Bani Abbas mendirikan kekhalifahan baru yang bertahan selama 500 tahun. Kamis , 14 Nov 2019, 10:00 WIB flickr.com Bekas istana Daulah Abbasiyah di Baghdad, Irak. Red: Agung Sasongko REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Berawal dari tumbangnya Dinasti Umayyah pada 750 M, berdirilah kekhalifahan baru dari Dinasti Abbasiyah. Dinasti Umayyah disingkirkan lewat revolusi yang dipimpin Bani Abbas yang masih kerabat Bani Umayyah dan keturunan dari paman Nabi, Abbas. Bani Abbas mendirikan kekhalifahan baru yang bertahan selama 500 tahun. Ia pun memindahkan ibu kota kekhalifahan ke Baghdad, Irak. Baghdad pun dengan cepat tumbuh menjadi pusat perdagangan, budaya, dan pusat aktivitas intelektual. Baghdad di masa Abbasiyah merupakan salah satu kota berpenduduk paling banyak dan paling makmur di dunia. Pada 836, Dinasti Abbasiyah memindahkan ibu kota mereka ke Samarra. Di sana pun, mereka mendirikan bangunan-bangunan megah yang menjadi simbol kejayaan dan kekuasaan. Ada masjid juga kompleks istana lengkap dengan taman, kolam buatan, barak, dan jalur balapan. Kekhalifahan Abbasiyah berakhir pada 1258 ketika orang-orang Mongol menyerbu Baghdad dan mengeksekusi khalifah Abbasiyah terakhir, sebuah tindakan yang menyebabkan dunia Islam terguncang. Kali ini, kami ajak Anda untuk merekam kembali kejayaan dan kemegahan Dinasti Abbasiyah melalui tiga peninggalannya. Istana Ukhaidir Baghdad adalah kota yang dibangun dalam bentuk bundar. Karena itu, ia sering disebut sebagai kota bundar. Pada masa itu, pembangunan kota bundar merupakan gagasan baru yang terbilang berani. Saat ini, hanya sedikit saja peninggalan di Baghdad yang bisa menunjukkan bahwa kota ini dahulu merupakan kota bundar. Salah satu dari yang sedikit itu adalah sebuah istana berbenteng yang dikenal sebagai Istana Ukhaidir. Dibangun pada 775 di dekat Kufa, sebuah wilayah yang berjarak 200 km selatan Baghdad, istana ini sedikit banyak memberi gambaran mengenai bentuk kota melingkar. Kompleks luas ini dikelilingi tembok setinggi 19 meter dan berbentuk persegi agak memanjang, tepatnya berukuran 175 m x 169 m. Di dalamnya, terdapat sejumlah pekarangan, aula, sebuah masjid, dan permandian. Mengelilingi bangunan dengan tembok tinggi mirip benteng merupakan salah satu ciri khas Abbasiyah. Dengan tembok tinggi itu, mereka berharap bisa lebih aman tatkala melaksanakan berbagai aktivitas, termasuk upacara-upacara megah di dalam istana. Makam Zumurrud Khatun Islam sejatinya tidak mengajarkan umatnya membangun makam yang mewah. Tapi, sejak abad ke-10, banyak penguasa Muslim yang meninggalkan bukti kekayaan dan kejayaan mereka dalam bentuk makam dan kompleks pemakaman yang megah. Di banyak tempat, sejumlah bangunan indah dan spektakuler diciptakan untuk mengenang mereka yang telah berpulang. Di Agra, India, misalnya, terdapat Taj Mahal, mausoleum yang luar biasa cantik. Begitu pula di Baghdad. Di ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah ini pernah dibangun makam Zumurrud Khatun yang tak kalah indah. Dibangun sekitar 1193, kompleks makam ini tersohor karena kubah muqarnas-nya yang tinggi dan berbentuk kerucut. Berlokasi di pusat kota Baghdad, bangunan ini sangat dekat dengan Madrasah Mustansiriya yang tersohor itu. Sesuai dengan namanya, bangunan ini didirikan oleh Zumurrud Khatun, ibunda Khalifah An-Nashir Lidinillah. Ia adalah khalifah Bani Abbasiyah ke-34 (1180-1225). Kompleks makam