05 Jul 2019, 16:31 WIB - Oleh: Bisnis.com, JAKARTA - Konversi lahan pertanian, termasuk lahan komoditas perkebunan, menjadi kawasan non-pertanian di Pulau Jawa dinilai sebagai fenomena yang tak bisa dihindari. Hal ini merupakan konsekuansi di tengah tumbuhnya kebutuhan untuk perumahan dan pengembangan industri. Kepala Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) Insititut Pertanian Bogor Ernan Rustiadi mengemukakan di antara provinsi-provinsi di Pulau Jawa, Provinsi Jawa Barat merupakan kawasan dengan tingkat konversi lahan pertanian paling signifikan. Kondisi ini ia sebut tak lepas dari lokasi yang dekat dengan ibu kota dan besarnya investasi yang masuk ke kawasan tersebut. Baca Juga : Tren Perumahan: Hunian Kompak, Rumah Tapak Rasa Apartemen "Di Jawa ini memang tekanan urbanisasi dan industrialisasi paling besar terjadi di Jawa Barat. Konsentrasi industri terbesar di Indonesia berada di sini dan itu tersebar terutama di kawasan Pantai Utara. Semuanya di tempat-tempat yang [pernah] menyediakan lahan sawah terbaik. Mulai dari Tangerang, Bekasi, Karawang, dan sekarang Subang," kata Ernan saat dihubungi Bisnis, Jumat (5/7/2019). Pembangunan infrastruktur transportasi ia sebut menjadi faktor utama alih fungsi lahan di Jawa Barat. Ernan memberi contoh dengan menjelaskan kondisi Kabupaten Bekasi. Kawasan perekonomian dan pemukiman baru ia sebut hadir di kawasan tetangga ibu kota itu seiring pembangunan jalan tol. Baca Juga : Pengoperasian PLTU Jawa 7 Unit I Bakal Jadi Kado Bagi Jokowi "Pembangunan jalan tol juga diperkirakan semakin mempercepat alih fungsi lahan sawah. Jalan tol seperti di Bekasi contohnya, semakin mendorong lahirnya kawasan industri dan kota-kota baru yang berdekatan dengan jalan tol," papar Ernan. Potensi ekonomi dari hadirnya infrastruktur di Jawa Barat tampaknya juga menjadi pendorong bagi perusahaan plat merah yang bergerak di sektor agribisnis untuk menyertakan aset mereka berupa lahan perkebunan guna mendukung pengembangan kawasan industri, yakni PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) dan PT Perkebunan Nusantara VIII. Baca Juga : Terminal Air Bersih Cocok Atasi Kekeringan di Kepulauan Simak Video Pilihan di Bawah Ini :
Editor: M. Rochmad Purboyo
1. Pendahuluan Perkebunan menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan, adalah segala kegiatan pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, sarana produksi, alat dan mesin, budi daya, panen, pengolahan, dan pemasaran terkait Tanaman Perkebunan. Beberapa pemahaman dasar tentang ruang lingkup perkebunan menurut Undang-undang perkebunan tersebut antar lain: Bagi masyarakat Jawa Barat, pemahaman Perkebunan dan ruang lingkupnya kiranya telah lama dikuasai dan telah menjadi bagian persoalan kehidupan keseharian, dimana proses panjang sejarah keberadaan aktivitas perkebunan di wilayah Jawa Barat nampaknya sudah setara dengan perkembangan sejarah kehidupan sosial ekonomi masyarakat Jawa Barat itu sendiri sejak jaman kolonial sampai saat ini. Oleh karena itu, jika berbicara tentang kebijakan pembangunan sosial ekonomi masyarakat Jawa Barat tentu saja tidak bisa terlepas dari pemikiran tentang bagaimana mengoptimalkan keberadaan potensi sumber daya perkebunan Jawa Barat yang cukup melimpah bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat Jawa barat secara keseluruhan. Fungsi dan peran sub sektor perkebunan bagi pembangunan Provinsi Jawa Barat kiranya sudah cukup banyak terbukti, dimana dari aspek ekonomi bahwa sub sektor perkebunan telah menunjukan kontribusi terhadap PDRB dan devisa negara yang cukup signifikan, sedangkan dari aspek lingkungan bahwa keberadaan lahan perkebunan telah berfungsi sebagai kawasan hidro-orologi yang cukup berpengaruh terhadap kondisi kelestarian lingkungan, serta dari aspek sosial bahwa sub sektor perkebunan telah berperan cukup efektif sebagai andalan pendapatan masyarakat, penyedia lapangan kerja di pedesaan dan mencegah urbanisasi. Dengan demikian sangatlah beralasan apabila sub sektor perkebunan ini perlu terus didorong sebagai andalan pembangunan ekonomi Jawa Barat dalam jangka panjang. 