Budaya sangat lekat di dalam kehidupan manusia sehari-hari. Di kehidupan bermasyarakat, manusia satu dengan manusia lainnya saling berinteraksi satu sama lain, dan alhasil akan menciptakan suatu proses pembentukkan pola hubungan yang beragam. Dalam hidup bersosial, manusia akan cenderung berkumpul dengan lingkungan yang sesuai dengan dirinya. Dengan pola sosialisasi yang seperti itu maka akan membentuk suatu hubungan antar individu yang memiliki minat yang sama sehingga muncullah suatu kelompok tertentu di dalam masyarakat, baik itu berupa kerumunan atau perkumpulan yang bersifat sementara, ataupun berupa komunitas, organisasi dan perkumpulan yang sifatnya terstruktur dan ajeg. Budaya melekat dalam setiap lini kehidupan, bahkan di lingkungan kita sehari-hari yang kita anggap sepele namun bisa jadi itu merupakan sebuah budaya. Ada yang menarik dalam kehidupan anak kos yang notabene terdiri dari individu-individu perantauan yang mengenyam pendidikan di Sekolah ataupun Perguruan Tinggi yang wilayahnya jauh dari daerah asal dan akhirnya memutuskan untuk tinggal di dalam rumah sewa atau yang biasa disebut dengan rumah kontrakkan atau kos-kosan. Setiap individu yang tergolong anak kos terdiri dari latar belakang yang berbeda-beda. Latar belakang tersebut bisa berupa status, identitas, dan bahkan mengerucut pada sebuah kelas sosial tertentu. Secara tersirat, hal itu bisa dilihat dari perilaku individu dalam kehidupan bersosialnya, penampilan ataupun aksesoris yang melekat di sekitar tubuhnya yang menandakan simbol atau tanda bahwa dia merupakan kelas sosial tertentu, dan bisa juga dilihat dari jenis rumah kontrakan ataupun tempat kos-kosan yang dihuninya. Salah satu yang tercermin dari perilaku individu dalam kehidupan bersosialnya yaitu, seperti halnya ‘budaya makan’. Budaya makan juga dapat menunjukkan kelas sosial dari setiap individu. Sebagai anak kos yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda, maka hal itu juga akan menunjukkan karakter, sikap, dan sifat individu yang berbeda-beda pula. Perbedaan itu dapat tercermin dari pilihan masing-masing individu. Terkait budaya makan, hal ini terkait juga dengan pilihan-pilihan dari masing-masing individu di kalangan anak kos dalam memilih makan berdasarkan jenis makanan apa yang dikonsumsi, tempat makan yang dituju, dan pertimbangan-pertimbangan lain yang muncul ketika hendak melakukan aktivitas makan.Perilaku makan yang seperti itu di kalangan anak kos telah menjadi suatu budaya tersendiri dan bahkan dari perilaku makan dapat menunjukkan kelas sosial tertentu yang membedakan antara individu satu dengan individu yang lainnya. Karena peneliti juga tinggal di wilayah Kota Solo dan di kawasan Universitas Sebelas Maret Surakarta, maka menarik bagi peneliti untuk mengangkat sebuah judul “Budaya Makan Ditinjau dari Kelas Sosial” (Suatu Kajian ‘Cultural Studies’ terhadap Budaya Makan Anak Kos di Lingkungan Universitas Sebelas Maret Surakarta).
