Kenapa yahudi menyebut nama ibrahim

Selasa, 18 Mei 2021 - 05:00 WIB

Menghidupkan dalam ingatan atau memori kolektif mereka bahwa asal usul nenek moyang mereka berasal dari keturunan seorang nabi, yaitu nabi Ya‘qub AS merupakan kemuliaan dan gengsi tersendiri dalam berhadapan dengan manusia lainnya. Ilustrasi Nabi Yakub/Is

SEJARAH mencatat bahwa orang-orang Yahudi atau Bani Israil adalah sekelompok kecil manusiayang sejak abad sebelum masehi hingga dewasa ini senantiasi meresahkan dunia.

Baca juga: Palestina Minta Indonesia Ikut Campur Aktifkan Mekanisme Internasional untuk Hukum Israel

Allah dengan firman-Nya menggambarkan perilaku jelek mereka dalam Quran Surat al-Ma’idah/5: 64 , “mereka berbuat kerusakan di muka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan”.

Kendati demikian, di antara orang-orang Yahudi juga terdapat manusia pilihan, walaupun amat sedikit. Allah SWT memandang mereka sebagai kekasih-Nya. Mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk, yang menyeru pada kemuliaan, kesalehan dan ketauhidan.

Mereka adalah para nabi dan rasul Allah, seperti Ya‘qub AS , Yusuf AS , Musa AS , Harun AS, Daud AS , Sulaiman AS , Zakaria AS, Yahya AS, dan Isa AS.

Begitu juga dengan Thalut walaupun bukan nabi dan rasul, tetapi Allah memujinya karena semangat keagamaan dan jihadnya.

Baca juga: Kisah Nabi Ya'kub: Dahsyatnya Mimpi Yusuf, Terealisasi Setelah 40 Tahun

Nama Israel

Dalam sejarah, nama Israel atau Bani Israil dikenal juga dengan Ibrani dan Yahudi. Dalam riwayat, sebutan Israel, orang atau Bani Israil (Israiliyin), adalah sebutan yang dinisbatkan kepada nama bapak mereka, yaitu Ya‘qub ibn Ishaq ibn Ibrahim AS. Israil adalah kalimat yang terdiri dari dua kata, Isra yang artinya hamba atau teman dekat, dan el artinya Tuhan. Dengan demikian Israel artinya hamba Tuhan atau teman dekat Tuhan.Sedangkan namaYahudi dinisbahkan pada salah seorang putra Nabi Ya’kub yang bernama Yahudza bin Ya’kub, salah satu dari 12 orang putra Ya’kub. Putra lainnya bernama Ruben, Simeon, Lewi Yehuda, Isakhar, Zebulon, Yusuf AS, Benyamin, Dan, Naftali, Gad, dan Asyer.

Baca juga: Ketika Malaikat Memberi Tahu Nabi Ibrahim akan Lahirnya Nabi Ishaq dan Nabi Ya'kub

Namun, ada pula yang mengaitkannya dengan kata Al-Haud (Arab) atau Hada (dalam bahasa Ibrani, yang berarti tobat atau kembali, sebagaimana ucapan Nabi Musa AS kepada Tuhannya, Inna hudnaa ilaika, (Sesungguhnya kami kembali [tertobat] kepada-Mu). Lihat surah Al-A'raf [7]: 156.

