Menurutmu bagaimana cara mengetahui umur sebuah bangunan kuno yang dibangun beberapa abad yang lalu

Menurutmu bagaimana cara mengetahui umur sebuah bangunan kuno yang dibangun beberapa abad yang lalu

Menurutmu bagaimana cara mengetahui umur sebuah bangunan kuno yang dibangun beberapa abad yang lalu
Lihat Foto

Show

DOKUMEN KEPALA DUSUN SEGORO GUNUNG

Masyarakat dihebohkan dengan penemuan tiga arca dewa yang diduga peninggalan peradaban agama Hindu di kawasan hutan Dusun Segoro Gunung, Desa Nglinduk, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.

KOMPAS.com - Setiap daerah tentu memiliki sejarah dalam perjalanannya. Peninggalan sejarah tersebut tentu memiliki keberagaman sesuai dengan daerahnya.

Dalam buku Peninggalan Sejarah Masa Perkembangan Agama-Agama di Indonesia (1988) karya Masagung, peninggalan sejarah ini bisa juga digunakan sebagai sumber belajar untuk mengenal Indonesia secara dari masa ke masa.

Benda-benda peninggalan sejarah nenek moyak sangat bernilai tinggi. Peninggalan sejarah memiliki arti penting sebagai bukti peristiwa bersejarah yang terjadi di masa lalu. Bangsa Indonesia sejak zaman dahulu dikenal memiliki budaya luhur.

Beberapa macam bangunan peninggalan sejarah di Indonesia, sebagai berikut:

Arca

Arca adalah patung, baik terbuat dari batu atau perunggu. Contohnya arca Buddha Amarawati yang ditemukan di Sulawesi

Baca juga: Peninggalan Sejarah Kerajaan Majapahit

Benteng

Benteng adalahbentuk bangunan untuk keamanan dan pertahanan saat terjadinya perang. Benteng menjadi peninggalan zaman penjajah dan dibangun oleh bangsa penjajah maupun kerajaan di Nusantara.

Contoh peninggalah sejarah dalam bentuk benteng, yaitu:

  • Benteng Otanah di Sulawesi
  • Benteng Fort de Kock di Sumatera Barat
  • Benteng Portugis di Jepara
  • Benteng Pendem di Cilacap
  • Benteng Marlborough di Bengkulu

Candi

Candi adalah bangunan yang dibuat dari susunan batu. Biasaya candi dibangun sebagai tempagt pemujaan, penyimpanan abu jenazah raja atau pendeta Hindu dan Buddha zaman dulu.

Dilansir dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, kata candi berasal dari nama salah satu Dewa Durga (Dewa Maut) yaitu Candika.

Pada dinding candi terdapat ukiran yang disebut relief. Biasanya menggambarkan kisah-kisah mengenai agama Hindu dan Buddha. Bangunan candi kebanyakan di Jawa Tengah.

  • home
  • tekno
  • Menurutmu bagaimana cara mengetahui umur sebuah bangunan kuno yang dibangun beberapa abad yang lalu

