Mengapa dowes dekkee disebut sebagai bapak jasionalisme indonesia

“Jikalau diantara kita mengaku sebagai seorang nasionalis, namun sementara kita masih mengukur jiwa nasinalisme seseorang dengan berdasarkan wilayah, agama, ras, kebudayaan, tradisi, dan asal-ulul negaranya, maka pemahaman tersebut alangkah lebih baik dicampakkan diselokan,” (Bung Slenteng).

jfid – Pahlawan Indonesia seperti Bung Karno, Bung Hatta, H.O.S Tjokroaminoto, Bung Syahrir, dan lain-lain, sekarang ini tidak asing didengar ditelinga bangsa Indonesia. Jiwa nasionalisme mereka tidak perlu diragukan lagi. Namun sayang, ada salah seorang nasionalis berdarah keturunan campuran (Indis) malah tidak banyak diketahui oleh kita, akan peran pentingnya dalam perjuangan kemerdekaan tanah air Indonesia, beliaulah  Ernest Douwes Dekker.

Douwes Dekker terlahir sebagai keturunan bangsa campuran. Ayahnya bernama, Auguste Douwes Dekker keturunan Kreol (Eropa Murni), sementara ibunya, Louisa Margaretha Neumann peranakan Jerman-Jawa. Dia lahir di Pasuruan, Jawa Timur pada tanggal 8 Oktober 1879. Nama pemberian orang tuanya adalah Ernest Francois Eugene Douwes Dekker, namun berjalannya waktu dalam perjuangan, Bung Karno memberinya nama Danudirja Setiabudi.

Sebagai seorang Indis yang lahir di Jawa, dimasa remajanya Douwes Dekker memulai mengenyam pendidikan di H.B.S. Batavia, sekolahan Belanda. Di masa muda itulah ia sudah mulai mengindentifikasikan diri sebagai seorang Jawa dan mulai mengasingkan status Eropanya. Maka berjalannya waktu, Douwes Dekker dicap sebagai pemberontak karena bersikap sudah memihak terhadap masyarakat bumi putra.

Doues Dekker seperti yang kita ketahui didalam teks buku sejarah Indonesia, mulai sejak muda ia merupakan salah seorang Indis yang suka memberontak. Apa yang tidak disukainya maka akan diterobos. Walaupun pagar besi pemirintah penjajah Belanda menghadangnya. Itu diketahui saat Douwes Dekker bekerja menjadi pengawas perkebunan kopi, Sumber Duren di Kaki Gunung Semeru.

Selama Doues Dekker bekerja, ia melihat sistem kolonial yang amat eksploitatif terhadap kaum pribumi, khususnya terhadap buruh-buruh perkebunan. Penindasan dan ketidakadilan memantiknya untuk berpihak terhadap pribumi, sehingga Douwes Dekker terpaksa dikeluarkan sebagai pekerja perkebunan kopi.

Tidak hanya di perkebunan kopi, demikian juga saat Douwes Dekker mulai bekerja di Pabrik Gula Pajarakan, Probolinggo. Tetapi kolonial masih bersikap sama dan berlaku tidak adil terhadap bumiputra dengan pembagian yang tidak merata atas air irigasi untuk penduduk, maka ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaan walaupun pada waktu itu Douwes Dekker menjadi seorang ahli kimia di pabrik tersebut.

Perang Boer meledak di Afrika pada tahun 1899, apalagi Douwes Dekker sangat merasa frustasi karena sudah ditinggal orang tua, namun kabar berita meletusnya perang Boer di Afrika Selatan memancing ia untuk ikut andil dalam bekerja sebagai petani, dan bersama-sama mereka melakukan pemberontakakan upaya menerobos ketidakseenang-wenangan pemerintah Inggris. Bersama Boer (Orang-orang Belanda) itulah ia berjuang dengan jiwa progresif dan radikal.

Saat Douwes Dekker menjadi sukarelawan (dalam perang Boer Afrika Selatan), dan berjuang memberontak ketiadilan justru ia malah pilihannya menuai penyesalan. Sebagaimana bunyi dalam salahsatu tulisan yang berjudul Ernest Douwes Dekker: Indis Nasionalis dikatakan; “Perang tersebut tak ubahnya perebutan hegemoni antar Belanda melawan Inggris di wilayah Afrika Selatan, tanpa memperhatikan penduduk asli,” (Prima Dwianto, www.indonesiana.id, 3 Maret, 2017). 