Ke-12 putra Ya’kub itulah yang disebut-sebut menjadi keturunan Bani Israil. Kemudian, mereka dibimbing oleh Nabi Musa AS. Dalam Al-Quran, disebutkan, setelah Musa berhasil melepaskan diri dari kejaran Firaun di Laut Merah, sampailah mereka di suatu daerah. Di sana, umat Nabi Musa merasa kehausan. Nabi Musa lalu memukulkan tongkatnya hingga memancarlah 12 mata air untuk masing-masing kaumnya itu. Mereka inilah yang menjadi sebutan kaum Bani Israil (Yahudi).Kemudian mereka disebut Ibrani, karena dinisbatkan kepada nama Ibrahim AS. Hal ini ditemukan dalam Kitab Kejadian, IbrahimAS disebut dengan nama “Ibrahim Sang Ibrani” atau maksudnya Ibrahim Sang Penyeberang, karena ia menyeberangi (‘abara) sungai Eufrat dan sungai-sungai lainnya. Atau ada juga riwayat lain, mereka dinamakan kaum Ibrani karena dinisbatkan kepada Ibr, kakek kelima Ibrahim AS.Menurut Ahmad Shalaby dalam bukunya Muqaranatu al-Adyani al-Yahudiyyah, Ibri atau Hebrew adalah nama yang diberikan oleh Ibrahim kepada kaumnya karena tempat kediaman mereka berada di seberang sungai Ifrat. Penjelasan serupa dapat ditelusuri dalam bukunya Dra Hermawi MA, Sejarah Agama dan Bangsa Yahudi, serta Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama.

Baca juga: Bantah Klaim Netanyahu, Bosnia Tegaskan Tidak Beri Dukungan pada Israel

Para sejarawan sepakat bahwa penamaan Bani Israil dengan kaum Ibrani karena peristiwa penyeberangan Ibrahim melintangi sungai Eufrat, yang diperkuat dengan ungkapan dalam kitab Joshua. Adapun dinamakan mereka dengan Yahudi, muncul ketika mereka bertobat dari menyembah anak sapi. Mereka berkata, yang diabadikan oleh Allah dalam Q.S. al-A‘râf/7: 156, “sesungguhnya kami kembali (bertobat) kepada Engkau.”

NamaYahudi menghidupkan dalam ingatan atau memori kolektif mereka bahwa asal usul nenek moyang mereka berasal dari keturunan seorang nabi, yaitu Nabi Ya‘qub AS merupakan kemuliaan dan gengsi tersendiri dalam berhadapan dengan manusia lainnya. Karenanya sikap-sikap arogan yang ditunjukkan orang Israil dewasa ini kelihatan ada hubungan sedikit banyaknya dengan kesadaran-memori kolektif sejarah dan asal usul keturunan mereka. (Bersambung)

Ketika kita melaksanakan salat, pasti saat melakukan tahiyat awal dan akhir selain mengucapkan dua kalimat syahadat dan solawat kepada Rasulullah Saw, kita juga mengucapkan solawat kepada Nabi Ibrahim as. Lalu, pernahkah Anda berpikir kenapa kita juga harus mengucapkan solawat kepada Nabi Ibrahim as? Kenapa bukan Nabi lain? Atau kenapa harus ada Nabi Ibrahim? Ternyata dibalik itu semua, ada kisah di dalamnya, dan kisah ini bermula Ketika Allah Swt pertama kali menciptakan Nabi Adam as.

Setelah Allah menciptakan manusia pertama yaitu Adam AS, kalimat pertama yang dilihat oleh Nabi Adam adalah kalimat syahadat yang berbunyi, “Laa illaha illallah, muhammad-ar-rasulullah”.

Lalu, Nabi Adam as bertanya kepada Allah tentang siapakah sosok Muhammad itu? lalu Allah menjawab pertanyaan Nabi Adam as. Allah menjawab bahwa dia (Muhammad) adalah rasul terakhir atau penutup para rasul dan nabi, dan dia (Muhammad) adalah yang paling mulia diantara semua rasul. Umat Rasulullah Saw juga diberi kemuliaan atas umat-umat yang lain.

Kemudian Nabi Adam as memohon kepada Allah supaya ia diberi anugerah oleh Allah, yaitu ia cukup ingin menjadi umat Muhammad SAW. Namun, Allah menolak permintaan Adam.

Begitu juga dengan nabi-nabi yang lainnya seperti Nabi Musa as. Sehingga Allah sendiri menegur Nabi Musa as agar ia ridha dengan segala sesuatu yang Allah telah karuniakan kepadanya. Banyak nabi yang memohon kepada Allah agar bisa menjadi umat Muhammad Saw, namun tidak ada satupun yang Allah kabulkan.

