Mengapa kita tidak boleh mengharapkan pujian dari orang lain?

Merdeka.com - Dalam agama Islam, dikenal istilah riya. Menurut istilah, Imam Al-Ghazali mendefinisikan Riya sebagai amal yang dilakukan untuk disaksikan orang lain agar mendapatkan kedudukan dan popularitas. Aktivitas Riya seperti ini dapat dilakukan dengan amal ibadah maupun non-ibadah.

Bahasa sederhana dari definisi Riya, jika ada orang yang melihat kemudian dia merasa senang, maka hal tersebut sangat mendorong semangatnya untuk melakukan hal baik, namun jika tidak ada yang melihatnya, maka merasa berat untuk melakukannya.

Dengan demikian Riya berarti suatu perbuatan yang dilakukan bukan karena mengharap ridha Allah, tetapi hanya mencari pujian, sanjungan, dan popularitas semata.

Berikut merdeka merangkum selengkapnya pengertian riya, jenis, dan dampaknya bagi orang yang melakukannya:

2 dari 6 halaman

Kata riya berasal dari bahasa Arab Arriyaa’u yang berarti memperlihatkan atau pamer, yaitu memperlihatkan sesuatu kepada orang lain, baik barang maupun perbuatan baik yang dilakukan, dengan maksud agar orang lain dapat melihatnya dan akhirnya memujinya.

Riya adalah melakukan amal bukan karena mengharap ridha Allah, tetapi mencari pujian dan memasyhurkan di mata manusia. Riya merupakan bentuk syirik kecil yang dapat merusak dan membuat ibadah serta kebaikan yang dilakukan tidak bernilai di hadapan Allah.

Sikap ini muncul karena orang tak paham tujuan ibadah dan amal yang dilakukan. Dalam Islam, setiap ibadah, amal, dan aktifitas lainnya harus dilakukan demi mencari ridha Allah SWT.

Riya muncul akibat kurang iman kepada Allah dan hari akhirat serta ketidakjujuran menjalankan agama. Ia beribadah kerana ingin dipandang sebagai orang taat dan saleh. Sikap riya sangat merugikan karena kebaikan dan ketaatan yang dilakukan tidak bernilai di sisi Allah.

3 dari 6 halaman

Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitabnya Fathul Baari berkata, “ Riya adalah menampakkan ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu mereka memuji pelaku amalan itu” seperti yang dilansir dari laman Dream.

Adapun sesuai hadis sebelumnya, jika seseorang melakukan suatu amalan karena Allah SWT, maka ia akan mendapatkan pahala sesuai yang ia niatkan. Sedangkan, bagi orang yang melaksanakan amal ibadah tidak dilandasi niat karena Allah SWT, maka amalnya tidak diterima oleh Allah SWT. 

Dalam Alquran surah Al-Baqarah:264, Allah SWT juga melarang hambanya untuk melakukan perbuatan riya.

“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah : 264).

Hukum perbuatan riya termasuk haram dan digolongkan dalam syirik kecil kepada Allah SWT. Hal ini tertuang dalam hadis berikut:

Dari Mahmud bin Labid, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda, “ Sesungguhnya yang paling ditakutkan dari apa yang saya takutkan menimpa kalian adalah asy syirkul ashghar (syirik kecil), maka para shahabat bertanya, apa yang dimaksud dengan asy syirkul ashghar? Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “ Ar Riya’.”

4 dari 6 halaman

Menurut tingkatannya, riya terbagi menjadi dua, yakni:

1. Riya Kholish

Riya kholish adalah suatu perbuatan yang dimaksudkan untuk melakukan ibadah semata-mata hanya untuk mendapatkan perhatian dan pujian dari manusia.

Contoh riya kholish seperti:

  • Riya badan, contohnya, memamerkan tubuh yang kurus tanda rajin berpuasa.
  • Riya dalam pakaian, contohnya, memakai pakaian yang menutup aurat agar dipandang orang sholeh.
  • Riya dalam ucapan, seperti melantunkan ayat-ayat Alqur’an dengan suara yang merdu dan fasih dihadapan orang agar dipuji.