Kekalahan Belanda atas Inggris membuat Douwes Dekker menjalani penahanan di Kolombo dan Pretoria pada tahun 1902. Nasib seorang pejuang kemanusiaan memang kebanyakan mengalami penjara dan pembuangan, sebagaimana Douwes Dekker mengalami itu semua sebagai konsekwensi prinsipnya untuk menjunjung tinggi keadilan melawan penindasan.

Setelah penahanan di Kolombo dan Pretoria Douwes Dekker kemudian kembali ke Hindia (Indonesia sekarang) untuk merintis karir jurnalis dan politiknya. Dari karir jurnalisme itulah dia tambah bebas mengkriktik dengan pedas atas tindakan pemerintah Hindia Belanda yang eksploitatif terhadap rakyat Nusantara saat itu. 

Pemikiran-pemikiran radikal Douwes Dekker upaya sengaja ditujukan terhadap Pemerintah Belanda untuk melepaskan Nusantara (Indonesia sekarang) dari cekikan penjajahan kolonial Belanda yang mencokol. Tulisan pedas tersebut di muat di Nieuwe Arnhemsche Courant pada Juli 1908 yang berjudul Hoe Kan Holland Het Spoedigst Zijn Kolonien Verliezen.

Tidak hanya pada kritikan melalui tulisan, Douwes Dekker juga mendengungkan kemerdekaan Indonesia dengan mendirikan Indische Partij (IP) pada tanggal 25 Desember tahun 1912 melalui sebuah vergadering bersama dua kawan seperjuangannya, yaitu Tjipto Mangoenkoesoemoe dan Soewardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Tiga orang tersebut nanti dikenal dengan ‘Tiga Serangkai’. 

Nama Ernest Douwes Dekker menjadi tokoh penting dimasa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Dialah salah satu tokoh yang menumbuhkan benih-benih nasionalisme pertama kali di Indonesia. Sementara IP dengan tokoh tiga serangkai dikenal dengan organisasi politik pertama di Indonesia.

Nasionalisme Dekker tak ubahnya dengan nasionalisme yang didengungkan Bung Karno, yaitu nasionalisme kemanusiaan yang tidak menggolirifikasikan keunggulan fisik atau pun warana, ras, dan agama. 

Politik propaganda yang digunakan dan didengungkan oleh IP dengan tokoh Tiga Serangkainya dikenal dengan jargon “Hindia untuk orang Hindia”. Gerakan inilah pada waktu itu dikatakan sebagai gerakan radikal. Bahkan “Yang mula-mula sekali mengembangkan cita-cita kemerdekaan Tanah Air dan Bangsa adalah Indische Partij yang dipimpin oleh tiga orang, Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat” kata Bung Hatta, seperti yang dikutip Walentina Walutanti De Jong dalam Sukarno-Hatta Bukan Proklamtor Paksaan (2015: 41).

Jangan heran ketika seorang Indis bernama Ernes Douwes Dekker ini oleh Bung Karno diberikan gelar istimewa sebagai “Bapak Nasionalisme Politik Indonesia”. 

Seorang nasionalis Indis seperti Douwes Dekker patut diberi penghargaan setinggi-tingginya, sebab dialah yang menolak perkataan Inlander (Orang tersial) yang telah dikatakan oleh Belanda terhadap orang Indonesia pada masa-masa penjajahan.

Kita sebagai bangsa Indonesia (terutamasekali sekarang) penting kiranya mempelajari siapa dan apa yang telah dilakukan oleh Douwes Dekker terutama saat ia mempropagandakan kemerdekan kita sebangai bangsa yang besat upaya lepas dari bentuk-bentuk penjajahan.

Hanya dengan cara menghargai jasa-jasa para pahlawan dan meneruskan titah perjuangannya, bangsa ini bisa besar. Tentu juga kita harus lebih percaya kepada kekuatan diri sendiri, dan jangan mencacimaki satu sama lain walupun berbeda latar belakang agama, ras, budaya, dan warna kulit. Apalagi Douwes Dekker mengajarkan kita suatu ajaran yang dikenal dengan suatu faham nasionalisme dengan selalu berjiwa humanisme.

Semoga tulisan ini bermanfaat untuk seluruh rakyat Indonesia, dan mudah-mudahan  jiwa nasionalisme kita sama semangatnya seperti nasionalisme Ernes Douwes Dekker seorang Indis yang amat termat cinta terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tentang Penulis: Faidi Ansori, Agen Intelektual jurnalfaktual.id. Penulis buku Homo Digitalis (2018). Marhaenisme, Marxisme Ala Indonesia (2019).

