Menurutmu mana yang harus lebih dijaga agama budaya atau sains jelaskan

Menurutmu mana yang harus lebih dijaga agama budaya atau sains jelaskan

Prof. Dr. Amany Lubis, M.A., saat menyampaikan sambutannya.

Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan Said Nursi Corner bekerja sama dengan Pusat Layanan Kerjasama Internasional (PLKI), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M), Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) dan Fakultas Ushuluddin (FU) UIN Jakarta, Istanbul Foundation for Science and Culture, serta Yayasan Nur Semesta, mengadakan Web Seminar (Webinar) Internasional yang bertemakan “Islam, Secularity and Science: Revisiting Said Nursi’s Ideas on Science in Islam”. Acara tersebut diadakan pada Selasa (28/07) melalui aplikasi Zoom Meeting dan live streaming di Youtube Dakwah dan Komunikasi (DnK) TV, yang diawali dengan sambutan dari Rektor UIN Jakarta, Prof. Dr. Amany Lubis, M.A., serta dihadiri oleh beberapa pembicara dari luar negeri.

Dalam sambutannya, Rektor UIN Jakarta, Prof. Dr. Amany Lubis, M.A., mengingatkan, ide Said Nursi tidak hanya mengembangkan pandangan filosofi yang memperlihatkan bahwa agama dan sains tidak bisa dilihat secara dikotomi (terpisah), tetapi juga menghasilkan metodologi sesuai dengan orang yang beragama agar merasa dikuatkan dalam kepercayaannya.

“Said Nursi memadukan sains dan ayat Quran dengan perspektif umum tentang Islam, yang mana pelajar abad pertengahan berbagi atau berdiskusi dengan cara yang berbeda. Menurutnya, sakralisasi sains yaitu untuk menjelaskan sifat sebenarnya dari alam semesta untuk mengungkapkan ilmu tentang penciptanya,” jelasnya.

Amany berharap, seminar tersebut dapat menguatkan peran komunitas akademi dalam melindungi dunia ilmiah. Dirinya percaya, komunitas muslim mempunyai kekuatan untuk memperlihatkan disiplin diri, karena Islam pun mengajari tentang kedisiplinan diri.

Istanbul Foundation Science for Culture, Said Yuce, M.A., menyampaikan, dalam karya Said Nursi yaitu tujuan penciptaan manusia adalah ma’rifattullah (mengenal Allah). Said Nursi memiliki tujuan menggabungkan ilmu agama dan ilmu sains. Said Nursi pun mengatakan, ilmu agama adalah cahaya bagi hati dan ilmu sains adalah sinar bagi akal, jika dipadukan hakikat akan tersingkap.

“Ketika melihat sesuatu di alam ini dengan kacamata iman atas nama Allah akan menjadikannya ilmu, lalu jika melihat sesuatu atas nama sebab akibat adalah sebuah kebodohan. Ilmu agama harus selalu dibarengi ilmu sains. Ilmu sains tanpa ilmu agama seperti tuli, sebaliknya ilmu agama tanpa ilmu sains seperti buta, dan pada akhirnya menjadi tidak sempurna,” jelasnya.

Dirinya menambahkan, hakikat tinggi dari ilmu sains, semua kemajuan, dan segala kesempurnaan itu bersandar kepada salah satu Asmaul Husna. Semua persoalan yang kita hadapi saat ini solusinya ialah iman yang hakiki, iman yang kuat, dengan begitu dapat mengatasi semuanya.

“Saya mendukung kegiatan yang bersifat akademis, karena umat manusia pun membutuhkan hal seperti ini, artinya tidak hanya ilmu sains secara materialistik tetapi makna pun dibutuhkan. Jangan hanya tersampaikan di ruang kuliah atau dibatasi dengan para akademisi, tetapi hakikat seperti ini harus disampaikan ke semua lapisan masyarakat,” ujarnya.

(Sitta Sakinatu Yassaroh)

Apakah budaya bisa menggantikan agama sebagai saluran spiritualitas (ibadah) manusia kepada Tuhan? C. Joe Arun, antropolog agama dari India, menjawab, tidak bisa. Dalam sejarahnya, budaya tidak pernah menghasilkan agama. Lain halnya dengan agama, ia dapat menghasilkan budaya. Dengan demikian, agama dapat menjadi saluran kelahiran budaya.

Sistem interaksi manusia, aturan hidup, dan pola tatakrama dapat dilahirkan dari agama yang selanjutnya menjadi budaya. Manusia dapat membuat aturan yang dikonstruk dari agama. Manusia dapat menciptakan sistem pendidikan yang dikontsruk dari agama. Akan tetapi, orang tidak dapat menciptakan substansi peribadatan dari alur pikir budaya.