ini pernah beberapa kali dipugar, antara lain, pada 1590 oleh negarawan Turki Utsmani, Cigalazade Sinan Pasha, dan 1969 oleh Badan Wakaf Irak. Masjid Agung Samarra Pada abad ke-9, seiring kian memudarnya kekuasaan Khalifah Abbasiyah di Baghdad, Khalifah al-Mu'tashim memindahkan ibu kota kekhalifahan ke Samarra, 125 km utara Baghdad. Di kota ini, mereka mendirikan kota besar yang membentang 50 km di sepanjang Sungai Tigris dan meliputi daerah seluas 150 km persegi. Di kota baru ini, terdapat sejumlah istana megah, jalan raya, barak besar, taman rindang, juga masjid raya. Masjid itu adalah Masjid Agung Samarra yang kala itu merupakan masjid terbesar di dunia. Masjid yang terkenal dengan menara berbentuk spiral ini dibangun pada 848-852 oleh putra sekaligus pewaris al-Mu'tasim, al-Mutawakkil. Berukuran 239 m x 156 m, masjid ini dilindungi oleh tembok-tembok tinggi yang disokong oleh 44 menara semimelingkar. Keseluruhan bangunan berdiri di dalam daerah berpagar seluas 444 m x 376 m. Berabad-abad berlalu, hanya sedikit yang tersisa dari bagian interior masjid ini kecuali menara spiral yang dikenal sebagai al-Malwiya. Menara melingkar ini berdiri di atas landasan persegi dan menjulang setinggi 55 m di atas permukaan tanah. Terdapat sebuah tangga spiral memutar berlawanan arah jarum jam di sekeliling bagian luar menara sampai ke paviliun di puncak. Bentuk menara yang sangat unik ini tampaknya terilhami oleh ziggurat, menara kuil kuno Mesopotamia.
Rangkuman Materi PAI Kelas VIII Semester II Perkembangan Ilmu Pengetahuan pada Masa Bani Abbasiyah Kompetensi Dasar : 3.7. Memahami Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Bani Abbasiyah Sejarah Singkat Dinasti/Daulah Abbasiyyah Dinasti Abbasiyah berkuasa selama lima abad yaitu tahun 132-656/750-1258 M, menggantikan Daulah Umayyah yang telah berkuasa selama 92 tahun (40-132 H/660-750 M). Dengan tumbangnya Bani Umayyah maka kekuasaan berpindah ke tangan Dinasti Abbasiyah. Dinamakan Dinasti Abbasiyah dinisbahkan kepada paman Nabi Muhammad SAW Abbas bin Abdul Mutholib karena para pendiri dan khalifahnya merupakan keturunan darinya. Khalifah yang pertama kali menduduki jabatan adalah Abdul Abbas Asy Syafah yang berkuasa pada tahun 132-136 H/750-753 M. Dinasti Abbasiyah selama masa tersebut dipimpin oleh 37 khalifah. Khalifah yang terakhir adalah Al Mu’tazim yang berkuasa pada tahun 124 H/1258 M dan mati terbunuh oleh pasukan Mongol pimpinan Hulogu Khan. Hulogu Khan adalah cucu dari Jengis Khan. Khalifah-khalifah besar pada masa Dinasti Abbasiyah adalah Abu Abbas As Safa, Abu Jafar al-Mansyur, Harun ar-Rasyid, Al Makmum, Al Mu’tazim dan Al Watsik. Mereka adalah para khalifah yang telah menghantarkan ke puncak masa kejayaan dan keemasan daulah Dinasti Abbasiyah. Setelah itu hampir tidak ada khalifah yang besar lagi. Hal ini dikarenakan mereka lebih banyak disibukkan dengan hal duniawi dan saling berebut kekuasaan. Selama berkuasa Dinasti Abbasiyah mengalami masa kejayaannya, mulai dari berdirinya hingga sampai pada masa pemerintahan Khalifah Al Watsik Billah tahun 232 H/879 M. Masa tersebut merupakan masa yang gemilang, bahkan dapat dikatakan masa keemasan dan kejayaan bagi umat Islam hampir di segala bidang terutama bidang keilmuan dan menjadi pusat peradaban dunia. Dalam aktifitas pemerintahannya Dinasti Abbasiyah mengambil pusat kegiatan di kota Bagdad dan sekaligus dijadikan sebagai ibukota negara. Dari sinilah segala kegiatan baik politik, sosial, ekonomi, kekuasaan, pengetahuan, kebudayaan, dan lain-lain dijalankan. Kota Bagdad dijadikan sebagai kota pintu terbuka, artinya siapapun boleh memasuki dan tinggal di kota tersebut. Akibatnya semua bangsa yang menganut berbagai agama dan keyakinan diijinkan bermukim di dalamnya. Bagdad pun menjadi kota internasional yang sangat ramai dan di dalamnya berkumpul berbagai unsur, seperti Arab, Turki, Persia, Romawi, Qibthi, dan sebagainya. Perkembangan Ilmu Pengetahuan pada Masa Dinasti Abbasiyah Pada masa Dinasti Abbasiyah kehidupan peradaban Islam sangat maju, sehingga pada masa itu dikatakan sebagai jaman keemasan Islam. Kaum muslimin telah menggapai puncak kemuliaan dan kekayaan, baik itu di bidang kekuasaan, politik, ekonomi, dan terlebih lagi dalam bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan, baik pengetahuan tentang ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum mengalami kemajuan yang sangat pesat. Berbagai ilmu telah lahir pada zaman tersebut. Hal ini dikarenakan antara lain: Berbagai macam penelitian dan kajian tentang ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh para kaum muslimin itu sendiri, kegiatan penerjemahan buku berbahasa asing seperti Yunani, Mesir, Persia, India, dan lain-lain ke dalam bahasa Arab dengan sangat gencar. Buku-buku yang diterjemahkan antara lain: ilmu kedokteran, kimia, ilmu alam, mantiq (logika), filasat al jabar, ilmu falak, matematika, seni, dan lain-lain. Penerjemahan dan penelitian tersebut pada umumnya dilaksanakan pada masa kekhalifahan Abu Ja’far, Harun ar-Rasyid, al-Makmum, dan Mahdi. Khalifah Harun ar-Rasyid sangat concern dalam memajukan pengetahuan tersebut. Beliau mendirikan lembaga ilmu pengetahun yang diberi nama “BAITUL HIKMAH” sebagai pusat penerjemahan, penelitian, dan pengkajian ilmu perpustakaan serta lembaga pendidikan (Perguruan Tinggi). Buah dari perhatian tersebut kaum muslimin dapat mempelajari berbagai ilmu dalam bahasa Arab. Dan hasilnya bermunculan sarjana-sarjana besar muslim dari berbagai disiplin ilmu yang sangat terkenal juga ulama-ulama besar yang sangat tersohor seperti halnya Imam Abu Hanafi-Imam Malik-Imam Syafei-Imam Hambali, Imam Bukhari, dan Imam Muslim. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting dan mulia. Para khalifah dan pembesar lainnya membuka peluang sebesar-besarnya untuk kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Para khalifah sendiri pada umumnya adalah ulama-ulama yang mencintai ilmu, menghormati para sarjana dan memuliakan para pujangga. Mereka sungguh menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, mereka menerapkan subtansi dari mempraktikkan syariat Islam: bahwa tinggi rendahnya derajat dan martabat seseorang tergantung pada banyak sedikitnya pengetahuan yang ia miliki di samping ketakwaannya pada Allah swt. Allah swt. berfiman dalam Q.S al-Mujaddalah/58: 11: Artinya: “Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. (Q.S al-Mujadalah/58: 11) Para khalifah dalam memandang ilmu pengetahuan sangat menghargai dan memuliakannya. Oleh karena itu, mereka membuka peluang seluas-luasnya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan kepada seluruh mahasiswa baik dari kalangan Islam maupun kalangan lainnya. Para khalifah sendiri pada umumnya seorang ulama yang mencintai ilmu, menghormati sarjana dan para pujangga. Kebebasan berfikir sangat