Mengapa dowes dekkee disebut sebagai bapak jasionalisme indonesia

Mengapa dowes dekkee disebut sebagai bapak jasionalisme indonesia
Lihat Foto

Wikipedia

Danudirja Setiabudi

KOMPAS.com - Danudirja Setiabudi atau Ernest Douwes Dekker adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. 

Ia menjadi salah satu anggota dari Tiga Serangkai. 

Danudirja Setiabudi juga merupakan pencetus partai politik Hindia Belanda pertama, Indische Partij, pada 1912.

Paman Danudirja, Eduard Douwes Dekker adalah penulis novel Max Havelaar yang lebih dikenal lewat nama pena Multatuli.

Baca juga: Jong Islamieten Bond: Latar Belakang, Tujuan, dan Tokoh

Kehidupan 

Danudirja Setiabudi atau Douwes Dekker lahir di Pasuruan, Jawa Timur, tanggal 8 Oktober 1879. Danudirja merupakan seorang Indo (Belanda-Jawa).

Ia memiliki darah Belanda dari ayahnya, Jan Douwes Dekker. Adik Jan, Eduard Douwes Dekker atau Multatuli juga merupakan tokoh pergerakan yang dikenal lewat novelnya Max Havelaar.

Sedangkan sang ibu, Louisa Neumann, berdarah separuh Jawa dan separuh Jerman.

Danudirja menempuh pendidikan dasarnya di Pasuruan. 

Pertama-tama ia melanjutkan sekolahnya di Hogereburgerschool (HBS) atau pendidikan menengah umum zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa, dan elit pribumi di Surabaya. 

Kemudian, ia berpindah ke Gymnasium Koning Willem III School atau Kawedri, pendidikan menengah umum pertama yang berdiri di Batavia pada 15 September 1860. 

Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (umumnya dikenal dengan nama Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi; 8 Oktober 1879 – 28 Agustus 1950) adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.

Mengapa dowes dekkee disebut sebagai bapak jasionalisme indonesia
Dr. Ernest François Eugène Douwes DekkerLahir(1879-10-08)8 Oktober 1879
Pasuruan, Hindia BelandaMeninggal28 Agustus 1950(1950-08-28) (umur 70)
Bandung, Jawa Barat, IndonesiaPekerjaanPolitikus, Wartawan, Aktivis, PenulisSuami/istriClara Charlotte Deije
Johanna P. Mossel
Haroemi Wanasita (Nelly Kruymel)

Ia adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia Belanda, wartawan, aktivis politik, serta penggagas nama "Nusantara" sebagai nama untuk Hindia Belanda yang merdeka. Setiabudi adalah salah satu dari "Tiga Serangkai" pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.

Douwes Dekker terlahir di Pasuruan, Jawa Timur, pada tanggal 8 Oktober 1879, sebagaimana yang dia tulis pada riwayat hidup singkat saat mendaftar di Universitas Zurich, September 1913. Ayahnya, Auguste Henri Eduard Douwes Dekker, adalah seorang agen di bank kelas kakap Nederlandsch Indisch Escomptobank. Auguste ayahnya, memiliki darah Belanda dari ayahnya, Jan (adik Eduard Douwes Dekker) dan dari ibunya, Louise Bousquet. Sementara itu, ibu Douwes Dekker, Louisa Neumann, lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, dari pasangan Jerman-Jawa.[1] Dia terlahir sebagai anak ke-3 dari 4 bersaudara, dan keluarganya pun sering berpindah-pindah. Saudaranya yang perempuan dan laki-laki, yakni Adeline (1876) dan Julius (1878) terlahir sewaktu keluarga Dekker berada di Surabaya, dan adik laki-lakinya lahir di Meester Cornelis, Batavia (sekarang Jatinegara, Jakarta Timur pada tahun 1883. Dari situ, keluarga Dekker berpindah lagi ke Pegangsaan, Jakarta Pusat.[1]

Douwes Dekker menikah dengan Clara Charlotte Deije (1885-1968), anak dokter campuran Jerman-Belanda pada tahun 1903, dan mendapat lima anak, namun dua di antaranya meninggal sewaktu bayi (keduanya laki-laki). Yang bertahan hidup semuanya perempuan. Perkawinan ini kandas pada tahun 1919 dan keduanya bercerai.

