Mengapa masa pemerintahan Husein kondisi daulah syafawi semakin bertambah buruk

Mengapa masa pemerintahan Husein kondisi daulah syafawi semakin bertambah buruk

Loading Preview

Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.

Full PDF PackageDownload Full PDF Package

This Paper

A short summary of this paper

37 Full PDFs related to this paper

Download

PDF Pack

Masa Kerajaan Safawi di Persia

Kondisi kerajaan Safawi yang memprihatinkan itu baru bisa diatasi setelah raja Safawi kelima, Abbas I naik tahta (1588-1628 M). Langkah- langkah yang ditempuh oleh Abbas I dalam rangka memulihkan kerajaan Safawi adalah:

1.Berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash dengan cara membentuk pasukan baru yang berasal dari budak-budak dan tawanan perang bangsa Georgia, Armenia dan Sircassia.

2. Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani dengan jalan menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia, dan disamping itu Abbas berjanji tidak akan menghina tiga Khalifah pertama dalam Islam (Abu Bakar, Umar dan Usman) dalam khutbah-khutbah Jum’at. Sebagai 
jaminan atas syarat itu, Abbas menyerahkan saudara sepupunya Haidar Mirza sebagai sandera di Istambul.

Masa kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan kerajaan Safawi. Ia berhasil mengatasi gejolak politik dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan sekaligus berhasil merebut kembali beberapa wilayah kekuasaan yang pernah direbut oleh kerajaan lain seperti Tabriz, Sirwan dan sebagainya, yang sebelumnya lepas direbut oleh kerajaan Usmani.

Kemajuan yang dicapai kerajaan Safawi tidak hanya terbatas di bidang politik, melainkan bidang lainnya juga mangalami kemajuan. Kemajuan-kemajaun itu antara lain:

1. Bidang Ekonomi 
Kemajuan ekonomi pada masa itu bermula dengan penguasaan atas Kepulauan Hurmuz dan pelabuhan Gumrun yang diubah menjadi Bandar Abbas. Dengan demikian Safawiyah menguasai jalur perdagangan antara Barat dan Timur. Di samping sektor perdagangan, Safawiyah juga mengalami kemajuan dalam bidang pertanian, terutama hasil pertanian dari daerah Bulan Sabit yang sangat subur (Fertile Crescent). 


2.Bidang Ilmu Pengatahuan 
Sepanjang sejarah Islam Persia dikenal sebagai bangsa yang telah berperadaban tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sejumlah ilmuan yang selalu hadir di Majelis Istana yaitu Baha al-Dina al-Syaerazi, generalis ilmu pengetahuan, Sadar al-Din al-Syaerazi, filosof, dan Muhammad al-Baqir Ibn Muhammad Damad, filosof, ahli sejarah, teolog dan seorang yang pernah mengadakan observasi tentang kehidupan lebah. 


3. Bidang Pembangunan Fisik dan Seni 
Kemajuan bidang seni arsitektur ditandai dengan berdirinya sejumlah bangunan megah yang memperindah Isfahan sebagai ibu kota kerajaan ini. Sejumlah masjid, sekolah, rumah sakit, jembatan yang memanjang di atas Zende Rud dan Istana Chihil Sutun. Kota Isfahan juga diperindah dengan kebun wisata yang tertata apik. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat sejumlah 162 masjid, 48 akademi, 
1802 penginapan dan 273 pemandian umum. Unsur lainnya terlihat dalam bentuk kerajinan tangan, keramik, permadani dan benda seni lainnya.

Mengapa masa pemerintahan Husein kondisi daulah syafawi semakin bertambah buruk

C. KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN KERAJAAN SAFAWI

Sepeninggal Abbas I, Kerajaan Safawi berturut-turut diperintah oleh enam raja, yaitu Safi Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1667 M), Sulaiman (1667-1694 M), Husein (1694- 1722 M), Tahmasp II (1722-1732 M) dan Abbas III (1733-1736 M). Pada masa raja-raja tersebut kondisi kerajaan Safawi tidak menunjukkan grafik naik dan berkembang, tetapi justru memperlihatkan kemunduran, yang akhirnya membawa kepada kehancuran.

