Mengapa organisasi yang didirikan oleh para ulama dinamakan nahdlah

Academia.edu no longer supports Internet Explorer.

To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.

Liputan6.com, Jakarta - Di Jawa Timur, terdapat salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini sudah tidak asing terdengar di telinga masyarakat Indonesia.

NU pun memperingati Harlah ke-94 pada 31 Januari 2020. Organisasi Islam ini tumbuh dan berkembang di tanah Jawa sejak dulu. Kali ini Liputan6.com akan membahas mengenai sejarah NU mengutip dari laman resmi nu.or.id.

Pada mulanya, kalangan pesantren mempunyai tekad untuk melawan kolonialisme dengan membentuk suatu organisasi pergerakan pada 1916, kala itu bernama Nahdlatul Wathan yang mempunyai arti “Kebangkitan Tanah Air”.

Selang dua tahun, pada 1918 didirikan kembali organisasi yang bertujuan untuk pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan santri bernama Taswirul Afkar atau dikenal dengan Nahdlatul Fikri yang mempunyai arti “Kebangkitan Pemikiran”.

Kemudian, untuk memperbaiki perekonomian rakyat didirikan Nahdlatul Tujjar yang mempunyai arti “Pergerakan Kaum Saudagar”. Dengan begitu, Taswirul Afkar menjadi lembaga pendidikan yang berkembang, bahkan sampai memiliki cabang di beberapa kota.

Dengan demikian, kaum terpelajar menyadari keterbelakangan yang dialami oleh Indonesia baik mental maupun ekonomi akibat penjajahan atau kungkungan tradisi dan berniat memperjuangkan harga diri bangsa ini. Hal ini direalisasikan dalam jalan pendidikan dan organisasi.

Gerakan ini muncul pada 1908 dan dikenal dengan “Kebangkitan Nasional”. Akibatnya, banyak bermunculan organisasi pendidikan dan pembebasan.

Ketika Raja Ibnu Saud berencana menerapkan asas tunggal, yaitu mazhab wahabi di Mekah dan menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam termasuk pra-Islam yang banyak didatangi karena dianggap bi’dah.

Hal tersebut disambut baik oleh kaum modernis Indonesia, baik Muhammadiyah yang berada di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII yang berada di bawah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Namun, kalangan pesantren yang berpihak kepada keberagaman, menolak gagasan tersebut.

Karena tidak sejalan dengan gagasan pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban, maka kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada 1925. Dengan demikian, kalangan pesantren tidak dilibatkan dalam delegasi Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah untuk disahkan.

Akibat dari hal tersebut, kalangan pesantren membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz yang diketahui oleh K.H. Wahab Hasbullah.

Dengan desakan Komite Hejaz dan seruan dari penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud membatalkan pengesahan tersebut dan sekarang di Mekah bebas untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab masing-masing.

Setelah itu, untuk mengantisipasi perkembangan zaman lalu dibentuklah organisasi yang lebih sistematis. Organisasi yang dibentuk awalnya dimusyawarahkan dengan para kiai, kemudian lahirlah Nahdlatul Ulama (NU) yang mempunyai arti “Kebangkitan Ulama”. NU lahir pada 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926 di bawah kepemimpinan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.

K.H. Hasyim Asy’ari pun merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar) dan Kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah yang kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU dan menjadi dasar dan rujukan pemikiran dan tindakan keagamaan juga politik warga NU.

(Shafa Tasha Fadhila - Mahasiswa PNJ)

Merdeka.com – Hari ini 31 Januari, pada tahun 1926 silam, Nahdlatul Ulama (NU) secara resmi didirikan. Organisasi Islam terbesar di Indonesia ini digagas oleh para kiai ternama dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Madura, dan Jawa Barat, yang melakukan pertemuan di rumah K.H Wahab Hasbullah di Surabaya.

Mengapa para ulama pesantren mendirikan Nahdlatul Ulama?

Negara Indonesia adalah salah satu negara muslim terbesar di dunia, sehingga kekuatan agama islam sangat besar di Indonesia untuk itu diperlukan organisasi yang menaungi agama islam di indonesia, maka dari itu para ulama mendirikan NU yang bertujuan mempersatuakn umat islam, mengatur hal hal yang berkaitan dengan agama …

Siapa saja ulama yang ada di Surabaya tanggal 31 Januari 1926 untuk bersama sama mendirikan Nahdlatul Ulama?

Berdasarkan buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU karya Choirul Anam, para kiai yang hadir dalam pertemuan Kertopaten, Surabaya itu adalah KH Hasyim Asy’ari Tebuireng (Jombang, Jawa Timur), KH Abdul Wahab Chasbullah (Tambakberas, Jombang, Jawa Timur), KH Bishri Syansuri (Jombang, Jawa Timur), KH Asnawi (Kudus, Jawa …

Mengapa organisasi yang didirikan oleh para ulama dinamakan nahdlah?

Jadi, organisasi ini bernama Nahdlatul Ulama yang artinya kebangkita para ulama. Menurut Rais Aam PBNU KH Miftahul Akhyar, dalam ilmu tata bahasa Arab, nahdlah adalah bentuk masdar marrah. Nahdlah dalam bentuk seperti itu maksudnya sekali bangkit dan berlangsung terus. Tidak sekali tumbuh, kemudian mati.

Siapakah yang mengusulkan nama Nahdlatul Ulama?

Pada saat mendirikan NU, para kiai juga mendiskusikan nama organisasi yang akan digunakan. Serupa dengan nama kelompok sebelumnya, tersebutlah usulan nama Nuhudlul Ulama yang berarti kebangkitan ulama. Namun, KH Mas Alwi Abdul Aziz kemudian mengusulkan nama Nahdlatul Ulama.

Nahdlah artinya apa?

Menurut Rais Aam PBNU KH Miftahul Akhyar, dalam ilmu tata bahasa Arab, nahdlah adalah bentuk masdar marrah. Nahdlah dalam bentuk seperti itu maksudnya sekali bangkit dan berlangsung terus. Tidak sekali tumbuh, kemudian mati.

Apa yang dimaksud dengan PBNU?

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya memaknai nama bakal Ibu Kota Negara (IKN) baru RI, Nusantara, di Kalimantan Timur.

Siapa yang mengusulkan nama Nahdlatul Ulama?

Siapakah yang menjadi pemimpin tertinggi Nahdlatul Ulama?

Rais ‘Aam adalah jabatan tertinggi Syuriah yang tugas-tugasnya dibantu oleh Wakil, Katib, dan A’wan. Jabatan Rais ‘Aam pertama kali adalah Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dengan sebutan Rais Akbar sebab beliau sebagai pendiri sekaligus pimpinan tertinggi pertama kali di dalam Nahdlatul Ulama.

tirto.id - Sebelum Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) didirikan pada 1926, sudah ada beberapa organisasi di Hindia Belanda yang menggunakan nama serupa. Ada Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Bangsa), Nahdlatul Tujjar (Kebangkitan Pedagang), sampai dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran).

Nama-nama organisasi yang memuat kata "nahdlatul" di atas semuanya lahir di Jawa Timur. Otaknya juga sama: seorang kiai kharismatik bernama K.H. Wahab Hasbullah, salah seorang tokoh generasi pertama NU. Seseorang yang, oleh Martin van Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994: 34), dianggap sebagai tokoh utama di balik berdirinya NU.

Setelah nyantri selama empat tahun di Pesantren Tebuireng, pada 1908 K.H. Hasyim Asy'ari, ulama besar yang kemudian mendeklarasikan berdirinya NU, memerintahkan Wahab untuk belajar ke Makkah. Pada tahun berdirinya Budi Utomo itulah Wahab akhirnya berangkat ke kota suci umat Islam.

