Kerajaan Banten tidak tentram karena mendapat hasutan politik devide et impera dari VOC Apa yang dimaksud dengan politik tersebut?

Jakarta -

Persekutuan dagang Hindia Timur Belanda, Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), memiliki hak istimewa untuk melakukan monopoli perdagangan dan berkuasa di tanah jajahan. Selama berada di Banten, VOC mendapatkan pertentangan dari raja Banten yang ke-6.

VOC resmi dibentuk pada tahun 1602 dengan Pieter Both sebagai Gubernur Jenderal pertamanya. VOC bertujuan untuk melindungi perdagangan Belanda baik antar sesama pedagang Belanda maupun bangsa-bangsa Eropa dan Asia lainnya.

Selain itu, kekuasaan VOC di wilayah Hindia Timur menjadi penyokong dana pemerintah Belanda dalam perang melawan Spanyol yang saat itu masih menjajah Belanda.

Keberadaan VOC di Nusantara mendapatkan banyak pertentangan dari penduduk lokal. Banyak raja-raja yang saat itu menjalankan politik pemerintahan anti VOC, salah satunya adalah raja Kesultanan Banten.

Raja dari Banten yang gigih menentang VOC adalah Sultan Ageng Tirtayasa. Dia memerintah pada tahun 1651 sampai 1683. Dia merupakan cucu dari Sultan Abdul Mufakir Mahmud Abdulkadir atau Sultan Agung yang terkenal gigih dalam memerangi Belanda.

Dikutip dari buku Sejarah yang disusun oleh Anwar Kurnia dan Moh Suryana, Kesultanan Banten menjalin kerja sama dengan Bengkulu, Cirebon, dan Mataram. Banten memperkuat armada lautnya di daerah Karawang untuk menghalau keluar masuknya angkatan laut VOC ke Batavia.

Pada tahun 1956, Banten dan Batavia mendapat serangan Belanda dari arah barat dan timur. Namun, pasukan Banten berhasil menggagalkan serangan Belanda dengan tenggelamnya dua kapal VOC. Keberhasilan ini membuat Kesultanan Banten cukup disegani.

VOC terus berupaya untuk menguasai Banten. Pihak VOC melakukan politik adu domba atau devide et impera di kalangan istana Banten. Mereka mengadu domba Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya yang dikenal dengan Sultan Haji. Alhasil, Sultan Haji termakan hasutan VOC dan memilih bergabung dengannya.

Pengkhianatan Sultan Haji terhadap Kesultanan Banten semakin menjadi-jadi ketika persekutuan VOC-Sultan Haji terlibat pertempuran dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Namun, Sultan Haji tidak bisa mengalahkan ayahnya.

Sultan Haji kemudian menjalankan siasat dengan cara berunding kepada Sultan Ageng Tirtayasa. Saat perundingan berlangsung, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan dipenjara di Batavia.

Dalam pertentangannya dengan Belanda, pasukan Banten mendapatkan dukungan dari pasukan Makassar di bawah pimpinan Monte Marano. Mereka adalah bagian dari laskar Sultan Hasanuddin yang menolak bekerja sama dengan VOC.

Simak Video "Cikal Bakal Munculnya Emoji 40 Tahun Silam"


[Gambas:Video 20detik]
(kri/lus)

adjar.id – Saat VOC menjajah Indonesia, mereka menerapkan sistem politik devide et impera terhadap masyarakat Indonesia.

Devide et impera sendiri bisa diartikan sebagai sistem politik yang memecah belah atau adu domba.

Dalam buku Sejarah Indonesia kelas 11 SMA edisi revisi 2017 terdapat satu soal pada latih ulangan akhir bab di halaman 67.

Baca Juga: Berbagai Jenis Perlawanan Rakyat Indonesia dalam Melawan VOC

Soal tersebut meminta kita untuk menjelaskan mengenai politik devide et impera dan bukti VOC menerapkan politik devide et impera yang juga menjadi materi sejarah kelas 11 SMA.

Maka dari itu, kali ini kita akan membahas mengenai jawaban dari soal tersebut sebagai bahan referensi bagi Adjarian saat mengerjakannya.

