Undang-undang (UU) No. 1 Tahun 2009 Show
Penerbangan
KontakSekretariat Website JDIH BPK RI Ditama Binbangkum - BPK RI Jalan Gatot Subroto 31 Jakarta Pusat 10210Telp (021) 25549000 ext. 1521
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan terbit karena Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis, dan kebutuhan penyelenggaraan penerbangan sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru. Disahkannya Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan maka Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Perlu diketahui bahwa Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan disahkan Presiden Doktor Haji Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 12 Januari 2009 di Jakarta. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan diundangkan oleh Menkumham Andi Mattalatta pada tanggal 12 Januari 2009 di Jakarta. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan ditempatkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1. Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan ditempatkan pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956. Agar setiap orang mengetahuinya. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang PenerbanganUndang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan mencabut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan dan dinyatakan tidak berlaku. Pertimbangan pengesahan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan adalah:
Dasar hukum Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 25A, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dianugerahi sebagai negara kepulauan yang terdiri dari beribu pulau, terletak memanjang di garis khatulistiwa, di antara dua benua dan dua samudera, serta ruang udara yang luas. Oleh karena itu, Indonesia mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dan strategis dalam hubungan internasional. Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, mewujudkan Wawasan Nusantara serta memantapkan ketahanan nasional, diperlukan sistem transportasi nasional yang memiliki posisi penting dan strategis dalam pembangunan nasional yang berwawasan lingkungan. Transportasi juga merupakan sarana dalam memperlancar roda perekonomian, membuka akses ke daerah pedalaman atau terpencil, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, menegakkan kedaulatan negara, serta mempengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat. Pentingnya transportasi tercermin pada semakin meningkatnya kebutuhan jasa angkutan bagi mobilitas orang serta barang di dalam negeri, dari dan ke luar negeri, serta berperan sebagai pendorong, dan penggerak bagi pertumbuhan daerah dan pengembangan wilayah. Menyadari peran transportasi tersebut, penyelenggaraan penerbangan harus ditata dalam satu kesatuan sistem transportasi nasional secara terpadu dan mampu mewujudkan penyediaan jasa transportasi yang seimbang dengan tingkat kebutuhan, selamat, aman, efektif, dan efisien. Penerbangan yang mempunyai karakteristik dan keunggulan tersendiri, perlu dikembangkan agar mampu meningkatkan pelayanan yang lebih luas, baik domestik maupun internasional. Pengembangan penerbangan ditata dalam satu kesatuan sistem dengan mengintegrasikan dan mendinamisasikan prasarana dan sarana penerbangan, metoda, prosedur, dan peraturan sehingga berdaya guna serta berhasil guna. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan perlu disempurnakan guna menyelaraskan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan paradigma dan lingkungan strategis, termasuk otonomi daerah, kompetisi di tingkat regional dan global, peran serta masyarakat, persaingan usaha, konvensi internasional tentang penerbangan, perlindungan profesi, serta perlindungan konsumen. Dalam penyelenggaraan penerbangan, Undang-Undang ini bertujuan mewujudkan penerbangan yang tertib, teratur, selamat, aman, nyaman, dengan harga yang wajar, dan menghindari praktek persaingan usaha yang tidak sehat, memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui udara dengan mengutamakan dan melindungi angkutan udara dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional, membina jiwa kedirgantaraan, menjunjung kedaulatan negara, menciptakan daya saing dengan mengembangkan teknologi dan industri angkutan udara nasional, menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional, memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara, meningkatkan ketahanan nasional, dan mempererat hubungan antarbangsa, serta berasaskan manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, keserasian dan keselarasan, kepentingan umum, keterpaduan, tegaknya hukum, kemandirian, anti monopoli dan keterbukaan, berwawasan lingkungan hidup, kedaulatan negara, kebangsaan, serta kenusantaraan. Atas dasar hal tersebut disusunlah undang-undang tentang penerbangan yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang nomor 15 tahun 1992, sehingga penyelenggaraan penerbangan sebagai sebuah sistem dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat, bangsa dan negara, serta memupuk dan mengembangkan jiwa kedirgantaraan dengan mengutamakan faktor keselamatan, keamanan, dan kenyamanan. Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai hak, kewajiban, serta tanggung jawab hukum para penyedia jasa dan para pengguna jasa, dan tanggung jawab hukum penyedia jasa terhadap kerugian pihak ketiga sebagai akibat dari penyelenggaraan penerbangan serta kepentingan internasional atas objek pesawat udara yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia. Di samping itu, dalam rangka pembangunan hukum nasional serta untuk lebih memantapkan perwujudan kepastian hukum, Undang-Undang ini juga memberikan perlindungan konsumen tanpa mengorbankan kelangsungan hidup penyedia jasa transportasi serta memberi kesempatan yang lebih luas kepada daerah untuk mengembangkan usaha-usaha tertentu di bandar udara yang tidak terkait langsung dengan keselamatan penerbangan. Dalam Undang-Undang ini telah dilakukan perubahan paradigma yang nyata dalam rangka pemisahan yang tegas antara fungsi regulator, operator, dan penyedia jasa penerbangan. Di samping itu, juga dilakukan penggabungan beberapa penyelenggara yang ada menjadi satu penyelenggara pelayanan navigasi serta untuk sertifikasi dan registrasi pesawat udara juga dibentuk unit pelayanan otonom, dengan mengutamakan keselamatan dan keamanan penerbangan, yang tidak berorientasi pada keuntungan, secara finansial dapat mandiri, serta biaya yang ditarik dari pengguna dikembalikan untuk biaya investasi dan peningkatan operasional (cost recovery). Penerbangan sebagai satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya yang pokok-pokoknya dapat diuraikan sebagai berikut.