Sejak muda, Wahab adalah—dalam bahasa van Bruinessen—“pengorganisir yang bersemangat”. Hal ini terlihat saat Wahab menetap di Makkah dan mendengar bahwa di Jawa berdiri Sarekat Islam dan Muhammadiyah pada 1912. Seperti dicatat Djohan Effendi dalam Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi (2010: 98), bersama Ajengan Abdul Halim, Ajengan Ahmad Sanusi, dan K.H. Mas Mansur, Wahab kemudian mendirikan Sarekat Islam Cabang Makkah.

Baca juga: K.H. Wahab Hasbullah, Playmaker Politik Nahdlatul Ulama

Mengapa organisasi yang didirikan oleh para ulama dinamakan nahdlah

Begitu pulang ke tanah air pada 1914, Wahab menetap di Surabaya dan aktif di Sarekat Islam. Dua tahun kemudian, bersama Mas Mansur, kawannya yang juga telah kembali setelah menuntaskan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo, mendirikan Nahdlatul Wathan pada 1916. Ini adalah sekolah Islam yang memiliki corak berbeda dengan madrasah di pesantren-pesantren pada umumnya pada era itu. Menurut van Bruinessen, bisa dibilang Nahdlatul Wathan merupakan lembaga pendidikan agama yang bercorak nasionalis moderat pertama di Hindia Belanda (hlm. 35).

Nahdlatul Wathan berkembang pesat dan pada 1916 sudah memiliki madrasah dengan gedung besar serta bertingkat di Surabaya. Cabang-cabangnya pun berdiri di mana-mana, termasuk di Malang, Semarang, Gresik, Jombang, dan lain-lain.

Nahdlatul Wathan yang didirikan Wahab dan Mas Mansur itu berbeda dengan Nahdlatul Wathan organisasi masyarakat di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Nahdlatul Wathan yang disebut terakhir ini didirikan oleh Tuan Guru Kiai Haji (TGKH) Muhammad Zainuddin Abdul Madjid pada 1953.

Di Lombok, Nahdlatul Wathan sangat berpengaruh, termasuk dalam jumlah massa. Tidak heran jika banyak yang rancu membedakan keduanya, sehingga dari sanalah muncul salah tafsir dan menganggap bahwa Nahdlatul Wathan di Lombok adalah cikal bakal berdirinya NU. Padahal keduanya berbeda.

Baca juga: Nahdlatul Wathan Cikal Bakal Nahdlatul Ulama dan Yang Bukan

Selain Nahdlatul Wathan, Wahab juga banyak mendirikan organisasi dengan nama-nama yang hampir mirip. Seperti Sjubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air) atau pada 1918 mendirikan koperasi pedagang (yang kebanyakan anggotanya adalah kiai) dengan nama Nahdlatul Tujjar.

Setahun berselang, di Ampel, Surabaya, berdiri majelis diskusi dan madrasah bernama Tashwirul Afkar. Madrasah ini didirikan sebagai tempat mengaji dan belajar ilmu agama bagi anak-anak yang diharapkan kelak dapat mempergunakan ilmunya untuk melestarikan Islam tradisional. Wahab dan Mas Mansur lagi-lagi punya andil dalam pembentukan madrasah ini.

Uniknya, Mas Mansur kelak dikenal sebagai ulama dari Muhammadiyah, ia bahkan merupakan murid langsung dari pendiri organisasi Islam pembaharu ini, Kiai Haji Ahmad Dahlan. Muhammadiyah nantinya berpolemik dengan golongan Islam tradisional yang menjadi pemantik lahirnya NU.

Baca juga: Nahdlatul Ulama Didirikan untuk Membendung Puritanisme Agama

Menjaga Islam Nusantara

Pada 1924 Wahab mengusulkan kepada Hasyim Asy'ari bahwa perlu dibuat semacam organisasi ulama untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan lembaga pendidikan seperti pesantren di Jawa, khususnya di Jawa Timur.

Munculnya ide itu dari Wahab bisa dimaklumi. Sebelum ada konsep Bahtsul Masail yang kita kenal saat ini, Wahab sudah melakukannya di Tashwirul Afkar sejak 1919. Tashwirul Afkar rutin mengadakan diskusi tentang masalah-masalah agama dengan beberapa ulama tradisional di Surabaya.