2. Riya Syirik

Riya syirik adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan niat untuk menjalankan perintah Allah SWT, namun juga dilandasi dengan niat agar mendapat perhatian dan pujian dari manusia sekaligus. 

5 dari 6 halaman

Orang yang berbuat buruk, sesungguhnya akan sangat mudah tampak untuk memperlihatkan realitasnya. Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang artinya,

“Siapapun yang menyimpan sesuatu dalam pikiran atau hatinya, Allah akan menghiasinya dengan sesuatu itu. Jika sesuatu itu baik, maka hiasannya juga baik, namun jika sesuatu itu buruk, maka hiasannyapun juga buruk”.

Jadi, orang yang bersikap riya akan senantiasa memperoleh kesusahan, disebabkan karena sikapnya. Menurut Al-Muhasibi, akibat yang ditimbulkan oleh riya yaitu sebagai berikut dilansir dari Jurnal Mimbar Akademika:

1. Merasa sombong dengan ilmu dan amal dan bangga diri dengan agama dan dunia. Akan tetapi terkadang rasa bangga yang ditimbulkan oleh riya bercampur dengan rasa tidak senang kalau ada orang lain yang lebih daripadanya, dan merasa bangga jika berada di atas orang lain.

2. Berlomba-lomba untuk mendapatkan harta dan urusan-urusan keduniawian lainnya, ilmu, dan amal dengan senantiasa bangga diri.

3. Saling hasut dengan orang lain dalam ilmu dan amal, dan dengki pada yang menyainginya.

4. Dia merasa tidak senang melihat lawannya mendapat kedudukan dan pujian atas keberhasilannya.

5. Menolak kebenaran dari orang lain yang menyuruhnya, dan tidak menerima pendapat orang tersebut walaupun orang tersebut lebih pandai darinya. Hal tersebut dapat mengakibatkan takabur.

Secara umum dampak negatif riya bagi pelakunya yaitu:

1) Sulit mendapatkan hidayah dan taufik.

2) Selalu resah dan gelisah.

3) Kehilangan kehormatan dan wibawa (haibah).

4) Hilangnya pengaruh pada orang lain.

5) Lemah dalam menyempurnakan amal.

6) Terbongkar keburukannya di dunia dan akhirat.

7) Terjerumus pada ujub, ghurur, dan takabur.

8) Hancurnya amal baik.

9) Mendapatkan siksaan berat di akhirat.

6 dari 6 halaman

Zakiah Darajat menuturkan cara Islami untuk menanggulangi penyakit riya adalah dengan mematahkan keinginan yang berlebihan. Hal itu hanya dapat dicapai dengan rendah hati, sekaligus menumbuhkan kesadaran dalam jiwa bahwa Sang Pencipta dan pemilik alam raya adalah Allah, dirinya tidak dapat berbuat sesuatu, kecuali dengan izin Allah.

Dengan demikian akan berpindahlah cinta diri menjadi cinta Ilahiah, jiwanya berubah dari ragu-ragu menjadi percaya, dan dari kebohongan kepada kebenaran.

Menurut Amir An-Najar, orang yang gemar melakukan riya mirip sekali dengan seorang narsisme atau pecinta diri, karena ia melakukan sesuatu tindakan dengan tujuan mencari keuntungan pribadinya.

Sebagian psikolog modern, yakin bahwa metode menerapi seorang narsisme adalah dengan memberikan berbagai kegiatan penting kepada orang yang bersangkutan dan mengubah berbagai pemikirannya dengan berbagai pemikiran baru yang tidak menjebak dirinya.

Metode tersebut hanya dapat dilakukan dengan tawadhu’ dan menanamkan suatu rasa dalam jiwa orang yang gemar riya, bahwa pencipta alam dan pemiliknya adalah Allah. Uwes Al-Qarni dalam bukunya “Penyakit Hati” menjelaskan cara penanggulangan riya yaitu:

(1) Selalu ingat akan bahaya riya dalam amal.