dijunjung tinggi. Para sarjana (ulama) dibebaskan untuk berijtihad mengembangkan daya intelektualnya dan bebas dari belenggu taqlid. Hal ini menjadikan ilmu pengetahuan umum atau agama berkembang sangat tinggi. Sebagai bukti antara lain: Dibentuk Korps Ulama yang anggotanya terdiri dari berbagai negara dan berbagai agama yang bertugas menerjemahkan, membahas, dan menyusun sisa-sisa kebudayaan kuno, sehingga pada masa itu muncullah tokoh-tokoh muslim yang menyebarluaskan agama Islam dan menghasilkan karya-karya yang besar. Didirikanlah Baitul Hikmah sebagai pusat penterjemahan, penelitian dan pengkajian ilmu pengetahuan baik agama maupun umum. Didirikan ‘Majelis Munazarat’ yaitu suatu tempat berkumpulnya para sarjana muslim, untuk membahas ilmu pengetahuan, para sarjana muslim diberi kebabasan berfikir atas ilmu pengetahuan tersebut. Hasil Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam pada Masa Dinasti Abbasiyah Kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah sangat pesat, sehingga lahir beberapa ilmu dalam agama Islam, antara lain sebagai berikut. a. Ilmu Hadis Ilmu hadis adalah ilmu yang mempelajari tentang hadis dari sunat, perawinya, isi, dll. Pada masa itu bermunculan ahli-ahli hadis yang besar dan terkenal beserta hasil karyanya, antara lain:
b. Ilmu Tafsir Ilmu tafsir adalah ilmu yang menjelaskan tentang makna/kandungan ayat Al-Qur’an. Sebab-sebab turunnya ayat/Asbabun nuzulnya, hukumnya, dan lain-lain. Adapun ahli tafsir yang termasyur ketika itu antara lain:
c. Ilmu Fikih Ilmu fikih yaitu ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum Islam (segala sesuatu yang diwajibkan, dimakruhkan, dibolehkan, dan yang diharamkan oleh agama Islam). d. Filsafat Islam Filsafat Islam adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala sesuatu yang ada, sebab asal hukumnya atau ketentuan-ketentuannya berdasarkan Al-Qur’an dan hadis. Manfaat filsafat Islam adalah untuk menemukan hakikat segala sesuatu sebagai ciptaan Allah dan merupakan bukti kebesaran-Nya. Allah swt. berfirman: Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.” (Q.S. Ali-‘Imran/3: 190) e. Ilmu Tasawuf Ilmu tasawuf yaitu ilmu yang mengajarkan cara-cara membersihkan hati, pikiran, dan ucapan dari sifat yang tercela sehingga tumbuh rasa taqwa dan dekat kepada Allah swt. Untuk dapat mencapai kebahagiaan abadi (bersih lahir dan batin). Orang muslim yang menjalani kehidupan tasawuf disebut sufi. f. Sejarah Sejarah ialah ilmu yang mempelajari tentang berbagai peristiwa masa lampau yang meliputi waktu dan tempat peristiwa itu terjadi, pelakunya, peristiwanya dan disusun secara sistematis. Dengan mempelajari sejarah seseorang dapat mengambil pelajaran, manfaat, dan hikmahnya dari peristiwa tersebut. Allah swt. berfirman dalam Surah Yusuf ayat 111 : Artinya: “Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal.” (Q.S. Yusuf/12: 111) g. Kedokteran Pada masa Dinasti Abbasiyah kedokteran mengalami perkembangan dan kemajuan, khususnya tatkala pemerintahan Harun ar-Rasyid dan khalifah-khalifah besar sesudahnya. Pada waktu itu sekolah-sekolah tinggi kedokteran didirikan sehingga banyak mencetak sarjana kedokteran. h. Matematika Para tokohnya antara lain:
i. Astronomi Astronomi ilmu yang mempelajari perjalanan matahari, bumi, bulan, dan bintang-bintang serta planet-planet yang lain. Tokoh-tokohnya antara lain:
