Mengapa negara-negara berkembang umumnya lebih memiliki kebijakan industri substitusi impor

You're Reading a Free Preview
Pages 6 to 9 are not shown in this preview.

You're Reading a Free Preview
Pages 13 to 21 are not shown in this preview.

Kamis, 6 Mei 2021

Mengapa negara-negara berkembang umumnya lebih memiliki kebijakan industri substitusi impor

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menginisiasi kebijakan substitusi impor sebesar 35 persen pada tahun 2022 dengan tujuan untuk memperbaiki neraca perdagangan nasional, terutama bagi bahan baku dan bahan penolong yang menjadi tulang punggung industri pengolahan nasional. Selain itu, diyakini kemampuan pasokan bahan baku dan bahan penolong di dalam negeri akan meningkat.

“Substitusi impor ini diharapkan tidak hanya memacu peningkatan konsumsi bahan baku dan bahan penolong lokal, namun juga memacu industri nasional dalam mengisi kekosongan pada struktur industri yang selama ini diisi dengan cara impor,” kata Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Muhammad Khayam di Jakarta, Kamis (6/5).

Guna mewujudkan suksesnya program substitusi impor tersebut, Dirjen IKFT menegaskan, pihaknya berfokus pada penurunan impor bahan baku dan bahan penolong, serta barang jadi dari produk hilir yang secara paralel dilakukan beberapa pendekatan yang di sinergikan dengan pemangku kepentingan terkait.

“Namun yang perlu mendapatkan perhatian adalah penurunan impor bahan baku dan bahan penolong ini seyogyanya tidak menghambat produksi, terutama bagi produk hulu atau setengah jadi yang menjadi input oleh industri turunan atau hilir,” paparnya.

Adapun beberapa pendekatan yang bisa dilakukan dalam kebijakan substitusi impor, antara lain perluasan industri untuk peningkatan produksi bahan baku dan bahan penolong sebagai input industri turunan. Pendekatan ini lebih ditujukan kepada produsen bahan baku eksisting, ditujukan untuk memperluas volume produksi dan kemampuan supply dalam negeri.

Kedua, investasi baru yang ditujukan ditujukan bagi para industri untuk menangkap peluang atas besarnya impor bahan baku dan bahan penolong melalui produksi bahan baku dan bahan penolong di dalam negeri.

Ketiga, dengan peningkatan utilisasi industri. Pendekatan ini merupakan salah satu outcome yang diharapkan dapat meningkatkan utilisasi industri dalam negeri dan mengurangi ketergantungan impor bahan baku dan bahan penolong.

Kebijakan substitusi impor tidak bisa dicapai hanya dengan mengurangi impor saja, sehingga ketiga pendekatan tersebut menjadi penting dan prioritas dalam mencapai target substitusi impor sebesar 35% di tahun 2022,” jelas Khayam

Menurutnya, sektor IKFT mampu memberikan kontribusi besar terhadap kebijakan substitusi impor tersebut. Potensi ini salah satunya ditunjukkan dari kinerja gemilang industri farmasi, obat kimia dan obat tradisional serta industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia yang pertumbuhannya pada tahun 2020 naik sebesar 9,39% (yoy).

“Sementara itu, kontribusi sektor industri kimia, farmasi dan tekstil sebesar 4,48%, dengan kontribusi terbesar adalah di industri kimia, farmasi dan obat sebesar 1,92%,” ungkapnya.

Sepanjang tahun 2020, perkembangan ekspor di sektor IKFT sebesar USD33,99 miliar, dengan surplus USD89 juta. “Sumbangan ekspor terbesar dari industri pakaian jadi dan tekstil, dengan nilai USD10,63 miliar,” sebut Khayam.

Berikutnya, realisasi investasi tahun lalu di sektor IKFT menembus Rp61,97 triliun, yang didominasi oleh industri kimia dan bahan kimia. “Sedangkan tenaga kerja yang bisa diserap sebesar 6,24 juta orang, di mana penyerapan terbesar di industri tekstil dan pakaian jadi sebesar 3,43 juta orang,” imbuhnya.

Demikian Siaran Pers ini untuk disebarluaskan.

Share:
Mengapa negara-negara berkembang umumnya lebih memiliki kebijakan industri substitusi impor
Mengapa negara-negara berkembang umumnya lebih memiliki kebijakan industri substitusi impor

Industrialisasi substitusi impor (ISI) adalah kebijakan perdagangan dan ekonomi yang mendukung penggantian barang impor asing dengan barang produksi dalam negeri.[1] ISI didasarkan pada anggapan bahwa sebuah negara harus mengurangi ketergantungannya pada negara asing dengan mengembangkan produk industri dalam negerinya. Istilah ini lebih mengacu pada kebijakan ekonomi pembangunan abad ke-20, namun sudah diusulkan pada abad ke-18 oleh ekonom seperti Friedrich List[2] dan Alexander Hamilton.[3]

