Ketika melihat sesuatu yang menakjubkan sebaiknya kita membaca

Belakangan ini, terdapat polemik di sebagian kelompok masyarakat mengenai masalah kapankah waktu dan momen yang tepat untuk mengucapkan kalimat “Subhanallah” dan “Masya Allah”. Pada kesempatan kali ini, kami akan (berusaha) menguraikan permasalahan ini dengan tuntas melalui dua sisi pendapat yang berbeda, akan tetapi (insya Allah) ada titik temu diantara keduanya. Akan tetapi, sebelum kita membahas arti dari kedua kalimat mulia tersebut.

Arti Subhanallah dan Masya Allah

  1. Subhanallah (سبحان الله) memiliki arti, “Maha Suci Allah”. Maksudnya, Allah suci dari segala keburukan, kekurangan, kecacatan dan segala hal-hal yang buruk lainnya. Ungkapan ini sekaligus menunjukkan keagungan-Nya, bahwa memang Dia-lah satu-satunya yang Maha Suci.
  2. Sedangkan, Masya Allah (ماشاء الله) memiliki arti, “Atas kehendak Allah”.

Kapan Dua Kalimat Tersebut Diucapkan Selain ketika Dzikir?

pixabay.com

Dalam tradisi kita, apabila kita melihat hal-hal yang baik seperti pemandangan yang indah, anak yang cerdas, rumah yang bagus dan sebagainya, kita akan spontan mengucapkan “Subhanallah…“. Sedangkan, apabila melihat sesuatu yang mengagetkan, mengejutkan dan sejenisnya, kita akan mengucapkan “Masya Allah…”.

Menurut sebagian kalangan, hal ini merupakan sesuatu yang keliru. Penggunaan kedua kalimat di atas adalah terbalik, maksudnya, yang seharusnya mengucapkan “Masya Allah” malah membaca “Subhanallah”, begitu pula sebaliknya. Tanpa panjang lebar lagi, mari ktia bahas dua pendapat yang ada seputar masalah ini.

Pendapat Pertama

Pendapat yang pertama mengatakan, bahwa pengucapan kalimat tasbih (Subhanallah) diucapkan ketika orang yang mengucapkan itu sedang dalam keadaan heran terhadap sikap, takjub terhadap suatu peristiwa ataupun ketika melihat maupun mendengar sesuatu yang tidak pantas bagi Allah SWT.

1. Adapun landasan pengucapan tasbih ketika heran terhadap sikap orang lain adalah kisah berikut ini;

Abu Hurairah ra. pernah bertemu dengan Nabi SAW sedangkan ia masih dalam kondisi junub. Lalu Abu Hurairah pergi mandi tanpa pamit kepada Baginda. Setelah balik, Nabi SAW bertanya, mengapa tadi dia pergi. Abu Hurairah berkata, “Aku junub, dan aku tidak suka duduk bersama anda (Rasulullah) sedangkan aku dalam keadaan tidak suci.” Kemudian Nabi SAW bersabda,

سُبْحَانَ اللَّهِ! إِنَّ الْمُسْلِمَ لاَ يَنْجُسُ

Subhanallah! Sesungguhnya muslim itu tidak najis.” (HR. Bukhari 279)

Rasulullah heran terhadap Abu Hurairah yang mengira dirinya najis hanya karena dalam kondisi junub. Maka, Nabi pun menjelaskan bahwa seorang muslim itu tidaklah najis, walaupun ia dalam kondisi junub. Sehingga, tidak perlu minder apabila ingin bertemu sesama muslim.

2. Sedangkan untuk kondisi kedua, yakni takjub terhadap sebuah peristiwa, landasannya adalah;

Dari Muhammad bin Jahsy ra, “Suatu ketika, Rasulullah melihat ke arah langit, kemudian beliau bersabda,

سُبْحَانَ اللَّهِ مَاذَا نُزِّلَ مِنَ التَّشْدِيدِ

Subhanallah, betapa berat ancaman yang diturunkan ….”

Pada lanjutan hadits mengenai peristiwa ini, Rasulullah takjub atau kaget terhadap ancaman yang diturunkan oleh Allah kepada orang-orang yang malas membayar hutang.

3. Dalil tentang kondisi ketiga versi pendapat pertama adalah ayat 116 dari surat Al-Baqarah yang memiliki arti;

“Mereka (orang-orang Nasrani) berkata, ‘Allah mempunyai anak’, Maha Suci Dia (dari tuduhan itu).”

Demikian landasan pendapat dari kalangan yang berbeda dengan kebiasaan masyarakat kita mengenai masalah kapan waktu mengucapkan “Subhanallah“.

Masih membahas pendapat versi pertama, menurut mereka, ucapan “Masya Allah” yang benar adalah ketika melihat sesuatu yang indah (kebalikan dari kebiasaan masyarakat yang sudah disebutkan). Landasan mereka adalah;

Allah berfirman di surat al-Kahfi,

وَلَوْلا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

“Mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “Maasyaa Allaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).” (QS. al-Kahfi: 39)

Pendapat Kedua

secangkirilmu.com

Dalam pandangan pendapat yang kedua, pengucapan Subhanallah/Masya Allah lebih dirinci.