Cultural studies merupakan paradigma baru dalam kajian ilmu sosial yang memperkenalkan budaya dalam dimensi yang baru. Bukan hanya sebagai kreasi manusia dan hasil perilaku, melainkan menelaah pemahaman mendalam antara budaya dan kekuasaan yang mendasarinya. Tujuan dari cultural studies adalah untuk meneliti kekuasaan dan ideologi yang membentuk kehidupan sehari-hari manusia. Segala yang tampak normal dan apa adanya dalam kehidupan sehari-hari, seperti iklan bahkan perilaku nongkrong adalah produk bentukan dari sebuah ideologi. Barker (2013) menyebutkan banyak sekali konsep kunci yang bisa menggambarkan secara jelas mengenai cultural studies. Konsep kunci mengenai cultural studies meliputi, kebudayaan dan praktik signifikasi, representasi, materialisme dan nonreduksionisme, artikulasi, kekuasaan, budaya pop, teks dan pembacanya, subjektivitas dan identitas, marxisme dan sentralitas kelas, kapitalisme, dan lain-lain. Salah satu konsep kunci dalam memahami cultural studies adalah kajian mengenai budaya. Kebudayaan merupakan sebuah kata yang relatif sulit didefinisikan karena memang ruang lingkupnya yang terlalu luas, dalam buku Seri mengenal dan Memahami Sosiologi, Richard Osborne dan Borin Van Loon (2005: 139) merinci apa-apa saja yang bisa masuk dalam kategori kebudayaan. Hal-hal itu adalah:
Dari definisi di atas, budaya terasa hampir meliputi segala sesuatu, dan cultural studies berarti mempelajari hampir segala sesuatu. Tidak mengherankan jika cultural studies tak memiliki batasan wilayah subjek yang didefinisikan secara jelas. Titik pijaknya adalah sebuah ide mengenai budaya yang sangat luas dan mencakup semua hal yang digunakan untuk menggambarkan dan mempelajari bermacam-macam kebiasaan. Inilah yang membuat cultural studies berbeda dari disiplin ilmu yang lain.
Agger dalam buku Jenks (2013) meringkas karakteristik cultural studies ke dalam sembilan definisi. Yang pertama, cultural studies beroperasi dengan sebuah konsep kebudayaan yang diperluas. Jenis kajian ini menolak asumsi-asumsi dibalik “perdebatan budaya” dan karena itu mereka menolak juga pasangan biner budaya adiluhung versus budaya rendahan, atau bahkan, semua upaya yang mencoba membangun kembali landasan-landasan bagi stratifikasi-stratifikasi budaya. Mereka lebih berpegang pada pandangan antropologis tentang kebudayaan yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah “seluruh cara hidup yang dijalani manusia” meskipun ini tidak sejalan dengan pandangan kebudayaan sebagai sebuah totalitas. Yang kedua, sesuai dengan penjelasan di atas, maka cultural studies melegitimasi, membenarkan, memuji, dan mempolitisasikan seluruh aspek kebudayaan populer. Mereka menganggap kebudayaan populer bernilai dengan apa yang dibawanya dan bukan “sebuah fenomena bayangan” atau sekedar kendaraan bagi pengaburan ideologi. Ketiga, para pendukung cultural studies, sebagai perwakilan dari zaman mereka, mengakui sosialisasi identitas-identitas mereka sendiri melalui proses media massa dan komunikasi massa yang berusaha mereka pahami. Yang ke empat, kebudayaan tidak dipandang sebagai sesuatu yang stabil, yang tetap atau sebuah sistem tertutup. Cultural studies memahami kebudayaan sebagai sesuatu yang sedang terbentuk, dinamis, dan terus memperbaharui diri. Kebudayaan bukan serangkaian artefak atau simbol-simbol mati, tetapi sebuah proses.Yang ke lima, cultural studies lebih didasarkan pada konflik dibanding pada keteraturan. Mereka meneliti dan mengantisipasi konflik melalui interaksi langsung, dan juga, yang lebih penting melalui makna. Kebudayaan tidak bisa dianggap sebagai sebuah prinsip yang menyatukan, sebagai sumber pemahaman bersama atau sebagai mekanisme untuk melegitimasi ikatan sosial. Keenam, cultural studies bersifat menjajah secara “demokratis”. Karena semua aspek kehidupan sosial sekarang “berbudaya”, maka tidak ada bagian kehidupan sosial yang dikecualikan sebagai objek minat mereka, opera, mode, kekerasan gang, pembicaraan-pembicaraan dilingkungan pub, belanja, film horor, dst. Mereka tidak lagi dikolonikan, diistimewakan, atau digolongkan berdasarkan sebuah sistem makna sentral.Yang ke tujuh, representasi-representasi budaya ditelaah oleh cultural studies dalam segala tingkatan permulaan kermunculan, mediasi dan penerimaan, atau produksi, distribusi dan konsumsi.Yang ke delapan, cultural studies bersifat interdesipliner. Ranah ini tidak mengakui bahwa disiplin ilmu memiliki satu asal usul. Ia mendorong penelitian yang melibatkan pertemuan antar pokok bahasan disipliner dan mengakui pemikiran yang terus berubah dan bergerak secara energik.Yang ke sembilan, cultural studies menolak nilai-nilai mutlak, mereka melakukan apa yang mereka inginkan. Sedangkan Bennett dalam Barker (2013) menawarkan ‘unsur-unsur’ yang mesti ada dalam definisi cultural studies:
