Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia warga negara adalah penduduk sebuah negara atau bangsa berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dan sebagainya yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga dari negara itu. Hal ini ditegaskan lagi oleh UUD 1945 Pasal 26, di mana untuk menjadi warga negara maka harus disahkan dalam Undang-Undang. Istilah warga negara menurut Encyclopedia of the Social Science mengandung 2 komponen konseptual antara lain:
Kewarganegaraan bersifat dinamis. Artinya, setiap orang bisa mendapatkan atau kehilangan kewarganegaraannya sewaktu-waktu. Setiap orang bisa memperoleh warga negara bila memenuhi ketentuan yang berlaku dalam UU No. 12 Tahun 2006 Pasal 4. Bagi orang asing yang ingin menjadi WNI, dapat dilakukan naturalisasi selama memenuhi ketentuan yang ada. Begitu juga, setiap WNI yang tidak lagi ingin menjadi Warga Negara Indonesia berhak mengajukan pelepasan status warga negara tersebut. Setiap warga negara memiliki hak yang dapat diperoleh atas dasar menyandah kewarganegaraan suatu negara. Dengan kata lain, hak adalah kuasa untuk menerima atau melakukan suatu yang semestinya diterima atau dilakukan melulu oleh pihak tertentu dan tidak dapat oleh pihak lain manapun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya. Baca JugaDi Indonesia, hak warga negara diatur dalam UUD 1945 Pasal 26-34. Tidak seperti HAM, hak warga negara bisa saja dicabut sewaktu-waktu apabila warga negara tersebut melanggar suatu ketentuan yang berlaku. Advertising Advertising Dalam pasal 26 disebutkan bahwa untuk menjadi warga negara harus memenuhi Undang-Undang yang berlaku. Apabila seorang warga negara tidak lagi memenuhi ketentuan, ia bisa saja kehilangan kewarganegaraannya dan tidak lagi memiliki hak warga negara tersebut. Hak Warga Negara Indonesia dalam UUD 1945Hak warga negara Indonesia telah tertuang dalam Undang-Undang 1945 di sejumlah pasal, yakni:
Contoh Hak Warga Negara
Sebagaimana telah ditetapkan dalam UUD 1945 pada pasal 28, hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syaratnya diatur dalam undang-undang. Pasal ini mencerminkan bahwa negara Indonesia bersifat demokrasi. Para pejabat dan pemerintah pun hidup setara dengan warga sipil. Harus menjunjung bangsa Indonesia ini kepada kehidupan yang lebih baik dan maju. Yaitu dengan menjalankan hak-hak dan kewajiban dengan seimbang. Dengan memperhatikan rakyat-rakyat kecil yang selama ini kurang mendapat kepedulian dan tidak mendapatkan hak-haknya. Baca JugaSementara itu, kewajiban sebagai warga negara dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang harus dilakukan oleh seorang warga negara dengan penuh tanggung jawab dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sama halnya dengan hak asasi, kewajiban sebagai warga negara juga berbeda dari kewajiban asasi, sebagai kewajiban dasar yang dimiliki setiap orang. Kewajiban warga negara serupa dengan hak warga negara, juga dibatasi oleh kewarganegaraan orang tersebut. Kewajiban kita sebagai warga dari negara Indonesia juga sudah diatur dalam UUD 1945, yaitu:
Kewajiban Warga Negara dalam UUD 1945
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hak dan kewajiban warga negara telah melekat pada diri seseorang terhadap suatu negara. Sebagai warga negara Indonesia, seseorang mendapatkan hak dan kewajiban yang sama. Baca JugaAda kewajiban yang harus dijalankannya sebagai warga Indonesia untuk memajukan negeri. Saat menjalankan kewajiban, warga negara juga mempunyai hak yang harus diperjuangkan oleh negara. Hak inilah yang disebut sebagai hak warga negara. Poin utama yang tidak boleh dilanggar dalam hak dan kewajiban warga negara adalah bahwa hak asasi manusia juga harus terpenuhi. Tidak ada dan tidak boleh ada negara ataupun warga negara yang melanggar hak asasi manusia, terlepas dari apapun negara yang ia tinggali dan menjadi warga negara di dalamnya. Hak dan Kewajiban telah dicantumkan dalam UUD 1945 pasal 26, 27, 28, dan 30, yaitu :