Raja Safi Mirza (cucu Abbas I) juga menjadi penyebab kemunduran Safawi, karena dia seorang raja yang lemah dan sangat kejam terhadap pembesar-pembesar kerajaan. Di lain sisi dia juga seorang pencemburu yang akhirnya mengakibatkan mundurnya kemajuan-kemajuan yang telah diperoleh dalam pemerintahan sebelumnya (Abbas I).

Kota Qandahar lepas dari kekuasaan kerajaan Safawi, diduduki oleh kerajaan Mughal yang ketika itu diperintah oleh Sultan Syah Jehan, sementara Baghdad direbut oleh kerajaan Usmani. Abbas II adalah raja yang suka minum-minuman keras sehingga ia jatuh sakit dan meninggal. Sebagaimana Abbas II, Sulaiman juga seorang pemabuk. Ia bertindak kejam terhadap para pembesar yang dicurigainya.

Akibatnya rakyat bersikap masa bodoh terhadap pemerintah. Ia diganti oleh Shah Husein yang alim. Ia memberi kekuasaan yang besar kepada para Ulama Syi’ah yang sering memaksakan pendapatnya terhadap penganut aliran Sunni. Sikap ini membangkitkan kemarahan golongan Sunni Afghanistan, sehingga mereka berontak dan berhasil mengakhiri kekuasaan Dinasti Safawi.

Pemberontakan bangsa Afghan tersebut terjadi pertama kali tahun 1709 M di bawah pimpinan Mir Vays yang berhasil merebut wilayah Qandahar. Pemberontakan lainnya terjadi di Heart, suku Ardabil Afghanistan berhasil menduduki Mashad. Mir Vays diganti oleh Mir Mahmud dan ia dapat mempersatukan pasukannya dengan pasukan Ardabil, sehingga ia mampu merebut negeri-negeri Afghan dari kekuasaan Safawi. Karena desakan dan ancaman Mir Mahmud, Shah Husein akhirnya mengakui kekuasaan Mir Mahmud dan mengangkatnya menjadi Gubernur di Qandahar dengan gelar Husei Quli Khan (budak Husein).

Dengan pengakuan ini, Mir Mahmud makin leluasa bergerak sehingga tahun 1721 M, ia merebut Kirman dan tak lama kemudian ia menyerang Isfahan dan memaksa Shah Husein menyerah tanpa syarat. Pada tanggal 12 Oktober 1722 M Shah Husein menyerah dan 25 Oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh kemenangan.

Salah seorang putera Husein, bernama Tahmasp II, mendapat dukungan penuh dari suku Qazar dari Rusia, memproklamasikan dirinya sebagai raja yang sah dan berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasaannya di kota Astarabad. Tahun 1726 M, Tahmasp II bekerjasama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan. Asyraf, pengganti Mir Mahmud, yang berkuasa di Isfahan digempur dan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan tahun 1729 M.

Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan itu, dengan demikian Dinasti Safawi kembali berkuasa. Namun, pada bulan Agustus 1732 M, Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan, dan digantikan oleh Abbas III (anak Tahmasp II) yang ketika itu masih sangat kecil. Empat tahun setelah itu, tepatnya tanggal 8 Maret 1736, Nadir Khan mengangkat dirinya sebagai raja menggantikan Abbas III. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Dinasti Safawi di Persia.

Adapun sebab-sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan Safawi adalah:

1. Adanya konflik yang berkepanjangan dengan kerajaan Usmani. Berdirinya kerajaan Safawi yang bermadzhab Syi’ah merupakan ancaman bagi kerajaan Usmani, sehingga tidak pernah ada perdamaian antara dua kerajaan besar ini. 


2. Terjadinya dekandensi moral yang melanda sebagian pemimpin kerajaaan Safawi, yang juga ikut mempercepat proses kehancuran kerajaan ini. Raja Sulaiman yang pecandu narkotik dan menyenangi kehidupan malam selama tujuh tahun tidak pernah sekalipun menyempatkan diri menangani pemerintahan, begitu pula dengan Sultan Husein. 


3. Pasukan ghulam (budak-budak) yang dibentuk Abbas I ternyata tidak memiliki semangat perjuangan yang tinggi seperti semangat 
Qizilbash. Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki ketahanan mental karena tidak dipersiapkan secara terlatih dan tidak memiliki bekal rohani. Kemerosotan aspek kemiliteran ini sangat besar pengaruhnya terhadap lenyapnya ketahanan dan pertahanan kerajaan Safawi.

4. Seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana.

Mengapa masa pemerintahan Husein kondisi daulah syafawi semakin bertambah buruk

Mengapa masa pemerintahan Husein kondisi daulah syafawi semakin bertambah buruk
simbol dinasti Safawiyah

Dinasti Safawiyah di Persia berkuasa antara tahun 1501-1722 M. Dinasti ini merupakan salah satu kerajaan Islam yang cukup besar di Persia. Awal mulanya Kerajaan ini berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berada di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Nama Safawiyah dinisbahkan kepada nama salah seorang guru Sufi di Ardabil bernama Syekh Ishak Safiuddin. Menurut riwayat, ia adalah keturunan dari Musa al-Khadim, imam ketujuh Syi’ah Itsna ‘Asyariyah.

Tarekat ini berdiri bersamaan dengan berdirinya Dinasti Utsmani.[1] Gerakan tarekat ini memiliki banyak pengikut yang sangat teguh memegang ajaran agama.

Gerakan ini mengubah model gerakannya dari gerakan keagamaan menuju gerakan politik. Ketika sudah menjadi kekuatan yang besar, Dinasti Safawiyah beberapa kali berhadapan dengan Dinasti Utsmani. Dinasti Safawiyah menyatakan Syi’ah sebagai madzhab negara, maka Dinasti Safawiyah dikenal sebagai peletak dasar terbentuknya negara Iran.

Dinasti Safawiyah mencapai puncak kejayaan pada masa Abbas I. Namun, kejayaan itu tidak mampu dipertahankann oleh para penerusnya. Hal ini dikarenakan sultan-sultan yang berkuasa lemah. Sehingga memicu terjadinya pemberontakan dan permasalahan yang berkepanjangan.

Sejarah Berdirinya Dinasti Safawiyah

Cikal bakal berdirinya Dinasti Safawiyah berawal dari gerakan tarekat yang diberi nama Safawiyah. Gerakan ini muncul di Persia, tepatnya di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Wilayah ini banyak ditinggali oleh suku Kurdi dan Armen.[2] Nama Safawiyah dinisbahkan kepada nama salah seorang guru Sufi di Ardabil bernama Syekh Ishak Safiuddin atau Shafi Ad-Din. Menurut riwayat, ia adalah keturunan dari Musa al-Khadim, imam ketujuh Syi’ah Itsna ‘Asyariyah.[3] Shafi Ad-Din berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Gurunya bernama Syaikh Tajuddin Ibrahim Zahidi (1216-1301 M) yang dikenal dengan julukan Zahid Al-Gilani. Dikarenakan prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, Shafi Ad-Din diambil menantu oleh gurunya tersebut.[4]

Shafi Ad-Din mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang wafat pada tahun 1301 M. Pengikut tarekat ini sangatlah teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah bertujuan memerangi orang-orang ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka sebut “Ahli Bid’ah”.[5] Tarekat yang dipimpin Shafi Ad-Din ini semakin penting terutama setelah mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan kenamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syria dan Anatolia.[6] Di negeri-negeri di luar Ardabi, Shafi Ad-Din menempatkan seorang wakil untuk memimpin murid-muridnya. Wakil tersebut diberi gelar khalifah dan nantinya akan menjadi komandan perang.[7]

Kemudian murid-murid tarekat mendukung tarekat Safawiyah untuk menghimpun kekuatan dengan menjadi tentara dan sangat fanatik kepada keyakinannya. Bahkan, mereka juga menentang orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Tarekat Safawiyah banyak diterima oleh masyarakat sehingga tarekat ini mengubah model gerakan spiritual keagamaan menjadi gerakan politik. Hal ini mulai tampak ketika gerakan tarekat dipimpin oleh Junaid 1447-1460 M. Junaid memperluas kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini mendapatkan hambatan-hambatan. Salah satunya dari penguasa Qara Qayunlu dan Aq- Qayunlu yang merupakan dua suku terkuat Turki. Sehingga terjadi konflik antara Junaid dengan penguasa Turki.