Sardar dan Van Loon (2005: 9) dalam memahami cultural studies memberikan karakteristik yang mudah-mudahan bisa memberi batasan kajian ini :
Kelas Sosial Dalam analisis Weber, ada klasifikasi kelas sosial yang dibagi menjadi 3 (tiga) strata berdasarkan ekonomi yaitu, antara lain: kelas sosial atas (upper class), kelas sosial menengah (middle class), dan kelas sosial bawah (lower class) (www.wordpress.com diakses pada 6 April 2016 pukul 23.00 WIB). Satu hal yang perlu diingat bahwa stratifikasi sosial berdasarkan kriteria ekonomi ini bersifat terbuka. Artinya, memungkinkan seseorang yang berada pada kelas bawah untuk naik ke kelas atas, dan sebaliknya memungkinkan seseorang yang berada pada kelas atas untuk turun ke kelas bawah atau kelas yang lebih rendah. Hal ini tergantung pada kecakapan dan keuletan orang yang bersangkutan. Selain itu, Weber juga membahas mengenai ‘Prestise’, di mana prestise menurut analisis Weber sering bersumber pada kepemilikan, karena orang cenderung untuk memuja orang yang kaya. Namun, prestise dapat didasarkan pada faktor lain. Meskipun para peraih medali Olimpiade, misalnya, mungkin tidak mempunyai kepemilikan, mereka mempunyai prestise tinggi. Beberapa orang bahkan mampu mempertukarkan prestise mereka dengan kepemilikan, seperti mereka yang mendulang harta dengan mengatakan bahwa mereka memulai hari mereka dengan “makanan pagi para juara”. Dengan kata lain, kepemilikan dan prestise bukan jalan satu arah: meskipun kepemilikan dapat membawa prestise, namun prestise pun dapat membawa kepemilikan (Henslin, 2007: 183).
Makan secara universal merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seorang individu untuk memenuhi hasrat atau kebutuhan akan jasmani berupa asupan gizi, vitamin, karbohidrat, dan zat-zat lainnya dari makanan yang dikonsumsi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia untuk beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Makan di satu sisi juga merupakan suatu budaya yang dapat dijumpai dalam kehidupan manusia yang lekat dengan kehidupan sehari-hari di masyarakat. Makan dalam arti budaya secara sadar ataupun tidak sadar telah mempengaruhi aktivitas manusia dan membentuk sebuah pola perilaku individu. Manusia melakukan aktivitas makan bahkan terpola dan rutin, seolah-olah terdapat alarm di dalam tubuh manusia yang menggerakkan manusia tersebut untuk melakukan aktivitas makan ketika sudah memasuki waktu tertentu. Pola-pola makan secara universal dapat kita ketahui bersama sebagai sebuah rutinitas yang bahkan terpatok pada hitungan waktu dengan beberapa istilah seperti, jam makan siang (lunch), jam makan malam (dinner), dan jam makan pagi (breakfast) jika di Indonesia dikenal dengan sebutan sarapan. Pola makan mempengaruhi pola perilaku manusia sehingga membentuk sebuah budaya makan. Perilaku Konsumsi Konsumsi yang dimaksud di sini yaitu dalam pengertian yang luas mengacu pada seluruh tipe aktivitas sosial yang orang lakukan sehingga bisa kita pakai untuk mencirikan dan mengenali mereka, selain (sebagai tambahan) apa yang mungkin mereka “lakukan” untuk hidup. Meskipun hal ini dapat dipertanyakan karena perbedaan yang nyata antara aktivitas-aktivitas yang dilakukannya sehingga sangat sulit untuk dipertahankan (Chaney, 2011: 53).
Gaya Hidup (Life Style) Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lainnya. Pola-pola kehidupan sosial yang khusus seringkali disederhanakan dengan istilah budaya. Sementara itu, gaya hidup tergantung pada bentuk-bentuk kultural, tata krama, cara menggunakan barang-barang, tempat dan waktu tertentu yang merupakan karakteristik suatu kelompok. Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Gaya hidup juga menunjukkan bagaimana orang hidup, bagaimana membelanjakan uangnya, dan bagaimana mengalokasikan waktu dalam kehidupannya, juga dapat dilihat dari aktivitas sehari-harinya dan minat apa yang menjadi kebutuhan dalam hidupnya.