Begitu pula Nabi Ibrahim as, saat beliau memohon agar dapat menjadi umat Muhammad Saw, Allah menolak permintaannya. Namun, Allah menjanjikan kepada Ibrahim as bahwa Nabi Muhammad Saw akan lahir dari garis keturunannya. Selain itu, nama Ibrahim as juga akan selalu disebut-sebut oleh Rasulullah dan umatnya setiap saat.

Selain itu, Nabi Ibrahim as adalah imam, ummah, hanif, qanit lillahi azza wa jalla, kepadanya bersumber nasab para nabi dan beriman kepadanya para penganut syariah (muslimun, nashara dan Yahudi)

Ibrahim merupakan nabi yang paling agung setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Karena itu Allah Ta’ala mengabarkan kepada kita bahwa Dia menjadikannya sebagai Khalil (kekasih).

Hal tersebut telah Allah Swt sampaikan dalam firman-Nya,

Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.
(QS. An-Nisaa”: 125)

Seluruh para nabi yang datang setelahnya adalah keturunannya dari kedua anaknya; Ishaq dan Ya’kub, kecuali Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang merupakan keturuanan dari Ismail bin Ibrahim.

Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam memiliki kekhususan dengan Ibrahim dibanding yang lainnya. Ibrahim alaihissalam adalah bapak bangsa Arab, dia merupakan bapak Rasulullah shalallahu alaihi wa salam dari segi nasab.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya tentang di istimewakannya Nabi Ibrahim alaihissalam dengan dakwah tauhid, padahal seluruh nabi menyerukan tauhid,

Beliau menjawab, seluruh nabi membawa tauhid. Allah Ta’ala berfirman,

Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku.
(QS. Al-Anbiya’: 25)

Akan tetapi Ibrahim adalah bapak bangsa Arab dan bapak bangsa Yahudi. Dia menyeru kepada tauhid yang murni. Yahudi dan Nashrani mengaku bahwa mereka adalah pengikutnya. Akan tetapi kaum muslimlah pengikut sebenarnya. Nabi Ibrahim alaihisshalatu wassalam diberi keistimewaan karena dia merupakan bapak para nabi, dia pemilik ajaran yang lurus, kita diperintahkan untuk mengikutinya. Karena kita lebih utama untuk menjadi pengikut Ibrahim. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), beserta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad).
(QS. Ali Imron: 68)

Oleh karena itu, dalam setiap shalat kita selalu menyebutkan nama Ibrahim dalam setiap tahiyat. Seperti yang telah Allah janjikan kepada Ibrahim bahwa namanya akan selalu disebut-sebut oleh umat Rasulullah SAW.

Sungguh sangat memprihatinkan, banyak di antara kaum muslimin sering tidak sadar dan lepas kontrol ketika berbicara. Tidak hanya terjadi pada orang awam, bisa kita katakan juga terjadi pada sebagian besar pelajar atau bahkan mereka yang merasa memiliki banyak tsaqafah islamiyah. Sahabat muslim, yahudi bukan israel, inilah penamaan yang tepat sesuai dengan yang Allah berikan.

Barangkali mereka lupa atau mungkin tidak tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّم

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya ada seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan murka Allah, diucapkan tanpa kontrol akan tetapi menjerumuskan dia ke neraka.” (HR. Al Bukhari 6478)

Al Hafidz Ibn Hajar berkata dalam Fathul Bari ketika menjelaskan hadis ini, yang dimaksud diucapkan tanpa kontrol adalah tidak direnungkan bahayanya, tidak dipikirkan akibatnya, dan tidak diperkirakan dampak yang ditimbulkan. Hal ini semisal dengan firman Allah ketika menyebutkan tentang tuduhan terhadap Aisyah:

وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْد اللَّه عَظِيم

“Mereka sangka itu perkara ringan, padahal itu perkara besar bagi Allah.” (QS. An-Nur: 15)

Oleh karena itu, pada artikel ini -dengan memohon pertolongan kepada Allah- penulis ingin mengingatkan satu hal terkait dengan ayat dan hadis di atas, yaitu sebuah ungkapan penamaan yang begitu mendarah daging di kalangan kaum muslimin, sekali lagi tidak hanya terjadi pada orang awam namun juga terjadi pada mereka yang mengaku paham terhadap tsaqafah islamiyah. Ungkapan yang kami maksud adalah penamaan YAHUDI dengan ISRAEL. Tulisan ini banyak kami turunkan dari sebuah risalah yang ditulis oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafidzhahullah yang berjudul “Penamaan Negeri Yahudi yang Terkutuk dengan Israel”.