Politik devide et impera ini diterapkan oleh VOC untuk memperluas wilayah kekuasaannya di Indonesia.

Yuk, kita simak penjelasan lengkapnya mengenai politik devide et impera yang dilakukan VOC berikut ini!

Pengertian Devide Et Impera di Indonesia

Belanda melalui VOC memperkenalkan sistem politik ini di Indonesia, selain membuat sistem monopoli perdagangan.

Penerapan politik ini dilakukan VOC untuk menguasai Indonesia dengan melakukan adu domba terhadap kerajaan-kerajaan di Indonesia saat itu.

Hal ini membuat bangsa Indonesia mengalami perpecahan sehingga beberapa daerah bisa dengan mudah dikuasai oleh VOC.

Jalan politik devide et impera di pilih karena saat itu tentara VOC masih sangat sedikit yang datang ke Indonesia.

Baca Juga: Sejarah Lahirnya VOC di Indonesia, Materi Sejarah Kelas 11 SMA

Adanya politik pecah belah ini membuat VOC tidak perluh susah-susah untuk berperang dan memanfaatkan kerajaan-kerajaan dan penguasa Indonesia saat itu yang diadu domba.

Tujuan dari dilakuannya politik pecah belah ini yaitu untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan cara menaklukan raja-raja di Indonesia saat itu.

Nah, dengan politik ini VOC berhasil menaklukan kerajaan-kerajaan besar di Indonesia dengan memanfaatkan perang saudara dan permusuhan antarkerjaan.

Politik becah belah ini dilakukan dengan cara, VOC membantu satu pihak dari dua pihak yang menentang VOC.

Nah, dengan begini pihak yang dibantu VOC sama saja dengan ditunggangi oleh VOC karena saat membantu VOC akan memberikan beberapa perjanjian.

Perjanjian inilah yang nantinya akan merugikan pihak yang dibantu oleh VOC, karena bagaimanapun VOC membantu juga untuk memperoleh keuntungan.

Hal ini membuat rakyat Indonesia saat itu hidup menderita karena berbagai kebijakan yang dibuat oleh VOC.

Baca Juga: Contoh Soal, Jawaban serta Pembahasan Perubahan Masyarakat Indonesia

O iya, politik pecah belah ini biasa diterapkan oleh VOC dalam hal militer, politik, dan juga ekonomi untuk mempermudah penjajahannya di Indonesia.

Sekarang, kita simak mengenai bukti dari penerapan politik devide et impera oleh VOC berikut ini!

Bukti Penerapan Devide Et Impera

Berikut beberapa bukti penerapan politik becah belah yang dilakukan VOC kepada rakyat Indonesia, yaitu:

1. Perlawanan Tidore

Politik devide et impera atau politik pecah belah diterapkan VOC di Tidore untuk menguasai daerah tidore.

Akan tetapi Pangeran Nuku yang meminpin saat itu berhasil melakukan perlawanan, ditambah lagi adanya bantuan pasukan dari Papua dan Halmahera.

Akhirnya, VOC harus mengakui keunggulan dari Pangeran Nuku tersebut.

2. Perlawanan Gowa

Peperangan di Gowa antara VOC yang ingin menguasai pelabuhan Gowa dengan pasukan Sultan Hasanuddin.

Saat itu VOC menerapkan politik pecah belah dengan menjalin hubungan dengan Pangeran Bugis dari Bone.

Baca Juga: Sejarah Sistem Tanam Paksa pada Era Belanda di Indonesia

Hingga akhirnya VOC berhasil mengalahkan pasukan Sultan Hasanuddin dengan adanya bantuan pasukan dari Bone dan Ambon.

3. Konflik Kerajaan Mataram

Konflik Mataram ini membuat kerajaan Mataram terpecah menjadi empat kerjaan, di mana VOC melakukan politik becah belah dalam beberapa perang yang terjadi untuk merebut kekuasaan.

Politik ini dilakukan pada perang padri, perang diponegoro, perang banjar, dan perang saparua.

Nah, itu tadi politik devide et impera yang diterapkan oleh VOC dan juga bukti-bukti penerapannya yang bisa menjadi referensi Adjarian dalam mengerjakan Latih Ulangan Akhir Bab di halaman 67.