Kebijakan ISI diterapkan oleh negara-negara di belahan bumi selatan dengan tujuan merintis pembangunan dan kemandirian melalui pembentukan pasar dalam negeri. ISI beroperasi dengan membiarkan negara memimpin pembangunan ekonomi lewat nasionalisasi, subsidisasi industri penting (termasuk pertanian, pembangkit listrik, dan lain-lain), kenaikan pajak, dan kebijakan perdagangan yang sangat proteksionis.[4] Industrialisasi substitusi impor perlahan ditinggalkan oleh negara-negara berkembang pada tahun 1980-an dan 1990-an sebagai bagian dari program penyesuaian struktural IMF dan Bank Dunia. Kedua institusi tersebut mengupayakan liberalisasi pasar global di belahan bumi selatan.[5]

Dalam konteks pembangunan Amerika Latin, istilah "strukturalisme Amerika Latin" merujuk pada era industrialisasi substitusi impor di berbagai negara Amerika Latin sejak tahun 1950-an sampai 1980-an. Teori di balik strukturalisme Amerika Latin dan ISI diturunkan dari gagasan Raúl Prebisch, Hans Singer, Celso Furtado, dan pemikir ekonom struktural lainnya. Teori ini mulai diterapkan seiring dibentuknya United Nations Economic Commission for Latin America and the Caribbean (UNECLAC atau CEPAL). Kendati para penganut teori ISI dan strukturalisme Amerika Latin beragam dan berasal dari berbagai mazhab ekonomi, ISI dan strukturalisme Amerika Latin beserta para penganut teori yang mengembangkan kerangka ekonominiya sama-sama yakin bahwa pembangunan ekonomi harus dipimpin negara dan direncanakan secara terpusat.[6] Dalam hal industrialisasi yang didorong belanja pemerintah atas dasar argumen industri kecil, pendekatan ISI dan strukturalisme Amerika Latin sangat dipengaruhi oleh aliran Keynesian, komunitarian, dan sosialis.[7] ISI sering dikaitkan dengan teori ketergantungan, tetapi teori ketergantungan menggunakan kerangka Marxis yang lebih luas untuk memahami asal-usul keterbelakangan dengan mengamati dampak sejarah dari kolonialisme, Eurosentrisme, dan neoliberalisme.[8]

  • Perdagangan internasional
  • Tesis Prebisch-Singer
  • Industrialisasi berorientasi ekspor
  • Hambatan ekspor sukarela
  • Merkantilisme
  • Proteksionisme
  • Commanding Heights, dampak ISI terhadap ekonomi Amerika Latin
  • Substitusi impor kepemilikan lokal, alternatif bagi TINA (There Is No Alternative) yang diusulkan oleh Michael Shuman[9]
  • Chasteen, John Charles. 2001. Born in Blood and Fire. pages 226-228.
  • Reyna, José Luis & Weinert, Richard S. 1977. Authoritarianism in Mexico. Philadelphia, Pennsylvania: Institute for the Study of Human Issues, Inc. pages 067-107.
  • UNDP Paper
  • Bruton, Henry J. "A Reconsideration of Import Substitution." Journal of Economic Literature. 36.2 (1998): 903-936. Print.
  • Bishwanath, Goldar. "IMPORT SUBSTITUTION, INDUSTRIAL CONCENTRATION AND PRODUCTIVITY GROWTH IN INDIAN MANUFACTURING* PRODUCTIVITY GROWTH IN INDIAN MANUFACTURING." Oxford bulletin of Economics and Statistics. 48.2 (1986): 143-164. Print.

  1. ^ A Comprehensive Dictionary of Economics p.88, ed. Nelson Brian 2009.
  2. ^ Mehmet, Ozay (1999). Westernizing the Third World: The Eurocentricity of Economic Development. London: Routledge.
  3. ^ Chang, Ha-Joon (2002). Kicking Away the Ladder: Development Strategy in Historical Perspective. London: Anthem Press.
  4. ^ Street, James H.; James, Dilmus D. (1982). "Structuralism, and Dependency in Latin America." Journal of Economic Issues, 16(3) p. 673-689.
  5. ^ Konadu-Agyemang, Kwadwo (2000). "The Best of Times and the Worst of Times: Structural Adjustment Programs and Uneven Development in Africa: The Case of Ghana."Professional Geographer, 52(3) p. 469-483.
  6. ^ Renato, Aguilar (1986). "Latin American structuralism and exogenous factors."Social Science Information, 25(1) p. 227-290.
  7. ^ Arndt, H.W. (1985). "The Origins of Structuralism."World Development, 13(2) p. 151-159.
  8. ^ Perreault, Thomas; Martin, Patricia (2005). "Geographies of neoliberalism in Latin America."Environment and Planning A, 37, p. 191-201.
  9. ^ Shuman, M. H. (2006). The small-mart revolution: how local businesses are beating the global competition. San Francisco, California, U.S.A.: Berrett-Koehler.

  • Jeffry A. Frieden: Global Capitalism.

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Industrialisasi_substitusi_impor&oldid=17700189"