1. Yaitu, “Subhanallah” boleh juga diucapkan ketika melihat sesuatu yang menakjubkan atau indah, dengan catatan, itu murni atas kekuasaan Allah dan tanpa campur tangan manusia.

Contohnya, ketika kita melihat keindahan pemandangan alam, orang yang cantik/tampan, mukjizat-mukjizat, karomah atau bisa juga diucapkan ketika melihat peristiwa gunung meletus, gempa bumi dan sebagainya. Pemahaman ini didasari oleh ayat pertama dari surat Al-Isra’ dan beberapa ayat lainnya di dalam Al-Qur’an.

سبحان الذي اسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام الى المسجد الاقصى الذي باركنا حوله لنريه من اياتنا انه هو السميع البصير

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Dalam ayat tersebut (dan beberapa ayat lainnya), Allah memuji diri-Nya sendiri dengan kalimat tasbih ketika menunjukkan ke-Maha Kuasa-annya yang bisa memperjalankan Rasulullah SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dalam semalam. Padahal, apabila perjalanan antara dua masjid mulia tadi ditempuh dengan perjalanan biasa, bisa menghabiskan waktu sebulan lebih perjalanan.

2. Sedangkan, “Masya Allah” diucapkan ketika melihat sesuatu/kejadian yang indah maupun menakjubkan, sedangkan ada peranan manusia dalam sesuatu/kejadian tersebut.

Contohnya, ketika melihat bangunan yang indah dan megah, memasuki kebun yang cantik, teknologi yang canggih atau prestasi yang membanggakan, fisik yang kuat dan sebagainya.

Allah berfirman di surat al-Kahfi,

وَلَوْلا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

“Mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “Maasyaa Allaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).” (QS. al-Kahfi: 39)

Dalil di surat al-Kahfi tersebut dipahami dengan penjelasan yang sudah disebutkan di atas. Dalam ayat di atas, objek dari ucapan “Masya Allah” adalah kebun. Sedangkan, dalam adanya sebuah kebun itu tadi, selain tanaman-tanaman di dalamnya tumbuh atas izin Allah, juga ada usaha dari si pemilik kebun dengan menanamnya, menyirami, memupuki dan seterusnya.

Demikian tadi uraian mengenai arti dan waktu pengucapan yang tepat untuk kalimat “Subhanallah” dan “Masya Allah”. Semoga, kedepannya kita tidak lagi disibukkan dengan perbedaan pendapat ini. Justru, jadikan dua kalimat thoyyibah ini sebagai dzikir sehari-hari di waktu senggang maupun sempit. Wallahu a’lam.

Penggunaan kalimat thayyibah menurut Cak Nun.

Senin , 25 Jan 2021, 09:49 WIB

Pixabay

Apa yang Harus Kita Ucapkan Jika Melihat Hal Indah?

Rep: Meiliza Laveda Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat melihat langit yang indah atau matahari terbit, tentu kita ingin mengucapkan kalimat thayyibah, seperti subhanallah, masya Allah, dan lain-lain. Namun, dari kalimat thayyibah tersebut, mana yang paling tepat jika ingin mengucapkan setelah melihat ciptaan Allah yang indah?

Baca Juga

KH Emha Ainun Najib atau Cak Nun mengatakan kalimat thayyibah berawal dari ide Allah agar manusia mengucapkannya. Allah membekali manusia dengan Alquran, hati, dan pikiran agar kalimat itu menjadi kalam, ucapan, ungkapan, dan ekspresi.

“Hati kita dan pikiran kita berproses terhadap kehidupan ini. Hati merasakan, merenungi, dan mempertimbangkan sehingga kita bisa menyimpulkan,” kata Cak Nun, dalam video bertajuk Saya Harus Nyebut Apa Ini, Mbah? di kanal Youtube CakNun.com.

Jika melihat dengan penggunaan kosa kata dan makna, semua kalimat thayyibah bisa digunakan. Misal, saat melihat langit cerah menggunakan alhamdulillah karena ingin bersyukur.

Bisa juga astagfirullah karena sadar betapa Maha Pemurah-Nya Allah sedangkan diri masih belum maksimal menjalani kewajiban-Nya. Tak salah juga mengucapkan subhanallah karena Allah yang Maha Suci bisa menciptakan pertemuan dengan langit. Jadi, pengucapannya tergantung situasi.

“Tidak perlu berpikir, ucapan apa yang keluar, ya monggo. Allahu akbar bisa atau astagfirullah juga bisa. Setiap orang saya kira mempunyai ruang untuk menempatkan pola pikir mana yang dipakai temanya. Temanya bersyukur, alhamdulillah. Kalau melihat kekotoran diri, astagfirullah dan kalau melihat kebesaran Allah, Allahu akbar,” ujar dia.

Menurut dia, pilihan kalimat thayyibah tidak perlu diatur. Sebab, biarkan keindahan menjadi pengalaman setiap individu. Setiap orang berhak memutuskan apa yang menurutnya paling akurat.

“Kalimat thayyibah tidak perlu diisyariatkan karena itu pengalaman cinta dengan Allah. Nah, yang perlu disyariatkan adalah yang Allah minta dan tuntun kepada manusia,” ucap dia. 

//www.youtube.com/watch?v=Fc0b-vfusOE

  • melihat hal indah
  • kalimat thayyibah
  • cak nun

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA