Mengapa kita harus berpikir lebih jauh sebelum bertindak dan bertutur kata

Manusia tanpa pengetahuan seperti rumah yang tak berpenghuni .~Yusrin Ahmad Tosepu

Kita tentu tahu, banyak sekali ilmuwan, dan tokoh-tokoh besar yang berhasil melakukan penemuan hebat di dalam hidup yang terbukti sangat bermanfaat untuk kehidupan saat ini. Mulai dari penemuan yang paling sederhana hingga dengan yang paling komplit, semuanya bisa dilakukan atas dasar kemampuan berfikir yang baik.

Ciri orang berpengetahuan ditandai dengan kemampuanya dalam berpikir, dan juga dilihat dari seberapa luas wawasan yang dia miliki. Orang yang berwawasan luas disebut berpengetahuan. Orang yang berpengetahuan luas selalu memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Tentunya rasa ingin tahu tentang hal-hal yang positif.

Kita ketahui bersama bahwa kesadaran manusia secara garis besar terbagi atas tiga dimensi yang amat penting. Pengalaman, perasaan dan pengetahuan. Ketiga dimensi itu berbeda secara substantif tetapi sangat saling berkaitan.

Pengetahuan adalah apa yang diketahui oleh manusia atau hasil pekerjaan manusia menjadi tahu. Pengetahuan itu merupakan milik atau isi pikiran manusia yang merupakan hasil dari proses usaha manusia untuk tahu. Dengan pengetahuan, manusia dapat memahami realitas secara keseluruhan, dan mencoba menguraikan fenemona di alam semesta.

Dan apa gunanya memahami realitas? untuk bertindak dengan sadar. Artinya, dengan pengetahuan mengarahkannya untuk bertindak secara konstruktif dan dengan strategi yang realistis dan efektif. 

Berpengetahuan itu memadukan antara ingatan dan pengalaman. Mencakup inderawi untuk mengenal realitas dan memahami realitas dan menguasai konsep pengetahauan. Orang yang berpengetahuan akan membawa kehidupannya bertumbuh ke arah kedewasaan untuk semakin bijak, terdidik, dewasa, dalam menyikapi setiap fenomena, masalah yang terjadi.

Mengutip tulisan Dr Winny Gunarti (Republika.Co.Id 13 Jun 2017). Ada sepenggal paragraf yang menggelitik dalam sebuah buku lama berjudul Filsafat Ilmu karya Jujun S Suriasumantri (1988:19). Tulisan yang dikemas sebagai sebuah pengantar populer itu berbunyi begini:

Alkisah bertanyalah seorang awam kepada ahli filsafat yang arif bijaksana, “Coba sebutkan kepada saya berapa jenis manusia yang terdapat dalam kehidupan ini berdasarkan pengetahuannya!” Filsuf itu menarik napas panjang dan berpantun:

 Ada orang yang tahu di tahunya

Ada orang yang tahu di tidaktahunya

Ada orang yang tidak tahu di tahunya

Ada orang yang tidak tahu di tidaktahunya

Pantun filsuf di atas kalau boleh diterjemahkan dalam bahasa populer adalah sebagai berikut: Ada orang yang paham sesuai ilmunya, ada orang yang merasa paham padahal tidak berilmu atau ilmunya keliru, ada orang yang gagal paham dengan keilmuannya, dan ada orang yang gagal paham karena kurang berilmu.

Paragraf di atas pun menimbulkan pertanyaan, apakah ini yang dimaksud dengan jenis orang yang “berpengetahuan” dan orang-orang yang “sok berpengetahuan” alias “sok tahu”.

Makna pengetahuan di sini sangatlah tidak terbatas. Karena pengetahuan dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun informal, melalui pergaulan, melalui bacaan, melalui diskusi, melalui kajian penelitian, melalui perjalanan, melalui berbagai pengalaman hidup, termasuk melalui browsing berita-berita ataupun informasi lainnya di internet, hingga orang mampu menjelajahi ruang dan waktu dalam dunianya yang dilipat, yaitu sebuah dunia yang melahirkan dirkursus-diskursus, sebuah cara menghasilkan pengetahuan, lengkap dengan berbagai praktik sosial, bentuk subjektivitas, relasi kekuasaan, dan kesalingberkaitan di antara semua aspeknya (Piliang, 2010:20).

Sering kali, “pengetahuan” yang telah didapat melalui berbagai sumber itu menjadikan seseorang merasa paling tahu dan paling benar, sehingga merasa berhak mencap orang lain bodoh bahkan membodoh-bodohi orang lain. Seseorang yang berpengetahuan tidak otomatis menjadikan dirinya memiliki penguasaan pengetahuan.

Ada orang yang merasa paling “melek”, sehingga dengan percaya diri menganggap orang lain “buta mata-buta hati-buta pikiran”. Atau ada orang yang merasa superior dalam berpengetahuan, sehingga menganggap wajar kalau berlaku aniaya kepada mereka yang dianggapnya tidak berpengetahuan. 