Pada hari Kamis tanggal 14 April 2022 kemarin, dunia Islam dihebohkan dengan aksi pembakaran kitab suci Al Quran di Swedia yang dilakukan oleh pemimpin partai politik sayap kanan Stram Kurs (garis keras), yaitu Rasmus Paludan. Partai Stram Kurs melabelkan dirinya sebagai partai “etnis Denmark” dan anti-Islam karena ingin mendeportasi semua umat Muslim dari Denmark. Aksi pembakaran Al Quran tersebut dilakukan di sekitar masjid dan di salah satu daerah yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Aksi pembakaran tersebut sudah diprotes namun Paludan mengabaikan protes tersebut dan tetap melakukan aksinya. Provokasi Islamofobia yang dilakukan di Swedia menjadi isu yang terus berlanjut karena warga negara Swedia diizinkan untuk bebas berpendapat, tidak peduli jika aksi tersebut sopan atau tidak. Aksi ini mengakibatkan terjadinya unjuk rasa yang dilakukan oleh massa karena penegak hukum justru melindungi aksi tersebut.

Sebelumnya Rasmus Paludan sudah pernah dihukum karena kasus rasisme, pernah melakukan aksi yang serupa pada tahun 2020 lalu, dan seorang politisi sayap kanan. Menurut spesialis Pemilu dan Profesor Ilmu Politik di Universitas Kopenhagen, Kasper Moller, langkah politik Paludan dan Stram Kurs menjadi sangat keras terhadap pengungsi, imigran, dan muslim dengan tujuan untuk menarik kelompok yang lebih kecil dengan ideologi yang sama terhadap kebijakan anti-imigrasi dan anti-Islam. Aksi Paludan yang menarik perhatian dimanfaatkan untuk mengumpulkan 20.000 tanda tangan digital dukungan yang diperlukan untuk mencalonkan di pemilu 2019 mewakili partai Stram Kurs. Namun, Paludan hanya memenangkan 1,8% suara dari 2% yang dibutuhkan untuk masuk parlemen.

Politik Devide et Impera di Balik Aksi Pembakaran Al Quran

Politik devide et impera atau yang dikenal sebagai politik adu domba dan politik pemecah belah adalah strategi politik untuk menguasai atau melumpuhkan suatu kelompok, baik dengan pengaruh besar maupun kecil agar terpecah-belah. Strategi ini bertujuan untuk memecah belah suatu kelompok menjadi lebih kecil sehingga tidak berdaya. Dengan demikian kelompok tersebut akan mudah untuk dikuasai atau dilumpuhkan. Politik adu domba ini telah dikenal di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Pemerintahan Belanda membuat strategi ini untuk kepentingan politik, militer, dan ekonomi. Politik adu domba ini digunakan untuk mempertahankan kekuasaan Belanda dengan memecah belah bangsa Indonesia sehingga mereka tidak berdaya. Strategi politik ini dilakukan dengan melemahkan potensi kekuatan lawan yang dilakukan dengan memanfaatkan kelemahan pengetahuan dan kesadaran politik.

Sebagai politisi anti-Islam tentunya Paludan tidak ingin kelompok Islam semakin berkembang dan Bersatu. Aksi provokatifnya merupakan salah satu upaya Paludan untuk melemahkan umat muslim di Swedia dengan memanfaatkan aturan kebebasan dalam berpendapat. Perdana Menteri Swedia juga merasa aksi provokatif Paludan sudah meresahkan ketertiban masyarakat. Namun, PM Swedia justru mengecam aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh para demonstran karena menyebabkan bentrok antara pihak polisi Swedia, hal ini menyebabkan beberapa orang terluka termasuk pihak polisi. Dilansir dari Washington Post, pihak polisi Swedia pun mengatakan tujuan mereka adalah untuk mempertahankan kebebasan berekspresi dan berkumpul yang dilindungi secara konstitusional dari majelis berlisensi dan para pengunjuk rasa. Kebebasan berpendapat juga menjadi polemik karena ujaran kebencian dapat berlindung dibalik bebas berpendapat, hal ini membuat kebingungan antara free speech dengan hate speech.