Kemudian Douwes Dekker menikah lagi dengan Johanna Petronella Mossel (1905-1978), seorang Indo keturunan Yahudi, pada tahun 1927. Johanna adalah guru yang banyak membantu kegiatan kesekretariatan Ksatrian Instituut, sekolah yang didirikan Douwes Dekker. Dari perkawinan ini mereka tidak dikaruniai anak. Di saat Douwes Dekker dibuang ke Suriname pada tahun 1941 pasangan ini harus berpisah, dan di kala itu kemudian Johanna menikah dengan Djafar Kartodiredjo, yang juga merupakan seorang Indo (sebelumnya dikenal sebagai Arthur Kolmus), tanpa perceraian resmi terlebih dahulu. Tidak jelas apakah Douwes Dekker mengetahui pernikahan ini karena ia selama dalam pengasingan tetap berkirim surat namun tidak dibalas.

Sewaktu Douwes Dekker "kabur" dari Suriname dan menetap sebentar di Belanda (1946), ia menjadi dekat dengan perawat yang mengasuhnya, Nelly Alberta Geertzema née Kruymel, seorang Indo yang berstatus janda beranak satu. Nelly kemudian menemani Douwes Dekker yang menggunakan nama samaran pulang ke Indonesia agar tidak ditangkap intelijen Belanda. Mengetahui bahwa Johanna telah menikah dengan Djafar, Douwes Dekker tidak lama kemudian menikahi Nelly, pada tahun 1947. Douwes Dekker kemudian menggunakan nama Danoedirdja Setiabuddhi dan Nelly menggunakan nama Haroemi Wanasita, nama-nama yang diusulkan oleh Sukarno. Sepeninggal Douwes Dekker, Haroemi menikah dengan Wayne E. Evans pada tahun 1964 dan kini tinggal di Amerika Serikat.

Walaupun mencintai anak-anaknya, Douwes Dekker tampaknya terlalu berfokus pada perjuangan idealismenya sehingga perhatian pada keluarga agak kurang dalam. Ia pernah berkata kepada kakak perempuannya, Adelin, kalau yang ia perjuangkan adalah untuk memberi masa depan yang baik kepada anak-anaknya di Hindia kelak yang merdeka. Pada kenyataannya, semua anaknya meninggalkan Indonesia menuju ke Belanda ketika Jepang masuk. Demikian pula semua saudaranya, tidak ada yang memilih menjadi warga negara Indonesia.

Pendidikan dasar ditempuh Nes di Pasuruan. Sekolah lanjutan pertama-tama diteruskan ke HBS di Surabaya, lalu pindah ke Gymnasium Koning Willem III School, sekolah elit setingkat HBS di Batavia. Selepas lulus sekolah ia bekerja di perkebunan kopi "Soember Doeren" di Malang, Jawa Timur. Di sana ia menyaksikan perlakuan semena-mena yang dialami pekerja kebun, dan sering kali membela mereka. Tindakannya itu membuat ia kurang disukai rekan-rekan kerja, namun disukai pegawai-pegawai bawahannya. Akibat konflik dengan manajernya, ia dipindah ke perkebunan tebu "Padjarakan" di Kraksaan sebagai laboran.[2] Sekali lagi, dia terlibat konflik dengan manajemen karena urusan pembagian irigasi untuk tebu perkebunan dan padi petani. Akibatnya, ia dipecat.

Perang Boer

Menganggur dan kematian mendadak ibunya, membuat Nes memutuskan berangkat ke Afrika Selatan pada tahun 1899 untuk ikut dalam Perang Boer Kedua melawan Inggris.[3] Ia bahkan menjadi warga negara Republik Transvaal.[2] Beberapa bulan kemudian kedua saudara laki-lakinya, Julius dan Guido, menyusul. Nes tertangkap lalu dipenjara di suatu kamp di Ceylon. Di sana ia mulai berkenalan dengan sastera India, dan perlahan-lahan pemikirannya mulai terbuka akan perlakuan tidak adil pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap warganya.

Sebagai wartawan yang kritis dan aktivitas awal

DD dipulangkan ke Hindia Belanda pada tahun 1902, dan bekerja sebagai agen pengiriman KPM, perusahaan pengiriman milik negara. Penghasilannya yang lumayan membuatnya berani menyunting Clara Charlotte Deije, putri seorang dokter asal Jerman yang tinggal di Hindia Belanda, pada tahun 1903.