Keterlibatan tarekat Safawiyah dalam perpolitikan yang semakin besar mengantarkan tarekat Safawiyah berhadapan dengan kekuatan besar yang berkuasa saat itu yaitu Turki Utsmani. Pada saat Junaid memiliki konflik dengan Qara Qayunlu, ia mengalami kekalahan dan diasingkan ke suatu tempat.[8] Di tempat itu Junaid mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr yang juga bangsa Turki. Junaid tinggal di istana Uzun Hasan yang pada saat itu menguasai sebagian Persia. Selama dalam pengasingan, Junaid tidak tinggal diam. Ia mempersunting salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M, Junaid mencoba merebut Ardabil tetapi gagal. Lalu pada tahun 1460 M Junaid mencoba merebut kota Sircassia tetapi pasukan yang dipimpinnya dihadang oleh tentara Sirwan. Junaid pun pada akhirnya terbunuh dalam pertempuran tersebut.[9]

Tampuk kepemimpinan gerakan Safawi selanjutnya diberikan kepada putera Junaid, Haidar, tetapi Haidar masih sangat kecil pada waktu itu. Setelah menunggu beberapa tahun, Haidar sudah cukup dewasa dan mempersunting salah satu putri Uzun Hasan. Dari perkawinan tersebut lahirlah Ismail yang di kemudian hari menjadi pendiri dinasti Safawi di Persia.[10]

Perkembangan dan Kemajuan Dinasti Safawiyah

Mengapa masa pemerintahan Husein kondisi daulah syafawi semakin bertambah buruk
wilayah Dinasti Syafawi

Pada saat Ismail I berkuasa selama kurang lebih 23 tahun (1501-1524 M) ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, ia juga dapat menghancurkan sisa-sisa kekuasaan Aq-qayunlu di Hamadan 1503 M, menguasai provinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan dan Yazd pada tahun 1504 M, Diyar Bakr 1505-1507, Baghdad dan daerah barat daya persia pada tahun 1508 M, Sirwan 1509 M dan Khurasan pada tahun 1510 M. Ismail I hanya memerlukan waktu selama sepuluh tahun untuk menguasai seluruh Persia.[11]

Ambisi politik mendorong Ismail I adalah untuk memperluas daerah kekuasaannya ke Turki Utsmani, namun karena Turki Utsmani merupakan dinasti yang sangat kuat pada masa itu akhirnya Ismail I mengalami kekalahan. Kekalahan itu meruntuhkan kebanggaan dan kepercayaan diri Ismail. Akibatnya, kehidupannya menjadi berubah. Ismail I lebih suka berfoya-foya dan keadaan tersebut menimbulkan dampak negatif bagi Dinasti Safawiyah, yaitu timbulnya perebutan kekuasaan diantara pimpinan-pimpinan suku-suku Turki, pejabat-pejabat Persia, dan Qizilbash.[12]

Sepeninggal Ismail I, kekuasaan Dinasti Safawiyah dilanjutkan oleh Tahmasp I (1524-1576 M), lalu setelah itu dilanjutkan oleh Ismail II (1576-1577 M) dan Muhammad Khubanda (1577-1587 M). Namun, pada pemerintahan ketiga sultan tersebut Dinasti Safawiyah mengalami kemunduran. Kemunduran tersebut terus berlangsung sampai pada akhirnya Abbas I naik tahta. Pada masa Abbas I, Dinasti Safawiyah perlahan-lahan mengalami kemajuan. Langkah-langkah yang ditempuh Abbas I dalam memajukan dinasti Safawiyah diantaranya adalah :[13]

  1. Berusaha menghilangkan dominasi Qizilbash atas Dinasti Safawiyah dengan cara membentuk pasukan-pasukan baru yang anggotanya terdiri dari budak-budak yang berasal dari tawanan-tawanan bangsa Georgia, Armania, dan Sircassia yang ada sejak pemerintahan Tahmasp I.
  2. Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Utsmani. Di samping itu, Abbas I berjanji untuk tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan dalam khutbah-khutbah Jum’at. Sebagai jaminan atas syarat-syarat tersebut, Abbas I menyerahkan saudara sepupunya yaitu Haidar Mirza sebagai sandera di Istanbul.