Dengan diundangkannya Undang-Undang ini, berbagai ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan nasional dan internasional sepanjang tidak bertentangan tetap berlaku dan merupakan peraturan yang saling melengkapi. Dalam Undang-Undang ini diatur hal-hal yang bersifat pokok, sedangkan yang bersifat teknis dan operasional diatur dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan peraturan pelaksanaan lainnya. Isi Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan adalah sebagai berikut (bukan dalam format asli) : UNDANG-UNDANG TENTANG PENERBANGANBAB IKETENTUAN UMUMDalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Penerbangan diselenggarakan berdasarkan asas:
Pasal 3Penerbangan diselenggarakan dengan tujuan:
BAB IIIRUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANGPasal 4Undang-Undang ini berlaku untuk:
BAB IVKEDAULATAN ATAS WILAYAH UDARAPasal 5Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia. Pasal 6Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara. Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9Ketentuan lebih lanjut mengenai pelanggaran wilayah kedaulatan, penetapan kawasan udara terlarang, kawasan udara terbatas, pelaksanaan tindakan terhadap pesawat udara dan personel pesawat udara, serta tata cara dan prosedur pelaksanaan tindakan pemaksaan oleh pesawat udara negara diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VPEMBINAANPasal 10
Pasal 11
Pasal 12
BAB VIRANCANG BANGUN DAN PRODUKSI PESAWAT UDARABagian KesatuRancang Bangun Pesawat UdaraPasal 13
Pasal 14Setiap orang yang melakukan kegiatan rancang bangun pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling pesawat terbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 harus mendapat surat persetujuan. Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur mendapatkan surat persetujuan rancang bangun, kegiatan rancang bangun, dan perubahan rancang bangun pesawat udara, sertifikat tipe, serta sertifikat validasi tipe diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KeduaProduksi Pesawat UdaraPasal 19
Pasal 20Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur memperoleh sertifikat produksi pesawat udara diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 21Proses sertifikasi pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling pesawat terbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 19 dilaksanakan oleh lembaga penyelenggara pelayanan umum. Pasal 22Proses sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dikenakan biaya. Pasal 23Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyelenggara pelayanan umum, serta proses dan biaya sertifikasi diatur dalam Peraturan Menteri. BAB VIIPENDAFTARAN DAN KEBANGSAAN PESAWAT UDARAPasal 24Setiap pesawat udara yang dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran. Pasal 25Pesawat udara sipil yang dapat didaftarkan di Indonesia harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
Pasal 26
Pasal 27
Pasal 28
Pasal 29Pesawat udara yang telah memiliki tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dapat dihapus tanda pendaftarannya apabila:
Pasal 30Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pendaftaran dan penghapusan tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan Indonesia serta pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 31Proses sertifikasi pendaftaran pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dan penghapusan tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dilaksanakan oleh lembaga penyelenggara pelayanan umum. Pasal 32Proses sertifikasi pendaftaran pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dikenakan biaya. Pasal 33Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyelenggara pelayanan umum, serta proses dan biaya sertifikasi diatur dalam Peraturan Menteri.
Sertifikat Kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) terdiri atas:
Pasal 36Sertifikat kelaikudaraan standar diberikan untuk pesawat terbang kategori transpor, normal, kegunaan (utility), aerobatik, komuter, helikopter kategori normal dan transpor, serta kapal udara dan balon berpenumpang. Pasal 37
Pasal 38Sertifikat kelaikudaraan khusus diberikan untuk pesawat udara yang penggunaannya khusus secara terbatas (restricted), percobaan (experimental), dan kegiatan penerbangan yang bersifat khusus. Pasal 39Setiap orang yang melanggar ketentuan standar kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
Pasal 40Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat kelaikudaraan dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KeduaOperasi Pesawat UdaraPasal 41
Pasal 42Untuk mendapatkan sertifikat operator pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a operator harus:
Pasal 43Untuk memperoleh sertifikat pengoperasian pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf b, operator harus memenuhi persyaratan:
Pasal 44Setiap orang yang melanggar ketentuan sertifikat operasi pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
Pasal 45Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur memperoleh sertifikat operator pesawat udara atau sertifikat pengoperasian pesawat udara dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KetigaPerawatan Pesawat UdaraPasal 46
Pasal 47
Pasal 48Untuk mendapatkan sertifikat organisasi perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan:
Pasal 49Sertifikat organisasi perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf b dapat diberikan kepada organisasi perawatan pesawat udara di luar negeri yang memenuhi persyaratan setelah memiliki sertifikat organisasi perawatan pesawat udara yang diterbitkan oleh otoritas penerbangan negara yang bersangkutan. Pasal 50Setiap orang yang melanggar ketentuan perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
Pasal 51Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, prosedur, dan pemberian sertifikat organisasi perawatan pesawat udara dan lisensi ahli perawatan pesawat udara dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KeempatKeselamatan dan Keamanan dalam Pesawat UdaraSelama PenerbanganPasal 52
Pasal 53
Pasal 54Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan dilarang melakukan:
Pasal 55Selama terbang, kapten penerbang pesawat udara yang bersangkutan mempunyai wewenang mengambil tindakan untuk menjamin keselamatan, ketertiban, dan keamanan penerbangan. Pasal 56
Pasal 57Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan keamanan dalam pesawat udara, kewenangan kapten penerbang selama penerbangan, dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KelimaPersonel Pesawat UdaraPasal 58
Pasal 59
Pasal 60Lisensi personel pesawat udara yang diberikan oleh negara lain dapat diakui melalui proses pengesahan oleh Menteri. Pasal 61Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, atau sertifikat kompetensi dan lembaga pendidikan dan/atau pelatihan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KeenamAsuransi dalam Pengoperasian Pesawat UdaraPasal 62
Bagian KetujuhPengoperasian Pesawat UdaraPasal 63