(2). Mengawali semua amal ibadah dengan iman, bukan atas panggilan manusia atau duniawi.

(3) Merasakan nikmatnya buah dari ikhlas, yaitu adanya pengakuan dari Allah, diterimanya amal, dan keselamatan di akhirat.

(4) Memenangkan perasaan ikhlas di atas perasaan ingin mendapat pujian manusia, cinta materi, status, dan hal duniawi lainnya.

(5) Menghadirkan niat yang ikhlas sejak awal ibadah, dan meminta perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang senantiasa menggugurkan niat baik manusia.

Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk menanggulangi orang-orang yang bersikap riya secara umum adalah sebagai berikut:

1) Selalu mengingat akibat dari perbuatan riya.

2) Menjauhi teman yang riya.

3) Mengenal Allah dengan sebaik- baiknya.

4) Melatih dan mendidik diri.

5) Bersikap lembut kepada orang lain.

6) Selalu berpedoman pada etika Islam.

7) Membaca kisah orang yang riya.

8) Meningkatkan pengetahuan tentang keikhlasan.

9) Memohon perlindungan kepada Allah.

10) Selalu mengingat Qadha dan Qadar.

11) Introspeksi diri.

Sebagian orang mungkin gila akan pujian sehingga yang diharap-harapkan adalah komentar baik orang lain. Padahal pujian seringkali menipu. Begitu pula kita pun sering berperilaku memuji orang lain di hadapannya. Dari satu sisi kala menimbulkan sisi negatif, ini adalah suatu hal yang tidak baik. Coba baca hadits-hadits berikut yang dibawakan oleh Imam Bukhari dalam kitab Al Adabul Mufrod dengan beberapa tambahan bahasan lainnya.

Memuji Orang Lain di Hadapannya Sama dengan Menyembelihnya

Dari Abu Bakrah, ia menceritakan bahwa ada seorang pria yang disebutkan di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang hadirin memuji orang tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,

ويحك قطعت عنق صاحبك، (يقوله مراراً)، إن كان أحدكم مادحاً لا محالة، فليقل: أحسِبَ كذا وكذا- إن كان يرى أنه كذلك – وحسيبه الله، ولا يزكي على الله أحداً

“Celaka engkau, engkau telah memotong leher temanmu (berulang kali beliau mengucapkan perkataan itu). Jika salah seorang di antara kalian terpaksa/harus memuji, maka ucapkanlah, ”’Saya kira si fulan demikian kondisinya.” -Jika dia menganggapnya demikian-. Adapun yang mengetahui kondisi sebenarnya adalah Allah dan  janganlah mensucikan seorang di hadapan Allah.” (Shahih): [Bukhari: 52-Kitab Asy Syahadat, 16-Bab Idza Dzakaro Rojulun Rojulan]

Abu Musa berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seorang pria berlebih-lebihan dalam memuji seorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,

أهْلَكْتُم- أو قطعتم ظهرَ – الرجل

”Kalian telah membinasakan atau mematahkan punggung orang itu.”(Shahih): [Bukhari: 78-Kitab Al Adab, 54-Bab Maa Yukrohu Minat Tamaduh. Muslim: 53-Kitab Az Zuhd, hal. 67]

Dari Ibrahim At Taimiy dari ayahnya, ia berkata, “Kami duduk bersama Umar [ibnul Khaththab radliallahu ‘anhu]. Lalu ada seorang pria memuji orang lain yang berada di hadapannya. Umar lalu berkata,

عقرت الرجل، عقرك الله

“Engkau telah menyembelih orang itu, semoga Allah menyembelihmu.”(Hasan secara sanad)

’Umar berkata,

المدح ذبح

“Pujian itu adalah penyembelihan.”(Shahih secara sanad)

Muhammad (guru imam Bukhari-ed) berkata,

يعني إذا قبلها

“(Hal itu berlaku) apabila ia senang akan pujian yang diberikan kepadanya.”

Boleh Memuji Jika Aman dari Fitnah (Sisi Negatif)

Dari Abu Hurairah, ia menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نعم الرجل أبو بكر، نعم الرجل عمر، نعم الرجل أبو عبيدة، نعم الرجل أسيد بن حُضير، نعم الرجل ثابت بن قيس بن شماس، نعم الرجل معاذ بن عمرو بن الجموح، نعم الرجل معاذ بن جبل

“Pria terbaik adalah Abu Bakr, ‘Umar, Abu ‘Ubaidah, Usaid bin Hudhair, Tsabit bin Qais bin Syammas, Mu’adz bin Amru ibnul Jamuh dan Mu’adz bin Jabal.” Kemudian beliau mengatakan,

وبئس الرجل فلان، وبئس الرجل فلان

“Pria terburuk adalah fulan dan fulan.” Beliau menyebutkan tujuh nama. (Shahih) Ash Shahihah (875): [Saya tidak mendapatkannya di salah satu kitab induk hadits yang enam]. Saya (Syaikh Al Albani) berkata: “Bahkan hadits ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi. Silakan lihat Ash Shahihah.”

Menyiramkan (pasir) ke Wajah Orang–orang  yang Doyan Memuji

Dari Abu Ma’mar, ia berkata, “Ada seorang pria berdiri memuji salah seorang gubernur. Miqdad [ibnul Aswad] lalu menyiramkan pasir ke wajahnya dan berkata,

أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نحثي في وجوه المداحين التراب

“Kami diperintahkan oleh Rasulullah untuk menyiramkan pasir ke wajah orang-orang yang memuji.” (Shahih) Ash Shahihah (912), [Muslim: 53-Kitab Az Zuhd, hal. 68]

Dari Atha’ ibnu Abi Rabah bahwa ada seorang pria memuji orang lain di hadapan Ibnu Umar. Ibnu Umar lalu menyiramkan pasir pada mulutnya dan berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا رأيتم المداحين، فاحثوا في وجوههم التراب

“Jika kalian melihat orang-orang yang doyan memuji maka siramkanlah pasir ke wajahnya .”(Shahih) Ash Shahihah (912)

Dari Mihjan Al Aslamy berkata, “Raja’ berkata,

أقبلت مع محجن ذات يوم حتى انتهينا إلى مسجد أهل البصرة، فإذا بريدة على باب من أبواب المسجد جالسٌ، قال: وكان في المسجد رجل يقال له: سكبة، يطيل الصلاة، لما انتهينا إلى باب المسجد – وعليه بردة- وكان بريدة صاحب مزاحاتٍ. فقال: يا محجن! أتصلي كما يصلي سكبة؟ فلم يرد عليه محجن،ورجع،

”Saya berjalan bersama Mihjan pada suatu hari hingga kami sampai di masjid milik penduduk Basrah. Pada saat itu Buraidah [ibnul Hushaib] sedang duduk di salah satu pintu masjid. Pada masjid itu terdapat seorang pria bernama Sukbah sedang melaksanakan shalat dalam tempo yang terhitung lama. Ketika kami tiba di pintu masjid –di mana Buraidah sedang duduk disana-, Buraidah berkata -Buraidah adalah seorang yang suka bergurau-,

يا محجن! أتصلي كما يصلي سكبة؟

“Wahai Mihjan, apakah engkau shalat seperti shalatnya Sukbah?” Mihjan tidak menjawabnya tetapi dia lalu pulang.

Raja’ berkata, ”Mihjan lalu berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang tanganku lalu kami pergi bersama hingga menaiki gunung Uhud. Kemudian beliau menatap kota Madinah, beliau lalu bersabda,

ويل أمها من رية، يتركها أهلها كأعمر ما تكون؛ يأتيها الدجال، فيجد على باب كل من أبوابها ملكاً، فلا يدخلها

”Kota ini (Madinah) terancam bahaya. Dia ditinggalkan oleh penghuninya dalam keadaan makmur. Dajjal mendatanginya lalu mendapati malaikat pada setiap pintunya, maka dia tidak dapat memasukinya.”