Setelah Dinasti Safawiyah menjadi kuat kembali, Abbas I mulai melakukan ekspansi dan merebut kembali wilayah-wilayah kekuasaannya yang telah hilang. Abbas I juga melakukan penyerangan kepada Turki Utsmani. Pada saat itu Turki Utsmani dibawah kepemimpinan Sultan Muhammad II, Abbas I menyerang Turki Utsmani dan berhasil menaklukan wilayah Tabriz, Sirwan, dan Baghdad. Seterlah itu Abbas I juga berhasil menguasai kota Nakhchivan Erivan, Ganja dan Tiflish pada tahun 1605-1606 M. Pada tahun 1622 M, Abbas I berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Abbas.

Pada pemerintahan Abbas I merupakan puncak kejayaan Dinasti Safawiyah. Secara politik Abbas I dapat mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang dulu pernah direbut dinasti lain pada pemerintahan sultan-sultan sebelumnya. Kemajuan lain yang dicapai Dinasti Safawiyah antara lain:

Setelah Abbas I berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Abbas, maka jalur dagang yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris dan Perancis sepenuhnya berhasil dikuasai oleh dinasti ini.

Pada Dinasti Safawiyah muncul banyak sekali ilmuwan-ilmuwan terkenal diantaranya Baha’ al-Dîn al-‘Amili (generalis ilmu pengetahuan), Sadr al-Dîn al-Syîrâzî (filsuf) dan Muhammad Baqir ibn Muhammad Damad (filsuf, ahli sejarah, teolog, yang pernah mengadakan observasi atas kehidupan lebah).

  1. Bidang Pembangunan Fisik Tata Kota dan Seni

Para penguasa dinasti ini mengubah Isfahan, yang merupakan ibu kota dinasti ini menjadi kota yang sangat indah. Isfahan merupakan kota yang sangat penting bagi tujuan politik dan ekonomi. Di kota tersebut berdiri bangunan-bangunan megah seperti masjid, rumah sakit, sekolah-sekolah, jembatan raksasa di atas Zende Rud, dan istana Chihil Satun. Kota Isfahan semakin indah dengan dibuatnya taman-taman wisata. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan 273 pemandian umum.

Pada bidang seni, terlihat dari arsitektur bangunan-bangunannya yaitu seperti yang terlihat pada masjid Shah dan masjid Syaikh Lutf Allah. Unsur seni lainnya juga terlihat pada hasil kerajinan tangan, keramik, permadani, karpet, pakaian, tembikar dan lain-lain. Seni lukis juga sudah mulai muncul pada masa ini tepatnya pada saat sultan Tahmaps I berkuasa.

Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Syafawiyah

Kerajaan Safawiyah mengalami kemunduran pasca pemerintahan Abbas I. Enam sultan setelahnya tidak mampu untuk mempertahankan kemajuan yang sudah diraih oleh pendahulunya. Para Sultan juga lemah dalam memimpin dan memiliki sifat buruk yang juga mempengaruhi jalannya pemerintahan. Sehingga kerajaan Safawiyah banyak mengalami kemunduran dan tidak mengalami perkembangan.

Sepeninggal Abbas I, pemerintahan diambil alih oleh Safi Mirza (1628-1642), ia merupakan cucu dari Abbas I. Pada masa pemerintahannya, ia dikenal sebagai sultan yang lemah dan kejam terhadap para pembesar-pembesar kerajaan.[14] Ia juga tidak mampu mempertahankan kemajuan-kemajuan yang berhasil dilakukan Abbas I. Selain itu, kota Kandahar berhasil dikuasai oleh Dinasti Mughal dipimpin oleh Sultan Syah Jihan. Begitu pula dengan Baghdad yang berhasil direbut oleh Turki Utsmani.[15]

Setelah Safi Mirza, pemerintahan dipegang oleh Abbas II (1642-1667). Ia adalah sultan yang suka minum-minuman keras, suka menaruh curiga terhadap para pembesar dan memperlakukannya dengan kejam.[16] Rakyatpun tidak begitu peduli dengan pemerintahan Abbas II. Abbas II meninggal dikarenakan sakit. Selanjutnya dipimpin oleh Sulaiman (1667-1694), ia memiliki kebiasaan buruk seperti Abbas II yang juga seorang pemabuk. Banyak terjadi penindasan dan pemerasan. Terutama terhadap para ulama dan penganut paham Sunni serta cenderung memaksakan paham Syiah.[17] Sehingga tidak ada perkembangan yang berarti pada masa pemerintahannya.