Pasal 64Proses sertifikasi kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), sertifikasi operator pesawat udara dan sertifikasi pengoperasian pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2), sertifikasi organisasi perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, sertifikasi organisasi perawatan pesawat udara di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, dan lisensi personel pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dilaksanakan oleh lembaga penyelenggara pelayanan umum. Pasal 65Proses sertifikasi dan lisensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dikenakan biaya. Pasal 66Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyelenggara pelayanan umum, serta proses dan biaya sertifikasi diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian KedelapanPesawat Udara NegaraPasal 67
Pasal 68Dalam keadaan tertentu pesawat udara negara dapat dipergunakan untuk keperluan angkutan udara sipil dan sebaliknya. Pasal 69Penggunaan pesawat udara negara asing untuk kegiatan angkutan udara dari dan ke atau melalui wilayah Republik Indonesia hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin Pemerintah. Pasal 70Ketentuan lebih lanjut mengenai pesawat udara negara diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB IXKEPENTINGAN INTERNASIONAL ATAS OBJEK PESAWAT UDARAPasal 71Objek pesawat udara dapat dibebani dengan kepentingan internasional yang timbul akibat perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat, dan/atau perjanjian sewa guna usaha. Pasal 72Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dapat dibuat berdasarkan hukum yang dipilih oleh para pihak pada perjanjian tersebut. Pasal 73Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 tunduk pada hukum Indonesia, perjanjian tersebut harus dibuat dalam akta otentik yang paling sedikit memuat:
Pasal 74
Pasal 75
Pasal 76Kementerian yang membidangi urusan penerbangan dan instansi pemerintah lainnya harus membantu dan memperlancar pelaksanaan upaya pemulihan yang dilakukan oleh kreditur berdasarkan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71. Pasal 77Hak-hak kreditur dan upaya pemulihan timbul pada saat ditandatanganinya perjanjian oleh para pihak. Pasal 78Kepentingan internasional, termasuk setiap pengalihan dan/atau subordinasi dari kepentingan tersebut, memperoleh prioritas pada saat kepentingan tersebut didaftarkan pada kantor pendaftaran internasional. Pasal 79
Pasal 80Pengadilan, kurator, pengurus kepailitan, dan/atau debitur harus menyerahkan penguasaan objek pesawat udara kepada kreditur yang berhak dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pasal 81Tagihan-tagihan tertentu memiliki prioritas terhadap tagihan dari pemegang kepentingan internasional yang terdaftar atas objek pesawat udara. Pasal 82Ketentuan dalam konvensi internasional mengenai kepentingan internasional dalam peralatan bergerak dan protokol mengenai masalah-masalah khusus pada peralatan pesawat udara, di mana Indonesia merupakan pihak mempunyai kekuatan hukum di Indonesia dan merupakan ketentuan hukum khusus (lex specialis).
Angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga. Pasal 85
Pasal 86
Pasal 87
Pasal 88
Pasal 89
Pasal 90
Pasal 91
Pasal 92Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal dapat berupa:
Pasal 93
Pasal 94
Pasal 95
Pasal 96Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara niaga, kerja sama angkutan udara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 2Pelayanan Angkutan Udara Niaga BerjadwalPasal 97
Pasal 98
Pasal 99
Pasal 100Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 3Angkutan Udara Bukan NiagaPasal 101
Pasal 102
Pasal 103Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan udara bukan niaga, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 4Angkutan Udara PerintisPasal 104
Pasal 105Dalam keadaan tertentu angkutan udara perintis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dapat dilakukan oleh pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga. Pasal 106
Pasal 107Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara perintis diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KeduaPerizinan Angkutan UdaraParagraf 1Perizinan Angkutan Udara NiagaPasal 108
Pasal 109
Pasal 110
Pasal 111
Pasal 112
Pasal 113
Pasal 114Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur memperoleh izin usaha angkutan udara niaga dan pengangkatan direksi perusahaan angkutan udara niaga diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 2Perizinan Angkutan Udara Bukan NiagaPasal 115
Pasal 116
Pasal 117Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur memperoleh izin kegiatan angkutan udara bukan niaga diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 3Kewajiban Pemegang Izin Angkutan UdaraPasal 118
Pasal 119
Pasal 120Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pemegang izin angkutan udara, persyaratan, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 121
Bagian KetigaJaringan dan Rute PenerbanganPasal 122
Pasal 123
Pasal 124
Pasal 125Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan serta pemanfaatan jaringan dan rute penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KeempatTarifPasal 126
Pasal 127
Pasal 128
Pasal 129Tarif penumpang angkutan udara niaga dan angkutan kargo berjadwal luar negeri ditetapkan dengan berpedoman pada hasil perjanjian angkutan udara bilateral atau multilateral. Pasal 130Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dan angkutan udara perintis serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KelimaKegiatan Usaha Penunjang Angkutan UdaraPasal 131
Pasal 132Untuk mendapatkan izin usaha penunjang angkutan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) wajib memenuhi persyaratan memiliki:
Pasal 133Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur pemberian izin kegiatan usaha penunjang angkutan udara diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KeenamPengangkutan untuk Penyandang Cacat, Lanjut Usia,Anak–Anak, dan/atau Orang Sakit
Pasal 135Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KetujuhPengangkutan Barang Khusus dan BerbahayaPasal 136
Pasal 137Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 138
Pasal 139Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara prosedur pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya serta pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KedelapanTanggung Jawab PengangkutParagraf 1Wajib AngkutPasal 140
Paragraf 2Tanggung Jawab Pengangkut terhadapPenumpang dan/atau Pengirim KargoPasal 141
Pasal 142
Pasal 143Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya. Pasal 144Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut. Pasal 145Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut. Pasal 146Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional. Pasal 147
Pasal 148Tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 sampai dengan Pasal 147 tidak berlaku untuk:
Pasal 149Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu keterlambatan angkutan udara diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Paragraf 3Dokumen Angkutan Penumpang, Bagasi, dan KargoPasal 150Dokumen angkutan udara terdiri atas:
Pasal 151
Pasal 152
Pasal 153
Pasal 154Tiket penumpang dan tanda pengenal bagasi dapat disatukan dalam satu dokumen angkutan udara. Pasal 155
Pasal 156