Kemampuannya menulis laporan pengalaman peperangannya di surat kabar terkemuka membuat ia ditawari menjadi reporter koran Semarang terkemuka, De Locomotief. Di sinilah ia mulai merintis kemampuannya dalam berorganisasi. Tugas-tugas jurnalistiknya, seperti ke perkebunan di Lebak dan kasus kelaparan di Indramayu, membuatnya mulai kritis terhadap kebijakan kolonial. Ketika ia menjadi staf redaksi Bataviaasch Nieuwsblad, 1907, tulisan-tulisannya menjadi semakin pro kaum Indo dan pribumi. Dua seri artikel yang tajam dibuatnya pada tahun 1908. Seri pertama artikel dimuat Februari 1908 di surat kabar Belanda Nieuwe Arnhemsche Courant setelah versi bahasa Jermannya dimuat di koran Jerman Das Freie Wort, "Het bankroet der ethische principes in Nederlandsch Oost-Indie" ("Kebangkrutan prinsip etis di Hindia Belanda") kemudian pindah di Bataviaasche Nieuwsblad. Sekitar tujuh bulan kemudian (akhir Agustus) seri tulisan panas berikutnya muncul di surat kabar yang sama, "Hoe kan Holland het spoedigst zijn koloniën verliezen?" ("Bagaimana caranya Belanda dapat segera kehilangan koloni-koloninya?", versi Jermannya berjudul "Hollands kolonialer Untergang"). Kembali kebijakan politik etis dikritiknya. Tulisan-tulisan ini membuatnya mulai masuk dalam radar intelijen penguasa.[4]

Rumah DD, pada saat yang sama, yang terletak di dekat Stovia menjadi tempat berkumpul para perintis gerakan kebangkitan nasional Indonesia, seperti Sutomo dan Cipto Mangunkusumo, untuk belajar dan berdiskusi. Budi Utomo (BO), organisasi yang diklaim sebagai organisasi nasional pertama, lahir atas bantuannya. Ia bahkan menghadiri kongres pertama BO di Yogyakarta.

Aspek pendidikan tak luput dari perhatian DD. Pada tahun 1910 (8 Maret) ia turut membidani lahirnya Indische Universiteit Vereeniging (IUV), suatu badan penggalang dana untuk memungkinkan dibangunnya lembaga pendidikan tinggi (universitas) di Hindia Belanda. Di dalam IUV terdapat orang Belanda, orang-orang Indo, aristokrat Banten dan perwakilan dari organisasi pendidikan kaum Tionghoa THHK.

Indische Partij

Karena menganggap BO terbatas pada masalah kebudayaan (Jawa), DD tidak banyak terlibat di dalamnya. Sebagai seorang Indo, ia terdiskriminasi oleh orang Belanda murni ("totok" atau trekkers). Sebagai contoh, orang Indo tidak dapat menempati posisi-posisi kunci pemerintah karena tingkat pendidikannya. Mereka dapat mengisi posisi-posisi menengah dengan gaji lumayan tinggi. Untuk posisi yang sama, mereka mendapat gaji yang lebih tinggi daripada pribumi. Namun, akibat politik etis, posisi mereka dipersulit karena pemerintah koloni mulai memberikan tempat pada orang-orang pribumi untuk posisi-posisi yang biasanya diisi oleh Indo. Tentu saja pemberi gaji lebih suka memilih orang pribumi karena mereka dibayar lebih rendah. Keprihatinan orang Indo ini dimanfaatkan oleh DD untuk memasukkan idenya tentang pemerintahan sendiri Hindia Belanda oleh orang-orang asli Hindia Belanda (Indiërs) yang bercorak inklusif dan mendobrak batasan ras dan suku. Pandangan ini dapat dikatakan original, karena semua orang pada masa itu lebih aktif pada kelompok ras atau sukunya masing-masing.

Berangkat dari organisasi kaum Indo, Indische Bond dan Insulinde, ia menyampaikan gagasan suatu "Indië" (Hindia) baru yang dipimpin oleh warganya sendiri, bukan oleh pendatang. Ironisnya, di kalangan Indo ia mendapat sambutan hangat hanya di kalangan kecil saja, karena sebagian besar dari mereka lebih suka dengan status quo, meskipun kaum Indo direndahkan oleh kelompok orang Eropa "murni" toh mereka masih dapat dilayani oleh pribumi.