Keadaan semakin bertambah buruk pada masa pemerintahan Husein ( 1694-1722). Ia memberikan kebebasan kepada para ulama Syiah untuk memaksakan paham Syiah dan pendapatnya terhadap penganut Sunni. Hal ini memicu kemarahan dari golongan Sunni di Afghanistan, sehingga mereka melakukan pemberontakan. Bangsa Afghan melakukan pemberontakkan pertama kali pada tahun 1709 dipimpin Mir Vays dan berhasil merebut wilayah Qandahar. Disisi lain pemberontakan terjadi di Herat yang dilakukan oleh suku Ardabil Afghanistan dan berhasil menduduki Marsyad.[18] Mir Vays diganti oleh Mir Mahmud dan ia dapat mempersatukan pasukannya dan pasukan Ardabil. Sehingga ia mampu merebut kembali wilayah-wilayah Afghan dari kekuasaan Safawiyah.

Syah Husein merasa terdesak karena ancaman-ancaman dari Mir Mahmud. Akhirnya, Syah Husein mengakui kekuasaan dan mengangkat Mir Mahmud menjadi Gubernur di Qandahar dengan gelar Husein Quli Khan (budak Husein).[19] Kekuasaan ini dimanfaatkan oleh Mir Mahmud untuk memperluas wilayah. Ia berhasil merebut Kirman dan Isfahan serta kembali memaksa Syah Husein untuk menyerah tanpa syarat. Pada tanggal 12 Oktober 1722 M, Syah Husein menyerah dan pada 25 Oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh kemenangan.[20] Kemudian Mir Mahmud digantikan oleh Asyraf untuk menguasai Isfahan.

Pemerintahan selanjutnya dilanjutkan oleh salah seorang putera Husein bernama Tahmasp II (1722-1732), ia mendapat dukungan penuh dari suku Qazar dari Rusia. Dengan demikian, ia memproklamasikan dirinya sebagai penguasa yang sah dengan pusat pemerintahan di kota Astarabad. Tahmasp II melakukan kerjasama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk menaklukan bangsa Afghan yang berada di Isfahan pada tahun 1726 M. Pasukan Nadir Khan berhasil merebut Isfahan pada tahun 1729 M. Asyraf terbunuh dalam peperangan itu. Dinasti Syafawiyah kembali berkuasa.

Namun, Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan dan digantikan oleh Abbas III (1733-1736) yang merupakan anak dari Nadir Khan. Anaknya masih sangat kecil, sehingga pada 8 Maret 1736, Nadir Khan mengangkat dirinya sendiri sebagai sultan. Pada masa pemerintahan Nadir Khan, Dinasti Safawiyah berhasil ditaklukan oleh Dinasti Qazar. Maka berakhirlah kekuasaan Dinasti Safawiyah di Persia.[21]

DAFTAR PUSTAKA

Hamka, Sejarah Umat Islam III . Jakarta: Bulan Bintang, 1981.

Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam; Bagian Kesatu dan Dua, terj. Ghufron A.      Mas’adi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.

Maryam, Siti, dkk, Sejarah Peradaban Islam: Dari Klasik Hingga Modern. Yogyakarta:   Lesfi, 2012.

Syaefudin, Machfud, dkk. Dinamika Peradaban Islam: Perspektif Historis. Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013.

[1]Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam: Perspektif Historis (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013), hlm. 214.

[2]Ibid.

[3]Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban islam: Dari Klasik Hingga Modern (Yogyakarta: Lesfi, 2012), hlm. 283.

[4]Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, hlm. 215.

[5] Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 284.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, hlm. 216.

[9] Ibid.

[10] Ibid., 217.

[11]Ibid., 218.

[12]Ibid.

[13]Ibid., 219-220.

[14]Ibid., hlm. 223.

[15]Ibid., hlm. 223-224.

[16]Ibid.

[17] Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam., hlm. 289.

[18] Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, hlm. 224.

[19]Ibid.

[20]Hamka, Sejarah Umat Islam III (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hlm. 71.

[21]Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam; Bagian Kesatu dan Dua, terj. Ghufron A. Mas’adi ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 464.

Similar Posts:

  • Konflik Utsmani dan Safawiyah Abad XVI-XVIII M.
  • Dinasti Ghaznawi (962-1186)
  • Dinasti Tughluq di Gujarat (1320-1394)