Identitas Menurut Baudrillard, identitas merupakan suatu konsep diri yang muncul karena adanya faktor penentu yang muncul dari sesuatu yang melekat ataupun yang dilakukan oleh individu semata-mata agar dirinya dapat dikenal dan diterima oleh masyarakat sebagai individu yang dicitrakannya (Baudrillard dalam Lubis, 2014: 193).
Kehidupan anak kos memang menjadi suatu fenomena yang sangat unik di kalangan masyarakat. Keberadaan anak kos di tengah-tengah masyarakat bahkan telah menciptakan ruang budaya baru. Yang menjadi titik tekan dalam pembahasan ini yaitu mengenai budaya makan di kalangan anak kos di lingkungan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Budaya makan sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat khususnya pada anak kos, sehingga budaya makan pun dapat dikaji melalui aspek cultural studies. Sebagai sebuah bentuk aktivitas yang normal, bahkan perilaku makan atau budaya makan adalah bentukan dari ideologi. Di balik budaya makan, kita bisa melihat ada banyak sekali hal-hal yang dapat dikaji melalui berbagai macam konsep. Secara umum budaya makan dapat dikaji melalui cultural studies karena memang makan itu sendiri sudah menjadi budaya dalam kehidupan sehari-hari bagi setiap individu di dalam masyarakat, terkhususkan bagi anak kos. Selain itu, budaya makan di kalangan anak kos juga dapat dikaji melalui konsep kelas sosial menurut Max Weber yang mengkaji mengenai 3 (tiga) bentuk strata atau tingkatan masyarakat berdasarkan atas ekonomi yaitu, antara lain: kelas sosial atas (upper class), kelas sosial menengah (middle class), dan kelas sosial bawah (lower class). Budaya makan juga dapat dikaji melalui konsep perilaku konsumsi, konsep gaya hidup (life style) dari perspektif Chaney, dan juga konsep identitas dari Baudrillard atau bahkan bisa juga mengarah pada konsep eksistensialisme dari Sartre. Budaya makan di kalangan anak kos, dapat tergolong ke dalam tiga kategori ditinjau dari kelas sosial atau strata menurut Weber. Pertama, anak kos yang tergolong kelas bawah (lower class). Pada kelas bawah ini, dalam pola mengkonsumsi makanan lebih didominasi berdasarkan pada faktor kebutuhan. Tujuan utama mereka makan adalah karena mereka lapar. Selain itu, anak kos pada strata ini lebih memilih tempat-tempat makan yang lebih dekat dengan tempat kos. Ada beberapa yang menjadi titik tekan utama anak kos pada strata ini dalam budaya makannya, titik tekannya berada pada beberapa pertimbangan yaitu, antara lain: (1) Terkait akses, mereka akan cenderung mencari tempat makan yang relatif dekat dengan tempat kos, karena selain hemat waktu, hemat tenaga, juga hemat biaya karena bisa diakses dengan jalan kaki, dan beberapa tempat-tempat yang menjadi tujuan mereka seperti halnya ‘HIK’ (Hidangan Istimewa Kampung) atau yang biasa orang Solo sebut sebagai ‘Angkringan’, atau di beberapa daerah disebut juga sebagai ‘Wedangan’, kemudian warung makan seperti ‘Pok-We’ (Jupuk Dewe) atau dalam bahasa Indonesia yaitu ‘Ambil Sendiri’, jadi nasi dan sayur bisa ambil sepuasnya dan harga tetap sama dan relatif murah, atau mungkin makanan khas Kuningan (daerah Sunda) seperti warung ‘burjo’, dan tempat-tempat lainnya yang menawarkan harga murah dan tempat yang relatif dekat dengan tempat kos; (2) Terkait biaya, mereka akan lebih memilih tempat makan yang relatif murah dan sangat bersahabat dengan kantong mahasiswa; (3) Bisa dikatakan lebih “mengutamakan kuantitas daripada kualitas”, biasanya mereka mencari tempat makan yang murah meriah, dan bisa makan dengan porsi yang banyak, soal rasa menjadi faktor belakangan, yang terpenting adalah dapat menghilangkan rasa lapar dan kebutuhan akan makan terpenuhi. Kedua, anak kos yang tergolong kelas menengah (middle class). Pada kelas menengah ini, dalam pola mengkonsumsi makanan biasanya berada pada posisi yang netral dan lebih bisa menyesuaikan di berbagai situasi dan kondisi. Ada kalanya anak kos yang tergolong kelas menengah ini makan berdasarkan