Pasal 157Surat muatan udara tidak dapat diperjualbelikan atau dijadikan jaminan kepada orang lain dan/atau pihak lain. Pasal 158Pengangkut wajib memberi prioritas pengiriman dokumen penting yang bersifat segera serta kargo yang memuat barang mudah rusak dan/atau cepat busuk (perishable goods). Pasal 159Dalam hal pengirim kargo menyatakan secara tertulis harga kargo yang sebenarnya, pengangkut dan pengirim kargo dapat membuat kesepakatan khusus untuk kargo yang memuat barang mudah rusak dan/atau cepat busuk dengan mengecualikan besaran kompensasi tanggung jawab yang diatur dalam undang-undang ini. Pasal 160Pengangkut dan pengirim kargo dapat menyepakati syarat-syarat khusus untuk angkutan kargo:
Pasal 161
Pasal 162
Pasal 163Dalam hal kargo belum diserahkan kepada penerima, pengirim dapat meminta kepada pengangkut untuk menyerahkan kargo tersebut kepada penerima lain atau mengirimkan kembali kepada pengirim, dan semuanya atas biaya dan tanggung jawab pengirim. Pasal 164
Paragraf 4Besaran Ganti KerugianPasal 165
Pasal 166Pengangkut dan penumpang dapat membuat persetujuan khusus untuk menetapkan jumlah ganti kerugian yang lebih tinggi dari jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (1). Pasal 167Jumlah ganti kerugian untuk bagasi kabin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ditetapkan setinggi-tingginya sebesar kerugian nyata penumpang. Pasal 168
Pasal 169Pengangkut dan penumpang dapat membuat persetujuan khusus untuk menetapkan jumlah ganti kerugian yang lebih tinggi dari jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1). Pasal 170Jumlah ganti kerugian untuk setiap keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Pasal 171Dalam hal orang yang dipekerjakan atau mitra usaha yang bertindak atas nama pengangkut digugat untuk membayar ganti kerugian untuk kerugian yang timbul karena tindakan yang dilakukan di luar batas kewenangannya, menjadi tanggung jawab yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 172
Paragraf 5Pihak yang Berhak Menerima Ganti KerugianPasal 173
Paragraf 6Jangka Waktu Pengajuan KlaimPasal 174
Pasal 175
Paragraf 7Hal GugatanPasal 176Penumpang, pemilik bagasi kabin, pemilik bagasi tercatat, pengirim kargo, dan/atau ahli waris penumpang, yang menderita kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, dan Pasal 173 dapat mengajukan gugatan terhadap pengangkut di pengadilan negeri di wilayah Indonesia dengan menggunakan hukum Indonesia. Pasal 177Hak untuk menggugat kerugian yang diderita penumpang atau pengirim kepada pengangkut dinyatakan kedaluwarsa dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung mulai tanggal seharusnya kargo dan bagasi tersebut tiba di tempat tujuan. Paragraf 8Pernyataan Kemungkinan Meninggal Duniabagi Penumpang Pesawat Udara yang HilangPasal 178
Paragraf 9Wajib AsuransiPasal 179Pengangkut wajib mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap penumpang dan kargo yang diangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, dan Pasal 146. Pasal 180Besarnya pertanggungan asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 sekurang-kurangnya harus sama dengan jumlah ganti kerugian yang ditentukan dalam Pasal 165, Pasal 168, dan Pasal 170. Paragraf 10Tanggung Jawab pada Angkutan Udaraoleh Beberapa Pengangkut Berturut-turutPasal 181
Paragraf 11Tanggung Jawab pada Angkutan IntermodaPasal 182
Paragraf 12Tanggung Jawab Pengangkut LainPasal 183Tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, dan Pasal 146 berlaku juga bagi angkutan udara yang dilaksanakan oleh pihak pengangkut lain yang mengadakan perjanjian pengangkutan selain pengangkut. Paragraf 13Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Pihak KetigaPasal 184
Pasal 185Pengangkut dapat menuntut pihak ketiga yang mengakibatkan timbulnya kerugian terhadap penumpang, pengirim, atau penerima kargo yang menjadi tanggung jawab pengangkut. Paragraf 14Persyaratan KhususPasal 186
Bagian KesembilanAngkutan MultimodaPasal 187
Pasal 188Angkutan multimoda dilakukan oleh badan usaha yang telah mendapat izin untuk melakukan angkutan multimoda dari Menteri. Pasal 189
Pasal 190Badan usaha angkutan multimoda wajib mengasuransikan tanggung jawabnya. Pasal 191Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bandar udara terdiri atas:
Bagian KeduaTatanan Kebandarudaraan NasionalPasal 193
Pasal 194Bandar udara memiliki peran sebagai:
Pasal 195Bandar udara berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan:
Pasal 196Penggunaan bandar udara terdiri atas bandar udara internasional dan bandar udara domestik. Pasal 197
Pasal 198Klasifikasi bandar udara terdiri atas beberapa kelas bandar udara yang ditetapkan berdasarkan kapasitas pelayanan dan kegiatan operasional bandar udara. Pasal 199
Pasal 200
Bagian KetigaPenetapan Lokasi Bandar UdaraPasal 201
Pasal 202Rencana induk bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (2) huruf b paling sedikit memuat:
Pasal 203
Pasal 204
Pasal 205
Pasal 206
Pasal 207Batas kawasan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf i merupakan kawasan tertentu di sekitar bandar udara yang terpengaruh gelombang suara mesin pesawat udara yang terdiri atas:
Pasal 208
Pasal 209Batas daerah lingkungan kerja, daerah lingkungan kepentingan, kawasan keselamatan operasi penerbangan, dan batas kawasan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i ditetapkan dengan koordinat geografis. Pasal 210Setiap orang dilarang berada di daerah tertentu di bandar udara, membuat halangan (obstacle), dan/atau melakukan kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi penerbangan yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan, kecuali memperoleh izin dari otoritas bandar udara. Pasal 211
Pasal 212Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menjamin tersedianya aksesibilitas dan utilitas untuk menunjang pelayanan bandar udara. Pasal 213Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan lokasi bandar udara dan tempat pelayanan penunjang di luar daerah lingkungan kerja diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KeempatPembangunan Bandar UdaraPasal 214Bandar udara sebagai bangunan gedung dengan fungsi khusus, pembangunannya wajib memperhatikan ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan, mutu pelayanan jasa kebandarudaraan, kelestarian lingkungan, serta keterpaduan intermoda dan multimoda. Pasal 215
Pasal 216Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan bandar udara diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian KelimaPengoperasian Bandar UdaraParagraf 1Sertifikasi Operasi Bandar UdaraPasal 217
Pasal 218Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan keamanan penerbangan, pelayanan jasa bandar udara, serta tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat bandar udara atau register bandar udara dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 2Fasilitas Bandar UdaraPasal 219
Pasal 220
Pasal 221Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian fasilitas bandar udara serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 3Personel Bandar UdaraPasal 222
Pasal 223