    TEMPO/Budi Purwanto

    TEMPO Interaktif, Jakarta - Para ilmuwan telah mengembangkan metode baru untuk menentukan usia mumi, karya seni kuno, dan benda-benda purbakala tanpa menyebabkan kerusakan. Kabar menggembirakan ini terungkap pada Meeting of the American Chemical Society ke 239 kemarin."Temuan teknik ini revolusioner bagi penanggalan radiokarbon," kata Dr.Marvin Rowe, kepala tim peneliti. Menurut dia, teknik ini dapat dipakai untuk menentukan umur benda purbakala yang selama ini tersimpan di museum dan terlarang diteliti karena khawatir rusak. Secara teoritis, kata Rowe, teknik ini bisa dipakai untuk menentukan usia kain kafan yang dikenal Shroud of Turin. Rowe menjelaskan metode baru tersebut berupa bentuk lebih lanjut dari radiocarbon dating (penanggalan radiokarbon) yang selama ini digunakan arkeolog untuk memperkirakan umur sebuah benda dengan mengukur kadar radioaktif karbon yang terjadi secara alamiah karbon. Pada metode yang lama sedikit sampel objek diambil, misalnya kain atau bagian tulang yang kemudian dibakar untuk mengetahui jejak karbon. Metode baru yang disebut non-destructive carbon dating, kata Rowe pensiunan profesor dari Texas A & M University College Station, tidak melibatkan sampel. Pada metode baru, ilmuwan menempatkan artefak di ruang khusus berplasma di mana sebuah gas bermuatan listrik digunakan dan layar besar menampilkan di layar televisi. Secara perlahan gas mengoksidasi permukaan objek untuk menghasilkan karbon dioksida dengan analisis C-14 tanpa merusak permukaan objek.Rowe dan rekan-rekannya menggunakan teknik untuk menganalisis usia sekitar 20 zat-zat organik yang berbeda. Antara lain kayu, arang, kulit, rambut, tulang dan artefak lain dari Mesir yang berusia 1350 tahun. Hasilnya ternyata cocok dengan metode konvensional. Metode baru dan lama memang mampu mengihitung umur objek sampai 50.000 tahun.

    SCIENCEDAILY | UWD




    Oleh: Eadhiey Laksito Hapsoro
    Arkeolog UI, bergerak di bidang TI

    Archaeoastronomy adalah ilmu yang mempelajari astronomi masa lalu melalui data tertulis dan tidak tertulis. Berdasarkan cara kerja dan sumber datanya, archaeoastronomy dibedakan atas tiga bagian, yaitu:

    1. Astroarchaeology, mempelajari astronomi berdasarkan pola, tata letak, dan arsitektur bangunan kuno,
    2. History of Astronomy, mempelajari astronomi masa lalu melalui sumber tertulis, dan
    3. Ethnoastronomy, mempelajari astronomi berdasarkan pengetahuan masyarakat, baik masyarakat masa lalu maupun masyarakat sekarang (Aveni, 1981:1-2).

    Archaeoastronomy muncul akibat dari kebutuhan untuk menyusun sejarah ilmu astronomi. Norman Lockyer, seorang astronom Inggris, pada 1894 menulis “The Dawn of Astronomy”. Dia beranggapan bangunan-bangunan suci di Mesir (Kuno) berhubungan dengan gejala astronomi. Pola, tata letak, dan arsitektur bangunan Mesir dirancang bersesuaian dengan posisi matahari atau benda astronomi penting lainnya. Dia yakin, semua bangunan Mesir kuno dibangun berdasarkan prinsip-prinsip astronomi.

    Mesir
    Berdasarkan prinsip-prinsip astronomi—dalam hal ini mengenai pola dan waktu gerak benda langit—yang dapat diukur dengan tepat, Lockyer berusaha mencari tahu pertanggalan bangunan Mesir kuno. Piramida Cheops, misalnya, dianggap berhubungan dengan bintang Pleiades. Lockyer menduga piramida Cheops saat pembuatannya diorientasikan ke bintang Pleiades.

    Posisi atau azimut bintang Pleiades selalu berubah, dengan kala edarnya 26.000 tahun. Dengan mengukur azimut piramida Cheops dan mengukur azimut Pleiades, dia sampai pada kesimpulan bahwa piramida Cheops dibangun sekitar tahun 1750 SM.

    Ketika Lockyer meninggal dunia, kajian archaeoastromy khususnya astroarchaeology ikut terkubur. Baru pada 1963 muncul kembali dengan adanya penelitian oleh Gerald Hawkins. Dia meneliti Stonehenge di Inggris lalu sampai pada kesimpulan bahwa Stonehenge di dataran Salisbury yang dibangun sekitar tahun 2000-1500 SM itu, merupakan sebuah observatorium purba untuk mengukur posisi matahari dan bulan. Bahkan dapat digunakan untuk meramalkan gerhana.