Tidak puas karena Indische Bond dan Insulinde tidak bisa bersatu, pada tahun 1912 Nes bersama-sama dengan Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat mendirikan partai berhaluan nasionalis inklusif bernama Indische Partij ("Partai Hindia").[2][5] Kampanye ke beberapa kota menghasilkan anggota berjumlah sekitar 5000 orang dalam waktu singkat. Semarang mencatat jumlah anggota terbesar, diikuti Bandung. Partai ini sangat populer di kalangan orang Indo, dan diterima baik oleh kelompok Tionghoa dan pribumi, meskipun tetap dicurigai pula karena gagasannya yang radikal. Partai yang anti-kolonial dan bertujuan akhir kemerdekaan Indonesia ini dibubarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda setahun kemudian, 1913 karena dianggap menyebarkan kebencian terhadap pemerintah.

Akibat munculnya tulisan terkenal Suwardi di De Expres, "Als Ik Een Nederlander Was" (Seandainya Aku Seorang Belanda), ketiganya lalu diasingkan ke Belanda, karena DD dan Cipto mendukung Suwardi.

Dalam pembuangan di Eropa

 

Universitas Zurich, tempat Ernest Douwes Dekker menempuh pendidikan tingginya.

Masa di Eropa dimanfaatkan oleh Nes untuk mengambil program doktor di Universitas Zürich, Swiss, dalam bidang ekonomi. Di sini ia tinggal bersama-sama keluarganya. Gelar doktor diperoleh secara agak kontroversial dan dengan nilai "serendah-rendahnya", menurut istilah salah satu pengujinya. Karena di Swis ia terlibat konspirasi dengan kaum revolusioner India, ia ditangkap di Hong Kong dan diadili, kemudian ia ditahan di Singapura (1918). Setelah dua tahun dipenjara, ia pulang ke Hindia Belanda 1920.

Kegiatan jurnalistik dan Peristiwa Polanharjo

Sekembalinya ia ke Batavia setelah dipenjara DD aktif kembali dalam dunia jurnalistik dan organisasi. Ia menjadi redaktur organ informasi Insulinde yang bernama De Beweging. Ia menulis beberapa seri artikel yang banyak menyindir kalangan pro-koloni serta sikap kebanyakan kaumnya: kaum Indo. Targetnya sebetulnya adalah de-eropanisasi orang Indo, agar mereka menyadari bahwa demi masa depan mereka berada di pihak pribumi, bukan seperti yang terjadi, berpihak ke Belanda. Organisasi kaum Indo yang baru dibentuk, Indisch Europeesch Verbond (IEV), dikritiknya dalam seri tulisan "De tien geboden" (Sepuluh Perintah Tuhan) dan "Njo Indrik" (Sinyo Hendrik). Pada seri yang disebut terakhir, IEV dicap olehnya sebagai "liga yang konyol dan kekanak-kanakan".

Sejumlah pamflet lepas yang cukup dikenal juga ditulisnya pada periode ini, seperti "Een Natie in de maak" (Suatu bangsa tengah terbentuk) dan "Ons volk en het buitenlandsche kapitaal" (Bangsa kita dan modal asing).

Pada rentang masa ini dibentuk pula Nationaal Indische Partij (NIP), sebagai organisasi pelanjut Indische Partij yang telah dilarang. Pembentukan NIP menimbulkan perpecahan di kalangan anggota Insulinde antara yang moderat (kebanyakan kalangan Indo) dan yang progresif (menginginkan pemerintahan sendiri, kebanyakan orang Indonesia pribumi). NIP akhirnya bernasib sama seperti IP: tidak diizinkan oleh Pemerintah.

Pada tahun 1919, DD terlibat (atau tersangkut) dalam peristiwa protes dan kerusuhan petani/buruh tani di perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten. Ia terkena kasus ini karena dianggap mengompori para petani dalam pertemuan mereka dengan orang-orang Insulinde cabang Surakarta, yang ia hadiri pula. Pengadilan dilakukan pada tahun 1920 di Semarang. Hasilnya, ia dibebaskan; namun kasus baru menyusul dari Batavia: ia dituduh menulis hasutan di surat kabar yang dipimpinnya. Kali ini ia harus melindungi seseorang (sebagai redaktur De Beweging) yang menulis suatu komentar yang di dalamnya tertulis "Membebaskan negeri ini adalah keharusan! Turunkan penguasa asing!". Yang membuatnya kecewa adalah ternyata alasan penyelidikan bukanlah semata tulisan itu, melainkan "mentalitas" sang penulis (dan dituduhkan ke DD). Setelah melalui pembelaan yang panjang, DD divonis bebas oleh pengadilan.