Beliau lalu turun kembali. Ketika kami sampai di masjid,  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang pria melaksanakan shalat, sujud dan ruku’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya kepadaku,

من هذا؟

”Siapa dia?”

Saya berkata dengan nada memujinya,

يا رسول الله ! هذا فلان، وهذا

”Wahai Rasulullah, dia adalah fulan dan kondisinya demikian …” Beliau lalu bersabda,

أمسك، لا تُسمعه فتهلكه

“Cukup jangan engkau memperdengarkan pujianmu sehingga engkau membinasakannya.”

Mihjan berkata, ”Beliau lalu pergi. Ketika sampai di kamarnya beliau seolah meniup dua tangannya sambil bersabda,

إن خير دينكم أيسره، إن خير دينكم أيسره

“Sesungguhnya sikap beragama yang terbaik adalah mengerjakan kewajiban agama sesuai dengan kemampuan.” Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. (Hasan) Ash Shahihah (1635)

Jangan Tertipu dengan Pujian Orang Lain

Ibnu ‘Ajibah mengatakan, “Janganlah engkau tertipu dengan pujian orang lain yang menghampirimu. Sesungguhnya mereka yang memuji tidaklah mengetahui dirimu sendiri kecuali yang nampak saja bagi mereka. Sedangkan engkau sendiri yang mengetahui isi hatimu. Ada ulama yang mengatakan, “Barangsiapa yang begitu girang dengan pujian manusia, syaithon pun akan merasuk dalam hatinya.” (Lihat Iqozhul Himam Syarh Matn Al Hikam, Ibnu ‘Ajibah, hal. 159, Mawqi’ Al Qaroq, Asy Syamilah)

Doa yang Diucapkan Ketika Dipuji Orang Lain

Lihatlah apa yang dilakukan oleh Abu Bakr Ash Shidiq tatkala beliau dipuji oleh orang lain. Beliau–radhiyallahu ‘anhu- pun berdo’a,

اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ

Allahumma anta a’lamu minni bi nafsiy, wa anaa a’lamu bi nafsii minhum. Allahummaj ‘alniy khoirom mimmaa yazhunnuun, wagh-firliy maa laa ya’lamuun, wa laa tu-akhidzniy bimaa yaquuluun.

[Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka] ( Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 4/228, no.4876. Lihat Jaami’ul Ahadits, Jalaluddin As Suyuthi, 25/145, Asy Syamilah)

Selalu Raih Ikhlas dan Jangan Cari Muka (Cari Pujian)

Abul Qosim juga mengatakan, “Ikhlas adalah membersihkan amalan dari komentar manusia.”

Dzun Nuun menyebutkan tiga tanda ikhlas:

1. Tetap merasa sama antara pujian dan celaan orang lain.

2. Melupakan amalan kebajikan yang dulu pernah diperbuat.

3. Mengharap balasan dari amalan di akhirat (dan bukan di dunia).

(Lihat At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, An Nawawi, hal. 50-51, Maktabah Ibnu ‘Abbas, cetakan pertama, tahun 1426 H)

Jika kita sedang melakukan suatu amalan maka hendaklah kita tidak bercita-cita ingin mendapatkan pujian makhluk. Cukuplah Allah saja yang memuji amalan kebajikan kita. Dan seharusnya yang dicari adalah ridho Allah, bukan komentar dan pujian manusia.

Semoga yang sederhana ini bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

@ Ummul Hamam – Riyadh KSA, 14 Dzulqo’dah 1432 H (12/10/2011)

www.rumaysho.com

Baca Juga:

  • Jangan Tertipu dengan Pujian Orang Lain
  • Gila Pujian dalam Beramal