Ilmuwan/Tokoh-Tokoh Islam pada Masa Dinasti Abbasiyah a. Ahli Filsafat Islam antara lain: Al-Kindi (185-252 H/805-873 M), terkenal dengan sebutan ‘Filosof Arab’, beliau menerjemahkan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab. Bermacam-macam ilmu telah dikajinya, terutama filsafat. Al-Kindi bukan hanya filosof, tetapi juga ahli ilmu matematika, astronomi, farmakologi, dan sebagainya. Al Farabi (180-260 H/780 – 863 M), beliau menerjemahkan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab. Al Farabi banyak menulis buku mengenai logika, matematika, fisika, metafisika, kimia, etika, dan sebagainya. Filsafatnya mengenai logika antara lain dalam bukunya “Syakh Kitab al Ibarah Li Aristo”, menjelaskan logika adalah ilmu tentang pedoman yang dapat menegakkan pikiran dan dapat menunjukkannya kepada kebenaran. Dia diberi gelar guru besar kedua, setelah Aristoteles yang menjadi guru besar pertama. Buah karyanya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa. Ibnu Sina (Abdullah bin Sina) (370 - 480H/980 - 1060 M). Di Eropa dikenal dengan nama Avicena. Sejak kecil ia telah belajar bahasa Arab, geometri, fisika, logika, teolog Islam, ilmu-ilmu kedokteran dan Islam. Beliau seorang dokter di kota Hamazan, Persia, yang aktif mengadakan penelitian tentang berbagai macam jenis penyakit. Beliau juga terkenal dengan idenya mengenai faham serba wujud atau wahdatul wujud, juga ahli fisika dan ahli jiwa. Pada usia 17 tahun ia sangat terkenal. Karangan Ibnu Sina berjumlah lebih dari dua ratus buku, yang terkenal antara lain: 1. Asy Syifa, buku ini adalah buku filsafat, terdiri atas empat bagian yaitu logika, fisika, matematika, dan metafisika. 2. Al-Qanun atau Canon of Medicine. Menurut penyebutan orang-orang barat, buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan pernah menjadi buku standar untuk Universitas-universitas Eropa sampai akhir abad ke-17. Ibnu Rusyd. Dilahirkan di Cardova pada tahun 250 H/1126 M dan meninggal dunia tahun 675 H/1198 M. Dia dikenal di Eropa dengan nama Averoes. Dia adalah ahli filsafat yang dikenal dengan sebutan bapak Rasionalisme. Dia juga ahli ilmu hayat, ilmu fisika, ilmu falak, ilmu akhlak dan juga ilmu kedokteran, ilmu fikih. Karyanya antara lain: a. Fasul Maqal fima Baina al Hikmati Wasyari’at Minal Ittisal. b. Bidayatul Mujtahid c. Tahafutut Tahafud d. Fikih. Karangan beliau hingga kini masih banyak dijumpai di perpustakaan Eropa dan Amerika. b. Ahli Kedokteran Muslim Hunain Ibnu Iskak, lahir pada tahun 809 M dan meninggal pada tahun 874 M. Beliau adalah dokter spesialis mata, karyanya adalah buku-buku tentang berbagai penyakit, dan banyak menerjemahkan buku-buku kedokteran yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Ibnu Sina, di samping filosof juga sebagai tokoh kedokteran, bukunya yang sangat terkenal di bidang kedokteran adalah Al-Qanun Fi Al-tib dijadikan buku pedoman kedokteran di Universitas-universitas Eropa maupun negara-negara Islam. c. Ahli Sejarah Ibnu Qutaibah (828 M – 889 M) dengan hasil karyanya Uyun Al Akhbar yang berisi sejarah politik negeri-negeri Islam. At-Thabari (839 M – 923 M) menulis tentang sejarah para rasul dan raja-raja. Ibnu Khaldun (1332 M – 1406 M) hasil karyanya Al Ihbar banyaknya 7 jilid dan setiap jilidnya berisi 500 halaman. d. Ahli Fikih
Para mujtahidin mencurahkan segala kemampuannya untuk mendapatkan ilmu-ilmu praktis dalam syariat Islam sehingga umat Islam dengan mudah melaksanakannya. e. Ahli Tasawuf
|