Politik adu domba ini memiliki teknik-teknik untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai, seperti menciptakan perpecahan dalam masyarakat untuk mencegah aliansi, membuat sekutu bagi yang ingin bekerja sama dan satu pikiran, membuat ketidakpercayaan dan permusuhan antar kelompok, serta melemahkan politik lawan. Dalam kasus pembakaran Al Quran di Swedia, Paludan berusaha memprovokasi umat muslim agar melakukan unjuk rasa dan berakhir dengan ricuh. Benar saja, hal ini dikecam oleh Perdana Menteri Swedia karena kebebasan berpendapat dibalas dengan kekerasan, yang di mana terdapat umat muslim saat unjuk rasa terjadi. Selain itu, aksi ini akan menimbulkan perdebatan antara kaum yang menerima bahwa kebebasan berpendapat yang sopan maupun tidak sopan adalah suatu hal yang wajar dengan kaum yang melihat kebebasan berpendapat tetap harus sesuai dengan nilai. Aksi provokatif itu juga akan mengakibatkan kemungkinan adanya balas dendam yang dilakukan oleh oknum-oknum yang mengatasnamakan umat muslim, bisa dengan membakar kitab suci kepercayaan lain  ataupun aksi yang membuat ujaran kebencian lainnya sehingga memicu perpecahan antar umat beragama.

Aksi yang dilakukan oleh Rasmus Paludan dan partai politik Stram Kurs ini merupakan salah satu upaya dalam mengumpulkan sekutu dari para anti-Islam dan anti-imigran lainnya. Hal ini tidak lepas dari upayanya dengan menggunakan politik devide et impere untuk melumpuhkan kelompok berbagai macam aksi dan ujaran kebencian muslim agar terprovokasi dan akhirnya terpecah belah. Kebebasan berpendapat di Swedia juga masih menimbulkan banyak polemik karena sering disalahgunakan untuk melakukan ujaran kebencian seperti yang dilakukan oleh Paludan. Umat muslim khususnya di Swedia jika tidak berhati-hati dalam mengambil tindakan akan masuk ke dalam permainan politik adu domba Paludan dan partainya sehingga terkena dampaknya.

Referensi

Arbar, T. F. (2022, April 18). Heboh Demo Anti Islam Bakar Alquran di Swedia, Ini Sebabnya. Retrieved from CNBC Indonesia: https://www.cnbcindonesia.com/news/20220418114251-4-332391/heboh-demo-anti-islam-bakar-alquran-di-swedia-ini-sebabnya

Ardhito, F. (2019). POLITIK ADU DOMBA DENGAN POLITIK ISLAM.

Kerusuhan Swedia: Siapa Rasmus Paludan, pembakar Alquran yang memicu kerusuhan. (2022, April 18). Retrieved from BBC News: https://www.bbc.com/indonesia/dunia-61137206

Muhaimin. (2022, April 19). PM Swedia Kecam Demo Rusuh meski Muak dengan Pembakar Al-Qur’an. Retrieved from Sindonews: https://international.sindonews.com/read/747245/41/pm-swedia-kecam-demo-rusuh-meski-muak-dengan-pembakar-al-quran-1650330299

Partai Sayap Kanan DItuding Jadi Dalang Pembakaran Al-Qur’an di Swedia. (2022, April 17). Retrieved from CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20220417084641-134-785633/partai-sayap-kanan-dituding-jadi-dalang-pembakaran-al-quran-di-swedia

Saptamaji, R. (2013, November 22). Memahami Operasi Strategi Devide Et Impera. Retrieved from Berdikarionline: https://www.berdikarionline.com/memahami-operasi-strategi-devide-et-impera/#ixzz4AF0DAkvj

Schroder, A. S. (2019, Mei 30). Rasmus Paludan: Meet the far-right leader who wants to deport all Muslims from Denmark. Retrieved from Euronews: https://www.euronews.com/2019/05/30/rasmus-paludan-meet-the-far-right-leader-who-wants-to-deport-all-muslims-from-denmark

(Author: Kajian Politik, Hukum dan Kaderisasi – Aqsha Qudhwa Fauzie)