Istilah-istilah yang merendahkan orang lain pun bertaburan di media sosial, tanpa pernah ada rasa bersalah apalagi disadari: “apakah mereka yang memaksakan opini, pendapat dan atau sudut pandangnya yang serta merta menyepelekan orang lain” itu telah memiliki dan memahami pengetahuan yang benar?

Di dalam dunia sains, setiap orang memiliki keahliannya masing-masing, sehingga tidak dibenarkan pula saling meremehkan satu sama lain. Anak lulusan ekonomi bukan berarti lebih cerdas dari lulusan sospol atau bahasa. Demikian pula di kalangan seniman, jurnalis, akademisi, ataupun para politikus, masing-masing dengan kepiawaiannya yang terbatas. Bahkan seorang Sokrates sekalipun menyatakan bahwa dia tidak tahu apa-apa (Suriasumantri, 1988:20). 

Dalam pandangan religius, orang-orang yang rendah hati kerap mendasarkan dirinya pada keyakinan bahwa di atas bumi masih ada langit, dan di atas langit masih ada langit, sebagaimana Allah menjadikannya hingga tujuh langit, dan kata “tujuh langit” tidak selamanya diartikan tujuh lapisan langit (Al-Baqarah [2]:29). Bukankah dalam Surat Yuusuf [12]:76, Allah SWT. juga berfirman: “……..Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki, dan di atas tiap-tiap orang yang berilmu, ada lagi yang Maha Mengetahui”.

Itulah sebabnya, mengapa ada anjuran, “berpikir sebelum bertindak”. Apa sesungguhnya karakteristik berpikir itu? Dalam konteks Filsafat Ilmu, Suriasumantri (1988:20-22) menjabarkannya dalam tiga sifat, yaitu: menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. 

Menyeluruh, artinya seorang ilmuwan seyogyanya tidak berpuas diri hanya dengan keilmuan menurut sudut pandang ilmu itu sendiri. Ia perlu melihat hakikat ilmu dalam konstelasi ilmu pengetahuan lainnya, karena ia harus sepenuhnya yakin bahwa ilmu itu mampu membawa kebahagiaan buat dirinya. Ia harus terus berupaya untuk membongkar hal-hal fundamental, yaitu yang sifanya mendasar.

Mendasar, kata ini dapat dipahami dengan memulai pertanyaan: apakah ilmu itu benar? Benar tidaknya sebuah ilmu tidak dipercaya begitu saja, dan untuk menilai kebenaran ilmu diperlukan kriteria, sementara kriteria itu sendiri belum tentu benar.

Ketika makna kebenaran dipertanyakan, manusia seperti mencari jawaban dalam sebuah lingkaran. Tempat pertanyaan demi pertanyaan itu saling terkait melingkar, sehingga untuk menemukan jawabannya diperlukan sebuah titik awal dan titik akhir. Persoalannya adalah, bagaimana meyakini titik tersebut sebagai titik awal yang benar? Dengan kata lain, dalam setiap titik awal yang kemudian ditentukan, selalu ada sifat spekulatif.

Spekulatif. Sifat ketiga ini tidak dapat dihindarkan karena semua pengetahuan dimulai dengan spekulasi. Dari rangkaian spekulasi tersebut, manusia dapat memilih sebuah titik awal untuk mulai menjelajahi pengetahuan. Tetap saja kriteria tentang hal yang “benar” itu harus ditetapkan agar pengetahuan terus berkembang. Sama halnya ketika berbicara tentang moral atau keindahan, diperlukan kriteria tentang baik atau buruk, atau mana yang dikatakan indah dan sebaliknya.

Jadi, kita hanya bisa bertindak benar dan positif jika kita berpengetahuan dengan baik dan benar. Bertindak dengan ketidaktahuan hanya dapat menghasilkan sesuatu yang tidak berguna, atau lebih buruk yang berbahaya bagi diri sendiri dan orang lain.

Allah Swt. berfirman, “Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’” (QS. Az-Zumar: 9)

Ayat diatas adalah pertanyaan tegas, karena begitu jelas jawabannya dan tidak dicantumkan pada ayat selanjutnya. Dalam ilmu bahasa, pertanyaan tersebut dikenal dengan pertanyaan retoris, yaitu pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban karena sudah diketahui sebelum pertanyaan itu ada.

Jelas, jawabannya tidak akan sama selama-lamanya. Seorang yang berpengetahuan, dari caranya berpikir, bertindak, dan bertutur kata akan jauh berbeda dengan orang yang tidak berpengetahuan. Ayat ini adalah teguran bagi orang-orang yang berilmupengetahuan tetapi ternyata tingkah laku mereka seperti orang awam.