Tidak diragukan bahkan seolah telah menjadi kesepakatan dunia termasuk kaum muslimin bahwa negeri yahudi terlaknat yang menjajah Palestina bernama Israel. Bahkan mereka yang mengaku sangat membenci yahudi -sampai melakukan boikot produk-produk yang diduga menyumbangkan dana bagi yahudi- turut menamakan yahudi dengan israel. Akan tetapi sangat disayangkan tidak ada seorang pun yang mengingatkan bahaya besar penamaan ini.

Perlu diketahui dan dicamkan dalam benak hati setiap muslim bahwa ISRAIL adalah nama lain dari seorang Nabi yang mulia, keturunan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yaitu Nabi Ya’qub ‘alaihis salam. Allah ta’ala berfirman:

كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ

“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan.” (QS. Ali Imran: 93)

Israil yang pada ayat di atas adalah nama lain dari Nabi Ya’qub ‘alaihis salam. Dan nama ini diakui sendiri oleh orang-orang yahudi, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu: “Sekelompok orang yahudi mendatangi Nabi untuk menanyakan empat hal yang hanya diketahui oleh seorang nabi. Pada salah satu jawabannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Apakah kalian mengakui bahwa Israil adalah Ya’qub?” Mereka menjawab: “Ya, betul.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ya Allah, saksikanlah.” (HR. Daud At-Thayalisy 2846)

Kata “Israil” merupakan susunan dua kata israa dan iil yang dalam bahasa arab artinya shafwatullah (kekasih Allah). Ada juga yang mengatakan israa dalam bahasa arab artinya ‘abdun (hamba), sedangkan iil artinya Allah, sehingga Israil dalam bahasa arab artinya ‘Abdullah (hamba Allah). (lihat Tafsir At Thabari dan Al Kasyaf ketika menjelaskan tafsir surat Al Baqarah ayat 40)

Telah diketahui bersama bahwa Nabi Ya’qub adalah seorang nabi yang memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah ta’ala. Allah banyak memujinya di berbagai ayat al Qur’an. Jika kita mengetahui hal ini, maka dengan alasan apa nama Israil yang mulia disematkan kepada orang-orang yahudi terlaknat. Terlebih lagi ketika umat islam menggunakan nama ini dalam konteks kalimat yang negatif, diucapkan dengan disertai perasaan kebencian yang memuncak; Biadab Israil… Israil bangsat… Keparat Israil… Atau dimuat di majalah-majalah dan media massa yang dinisbahkan pada islam, bahkan dijadikan sebagai Head Line News; Israil membantai kaum muslimin… Agresi militer Israil ke Palestina… Israil penjajah dunia…. Dan seterusnya… namun sekali lagi, yang sangat fatal adalah ketika hal ini diucapkan tidak ada pengingkaran atau bahkan tidak merasa bersalah.

Mungkin perlu kita renungkan, pernahkah orang yang mengucapkan kalimat-kalimat di atas merasa bahwa dirinya telah menghina Nabi Ya’qub ‘alaihis salam? pernahkah orang-orang yang menulis kalimat ini di majalah-majalah yang berlabel islam dan mengajak kaum muslimin untuk mengobarkan jihad, merasa bahwa dirinya telah membuat tuduhan dusta kepada Nabi Ya’qub ‘alaihis salam? mengapa mereka tidak membayangkan bahwasanya bisa jadi ungkapan-ungkapan salah kaprah ini akan mendatangkan murka Allah – wal ‘iyaadzu billaah – karena isinya adalah pelecehan dan tuduhan bohong kepada Nabi Ya’qub ‘alaihis salam. Mengapa tidak disadari bahwa Nabi Ya’qub ‘alaihis salam tidak ikut serta dalam perbuatan orang-orang yahudi dan bahkan beliau berlepas diri dari perbuatan mereka yang keparat. Pernahkah mereka berfikir, apakah Nabi Israil ‘alaihis salam ridha andaikan beliau masih hidup?!

