kita adalah mengisi Jokowi agar lebih kuat, lebih baik, Jokowi harus diperkuat sehingga mengambil langkat yang tepat dan bijak. Kita tidak boleh membiarkan Jokowi sendiri,” pungkas Syahrul.(Medcom.id/OL-02)

Nehemia (bahasa Ibrani: נְחֶמְיָה, Modern Nəḥemya Tiberias Nəḥemyāh ; "Dihiburkan oleh Yahweh") adalah seorang tokoh penting dalam sejarah pasca-pembuangan orang-orang Yahudi sebagaimana yang dicatat dalam Alkitab Ibrani dan Perjanjian Lama di Alkitab Kristen. Ia diyakini sebagai penulis utama Kitab Nehemia. Ia adalah anak Hakhalya, (Nehemia 1:1) dan kemungkinan dari Suku Yehuda. Leluhurnya tinggal di Yerusalem, tetapi Nehemia tinggal dan berdinas di Persia. (Nehemia 2:3). Ia pernah bekerja dengan memangku jabatan yang tinggi, yaitu sebagai seorang juru minuman raja Artahsasta dari Kekaisaran Persia.[1] Namun, ketika ia mendengar bahwa orang-orang yang tinggal di Yerusalem berada dalam keadaan tercela dan dalam kesulitan besar, ia meninggalkan pekerjaannya dan pergi ke Yerusalem. Di sana ia diangkat sebagai bupati dan berhasil membangun tembok kota Yerusalem.[2]

Nehemia adalah contoh seorang pemimpin yang idealis yang rela berkorban demi bangsanya sendiri

deni napitupulu di tembok kota Yerusalem pada zaman Nehemia.

Dalam sebuah sastra rabinik hagadah Nehemia disamakan dengan Zerubabel, yang dianggap sebagai nama samaran Nehemia dan dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa ia lahir di Babel ("Zera'+ Babel"; Sanh. 38a). Bersama Ezra, ia menandai kebangkitan kembali sejarah nasional Yudaisme.[3] Sebuah mishna dinyatakan oleh para Rabi berasal dari aliran Nehemia [4] Betapapun juga, Nehemia dipersalahkan oleh para rabi karena ungkapannya yang dianggap menyombongkan diri, "Ingatlah akan daku, ya Allahku, untuk selama-lamanya" (Nehemia 5:19, Nehemia 13:31), dan penghinaannya terhadap para leluhurnya (Nehemia 5:15), antara lain Daniel. Para rabi menganggap bahwa kedua kesalahannya ini merupakan alasan mengapa buku ini tidak disebutkan dengan namanya sendiri melainkan diletakkan sebagai bagian dari Kitab Ezra (Sanh. 93b). Menurut B. B. 15a Nehemia menyelesaikan Kitab Tawarikh, yang ditulis oleh Ezra.

  • Sanbalat orang Horon
  • Tobia orang Amon

  1. ^ Nehemia 1:11-2:1
  2. ^ W.S. Lasor, dkk. 2005. Pengantar Perjanjian Lama 1. Jakarta. BPK Gunung Mulia.
  3. ^ Cant. R. ii. 12
  4. ^ Shab. 123b

Entri ini memadukan teks dari Easton's Bible Dictionary, sebuah ranah publik, aslinya diterbitkan pada 1897.

  • Jewish Encyclopedia: Nehemiah
  • The Wall that Nehemiah Built Diarsipkan 2009-03-28 di Wayback Machine. Biblical Archaeology Review

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Nehemia&oldid=19419595"