    Sementara itu archaeoastronomy di Mesoamerika yang dipelopori oleh Thompson berkembang pesat. Thompson (1974) mencoba mengungkap pandangan manusia Maya terhadap alam. Dengan demikian dapat diketahui bagaimana pengertian atau pemahaman mereka mengenai astronomi.

    Banyak tinggalan masa lalu di Amerika Selatan yang berupa batu-batu (pilar-pilar) berserakan. Ternyata hal itu erat berkaitan dengan pertanian. Hal ini dapat diketahui dari adanya data tertulis, misalnya di Cerro Picchu. Sebuah naskah yang berasal dari tahun 1570 menyebutkan, ”Jika matahari melalui pilar pertama, berarti musim panas sudah mulai dan bila melalui pilar berikutnya, musim dingin menjelang. Bila matahari tepat berada di antara keduanya, musim tanam untuk seluruh wilayah Cuzco”.

    Astroarchaeology
    Archaeoastronomy yang lahir dan berkembang untuk kepentingan penyusunan sejarah (ilmu) astronomi, ternyata dapat digunakan untuk mengungkap masalah arkeologi, misalnya pertanggalan bangunan—seperti yang dilaporkan Lockyer di Mesir—dan pertanian di Maya dan Inca. Seperti diakui Aveni, hasil yang didapat lebih ke arah astronomi karena memang dikerjakan oleh dan untuk kepentingan astronomi. Untuk itu hasil-hasil yang diperoleh berdasarkan data di Amerika, harus dicocokkan dengan hasil-hasil yang diperoleh dari tempat lain, misalnya Asia (Tenggara), Polinesia, atau Afrika Tengah yang termasuk daerah tropis.

    Lebih lanjut Aveni menyarankan, mungkin bisa lebih baik hasilnya bila archaeoastronomy dilakukan oleh seorang antropolog atau arkeolog yang dibekali pengetahuan astronomi sebagai dasar pijakan penelitian archaeoastronomy. Soalnya mereka dianggap mengerti dan menguasai latar belakang budaya masyarakat masa lalu. Archaeoastronomy khususnya astroarchaeology, agaknya belum pernah dilakukan di Indonesia, walau pemikiran ke arah itu sebaya dengan awal perkembangan archaeoastronomy. Pada Seminar Arkeologi 1977 gagasan itu dilontarkan oleh Samingoen (1977:17-18).

    Lain halnya dengan History of Astronomy dan Ethnoastronomy. Di Indonesia keduanya sudah lama dilakukan, tetapi bukan oleh dan untuk kepentingan astronomi, melainkan untuk kepentingan sejarah, arkeologi, dan antropologi. Satu yang terkenal dari History of Astronomy adalah apa yang telah dikerjakan oleh Louis Charles Damais (1951). Dia mencoba menyamakan tarikh Saka dengan tarikh Masehi berdasarkan pola dan waktu gerak benda langit. Apa yang telah dikerjakan oleh Damais ini jelas sangat berguna bagi ilmu sejarah dan arkeologi.

    Tidak dimungkiri, kejadian-kejadian di bumi berhubungan langsung dengan gejala astronomi. Pasang surut air laut, terjadinya musim, dan sebagainya adalah akibat dari siklus astronomi. Pengetahuan manusia pada gejala-gejala astronomi inilah yang membuat kehidupan manusia menjadi terencana. Manusia dapat mengetahui kapan saat untuk berburu, menangkap ikan, bertani, atau melakukan kegiatan lainnya. Kejadian atau kegiatan yang berulang-ulang dan kemudian dihubungkan dengan gejala-gejala alam inilah yang kemudian membuat manusia mengenal kalender.