Kabar latuharhary – Warga negara dan Penduduk memiliki perbedaan makna dalam konteks Hak Asasi Manusia [HAM]. Perbedaan paradigma tersebut menimbulkan kontradiksi dalam beberapa pasal pada Undang-Undang Dasar 1945. Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, M. Choirul Anam, menyampaikan hal tersebut saat menjadi narasumber dalam “Diskusi Terfokus dua kajian terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan pelaksanaanya [BAB X Warga Negara dan Penduduk, BAB XA HAM, BAB XI Agama]”. Kegiatan ini diselenggarakan secara daring oleh Center for the Study of Religion and Culture [CSRC] Universitas Islam Negeri [UIN] Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Senin, 19 Juli 2021. Pada diskusi ini Anam membahas mengenai penggunaan kata warga nergara dan kata penduduk yang erat kaitannya dengan konsep dasar hak asasi manusia. Anam berpendapat, apabila menggunakan kata penduduk atau civil population dan lain-lain artinya setiap orang yang berada di satu wilayah atau satu otoritas tertentu tanpa terkecuali. Sedangkan, apabila penggunaan kata warga negara, berarti orang yang memiliki satu identitas politik tertentu. “Hampir semua instrumen HAM, ada tiga kata yang digunakan. Satu adalah person, all person, individual yang maknanya melekat pada dirinya sendiri. Kedua adalah populasi, dan ketiga adalah citizen. Jadi, memang ada tiga kata itu yang sengaja dipilih dalam konteks HAM itu. Dan itu memiliki konsekuensi hukum yang panjang,” ucap Anam.Anam menjelaskan bahwa dalam International Covenant on Civil and Political Rights [ICCPR] hampir semua pemilihan kata di hak sipil dan politik tersebut menggunakan istilah person, atau all person. Dan yang tidak menggunakan kata tersebut hanya satu, di Pasal 25, memakai kata citizen, karena berhubungan dengan partisipasi pada satu organisasi yang disebut negara. Pada pasal 25 tersebut, mengatur terkait partisipasi langsung, seperti pemilu dan lain sebagainya. “Di luar konteks partisipasi langsung, semuanyanya menggunakan kata person, all person, individual, yang sifatnya adalah tubuh orang, identitas orang. Bukan identitas yang dilahirkan oleh kesepakatan politik. Kalau citizen itu kan ada kesepakatan politik atau keterdudukan oleh hukum,” kata Anam. Apabila mengikuti paradigma di hak asasi manusia, ketika berbicara mengenai partisipasi memang akan melekat pada identitas politiknya atau kewarganegaraannya. Anam menjelaskan penikmatan hak asasi manusia dalam beberapa konteks, dalam konsep hak ekonomi sosial dan budaya dalam tanda petik boleh mengutamakan warga negaranya. Tetapi, bridging point antara mengutamakan warga negara, seperti di beberapa pasal l agar tidak bertentangan pada pasal 28 itu tidak ada. “Seperti pasal 34 terkait fakir miskin dan anak anak terlantar hidupnya dilindungi dan dijamin oleh negara dan itu ya anaknya warga negara. Kalau anaknya penduduk dia tidak bisa menikmati. Padahal, pada pasal 28B secara tegas dikatakan bahwa anak-anak itu adalah bagian dari tanggung jawab negara. Apabila membaca pasal-pasal di luar pasal 28 yang memang paradigmanya mencerminkan nilai-nilai HAM, pada dasarnya memiliki potensi bertentangan dengan pasal 28 itu sendiri. Karena pilihan kata warga negara dan kata setiap orang itu berbeda, kalau setiap orang berarti setiap orang tanpa terkecuali,”Pemilihan kata-kata tersebut membuat konsekuensi yang sangat panjang, dan perlu satu bridging point terkait mana saja yang melekat pada warga negara, dan melekat pada setiap orang. Lebih lanjut, Anam menjelaskan bahwa ada beberapa perbedaan dalam konteks hak asasi manusia. Apabila berhubungan langsung dengan keselamatan, keamanan pribadi maupun jaminan atas keadilan, hak asasi manusia melekat pada individuk, tidak membedakan antara warga negara atau bukan. “Apabila berbicara terkat partisipasi termasuk pemilu di dalamnya, menggunakan kata citizen. Dan citizen ini memang berbicara mengenai partisipasi, kalau berbicara terkait hak, dan lain-lain itu tidak. Hal tersebut yang mendasarkan, tetapi di konstitusi kita pembagian itu belum ada,” ujar Anam. Wakil Ketua Bidang Akademik dan Penelitian di Sekolah Tinggi Hukum [STH] Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menjelaskan bahwa ada salah satu Pasal yang menjadi persoalan teks dalam Undang-Undang Dasar, yakni Pasal 28 J ayat 2. “Seperti yang kita tau pada Pasal 28 J ayat 2 dikatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang. Memang ada kata-kata dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan seterusnya, tetapi dengan maksud semata-mata menjamin pengakuan, penghormatan tersebut itu kan sesuatu yang kemudian harus mendapatkan kualifikasi lebih jauh dari pembuat undang-undang atau pun ketika diuji oleh hakim Mahkamah Konstitusi [MK]. Sesungguhnya kita dapat liat dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi [MK] Pasal 28 J ayat 2 ini lah yang kemudian sering digunakan untuk memberi tafsir yang terlalu luas bahwa negara bisa memberikan pengaturan yang lebih jauh, dan akhirnya justru membatasi hak asasi manusia,” ucap Bivitri.
Video yang berhubunganVideo yang berhubungan |