2. Perkebunan Jawa Barat dari Masa ke Masa Sub Sektor perkebunan tidak dapat dipisahkan dari sejarah pertumbuhan Jawa Barat sejak masa kolonial sampai sekarang, karena sektor ini memiliki arti yang sangat penting dan menentukan dalam pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat Jawa Barat, bahkan dalam konteks masa lalu sejarah keberadaan kolonialisme dan imperialisme di Indonesia dan di Jawa Barat pada khususnya, dipandang sebagai sejarah perkebunan itu sendiri. Sejarah perkebunan di Jawa Barat sama halnya dengan sejarah perkebunan di Indonesia, diawali pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 dengan berdatangannya bangsa kolonial, untuk berdagang rempah-rempah yang bernilai tinggi saat itu. Beberapa komoditi seperti lada, pala, cengkeh, dan kayu manis yang sebelumnya hanya dikumpulkan dari tanaman liar mulai dibudidayakan penduduk setempat, dimana kemudian nilai kemewahan rempah-rempah tersebut menjadi incaran bangsa kolonial untuk memonopoli perdagangan. Pada abad ke-18 kaum kolonial mulai mengalihkan fokus perdagangan kepada tanaman perkebunan lainnya seperti kopi, tembakau dan tebu. Perkembangan usaha perkebunan mencapai puncaknya ketika VOC yang hampir bangkrut menerapkan kebijakan penanaman dan penyerahan wajib kopi di Priangan, yang dikenal sebagai Preanger Stelsel menjelang berakhirnya abad ke-18. Penanaman kopi di Priangan ini kemudian menjadi model dari tumbuhnya usaha perkebunan yang diselenggarakan oleh negara pada abad berikutnya, yang dikenal sebagai Kultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa. Memasuki abad ke-19, pemerintah Hindia Belanda yang menggantikan posisi VOC berusaha memaksimalkan potensi lahan-lahan yang subur, lahan-lahan yang belum diolah, dan tenaga kerja penduduk lokal untuk menghasilkan berbagai jenis komoditi ekspor, terutama kopi, tembakau, nila, dan gula. Pada saat bersamaan ketika berlaku Sistem Tanam Paksa di tanah-tanah Gubernemen Jawa, sebuah perkembangan perkebunan baru yang melibatkan para pemodal swasta Barat. Perkebunan-perkebunan besar milik swasta di Jawa Barat telah berkembang sejak Daendels dan Raffles menjual tanah-tanah di Bogor, Karawang, dan Priangan, terutama kepada pengusaha-pengusaha swasta Barat dan Cina. Penguasaan Belanda atas komoditas perkebunan, khususnya yang di kelola oleh korporasi, berakhir ketika terjadi pengambil alihan seluruh korporasi Belanda oleh pemerintah Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 menjadi jembatan emas untuk mengurai kabut penjajahan, yang secara ekonomis lebih berupa penguasaan perkebunan. Untuk memastikan manfaat bagi bangsa Indonesia, nasionalisasi atau pengambilalihan kepemilikan perkebunan besar dari negara asing kepada pemerintah Indonesia dilakukan berkali-kali. Pertama, sebagai konsekuensi dari kemenangan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Kedua, sebagai perwujudan deklarasi ekonomi untuk kemandirian bangsa pada tanggal 10 Desember 1957. Ketiga, dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1964. Perkebunan-perkebunan besar milik Belanda dinasionalisasi menjadi