Bagian ini memberikan penjelasan bahwa sebenarnya Nehemia telah diangkat menjadi gubernur (ay. 14: bupati) dari daerah Yehuda. Dia telah menerima jabatan itu ketika dia datang di Yerusalem untuk membangun kembali tembok kota Yerusalem. Di ayat 1-5 dia menerima kabar bahwa banyak rakyat miskin di Israel yang terpaksa menjual anak-anak mereka sebagai budak. Mereka memiliki utang yang banyak karena kemiskinan. Keadaan menjadi semakin parah karena untuk membayar makanan pada waktu lapar, mereka menggadaikan kebun mereka. Kebun anggur dan kebun-kebun lain yang mereka miliki, walaupun telah digadaikan, tetap tidak cukup untuk membiayai kehidupan mereka. Maka anak-anak mereka harus dijual sebagai budak demi mencukupi kebutuhan hidup mereka. Ketika anak-anak Israel menjadi budak dari orang-orang Israel, ada peraturan Taurat yang menjaga hak para budak itu, yaitu bahwa setelah enam tahun mereka menjadi budak, tahun ketujuh mereka harus dibebaskan dari perbudakannya (Kel. 21:2). Tuhan murka kepada kaum Yehuda pada zaman Nabi Yeremia juga karena hal yang sama, yaitu pada tahun yang ketujuh orang-orang Yehuda masih memperbudak sesama saudaranya (Yer. 34:14). Maka, kejadian yang membuat Nehemia marah ini bukanlah karena ada seorang Israel yang dijadikan budak, tetapi lebih kepada setelah tahun ketujuh mereka tetap memperbudak sesama saudaranya sendiri. Setiap orang yang memiliki utang memang harus dituntut untuk membayar utang itu, tetapi mereka tidak boleh diperas sehingga seumur hidup seseorang tidak lagi sanggup membebaskan diri dari keadaan sosialnya yang rendah dan terjerat utang. Maka Nehemia memerintahkan kepada rakyat Israel untuk mengembalikan tanah dan ladang, beserta kebun anggur dan kebun lainnya yang diambil dari orang Israel yang miskin. Nehemia memahami inti dari permasalahan. Dia tidak memerintahkan agar para budak yang adalah orang Israel dibebaskan, tetapi dia memerintahkan agar kebun anggur dan ladang orang-orang miskin yang telah disita ini dikembalikan. Utang orang-orang miskin itu dihapuskan.

Semua rakyat mendengarkan Nehemia. Mereka membebaskan orang-orang miskin di Israel dari utang mereka. Mengapa mereka langsung taat kepada perintah Nehemia? Karena dalam ayat 10 dikatakan bahwa baik Nehemia maupun kaum keluarga Nehemia adalah yang terlebih dahulu melakukan penghapusan utang itu. Tidak ada seorang pemimpin yang akan didengar kecuali dia juga menjadi teladan. Nehemia menghapuskan utang orang-orang yang meminjam kepada dia dan karena itu seluruh rakyat juga bersedia menghapuskan utang orang-orang yang meminjam kepada mereka. Ayat 14-19 lebih lanjut memberikan penjelasan mengenai perbedaan Nehemia dengan gubernur (bupati) yang diangkat sebelum dia. Nehemia berani bekerja tanpa mengambil jatah ladang yang seharusnya menjadi hak gubernur. Dia juga tidak mengambil bagian gubernur yang harus disediakan rakyat karena dia tahu bahwa rakyatnya tidak akan sanggup menyediakan itu baginya. Bahkan Nehemia memakai uangnya sendiri untuk menyediakan hidangan untuk tamu-tamu yang datang menemui dia. Tamu-tamu yang adalah pemimpin-pemimpin dari sekitar Yerusalem dan Yehuda. Kerelaan untuk berkorban seperti ini membuat Nehemia sangat berbeda dengan gubernur Persia yang lain, baik di daerah Yehuda maupun di daerah-daerah lain. Itulah sebabnya rakyat Israel sangat menghormati dia. Dia bukanlah orang yang memeras rakyat, tetapi dia adalah orang yang bekerja dan mendedikasikan dirinya bagi rakyat. Dialah pemimpin yang menunjukkan semangat berkorban, sesuatu yang Tuhan tuntut ada pada setiap raja-raja dan pembesar di dunia ini. Tuhan sendiri pun menjadi korban ketika Dia datang untuk mengklaim takhta Daud. Kristus tidak datang lalu langsung menjadi raja meneruskan takhta Daud yang menjadi hak-Nya, tetapi Dia datang ke bukit Golgota terlebih dahulu untuk menebus umat-Nya, mempersembahkan nyawa-Nya sendiri bagi umat-Nya.