Allah ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

“Orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 58)

Kenapa yahudi menyebut nama ibrahim
Kenapa yahudi menyebut nama ibrahim

Allah menyatakan, menyakiti orang mukmin biasa laki-laki maupun wanita sementara yang disakiti tidak melakukan kesalahan dianggap sebagai perbuatan dosa, bagaimana lagi jika yang disakiti adalah seorang Nabi yang mulia, tentu bisa dipastikan dosanya lebih besar dari pada sekedar menyakiti orang mukmin biasa.

Satu hal yang perlu disadari oleh setiap muslim, penamaan negeri yahudi dengan Israel termasuk salah satu di antara sekian banyak konspirasi (makar) yahudi terhadap dunia. Mereka tutupi kehinaan nama asli mereka YAHUDI dengan nama Bapak mereka yang mulia Nabi Israil ‘alaihis salam. Karena bisa jadi mereka sadar bahwa nama YAHUDI telah disepakati jeleknya oleh seluruh dunia, mengingat Allah telah mencela nama ini dalam banyak ayat di Al-Qur’an.

Kita tidak mengingkari bahwa orang-orang yahudi merupakan keturunan Nabi Israil ‘alaihis salam, akan tetapi ini bukan berarti diperbolehkan menamakan yahudi dengan nama yang mulia ini. Bahkan yang berhak menyandang nama dan warisan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan para nabi yang lainnya adalah kaum muslimin dan bukan yahudi yang kafir. Allah ta’ala berfirman:

مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)

إن أولى الناس بإبراهيم للذين اتبعوه وهذا النبي والذين آمنوا والله ولي المؤمنين

“Sesungguhnya orang yang paling berhak terhadap Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini, beserta orang-orang yang beriman, dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 68)

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita dan seluruh kaum muslimin untuk mengucapkan dan melakukan perbuatan yang dicintai dan di ridai oleh Allah ta’ala.

Tidak Berniat Menghina Nabi Ya’qub

“Sedikitpun kami tidak berniat menghina Nabi Ya’qub ‘alaihis salam dalam penggunaan kalimat-kalimat ini sebaliknya, yang kami maksud adalah yahudi…”

Barangkali ini salah satu pertanyaan yang akan dilontarkan oleh sebagian kaum muslimin ketika menerima nasihat ini. Maka jawaban singkat yang mungkin bisa kita berikan: Justru inilah yang berbahaya, seseorang melakukan sesuatu yang salah namun dia tidak sadar kalau dirinya sedang melakukan kesalahan. Bisa jadi hal ini tercakup dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas. Bukankah semua pelaku perbuatan bid’ah tidak berniat buruk ketika melakukan kebid’ahannya, namun justru inilah yang menyebabkan dosa perbuatan bid’ah tingkatannya lebih besar dari melakukan dosa besar.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di Mekkah, Orang-orang musyrikin Quraisy mengganti nama Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Mudzammam (manusia tercela) sebagai kebalikan dari nama asli Beliau Muhammad (manusia terpuji). Mereka gunakan nama Mudzammam ini untuk menghina dan melaknat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. misalnya mereka mengatakan; “terlaknat Mudzammam”, “terkutuk Mudzammam”, dan seterusnya. Dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merasa dicela dan dilaknat, karena yang dicela dan dilaknat orang-orang kafir adalah “Mudzammam” bukan “Muhammad”, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ألا تعجبون كيف يصرف الله عني شتم قريش ولعنهم يشتمون مذمماً ويلعنون مذمماً وأنا محمد

“Tidakkah kalian heran, bagaimana Allah mengalihkan dariku celaan dan laknat orang Quraisy kepadaku, mereka mencela dan melaknat Mudzammam sedangkan aku Muhammad.” (HR. Ahmad & Al Bukhari)

Meskipun maksud orang Quraisy adalah mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun karena yang digunakan bukan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Beliau tidak menilai itu sebagai penghinaan untuknya. Dan ini dinilai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk mengalihkan penghinaan terhadap dirinya. Oleh karena itu, bisa jadi orang-orang Yahudi tidak merasa terhina dan dijelek-jelekkan karena yang dicela bukan nama mereka namun nama Nabi Ya’qub ‘alaihis salam.