Aktivitas pendidikan dan Ksatrian Instituut

Sekeluarnya dari tahanan dan rentetan pengadilan, DD cenderung meninggalkan kegiatan jurnalistik dan menyibukkan diri dalam penulisan sejumlah buku semi-ilmiah dan melakukan penangkaran anjing gembala Jerman dan aktif dalam organisasinya. Prestasinya cukup mengesankan, karena salah satu anjingnya memenangi kontes dan bahkan mampu menjawab beberapa pertanyaan berhitung dan menjawab beberapa pertanyaan tertulis.

Atas dorongan Suwardi Suryaningrat yang saat itu sudah mendirikan Perguruan Taman Siswa, ia kemudian ikut dalam dunia pendidikan, dengan mendirikan sekolah "Ksatrian Instituut" (KI) di Bandung. Ia banyak membuat materi pelajaran sendiri yang instruksinya diberikan dalam bahasa Belanda. KI kemudian mengembangkan pendidikan bisnis, namun di dalamnya diberikan pelajaran sejarah Indonesia dan sejarah dunia yang materinya ditulis oleh Nes sendiri. Akibat isi pelajaran sejarah ini yang anti-kolonial dan pro-Jepang, pada tahun 1933 buku-bukunya disita oleh pemerintah Keresidenan Bandung dan kemudian dibakar. Pada saat itu Jepang mulai mengembangkan kekuatan militer dan politik di Asia Timur dengan politik ekspansi ke Korea dan Tiongkok. DD kemudian juga dilarang mengajar.

Kegiatan sebelum pembuangan

Karena dilarang mengajar, DD kemudian mencari penghasilan dengan bekerja di kantor Kamar Dagang Jepang di Jakarta. Ini membuatnya dekat dengan Mohammad Husni Thamrin, seorang wakil pribumi di Volksraad. Pada saat yang sama, pemerintah Hindia Belanda masih trauma akibat pemberontakan komunis (ISDV) tahun 1927, memecahkan masalah ekonomi akibat krisis keuangan 1929, dan harus menghadapi perkembangan fasisme ala Nazi di kalangan warga Eropa (Europaeer).

Serbuan Jerman ke Denmark dan Norwegia, dan akhirnya ke Belanda, pada tahun 1940 mengakibatkan ditangkapnya ribuan orang Jerman di Hindia Belanda, berikut orang-orang Eropa lain yang diduga berafiliasi Nazi. DD yang memang sudah "dipantau", akhirnya ikut digaruk karena dianggap kolaborator Jepang, yang mulai menyerang Indochina Prancis. Ia juga dituduh komunis.

Pengasingan di Suriname

DD ditangkap dan dibuang ke Suriname pada tahun 1941 melalui Belanda. Di sana ia ditempatkan di suatu kamp jauh di pedalaman Sungai Suriname yang bernama Jodensavanne ("Padang Yahudi").[3] Tempat itu pada abad ke-17 hingga ke-19 pernah menjadi tempat permukiman orang Yahudi yang kemudian ditinggalkan karena kemudian banyak pendatang yang membuat keonaran.

Kondisi kehidupan di kamp sangat memprihatinkan. Sampai-sampai DD, yang waktu itu sudah memasuki usia 60-an, sempat kehilangan kemampuan melihat. Di sini kehidupannya sangat tertekan karena ia sangat merindukan keluarganya. Surat-menyurat dilakukannya melalui Palang Merah Internasional dan harus melalui sensor.

Ketika kabar berakhirnya perang berakhir, para interniran (buangan) di sana tidak segera dibebaskan. Baru menjelang pertengahan tahun 1946 sejumlah orang buangan dikirim ke Belanda, termasuk DD. Di Belanda ia bertemu dengan Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel, seorang perawat. Nelly kemudian menemaninya kembali ke Indonesia. Kepulangan ke Indonesia juga melalui petualangan yang mendebarkan karena DD harus mengganti nama dan menghindari petugas intelijen di Pelabuhan Tanjung Priok. Akhirnya mereka berhasil tiba di Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia pada waktu itu pada tanggal 2 Januari 1947.