pemikiran dari strata bawah, namun ada kalanya mereka juga makan berdasarkan pada pemikiran strata atas, jadi tergantung situasi dan kondisi yang sedang mereka alami. Beberapa pertimbangan anak kos pada strata ini yaitu, antara lain: (1) Terkait akses yang tidak terlalu jauh dengan tempat kos, tetapi biasanya pada strata ini lebih memilih menggunakan kendaraan untuk ke tempat makan yang dituju daripada jalan kaki, namun hal itu juga tergantung dengan jarak tempuh antara tempat kos dengan tempat makan. Beberapa tempat makan yang menjadi tujuan anak kos pada strata ini yaitu, seperti halnya tempat makan yang murah namun bisa juga digunakan untuk tempat nongkrong. Namun walaupun seperti itu, anak kos pada kalangan ini dapat berbaur dengan kalangan apapun baik itu bawah ataupun atas, tempat makan tidak terlalu menjadi hal yang penting; (2) Terkait biaya, mereka akan menyesuaikan dengan kondisi dan situasi, ada kalanya mereka memilih makan di tempat makan seperti pola pikir anak-anak kelas bawah, hal ini dikarenakan mungkin faktor keuangan yang semakin menipis, namun ada kalanya mereka makan di tempat yang biasanya kalangan strata atas biasa makan, hal ini terjadi ketika keadaan keuangan sedang membaik. Jadi, ada penyesuaian terhadap situasi dan kondisi tertentu yang menjadi faktor pemilihan tempat makan; (3) Terkait kuantitas ataupun kualitas makanan juga tidak menjadi faktor utama, karena anak kos pada strata ini mampu menyesuaikan dengan tempat atau jenis makanan apapun, namun terkadang mereka juga mempertimbangkan terkait kualitas dan juga kuantitas. Ketiga, anak kos yang tergolong kelas atas (upper class). Pada kelas atas ini, dalam pola mengkonsumsi makanan biasanya mereka penuh dengan pertimbangan. Mereka sangat menjaga pola makan mereka, mereka sangat memperhatikan jenis makanan yang dimakan serta tempat makan yang dijadikan tujuan untuk makan. Ada beberapa pertimbangan anak kos pada strata atas ini dalam berperilaku makan, yaitu antara lain: (1) Terkait akses, tempat makan di manapun tidak menjadi kendala bagi mereka, karena faktor transportasi sangat memadai dan bisa untuk menjangkau tempat makan yang diinginkan; (2) Terkait biaya juga tidak menjadi permasalahan utama bagi kalangan ini, yang terpenting adalah tempat makan ataupun jenis makanan adalah sesuai dengan minat mereka, karena pada kalangan strata atas cenderung pemilih dan harus sesuai dengan yang diinginkan; (3) Biasanya anak kos pada strata ini lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas, soal rasa menjadi pertimbangan nomer satu bagi anak kos strata atas ini. Selain itu ada hal yang menjadi pertimbangan terkait tempat, harus bersih, nyaman, dan mengutamakan pelayanan yang baik; (4) Pada strata ini pula biasanya seseorang akan mementingkan ‘prestise’, dan memiliki tingkat gengsi yang sangat tinggi, ‘brand’ menjadi salah satu faktor yang juga penting dalam proses eksekusi pilihan tempat makan, karena pada strata ini seseorang juga mementingkan bagaimana orang lain memandang dirinya, bukan hanya hasrat karena faktor kebutuhan atau yang bersifat manifest saja, melainkan hasrat lain yang juga bersifat laten. Tempat-tempat tujuan mereka biasanya seperti, caffe, mall, restoran, atau mungkin lebih memilih untuk pesan delivery online dengan fasilitas yang dimilikinya. Mereka cenderung menghindari tempat-tempat makan yang kumuh, berbau, terlalu ramai, tempat yang sempit, dan pelayanan yang kurang memuaskan bagi dirinya. Semuanya harus sesuai dengan kualitas dan sesuai dengan selera yang diinginkan. Dalam hal ini, beberapa pertimbangan terkait budaya mereka makan sehari-hari mampu menunjukkan tingkat stratifikasi seseorang dilihat dari faktor ekonomi yang melekat pada diri masing-masing individu atau kelompok tertentu. Kita mampu menilai seseorang berada pada strata bawah, strata menengah ataupun strata atas tergantung dari: di mana dia makan, jenis makanan apa yang dia makan, dan berapa biaya yang harus dia keluarkan