Di samping itu, Allah juga melarang seseorang mengucapkan sesuatu yang menjadi pemicu munculnya sesuatu yang haram. Allah melarang kaum muslimin untuk menghina sesembahan orang-orang musyrikin, karena akan menyebabkan mereka membalas penghinaan ini dengan menghina Allah ta’ala. Allah berfirman:

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa ilmu.” (QS. Al An’am: 108)

Allah ta’ala melarang kaum muslimin yang hukum asalnya boleh atau bahkan disyari’atkan – menghina sesembahan orang musyrik – karena bisa menjadi sebab orang musyrik menghina Allah subhanahu wa ta’ala. Dan kita yakin dengan seyakin-yakinnya, tidak mungkin para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang menyaksikan turunnya ayat ini memiliki niatan sedikitpun untuk menghina Allah ta’ala. Maka bisa kita bayangkan, jika ucapan yang menjadi sebab celaan terhadap kebenaran secara tidak langsung saja dilarang, bagaimana lagi jika celaan itu keluar langsung dari mulut kaum muslimin meskipun mereka tidak berniat untuk menghina Nabi Israil ‘alaihis salam.

Cuma Sebatas Istilah

Cuma sebatas istilah, yang pentingkan esensinya… bahkan para ulama’ memiliki kaidah “Tidak perlu memperdebatkan istilah.”

Di atas telah dipaparkan bahwa menamakan negeri yahudi dengan Israil merupakan celaan terhadap Nabi Israil ‘alaihis salam, baik langsung maupun tidak langsung, baik diniatkan untuk mencela maupun tidak, semuanya dihitung mencela Nabi Israil ‘alaihis salam tanpa terkecuali. Dan kaum muslimin yang sejati selayaknya tidak meremehkan setiap perbuatan dosa atau perbuatan yang mengundang dosa. Karena dengan meremahkannya akan menyebabkan perbuatan yang mungkin nilainya kecil menjadi besar. Sebagaimana dijelaskan oleh sebagian ulama bahwa di antara salah satu penyebab dosa kecil menjadi dosa besar adalah ketika pelakunya meremehkan dosa kecil tersebut.

Bahkan kita telah memahami bahwa mencela, menghina, melakukan tuduhan dusta kepada seorang Nabi adalah dosa besar. Akankah hal ini kita anggap ini biasa?! Sekali lagi, akan sangat membahayakan bagi seseorang, ketika dia mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan murka Allah, sementara dia tidak sadar. Mereka sangka itu perkara ringan, padahal itu perkara besar bagi Allah. (QS. An-Nur: 15)

Untuk kaidah “Tidak perlu memperdebatkan istilah”, kita tidak mengingkari keabsahan kaidah ini mengingat ungkapan tersebut merupakan kaidah yang masyhur di kalangan para ulama’. Akan tetapi maksud kaidah ini tidaklah melegalkan penamaan Yahudi dengan Israel. Karena kaidah ini berlaku ketika makna istilah tersebut sudah diketahui tidak menyimpang, sebagaimana yang dipaparkan oleh Abu Hamid Al Ghazali dalam bukunya Al Mustashfaa fi Ilmil Ushul.

Istilah Israil untuk negeri yahudi telah menjadi konsensus (kesepakatan) dunia. Kita cuma ikut-ikutan…

Setiap kaum muslimin selayaknya berusaha menjaga syi’ar-syi’ar islam, misalnya dengan belajar bahasa arab (baik lisan maupun tulisan), menghafalkan Al Qur’an, dan termasuk dalam hal ini adalah membiasakan diri untuk menggunakan istilah-istilah yang Allah gunakan dalam Al Qur’an atau dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama istilah tersebut dapat dipahami orang lain.