Aktivitas Kiai Wahab itulah yang membuat Sarekat Islam punya dua tokoh yang sama-sama mumpuni di Surabaya. Pada 1920-an itu SI punya H.O.S. Tjokroaminoto dengan aktivitas politik di satu kaki, dan Wahab dengan Nahdlatul Wathan serta kelompok Tashwirul Afkar di kaki yang lain.

Baca juga: H.O.S. Tjokroaminoto Memadukan Islam dan Sosialisme

Infografik Mozaik Kelahiran NU. tirto.id/Fuad

Sampai kemudian, setelah terjadi perdebatan keras dengan beberapa kiai di Jawa, ide dari Wahab yang belum pernah ada sebelumnya ini pun diterima oleh Hasyim Asy'ari. Persetujuan yang muncul dari Hasyim juga didasari peralihan kekuasaan di Makkah. Ibnu Saud mengambil alih kekuasaan dan situasi itu dicemaskan akan berdampak pada praktik peribadatan umat Islam di Hindia Belanda karena corak ideologi Ibnu Saud yang puritan.

Wahab dan para kiai Islam tradisionalis lainnya merasa sangat perlu membentengi Islam Nusantara karena beberapa tata cara ibadah keagamaan mereka juga kerap ditentang golongan Islam reformis yang digawangi misalnya oleh Al-Irsyad dan Muhammadiyah, pada dekade ketiga abad ke-20 itu.

Pada awal 1926 rapat antar-organisasi Islam di Cianjur menyatakan akan mengirim dua utusan ke Makkah untuk menghadap Ibn Saud. Wahab mengusulkan delegasi tersebut membawa persoalan mengenai praktik keagamaan Islam tradisional di Indonesia.

Namun usul itu ditolak dengan tegas oleh kelompok Islam reformis. Penolakan itulah yang kemudian membuat golongan Islam tradisionalis memutuskan bakal mengambil jalan sendiri untuk menghadap Ibn Saud guna memperjuangkan kepentingan mereka.

Kekhawatiran itulah yang tercermin dari tulisan Hasyim dalam pembukaan Anggaran Dasar organisasi para ulama tersebut. Sebuah pembukaan yang berisi bahwa pembentukan organisasi ulama untuk membela agama Islam merupakan konsekuensi logis dan perlu untuk mempersiapkan diri dari perubahan kekuasaan di Makkah. Sebuah risalah yang kemudian melahirkan Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926, tepat hari ini 95 tahun lalu.

Baca juga: K.H. Hasyim Asy'ari, Ahli Hadis Sokoguru Islam Tradisionalis

Sebagaimana dicatat dalam K.H. Abdul Wahab Hasbullah: Bapak dan Pendiri NU (1972) karya Saifuddin Zuhri, para kiai berkumpul di kediaman Wahab dan memutuskan membentuk suatu organisasi kemasyarakatan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang dinamakan Nahdlatul Ulama atau “kebangkitan para ulama”. Tanggal 31 Januari 1926 kemudian ditetapkan sebagai hari lahir NU.

NU bergerak di bidang keagamaan dan kemasyarakatan serta dibentuk dengan tujuan untuk memahami dan mengamalkan ajaran Islam, baik dalam konteks komunikasi vertikal dengan Allah SWT maupun komunikasi horizontal dengan sesama manusia.

Dalam perjalanan riwayatnya, NU berkembang pesat dan amat terjaga secara tradisional. Kini, NU menjadi organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, hidup berdampingan dengan wakil kelompok Islam reformis yang dulu berpolemik, Muhammadiyah.

==========

Artikel ini adalah pengembangan dari dua artikel yang sudah ditayangkan sebelumnya yaitu tentang Nahdlatul Wathan dan kelahiran Nahdlatul Ulama.

Baca juga artikel terkait NAHDLATUL ULAMA atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya dan Ahmad Khadafi
(tirto.id - daf/ivn)

Penulis: & Ahmad Khadafi Editor: Ivan Aulia Ahsan