dalam sekali makan. Hal ini juga yang menjadi gaya hidup (life style) masing-masing dari mereka. Masing-masing strata memiliki gaya, memiliki style, memiliki life/ hidup, memiliki ciri khas dan karakter yang berbeda-beda, dan bahkan hal itu sudah menjadi pola budaya baru dalam hal makan, sehingga dapat dikaji melalui terbentuknya budaya makan di kalangan anak kos ditinjau dari kelas sosial dari masing-masing individu. Dari budaya makan, orang-orang akan terkoordinir pada masing-masing tatanan, seperti kelas sosial yang melekat pada mereka. Ada anak-anak kos yang tergabung menjadi satu di tempat makan seperti ‘HIK’ atau ‘Angkringan atau ‘Wedangan’ yang menandakan mereka termasuk ke dalam kelas sosial bawah (lower class). Ada anak-anak kos yang tergabung menjadi satu di tempat makan seperti caffe atau restoran mewah yang menandakan mereka termasuk ke dalam kelas sosial atas (upper class). Selain itu, adapun mereka yang termasuk ke dalam kelas sosial menengah (middle class) yang mampu berbaur pada keduanya, disesuaikan dengan situasi ataupun kondisi tertentu. Walaupun setiap kelas sosial mampu untuk merambah ke kelas sosial yang lain, namun intensitasnya sangat kecil dan kalaupun ada itupun hanya sebagai pemenuhan hasrat semata, dan pada akhirnya mereka akan kembali habitat kelas sosialnya masing-masing. Hal inilah yang nantinya juga akan menunjukkan identitas diri dari masing-masing individu, di mana masing-masing berkeinginan untuk bisa eksis dengan caranya sendiri yang tercermin dari budaya makan sehari-hari.
Budaya makan sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat khususnya pada anak kos, sehingga budaya makan pun dapat dikaji melalui aspek cultural studies. Selain itu, budaya makan di kalangan anak kos juga dapat dikaji melalui konsep kelas sosial menurut Max Weber yang mengkaji mengenai 3 (tiga) bentuk strata atau tingkatan masyarakat berdasarkan atas ekonomi yaitu, antara lain: kelas sosial atas (upper class), kelas sosial menengah (middle class), dan kelas sosial bawah (lower class). Budaya makan juga dapat dikaji melalui konsep perilaku konsumsi, konsep gaya hidup (life style) dari perspektif Chaney, dan juga konsep identitas dari Baudrillard atau bahkan bisa juga mengarah pada konsep eksistensialisme dari Sartre. Budaya makan di kalangan anak kos, dapat tergolong ke dalam tiga kategori ditinjau dari kelas sosial atau strata menurut Weber. Pertama, anak kos yang tergolong kelas bawah (lower class); Kedua, anak kos yang tergolong kelas menengah (middle class); Ketiga, anak kos yang tergolong kelas atas (upper class). Masing-masing memiliki beberapa pertimbangan dalam perilaku mengkonsumsi makanan, seperti: tempat makan, jenis makanan, biaya makanan, kualitas ataupun kuantitas, dan lain sebagainya. Budaya makan seakan sudah menjadi gaya hidup tersendiri atau sudah menjadi ‘life style’ (gaya hidup) bagi masing-masing individu sebagai anak kos. Hal inilah yang nantinya juga akan menunjukkan identitas diri dari masing-masing individu, di mana masing-masing berkeinginan untuk bisa eksis dengan caranya sendiri yang tercermin dari budaya makan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA Barker, Chris. (2013). Cultural Studies – Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Chaney, David. (2011). Lifestyles – Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra. Henslin, James M. (2007). Sosiologi dengan Pendekatan Membumi – Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Jenks, Chris. (2013). Culture Studi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lubis, Akhyar Y. (2014). Postmodernisme – Teori dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers. Osborne, Richard. Borin Van Loon. (2005). Seri Mengenal dan Memahami Sosiologi. Batam: Scientific Press. Sardar, Ziauddin., Borin Van Loon. (2005). Seri Mengenal dan Memahami Cultural Studies. Batam: Scientific Press. Sartre, Jean-Paul. (2011). Filsafat Eksistensialisme. Yogyakarta: Kanisius. |