Pasal 224Lisensi personel bandar udara yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui proses pengesahan atau validasi oleh Menteri. Pasal 225Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, lembaga pendidikan dan/atau pelatihan, serta pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KeenamPenyelenggaraan Kegiatan di Bandar UdaraParagraf 1Kegiatan Pemerintahan di Bandar UdaraPasal 226
Paragraf 2Otoritas Bandar UdaraPasal 227
Pasal 228Otoritas bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 ayat (1) mempunyai tugas dan tanggung jawab:
Pasal 229Otoritas bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 ayat (1) mempunyai wewenang:
Pasal 230Aparat otoritas bandar udara merupakan pegawai negeri sipil yang memiliki kompetensi di bidang penerbangan sesuai dengan standar dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 231Ketentuan lebih lanjut mengenai otoritas bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 3Kegiatan Pengusahaan di Bandar UdaraPasal 232
Pasal 233
Pasal 234
Pasal 235
Pasal 236Badan usaha bandar udara dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau lebih bandar udara yang diusahakan secara komersial. Pasal 237
Pasal 238Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan di bandar udara, serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KetujuhPelayanan dan Fasilitas KhususPasal 239
Bagian KedelapanTanggung Jawab Ganti KerugianPasal 240
Pasal 241Orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan usaha yang melaksanakan kegiatan di bandar udara bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas setiap kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas bandar udara yang diakibatkan oleh kegiatannya. Pasal 242Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab atas kerugian serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KesembilanTarif Jasa KebandarudaraanPasal 243Setiap pelayanan jasa kebandarudaraan dan jasa terkait dengan bandar udara dikenakan tarif sesuai dengan jasa yang disediakan. Pasal 244
Pasal 245Besaran tarif jasa terkait pada bandar udara ditetapkan oleh penyedia jasa terkait berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa. Pasal 246Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan tarif jasa kebandarudaraan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KesepuluhBandar Udara KhususPasal 247
Pasal 248Pengawasan dan pengendalian pengoperasian bandar udara khusus dilakukan oleh otoritas bandar udara terdekat yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 249Bandar udara khusus dilarang melayani penerbangan langsung dari dan/atau ke luar negeri kecuali dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara, setelah memperoleh izin dari Menteri. Pasal 250Bandar udara khusus dilarang digunakan untuk kepentingan umum kecuali dalam keadaan tertentu dengan izin Menteri, dan bersifat sementara. Pasal 251Bandar udara khusus dapat berubah status menjadi bandar udara yang dapat melayani kepentingan umum setelah memenuhi persyaratan ketentuan bandar udara. Pasal 252Ketentuan lebih lanjut mengenai izin pembangunan dan pengoperasian bandar udara khusus, serta perubahan status menjadi bandar udara yang dapat melayani kepentingan umum diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KesebelasTempat Pendaratan dan Lepas Landas HelikopterPasal 253
Pasal 254
Pasal 255Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemberian izin pembangunan dan pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas helikopter diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua BelasBandar Udara InternasionalPasal 256
Bagian Ketiga BelasPenggunaan Bersama Bandar Udara dan Pangkalan UdaraPasal 257
Pasal 258
Pasal 259Bandar udara dan pangkalan udara yang digunakan secara bersama ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Bagian Keempat BelasPelestarian LingkunganPasal 260
Pendelegasian pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 262 ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan paling sedikit:
Pasal 264
Paragraf 2Klasifikasi Ruang UdaraPasal 265
Paragraf 3Jalur PenerbanganPasal 266
Pasal 267
Pasal 268Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan Tatanan Ruang Udara Nasional dan jalur penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KeduaPenyelenggaraan Pelayanan Navigasi PenerbanganParagraf 1Tujuan dan Jenis Pelayanan Navigasi PenerbanganPasal 269Navigasi penerbangan mempunyai tujuan sebagai berikut:
Pasal 270Jenis pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat (4) huruf d meliputi:
Paragraf 2Penyelenggara Pelayanan Navigasi PenerbanganPasal 271
Pasal 272
Pasal 273Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan harus mengalihkan jalur penerbangan suatu pesawat terbang, helikopter, atau pesawat udara sipil jenis tertentu, yang tidak memenuhi persyaratan navigasi penerbangan. Pasal 274Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan jalur penerbangan oleh lembaga penyelenggara navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 diatur oleh Menteri. Paragraf 3Sertifikasi Pelayanan Navigasi PenerbanganPasal 275
Paragraf 4Biaya Pelayanan Jasa Navigasi PenerbanganPasal 276
Pasal 277Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pembentukan dan sertifikasi lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan, serta biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 5Pelayanan Lalu Lintas PenerbanganPasal 278Pelayanan lalu lintas penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 huruf a mempunyai tujuan:
Pasal 279
Pasal 280Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan lalu lintas penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 6Pelayanan Telekomunikasi PenerbanganPasal 281Pelayanan telekomunikasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 huruf b bertujuan menyediakan informasi untuk menciptakan akurasi, keteraturan, dan efisiensi penerbangan. Pasal 282Pelayanan telekomunikasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 terdiri atas:
Pasal 283Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan telekomunikasi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri Paragraf 7Pelayanan Informasi AeronautikaPasal 284Pelayanan informasi aeronautika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 huruf c bertujuan tersedianya informasi yang cukup, akurat, terkini, dan tepat waktu yang diperlukan untuk keteraturan dan efisiensi penerbangan. Pasal 285
Pasal 286Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan informasi aeronautika diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 8Pelayanan Informasi Meteorologi PenerbanganPasal 287Pelayanan informasi meteorologi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 huruf d bertujuan menyediakan informasi cuaca di bandar udara dan sepanjang jalur penerbangan yang cukup, akurat, terkini, dan tepat waktu untuk keselamatan, kelancaran, dan efisiensi penerbangan. Pasal 288Pelayanan informasi meteorologi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 287 diberikan oleh unit pelayanan informasi meteorologi kepada operator pesawat udara, personel pesawat udara, unit pelayanan navigasi penerbangan, unit pelayanan pencarian dan pertolongan, serta penyelenggara bandar udara. Pasal 289Pelayanan informasi meteorologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 287 dilaksanakan secara berkoordinasi antara unit pelayanan informasi meteorologi dan unit pelayanan navigasi penerbangan yang dilakukan melalui kesepakatan bersama. Pasal 290Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan informasi meteorologi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 9Pelayanan Informasi Pencarian Dan PertolonganPasal 291