Agama dan budaya harus dipetakan secara jelas, supaya terlihat mana budaya dan mana agama. Kenapa agama dan budaya harus dipetakan secara jelas? Jawabanya, agar tidak keliru dan tertukar substansi keduanya. Sebab, di Indonesia, agama merupakan ranah publik yang diatur juga oleh hukum publik. Salah satunya aturan pelecehan agama diatur oleh KUHP.

Saat ini akar konflik agama lahir dari kekeliruan orang dalam memahami agama dan budaya. Terdapat doktrin yang lahir dari individu non-nabi kemudian diarak secara masal menjadi doktrin komunal dan diaggap sebagai agama. Padahal, yang lebih pantas doktrinh individu non-nabi hanya diposisikan sebagai produk budaya, tidak layak dianggap sebagai doktrin agama. Sebagai contoh, ahmadiyah. Ia lahir dari pikiran individu non-nabi yang ditarik oleh sebuah kekuatan sosial dan politik hingga loncat menjadi agama.

Dalam agama terdapat dua elemen penting, yaitu substansi dan teknis. Terkait substansi manusia tidak bisa ikut campur. Ia hanya urusan Tuhan, yang memberikan agama. Dalam hal teknis, manusia bisa ikut campur. Sebagai contoh hari raya keagamaan. Hari raya keagamaan merupakan teknis yang bisa dibuat oleh manusia. Namun, substansinya tidak bisa digantikan dan direkayasa oleh manusia. Rajaban, umpamanya, kegiatannya tidak bisa hanya diisi dengan kegiatan dangdutan atau nasyidan lalu diklaim secara lantang bahwa itulah substansi rajaban. Rajaban adalah teknis, sedangkan substansinya adalah kegiatan-kegiatan kebaikan, seperti pengajian umum atau zikir bersama.

Pertanyaan selanjutnya, apakah agama dan budaya harus dipertahankan sampai akhir zaman? Jawaban UNESCO, ya, harus dipertahankan, tidak bisa disingkirkan oleh sistem-sistem lainnya. Salah satu program yang diusung oleh UNESCO pada tahun 1999 adalah Culture and Rreligion for Sustainable Future. Agama dan budaya harus tetap ada sebagai bagian dari kehidupan umat manusia.

Paling tidak ada dua lasan. Pertama, sampai saat ini manusia masih membutuhkan agama. Kegiatan-kegiatan keagamaan tidak pernah surut dari waktu ke waktu, bahkan di beberapa kawasan di Indonesia, juga belahan dunia Muslim lainnya, mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Kedua, agama dapat menjawab hal-hal keakhiratan yang menjadi bagian dari rasa ingin tahu manusia. Hal-hal keakhiratan tidak bisa dijawab dan dipenuhi oleh teknologi dan sains, walaupun para penganut sainstologi mengklaim bahwa urusan akhirat akan bisa terjawab dan terpetakan secara clear oleh sains, seperti clear-nya urusan tata surya yang dipetakan dan dijelaskan secara rinci oleh sains.

Saya yakin, agama dan  budaya tidak akan hilang ditelan zaman. Namun, keduanya jangan sampai pacorok kokod, tumpang tindih. Agama posisikan sebagai agama, budaya posisikan sebagai budaya. Harus dipertegas mana garis putih agama dan budaya. Sebuah budaya tidak bisa digiring oleh untuk diklaim sebagai agama, sebab beresiko memancing konflik sosial dan mengundang pertengkaran. Budaya yang saya maksud di sini adalah buah pikiran atau nalar manusia.

Tampaknya, benturan massa akibat Ahmadiyah pun adalah dikarenakan tidak tepatnya kita menempatkan mana yang seharusnya menjadi agama dan mana yang seharusnya menjadi budaya. Ahmadiyah sebagai produk pemikiran individu seharusnya menjadi produk budaya, tidak lantas diangkat ke level lebih jauh sebagai agama.

Memang, ada satu hal yang sangat penting dalam agama. Daya tarik agama sangat tinggi. Penyebutan dan pengaitan sesuatu kepada agama sangat seksi. Suatu pemikiran yang dikatakan sebagai agama memiliki wibawa yang cukup luhur. Labeling agama dapat mendongkrak kekuatan pikiran individu, sehingga tidak akan kesulitan mencari respon positif dari masyarakat. Dalam hal ini, label agama memiliki hubungan erat dengan kepentingan eksistensi. Kalau tidak menggunakan istilah agama kurang greget.

Deddy Ismatullah, Guru Besar Hukum Tata Negara, Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Sumber, Pikiran Rakyat 15 Mei 2013

Dilihat 93,118 pengunjung

Adakah Sobat SMP di sini yang punya teman berbeda suku ataupun agama? Jika ada, kalian sangat beruntung karena dapat mengenal budaya serta ajaran baru. Selain itu, lingkungan yang majemuk bisa memberikan kalian referensi pertemanan yang lebih luas.