Untuk direnungkan:
Wibawa seorang pemimpin, entah itu presiden, raja, pemimpin daerah, direktur perusahaan, atau kepala keluarga, atau pemimpin apa pun, tidak mungkin dapat dimilikinya tanpa dua hal, yaitu keteladanan hidup dan kerelaan untuk berkorban. Nehemia tidak hanya memerintahkan orang lain untuk berkorban bagi orang miskin, tetapi dia lebih dahulu melakukan pengorbanan itu untuk menjadi contoh. Kerusakan dunia ini di dalam dunia politik adalah karena hampir tidak ada pemimpin dengan jiwa seperti ini. Jika pemimpin hanya memikirkan harta, pengaruh, kenikmatan segala fasilitas yang disediakan baginya, hingga kekekalan dinastinya atau orang-orang dekatnya dapat berkuasa, dia akan jadi pemimpin yang terkutuk dan akan dihakimi oleh Tuhan. Begitu banyak pemimpin yang mendatangkan kutuk atas dirinya sendiri dengan memeras rakyat dan mengambil keuntungan dengan segala kuasa yang dia miliki. Tetapi begitu sedikit pemimpin-pemimpin yang diberkati dan akan menjadi saluran berkat yang mempermuliakan nama Tuhan. Puji Tuhan jika Dia bersedia membangkitkan pemimpin-pemimpin seperti Nehemia.

Hal berikutnya yang menjadi bahan renungan kita adalah nasib orang miskin. Nehemia tidak mengambil jalan pintas lalu mengatasi permasalahan yang ada di permukaan saja. Dia menyadari bahwa masalah kemiskinan salah satunya bisa disebabkan oleh sistem yang tidak memungkinkan orang-orang miskin itu keluar dari jerat kemiskinan. Salah satu jerat yang terdapat pada zaman Nehemia adalah pajak yang terlalu tinggi. Karena pajak yang demikian tinggi orang-orang miskin tidak sanggup membiayai hidupnya dan orang-orang kaya akan melipatgandakan bunga uang untuk menutup pajak yang harus dia bayar. Bagaimanakah Nehemia mengatasi hal ini? Dia mengatasinya dengan tidak mengambil jatahnya sebagai gubernur Yehuda. Dengan demikian pajak dapat diturunkan dan tidak terlalu membebani rakyat. Hal berikutnya adalah bunga uang yang dibebankan kepada orang miskin membuat mereka terpaksa menjual anak-anak mereka sebagai budak. Ini pun ditangani Nehemia dengan menghapuskan semua utang beserta bunga. Siapakah yang memulai menghapuskan utang? Nehemia yang lebih dahulu. Dia menjadi teladan bahwa memperbaiki situasi sosial yang rumit perlu pengorbanan dari semua pihak. Jika kita hanya mau untung dan tidak peduli dengan orang lain, situasi stalmate yang akan terjadi. Tidak akan ada perubahan apa-apa. Jika mau ekonomi berubah, semua pihak harus rela berkorban dahulu. Pihak pengusaha harus rela berkorban, pemerintah rela berkorban, dan buruh rela berkorban. Jika semua pihak ingin pihak lain berkorban dan pihaknya dapat untung, ekonomi yang buruk akan selalu menjadi hasil akhirnya. Dan di mana ada keadaan ekonomi yang buruk, di sana selalu kemiskinan bertambah. Karena itulah Nehemia yang terlebih dahulu menghapuskan utang orang-orang yang meminjam kepada dia. Langkah ini diikuti oleh pembesar-pembesar dan pemimpin-pemimpin lainnya sehingga ada satu gerakan yang indah terjadi di tengah-tengah orang Israel di Yehuda.

Bagaimana dengan kita? Mau memperbaiki keadaan? Keadaan rumah tangga kita? Keadaan tempat studi kita? Keadaan kota kita? Keadaan gereja kita? Keadaan bangsa kita? Jika ya, di manakah pengorbanan kita? Jika kita tidak mau bayar harga dan menjadi teladan yang siap berkorban, mustahil akan terjadi perubahan. Kita ingin perubahan kepada hal yang lebih baik, dan karena itu kita harus memiliki tindakan rela berkorban yang nyata. Itulah yang akan berdampak. Itulah yang akan membawa kesegaran yang membuat orang lain rela berkorban juga.

Doa:
Tuhan, tolong kami untuk peka terhadap kondisi lingkungan kami. Tolong kami supaya kami dapat sungguh-sungguh terganggu melihat keadaan kami yang makin rusak. Tuhan tolonglah lingkungan kami, bangsa kami, gereja kami. Berikan kami hati yang terus terbeban oleh firman Tuhan dan dorongan untuk rela berkorban sehingga kami dapat dipakai oleh Tuhan untuk memberikan perubahan bagi orang-orang sekeliling kami. (JP)