Bagian KetigaPersonel Navigasi PenerbanganPasal 292
Pasal 293
Pasal 294Lisensi personel navigasi penerbangan yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui proses pengesahan atau validasi oleh Menteri. Pasla 295Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, lembaga pendidikan dan/atau pelatihan, dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KeempatFasilitas Navigasi PenerbanganPasal 296
Pasal 297Pemasangan fasilitas navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 296 ayat (1) harus memperhatikan:
Pasal 298
Pasal 299
Pasal 300Penyelenggaraan kalibrasi fasilitas navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299 ayat (1) dapat dilakukan oleh pemerintah dan/atau badan hukum yang mendapat sertifikat dari Menteri. Pasal 301Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemasangan, pengoperasian, pemeliharaan, pelaksanaan kalibrasi, dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KelimaFrekuensi Radio PenerbanganParagraf 1Penggunaan FrekuensiPasal 302
Pasal 303
Pasal 304Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penggunaan frekuensi radio untuk kegiatan penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 2BiayaPasal 305
Pasal 306Setiap orang dilarang:
Pasal 307Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya penggunaan frekuensi radio diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB XIIIKESELAMATAN PENERBANGANBagian KesatuProgram Keselamatan Penerbangan NasionalPasal 308
Pasal 309
Pasal 310
Pasal 311Ketentuan lebih lanjut mengenai program keselamatan penerbangan nasional diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KeduaPengawasan Keselamatan PenerbanganPasal 312
Bagian KetigaPenegakan Hukum Keselamatan PenerbanganPasal 313
Bagian KeempatSistem Manajemen Keselamatan Penyedia Jasa PenerbanganPasal 314
Pasal 315Sistem manajemen keselamatan penyedia jasa penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 ayat (1) paling sedikit memuat:
Pasal 316
Pasal 317Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem manajemen keselamatan penyedia jasa penerbangan, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KelimaBudaya Keselamatan PenerbanganPasal 318Pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya bertanggung jawab membangun dan mewujudkan budaya keselamatan penerbangan. Pasal 318Untuk membangun dan mewujudkan budaya keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 318, Menteri menetapkan kebijakan dan program budaya tindakan keselamatan, keterbukaan, komunikasi, serta penilaian dan penghargaan terhadap tindakan keselamatan penerbangan. Pasal 320Untuk membangun dan mewujudkan budaya keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 318, penyedia jasa penerbangan menetapkan kebijakan dan program budaya keselamatan. Pasal 321
Pasal 322Ketentuan lebih lanjut mengenai budaya keselamatan penerbangan, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi adminisratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 321 ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Komite nasional keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 323 ayat (2) huruf a bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan program keamanan penerbangan nasional. Pasal 325Program keamanan penerbangan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 323 ayat (2) huruf b paling sedikit memuat:
Pasal 326
Pasal 327
Pasal 328
Pasal 329
Pasal 330Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pembuatan atau pelaksanaan program keamanan penerbangan nasional diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KeduaPengawasan Keamanan PenerbanganPasal 331
Pasal 332Otoritas bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha bandar udara, dan badan usaha angkutan udara wajib melaksanakan pengawasan internal dan melaporkan hasilnya kepada Menteri. Pasal 333Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan keamanan penerbangan nasional diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KetigaKeamanan Bandar UdaraPasal 334
Pasal 335
Pasal 336Kantong diplomatik tidak boleh diperiksa, kecuali atas permintaan dari instansi yang berwenang di bidang hubungan luar negeri dan pertahanan negara. Pasal 337
Pasal 338Badan usaha bandar udara dan unit penyelenggara bandar udara wajib menyediakan atau menunjuk bagian dari wilayah bandar udara sebagai tempat terisolasi (isolated parking area) untuk penempatan pesawat udara yang mengalami gangguan atau ancaman keamanan. Pasal 339Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur keamanan pengoperasian bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KeempatKeamanan Pengoperasian Pesawat UdaraPasal 340
Pasal 341Penempatan petugas keamanan dalam penerbangan pada pesawat udara niaga berjadwal asing dari dan ke wilayah Republik Indonesia hanya dapat dilaksanakan berdasarkan perjanjian bilateral. Pasal 342Setiap badan usaha angkutan udara yang mengoperasikan pesawat udara kategori transpor wajib memenuhi persyaratan keamanan penerbangan. Pasal 343Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelaksanaan keamanan pengoperasian pesawat udara diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KelimaPenanggulangan Tindakan Melawan HukumPasal 344Setiap orang dilarang melakukan tindakan melawan hukum (acts of unlawful interference) yang membahayakan keselamatan penerbangan dan angkutan udara berupa:
Pasal 345
Pasal 346Dalam hal terjadi tindakan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 huruf a dan huruf b, Menteri berkoordinasi serta menyerahkan tugas dan komando penanggulangannya kepada institusi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang keamanan. Pasal 347Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penanggulangan tindakan melawan hukum serta penyerahan tugas dan komando penanggulangan diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian KeenamFasilitas Keamanan PenerbanganPasal 348Menteri menetapkan fasilitas keamanan penerbangan yang digunakan dalam mewujudkan keamanan penerbangan. Pasal 349Penyediaan fasilitas keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 348 dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dengan mempertimbangkan:
Pasal 350
Pasal 351Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas keamanan penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri. BAB XVPENCARIAN DAN PERTOLONGANKECELAKAAN PESAWAT UDARAPasal 352
Pasal 353Tanggung jawab pelaksanaan pencarian dan pertolongan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 352 ayat (1) dikoordinasikan dan dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang pencarian dan pertolongan. Pasal 354Kapten penerbang yang sedang bertugas yang mengalami keadaan bahaya atau mengetahui adanya pesawat udara lain yang diindikasikan sedang menghadapi bahaya dalam penerbangan wajib segera memberitahukan kepada unit pelayanan lalu lintas penerbangan. Pasal 355Setiap personel pelayanan lalu lintas penerbangan yang bertugas wajib segera memberitahukan kepada instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pencarian dan pertolongan setelah menerima pemberitahuan atau mengetahui adanya pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya atau hilang dalam penerbangan. Pasal 356Ketentuan lebih lanjut mengenai pencarian dan pertolongan terhadap kecelakaan pesawat udara diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB XVIINVESTIGASI DAN PENYELIDIKAN LANJUTANKECELAKAAN PESAWAT UDARABagian PertamaUmumPasal 357