Indonesia adalah negara dengan sejuta keberagaman. Keberagaman yang ada telah menjadi simbol persatuan dan dikemas dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Oleh karena itu, kita harus menjaganya agar tetap utuh dan harmonis.

Namun, belakangan ini Indonesia kerap mengalami krisis toleransi. Perbedaan yang ada justru menimbulkan perpecahan. Padahal, perbedaan itu sendirilah yang seharusnya membuat Indonesia menjadi indah karena lebih “berwarna”.

Sebagai warga negara yang baik, kita harus tetap menjaga persatuan dan kesatuan dengan menganut paham toleransi. Jangan sampai Indonesia terpecah-belah akibat isu-isu negatif. Ingat kata pepatah, “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.”

Bentuk keberagaman di Indonesia

Indonesia adalah negara yang kaya, baik dari segi sumber daya alam maupun keberagamannya. Ada beberapa bentuk keberagaman di Indonesia, mulai dari keberagaman suku, keberagaman agama, keberagaman ras, dan juga keberagaman anggota golongan.

Keberagaman suku

Indonesia adalah negara kepulauan. Dari geografis yang berbeda-beda tersebut, Indonesia memiliki banyak sekali suku. Suku bangsa atau yang disebut juga etnik dapat diartikan sebagai pengelompokan atau penggolongan orang-orang yang memiliki satu keturunan. Selain itu, kelompok suku bangsa ditandai dengan adanya kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis yang dimiliki.

Setiap suku bangsa mempunyai ciri atau karakter tersendiri, baik dalam aspek sosial maupun budaya. Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok suku, lebih tepatnya 1.340 suku bangsa. 

Keberagaman agama

Indonesia adalah negara yang religius. Hal itu dibuktikan dalam sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Kebebasan dalam beragama dijamin dalam UUD 1945 pasal 29 yang menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Di Indonesia sendiri, ada enam agama yang diakui oleh negara. Agama-agama yang diakui oleh negara adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan juga Konghucu. Keenam agama harus hidup berdampingan di masyarakat dengan prinsip toleransi antarumat beragama.

Keberagaman ras

Ras merupakan klasifikasi yang digunakan untuk mengategorikan manusia melalui ciri fenotipe (ciri fisik) dan asal usul geografis. Asal mula keberagaman ras di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor seperti bangsa asing yang singgah di Tanah Air, sejarah penyebaran ras dunia, dan juga kondisi geografis. 

Ada beberapa ras yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Ras Malayan-Mongoloid yang berada di Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, dan Sulawesi. Ras Melanesoid mendiami wilayah Papua, Maluku, dan juga Nusa Tenggara Timur. Selain itu, ada juga ras Asiatic Mongoloid yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, yaitu seperti orang Tionghoa, Jepang, dan Korea. Terakhir, ada ras Kaukasoid, yaitu orang-orang India, Timur-Tengah, Australia, Eropa, dan Amerika.

Keberagaman anggota golongan

Dalam masyarakat multikultural, keberagaman golongan bisa terjadi secara vertikal dan horizontal. Untuk vertikal, terdapat hierarki lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Contohnya seperti status sosial, pendidikan, jabatan, dan sebagainya. Secara horizontal, biasanya anggota golongan setara dan tidak ada hierarki. Namun, hal ini mengakibatkan banyak yang merasa anggota golongannya paling benar sehingga merendahkan anggota golongan lainnya. Contohnya adalah agama, idealisme, adat-istiadat, dan sebagainya.

Pentingnya menjaga toleransi di dalam keberagaman

Meskipun Indonesia adalah negara yang kaya akan perbedaan dan keberagaman, hal tersebut membuat Indonesia rentan terpecah-belah akibat perbedaan yang ada. Perpecahan di masyarakat bisa memicu konflik yang menimbulkan kerugian banyak pihak.

Oleh karenanya, diperlukan sifat toleran dan juga tenggang rasa terhadap perbedaan dan kemajemukan di masyarakat. Sifat toleransi haruslah ditanamkan sejak dini supaya bisa menerima perbedaan yang ada.

Contoh perilaku toleransi seperti memberikan kesempatan kepada tetangga melakukan ibadahnya, tolong-menolong antarwarga ketika melaksanakan hari raya, dan tidak membeda-bedakan tetangga, dan menghargai perbedaan budaya yang ada.

Sikap dan perilaku toleransi terhadap keberagaman masyarakat merupakan kunci untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan, serta mencegah proses perpecahan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Setiap individu hendaknya mengaplikasikan perilaku toleran terhadap keberagaman suku, agama, ras, budaya, dan antargolongan.

Referensi: Modul PPKN SMP Terbuka Keberagaman Suku, Ras, Agama, dan Antargolongan dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika untuk kelas VII terbitan Direktorat SMP tahun 2020

Penulis: Pengelola Web Direktorat SMP