Sebagai bentuk pemeliharaan terhadap syi’ar islam, para sahabat terutama Umar Ibn Al Khattab radhiyallahu ‘anhu sangat menekankan agar umat islam mempelajari bahasa arab. Beliau pernah mengatakan: “Pelajarilah bahasa arab, karena itu bagian dari agama kalian.” Beliau juga mengatakan: “Hati-hati kalian dengan bahasa selain bahasa arab.” Umar radhiyallahu ‘anhu membenci kaum muslimin membiasakan diri dengan berbicara selain bahasa arab tanpa ada kebutuhan, dan ini juga yang dipahami oleh para sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum. Mereka (para sahabat radhiyallahu ‘anhum) menganggap bahasa arab sebagai konsekuensi agama, sedangkan bahasa yang lainnya termasuk syi’ar kemunafikan. Karena itu, ketika para sahabat berhasil menaklukkan satu negeri tertentu, mereka segera mengajarkan bahasa arab kepada penduduknya meskipun penuh dengan kesulitan. (lihat Muqaddimah Iqtidla’ Shirathal Mustaqim, Syaikh Nashir al ‘Aql)

Dalam bahasa arab, waktu sepertiga malam yang awal dinamakan ‘atamah. Orang-orang arab badui di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kebiasaan menamai shalat Isya’ dengan nama waktu pelaksanaan shalat isya’ yaitu ‘atamah. Kebiasaan ini kemudian diikuti oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum dengan menamakan shalat isya’ dengan shalat ‘atamah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka melalui sabdanya:

لا يغلبنكم الأعراب على اسم صلاتكم فإنها العشاء إنما يدعونها العتمة لإعتامهم بالإبل لحلابها

“Janganlah kalian ikut-ikutan orang arab badui dalam menamai shalat kalian, sesungguhnya dia adalah shalat Isya’, sedangkan orang badui menamai shalat isya dengan ‘atamah karena mereka mengakhirkan memerah susu unta sampai waktu malam.” (HR. Ahmad, dinyatakan Syaikh Al Arnauth sanadnya sesuai dengan syarat Muslim)

Al Quthuby mengatakan: “Agar nama shalat isya’ tidak diganti dengan nama selain yang Allah berikan, dan ini adalah bimbingan untuk memilih istilah yang lebih utama bukan karena haram digunakan dan tidak pula menunjukkan bahwa penggunaan istilah ‘atamah tidak diperbolehkan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggunakan istilah ini dalam hadisnya…” (‘Umdatul Qori Syarh Shahih Al Bukhari karya Al ‘Aini)

Demikianlah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat dalam menjaga syi’ar islam. Sampai menjaga istilah-istilah yang diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal penggunaan istilah asing dalam penamaan shalat isya’ tidak sampai derajat haram, karena tidak mengandung makna yang buruk.

Lalu dengan apa kita menamai mereka?

Lalu dengan apa kita menamai mereka?! Kita menamai mereka sebagaimana nama yang Allah berikan dalam Al-Qur’an, YAHUDI dan bukan ISRAEL. Dan sebagaimana disampaikan di atas, hendaknya setiap muslim membiasakan diri dalam menamakan sesuatu sesuai dengan yang Allah berikan. Hendaknya kita namakan orang-orang yang mengaku pengikut Nabi Isa ‘alahis salam dengan NASRANI bukan KRISTIANI, kita namakan hari MINGGU dengan AHAD bukan MINGGU, kita namakan shalat dengan SHALAT bukan SEMBAHYANG dan seterusnya selama itu bisa dipahami oleh orang yang diajak bicara, sebagai bentuk penghormatan kita terhadap syi’ar-syi’ar agama islam. Wallaahu waliyyut taufiiq…

Baca artikel berikut untuk tahu liciknya kaum yahudi.

***

Penulis: Ammi Nur Baits
Artikel muslim.or.id

🔍 Hukum Qurban, Operasi Plastik Menurut Islam, Subhanakallahumma Rabbana Wabihamdika, Anak Durhaka Kepada Orang Tua