Bagian KeduaInvestigasi Kecelakaan Pesawat UdaraPasal 358
Pasal 359
Pasal 360
Pasal 361
Pasal 362
Pasal 363
Bagian KetigaPenyelidikan Lanjutan Kecelakaan Pesawat UdaraPasal 364Untuk melaksanakan penyelidikan lanjutan, penegakan etika profesi, pelaksanaan mediasi dan penafsiran penerapan regulasi, komite nasional membentuk majelis profesi penerbangan. Pasal 365Majelis profesi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 364 mempunyai tugas:
Pasal 366Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 365 majelis profesi penerbangan memiliki fungsi:
Pasal 367Majelis profesi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 364 paling sedikit berasal dari unsur profesi, pemerintah, dan masyarakat yang kompeten di bidang:
Pasal 368Majelis profesi penerbangan berwenang:
Pasal 369Ketentuan lebih lanjut mengenai investigasi kecelakaan pesawat udara dan penyelidikan lanjutan diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB XVIIPEMBERDAYAAN INDUSTRI DAN PENGEMBANGANTEKNOLOGI PENERBANGANPasal 370
Pasal 371Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 370 ayat (1) dilaksanakan dengan mempersiapkan dan mempekerjakan sumber daya manusia nasional yang memenuhi standar kompetensi. Pasal 372Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 370 ayat (1) harus dilaksanakan dengan memenuhi standar keselamatan dan keamanan serta memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup. Pasal 373Badan usaha angkutan udara, badan usaha bandar udara, dan unit penyelenggara bandar udara, serta lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan wajib mendukung pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan nasional. Pasal 374Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB XVIIISISTEM INFORMASI PENERBANGANPasal 375
Pasal 376Sistem informasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 375 paling sedikit meliputi:
Pasal 377Penyelenggaraan sistem informasi penerbangan dilakukan dengan membangun dan mengembangkan jaringan informasi secara efektif, efisien, dan terpadu yang melibatkan pihak terkait dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Pasal 378Iklan di daerah lingkungan kerja bandar udara harus memenuhi ketentuan:
Pasal 379
Pasal 380
BAB XIXSUMBER DAYA MANUSIABagian KesatuPenyediaan dan PengembanganPasal 381
Bagian KeduaPendidikan dan Pelatihan di Bidang PenerbanganPasal 382
Pasal 382
Pasal 384
Pasal 385Pemerintah mengarahkan, membimbing, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan. Pasal 386Pemerintah daerah membantu dan memberikan kemudahan untuk terselenggaranya pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan. Pasal 387Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KetigaSertifikat Kompetensi dan LisensiPasal 388Penyelenggara pendidikan dan pelatihan wajib memberikan sertifikat kompetensi kepada peserta didik yang telah dinyatakan lulus pendidikan dan pelatihan. Pasal 389Setiap personel di bidang penerbangan yang telah memiliki sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 388 dapat diberi lisensi oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan. Pasal 390Dalam menjalankan pekerjaannya, setiap personel di bidang penerbangan wajib memiliki sertifikat kompetensi atau lisensi sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan untuk bidang pekerjaannya. Pasal 391Penyedia jasa penerbangan dan organisasi yang menyelenggarakan kegiatan di bidang penerbangan wajib:
Pasal 392Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat kompetensi dan lisensi serta penyusunan program pelatihan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian KeempatKontribusi Penyedia Jasa PenerbanganPasal 393
Pasal 394Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 393 dikenakan sanksi administratif berupa:
Bagian KelimaPengaturan Waktu KerjaPasal 395
BAB XXPERAN SERTA MASYARAKATPasal 396
Pasal 397Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 396 ayat (1) dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok, organisasi profesi, badan usaha, atau organisasi kemasyarakatan lain sesuai dengan prinsip keterbukaan dan kemitraan. Pasal 398Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat diatur dengan Peraturan Menteri. BAB XXIPENYIDIKANPasal 399
Pasal 400
BAB XXIIKETENTUAN PIDANAPasal 401Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara terlarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 402Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 403Setiap orang yang melakukan kegiatan produksi dan/atau perakitan pesawat udara, mesin pesawat udara, dan/atau baling-baling pesawat terbang yang tidak memiliki sertifikat produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 404Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak mempunyai tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 405Setiap orang yang memberikan tanda-tanda atau mengubah identitas pendaftaran sedemikian rupa sehingga mengaburkan tanda pendaftaran, kebangsaan, dan bendera pada pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 406
Pasal 407Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak memiliki sertifikat operator pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 408Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak memiliki sertifikat pengoperasian pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 409Setiap orang selain yang ditentukan dalam Pasal 47 ayat (1) yang melakukan perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang dan komponennya dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 410Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara sipil Indonesia atau asing yang tiba di atau berangkat dari Indonesia dan melakukan pendaratan dan/atau tinggal landas dari bandar udara yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 52 dipidana dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau denda Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 411Setiap orang dengan sengaja menerbangkan atau mengoperasikan pesawat udara yang membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau penduduk atau merugikan harta benda milik orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 412
Pasal 413
Pasal 414Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 415Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara sipil asing yang dioperasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 416Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri tanpa izin usaha angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 417Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri tanpa izin usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 418Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri tanpa persetujuan terbang dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 419