Mereka yang tahu bahwa kemungkaran, kemaksiatan, kemunafikan, kebohongan dan perbuatan dosa lainnya dan tahu akibatnya, namun tetap saja melakukannya, sama seperti orang yang tidak tahu akibat dari perbuatan dosa tersebut. Bahkan kemurkaan Allah jauh lebih besar ditujukan kepada orang seperti ini. Mereka melakukan hal yang dilarang Allah padahal mereka mengetahui bahwa hal tersebut dilarang oleh Allah.

Dalam ide yang sama ini, kita harus mempertimbangkan bahwa pengetahuan berfungsi untuk membebaskan kita dari belenggu pemikiran sempit dan picik, membebaskan kita dari ide-ide palsu, dan dengan demikian dapat terhubung dengan kehidupan nyata, dengan diri kita sendiri dan dapat benar-benar berdampak pada masyarakat. Singkatnya, pengetahuan dapat mengarahkan kita untuk menemukan makna sebenarnya dari keberadaan kita dan menjawab segala fenomena di alam semesta ini.

Orang disebut berilmu ketika orang tersebut dianggap memiliki pengetahuan.

Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang diketahui tentang objek tertentu, termasuk ke dalamnya ilmu (Jujun S Suriasumantri). Pengetahuan tentang objek selalu melibatkan dua unsur yakni unsur representasi tetap dan tak terlukiskan serta unsur penapsiran konsep yang menunjukan respon pemikiran.

Interaksi antara objek dengan subjek yang menafsirkan, menjadikan pemahaman subjek (manusia) atas objek menjadi jelas, terarah dan sistimatis sehingga dapat membantu memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Pengetahuan tumbuh sejalan dengan bertambahnya pengalaman, untuk itu diperlukan informasi yang bermakna guna menggali pemikiran untuk menghadapi realitas dunia dimana seorang itu hidup.

Dalam perkembangannya, pengetahuan manusia berdiferensiasi menjadi empat cabang utama. Yaitu, filsasat, ilmu, pengetahuan dan wawasan. Untuk melihat perbedaan antara empat cabang itu, saya berikan contohnya: Ilmu kalam (filsafat), Fiqih (ilmu), Sejarah Peradaban Islam (pengetahuan), praktek Islam di Indonesia (wawasan). Bahasa, matematika, logika dan statistika merupakan pengetahuan yang disusun secara sistematis, tetapi keempatnya bukanlah ilmu. Keempatnya adalah alat ilmu.

Setiap ilmu (sains) adalah pengetahuan (knowledge), tetapi tidak setiap pengetahuan adalah ilmu. Kenapa demikian? Karena Ilmu adalah semacam pengetahuan yang telah disusun secara sistematis. Bagaimana cara menyusun kumpulan pengetahuan agar menjadi ilmu? Jawabnya pengetahuan itu harus dikandung dulu oleh filsafat , lalu dilahirkan, dibesarkan dan diasuh oleh matematika, logika, bahasa, statistika dan metode ilmiah.

Maka seseorang yang ingin berilmu perlu memiliki pengetahuan yang banyak dan memiliki pengetahuan tentang logika, matematika, statistika dan bahasa. Kemudian pengetahuan yang banyak itu diolah oleh suatu metode tertentu. Metode itu ialah metode ilmiah. Pengetahuan tentang metode ilmiah diperlukan juga untuk menyusun pengetahuan-pengetahuan tersebut untuk menjadi ilmu dan menarik pengetahuan lain yang dibutuhkan untuk melengkapinya.

Misal, seseorang yang ingin berilmu manajemen, misalnya, maka ia harus mengumpulkan dulu pengetahuan-pengetahuan majemen yang telah disusun sampai hari kemarin oleh para ahli ilmu tersebut dan merentang terus kebelakang sampai zaman yang dapat dicapai oleh pengetahuan sejarah.

Maka seseorang yang ingin berilmu, pertama kali ia harus membaca langkah terakhir manusia berilmu, yaitu menangkap masalah, membuat hipotesis, kemudian mengadakan penelitian lapangan, membuat pembahasan secara kritis dan akhirnya barulah ia mencapai suatu ilmu.

Apa maksud “membaca langkah terakhir manusia berilmu” ? Postulat ilmu mengatakan bahwa ilmu itu tersusun tidak hanya secara sistematis, tetapi juga terakumulasi disepanjang sejarah manusia. Tidak ada manusia, bangsa apapun yang secara tiba-tiba meloncat mengembangkan suatu ilmu tanpa suatu dasar pengetahuan sebelumnya.

Jadi, untuk bisa berilmu harus bepengetahuan artinya seseorang harus buka mata, buka telinga, simak dan pahami realitas. kemudian di teliti, dianalisa lebih serius dengan metode ilmiah yang akhirnya menghasilkan sebuah ilmu.

Jadi, apakah hakikat orang paling tahu alias berpengetahuan dan berilmu dan yang benar? Jujun S Suriasumantri menuntaskan kisahnya dalam kalimat Sang Filsuf: “Ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu.”

#SemogaBermanfaat