Perjuangan pada masa Revolusi Kemerdekaan dan akhir hayat

Tak lama setelah kembali ia segera terlibat dalam posisi-posisi penting di sisi Republik Indonesia. Pertama-tama ia menjabat sebagai menteri negara tanpa portofolio dalam Kabinet Sjahrir III, yang hanya bekerja dalam waktu hampir 9 bulan. Selanjutnya berturut-turut ia menjadi anggota delegasi negosiasi dengan Belanda, konsultan dalam komite bidang keuangan dan ekonomi di delegasi itu, anggota DPA, pengajar di Akademi Ilmu Politik, dan terakhir sebagai kepala seksi penulisan sejarah (historiografi) di bawah Kementerian Penerangan. Di mata beberapa pejabat Belanda ia dianggap "komunis" meskipun ini sama sekali tidak benar.

Pada periode ini DD tinggal satu rumah dengan Sukarno. Ia juga menempati salah satu rumah di Kaliurang. Dan dari rumah di Kaliurang inilah pada tanggal 21 Desember 1948 ia diciduk tentara Belanda yang tiba dua hari sebelumnya di Yogyakarta dalam rangka "Aksi Polisionil". Setelah diinterogasi ia lalu dikirim ke Jakarta untuk diinterogasi kembali.

Tak lama kemudian DD dibebaskan karena kondisi fisiknya yang payah dan setelah berjanji tak akan melibatkan diri dalam politik. Ia dibawa ke Bandung atas permintaannya. Harumi kemudian menyusulnya ke Bandung. Setelah renovasi, mereka lalu menempati rumah lama (dijulukinya "Djiwa Djuwita") di Lembangweg.

Di Bandung ia terlibat kembali dengan aktivitas di Ksatrian Instituut. Kegiatannya yang lain adalah mengumpulkan material untuk penulisan autobiografinya (terbit 1950: 70 jaar konsekwent) dan merevisi buku sejarah tulisannya.

Ernest Douwes Dekker wafat dini hari tanggal 28 Agustus 1950 (tertulis di batu nisannya; 29 Agustus 1950 versi van der Veur, 2006) dan dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung.

Jasa DD dalam perintisan kemerdekaan diekspresikan dalam banyak hal. Di setiap kota besar dapat dijumpai jalan yang dinamakan menurut namanya: Setiabudi. Jalan Lembang di Bandung utara, tempat rumahnya berdiri, sekarang bernama Jalan Setiabudi. Di Jakarta bahkan namanya dipakai sebagai nama suatu kecamatan, yakni Kecamatan Setiabudi di Jakarta Selatan.

Di Belanda, nama DD juga dihormati sebagai orang yang berjasa dalam meluruskan arah kolonialisme (meskipun hampir sepanjang hidupnya ia berseberangan posisi politik dengan pemerintah kolonial Belanda; bahkan dituduh "pengkhianat").

  • Daftar tokoh Indonesia
  • Daftar tokoh Eropa-Indonesia

  • Ch., M. Nasruddin Anshoriy; Tjakrawerdaya, Djuanaidi (2008). Rekam Jejak Dokter Pejuang & Pelopor. Yogyakarta: LKIs. ISBN 979-1283-613. 
  • Komandoko, Gamal (2008). Boedi Oetomo:Awal Bangkitnya Kesadaran Bangsa. Yogyakarta: MedPress. ISBN 979-788-015-X. 
  • Anwar, Rosihan (2009). Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia. 3. Jakarta: Kompas. ISBN 978-979-709-429-4. 
  • Setiadi, Purwanto; Arvian, Yandhrie (November 2012). Douwes Dekker:Sang Inspirator Revolusi. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) bekerjasama dengan Majalah Tempo. ISBN 978-979-91-0513-4. 

  1. ^ a b Setiadi & Arvian 2012, hlm. 66 – 70.
  2. ^ a b c "DOUWES DEKKER, Ernest François Eugène, 1879–1950". Instituut voor Nederlandse Geschiedenis. Diakses tanggal 2 November 2018. 
  3. ^ a b "Danudirdja Setiabuddhi, 1879–1950". Kompas. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 November 2005. Diakses tanggal 2 November 2018. 
  4. ^ Indonesia, Early Political Movements. Library of Congress Country Studies.  Parameter |access-date= membutuhkan |url= (bantuan)
  5. ^ "The Growth of National Consciousness". Federal Research Division of the Library of Congress. Diakses tanggal 2006-01-08. 

  • "Biografie in BWN". Diakses tanggal 10 Januari 2020. 

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ernest_Douwes_Dekker&oldid=20834779"