Pasal 420Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, pengirim, badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha pergudangan, atau badan usaha angkutan udara niaga yang melanggar ketentuan pengangkutan barang khusus dan/atau berbahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 421
Pasal 422
Pasal 423
Pasal 424
Pasal 425Setiap orang yang melaksanakan kegiatan di bandar udara yang tidak bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas setiap kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas bandar udara yang diakibatkan oleh kegiatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 426Setiap orang yang membangun bandar udara khusus tanpa izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 427Setiap orang yang mengoperasikan bandar udara khusus dengan melayani penerbangan langsung dari dan/atau ke luar negeri tanpa izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 428
Pasal 429Setiap orang yang menyelenggarakan pelayanan navigasi penerbangan tidak memiliki sertifikat pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 275 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 430
Pasal 431
Pasal 432Setiap orang yang akan memasuki daerah keamanan terbatas tanpa memiliki izin masuk daerah terbatas atau tiket pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 334 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 433Setiap orang yang menempatkan petugas keamanan dalam penerbangan pada pesawat udara niaga berjadwal asing dari dan ke wilayah Republik Indonesia tanpa adanya perjanjian bilateral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 434Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara kategori transpor tidak memenuhi persyaratan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 342 sehingga mengakibatkan kecelakaan pesawat udara dan kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 435Setiap orang yang masuk ke dalam pesawat udara, daerah keamanan terbatas bandar udara, atau wilayah fasilitas aeronautika secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 436
Pasal 437
Pasal 438
Pasal 439
Pasal 440Setiap orang yang merusak atau menghilangkan bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara, mengambil bagian pesawat udara atau barang lainnya yang tersisa akibat dari kecelakaan atau kejadian serius pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 ayat (1) dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 441
Pasal 442Dalam hal panggilan terhadap korporasi, maka pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurus. Pasal 443Dalam hal tindak pidana di bidang penerbangan dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda yang ditentukan dalam Bab ini. BAB XXIIIKETENTUAN PERALIHANPasal 444Setiap kepentingan internasional dalam objek pesawat udara yang dibuat sesuai dengan dan setelah berlakunya ketentuan dalam konvensi tentang Kepentingan Internasional dalam Peralatan Bergerak (Convention on International Interests in Mobile Equipment) dan protokol mengenai Masalah-Masalah Khusus pada Peralatan Pesawat Udara (Protocol to the Convention on Interests on Mobile Equipment on Matters Specific to Aircraft Equipment) tersebut di Indonesia yang telah didaftarkan pada kantor pendaftaran internasional tetap sah dan dapat dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang ini sampai dihapusnya pendaftaran atau berakhirnya masa berlaku sebagaimana tercantum dalam pendaftaran. Pasal 445Badan usaha yang telah memiliki izin usaha angkutan udara niaga berjadwal dan niaga tidak berjadwal pada saat Undang-Undang ini diundangkan tetap dapat menjalankan usahanya sesuai dengan izin yang dimiliki dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini paling lambat 3 (tiga) tahun. Pasal 446Kantor administrator bandar udara, kantor bandar udara, dan cabang badan usaha kebandarudaraan tetap melaksanakan tugas dan fungsinya sampai dengan terbentuknya otoritas bandar udara berdasarkan Undang-Undang ini. Pasal 447Bandar udara umum dan bandar udara khusus yang telah diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan tetap dapat menyelenggarakan kegiatannya dan wajib disesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku. Pasal 448
Pasal 449Komite Nasional Keselamatan Transportasi tetap melaksanakan tugas dan fungsinya sampai terbentuknya komite nasional berdasarkan Undang-Undang ini. Pasal 450Fungsi pelayanan sertifikasi dan pengawasan tetap dilaksanakan secara fungsional oleh unit di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Udara sampai terbentuknya lembaga penyelenggara pelayanan umum berdasarkan Undang-Undang ini. Pasal 451Pada saat Undang-Undang ini berlaku, unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, dan badan usaha milik negara yang menyelenggarakan penyelenggaraan navigasi penerbangan tetap menyelenggarakan kegiatan penyelenggaraan navigasi penerbangan sampai terbentuknya lembaga penyelenggara pelayanan navigasi berdasarkan Undang-Undang ini. BAB XXIVKETENTUAN PENUTUPPasal 452
Pasal 453Dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku, kegiatan usaha bandar udara yang dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan badan usaha milik negara wajib disesuaikan dengan Undang-Undang ini. Pasal 454Badan usaha yang telah memiliki izin usaha angkutan udara niaga berjadwal dan niaga tidak berjadwal pada saat Undang-Undang ini diundangkan, wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini paling lambat 3 (tiga) tahun. Pasal 455Otoritas bandar udara dan unit penyelenggara bandar udara harus sudah terbentuk paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku. Pasal 456Tatanan kebandarudaraan nasional harus disesuaikan dan ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku. Pasal 457Rencana induk bandar udara pada bandar udara yang beroperasi harus disesuaikan dan ditetapkan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku. Pasal 458Wilayah udara Republik Indonesia, yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 (lima belas) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku. Pasal 459Lembaga penyelenggara pelayanan umum harus terbentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku. Pasal 460Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan harus terbentuk paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku. Pasal 461Program keselamatan penerbangan nasional harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku. Pasal 462Komite nasional harus sudah terbentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku. Pasal 463Program keamanan penerbangan nasional harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku. Pasal 464Pada saat Undang-Undang ini berlaku semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini. Pasal 465Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3481) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 466Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
[ Foto Terminal Bandara NYIA Yogyakarta. Oleh Danu Ganis Prasetiyo - Karya sendiri , CC BY-SA 3.0, Pranala ] Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 1 tahun 2009tentangPenerbangan |