    Pada masyarakat yang masih sederhana, penanggalan atau kalender selalu diawali dari saat dimulainya kegiatan yang paling penting, yang biasanya berhubungan dengan mata pencarian. Awal tahun pada masyarakat bertani, ditandai adanya kegiatan mengolah tanah. Pembagian waktu tiap tahun, seperti pembagian 12 bulan dalam kalender Masehi, berdasar pada panjang pendeknya suatu musim, misalnya musim hujan dan musim panas.

    Pengetahuan pemahaman pada kemampuan masyarakat masa lalu—lewat data tertulis—maupun masyarakat sederhana masa kini tentang astronomi, dapat menambah pengetahuan kita untuk mengungkap masalah arkeologi. Astroarchaeology dapat digunakan untuk mencari tahu pertanggalan bangunan. Diharapkan dengan cara kerja astroarchaeology, masalah pertanggalan atau kronologi candi dapat diungkapkan.

    Manasara
    Candi adalah bangunan suci untuk tujuan keagamaan. Menurut Manasara, bagaimanapun bentuk dan ukurannya, candi dibangun dengan satu ketentuan dan proses yang sama, serta harus sesuai dengan konsep Vastupurusamandala.

    Secara garis besar candi dibangun dengan tahap-tahap perencanaan bentuk, pencarian lokasi, pengujian tanah, penyiapan tanah, pembuatan vastupurusamandala, pembuatan denah, dan pengerjaan fisik. Dari tahap-tahap itu, tahap pembuatan vastupurusamandala menunjukkan adanya kaitan antara pembuatan candi dengan astronomi.

    Berdasarkan keterangan dalam Manasara dan menghitung saat-saat matahari berada di posisi yang sama dengan orientasi candi, dapat diketahui bilamana candi tersebut mulai dibangun. Sebagai contoh cara kerja astroarchaeology dicobakan pada Candi Gunung Wukir yang terletak di 7:38:05,82 Lintang Selatan dan 110:17:43,4 Bujur Timur. Candi ini dihubungkan dengan Prasasti Canggal yang bertarikh 654 Saka atau 732 Masehi. Menurut perhitungan, matahari berada di posisi yang sesuai dengan orientasi dan keletakan Candi Gunung Wulir pada 19 November 719 dan 11 Januari 726 Masehi.

    Berdasarkan contoh di atas dapat dikatakan cara kerja astroarchaeology dapat digunakan untuk membantu mengungkapkan masalah pertanggalan candi, dengan catatan hasil-hasil yang diperoleh harus disesuaikan dengan sumber-sumber lain, khususnya sumber tertulis. Kemungkinan lain penerapan archaeoastronomy adalah pada bangunan-bangunan masa prasejarah, misalnya bangunan berundak. Hanya masalah utama yang harus dipecahkan adalah mengetahui kaitan antara astronomi dengan bangunan.

    Daftar Pustaka
    Aveni, Anthony F, ”Archaeoastronomy,” dalam M.B. Schiffer (ed.) Advances in Archaeological Method and Theory, IV, hal. 1-66. New York: Academic Press, 1981.

    Damais, L.Ch, “Etudes d’Epigraphie Indonesienne: I. Methode de Reduction des Dates Javanaises en Dates Europeenes, ” BEFEO, XLV, hal. 1-41, 1951.

    Hawkins, Gerald S., ”Stonehenge Decoded”, Nature 200, hal. 306-308. London, 1963.

    Kramrisch, Stella. The Hindu Temple. 2 Vols. University of Calcutta, 1946.

    Ram Raz. Essay on the Architecture of the Hindus. London: Published for the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, 1834.

    Samingoen, Sampoerno, “Tinjauan Seni bangunan Purbakala,” dalam Sujatmi Satari et al (ed.), Seminar Arkeologi. Jakarta: Pusat penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, hal. 11-33, 1977.

    Thom A. Megaliths Sites in Britain. London/New York: Oxford University Press, 1967.

    Thompson, J.E.S, “Maya Astronomy,” Philosophical Transactions of the Royal Society of London, Series A, No. 276, hal. 83-98, 1974.