milik pemerintah Republik Indonesia. Seiring dengan kemampuan pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi perkebunan besar milik Belanda, perkebunan rakyat yang dikelola para pekebun atau petani kecil terus melakukan ekspansi, relatif tanpa bantuan pemerintah. Bahkan dapat dikatakan tak terjadi kerjasama antara perkebunan besar dan perkebunan rakyat. Masing-masing berjalan sendiri sesuai dengan kepentingan dan kemampuan masing-masing. Nasionalisasi perkebunan segera diikuti oleh konsolidasi manajemen perkebunan negara dan pengembangan perkebunan rakyat yang diatur pada satu kesatuan struktur dalam pemerintahan. Lahirnya pemerintahan orde baru disertai dengan dilansirnya program pembangunan yang dikenal dengan sebutan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), membuat perkebunan kembali dilirik sebagai salah satu sektor paling berpotensi untuk menghasilkan devisa negara. Langkah pertama dimulai dengan tambahan modal dan peningkatan kemampuan Perkebunan Besar Negara (PN). Setelah itu, dimulailah langkah yang juga merupakan tonggak baru pengelolaan perusahaan perkebunan di Indonesia yaitu menggabungkan kekuatan Perkebunan Besar Negara dengan Perkebunan Rakyat. Penerapan pola pikir baru ini dilakukan pada pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) sejak awal 1980-an. Sejak saat itu pola PIR sangat mewarnai pembangunan perkebunan di Indonesia. Langkah selanjutnya di akhir dekade 1980-an ialah menggunakan kesuksesan ini sebagai pemantik modal swasta untuk mendirikan Perkebunan Besar Swasta (PBS) baik dengan pembangunan yang memanfaatkan Hak Guna Usaha (HGU). Dan kini terbukalah cakrawala baru perkebunan Indonesia. Akumulasi sejarah telah menunjukkan kekuatan modal, manajemen, penelitian dan penemuan benih unggul, pendidikan khusus, hingga pemasaran, untuk menegakkan perkebunan lebih kokoh. Kini pengokoh tersebut dilengkapi dengan demokratisasi di dalam dan sekitar perkebunan. Demokratisasi ini melahirkan serangkaian konsekuensi pengaturan sekaligus manfaat tersendiri. Demokratisasi membutuhkan jaringan hubungan yang simetris dan setara di antara semua pihak yang terkait dengan perkebunan: Perkebunan Besar Negara (PBN), Perkebunan Besar Swasta (PBS), Perkebunan Rakyat (PR), pemerintah, konsumen di dalam dan luar negeri, lembaga pendukung penelitian dan pengembangan, lembaga pendanaan, input produksi, pemasaran. Tidak mengherankan pengembangan perkebunan masa kini ditegaskan di atas pengembangan jaringan hubungan antar pihak. Jaman terus berubah, perkembangan kebijakan dan focus pemahaman masyarakat tentang arah pembangunan perkebunan mengalami penyesuaian-penyesuaian. Sehingga pada kondisi jangka panjang peran penting perkebunan akan semakin meningkat di masa depan. Krisis enerji dunia telah menempatkan posisi perkebunan pada tingkat yang sangat penting. Perkebunan tak lagi hanya terkait masalah pangan, tetapi kini perkebunan berada di persimpangan kepentingan antara food, feed dan fuel. Seluruh dinamika sejarah perkebunan menarik perhatian terutama dalam meletakkan dan meningkatkan peran di masa mendatang. Sejak awal kemerdekaan sudah terpampang kuat hasrat untuk menyejahterakan rakyat pekebun, pekerja perkebunan, maupun yang memperoleh manfaat tidak langsung dari usaha perkebunan. Diatas itu semua perkebunan masih tetap dan akan terus menjadi sumber kemakmuran bangsa ini. 3. Perkembangan Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu Organisasi Perangkat Daerah dilingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat, dimana OPD ini sejak awal pembentukannya telah mengalami beberapa kali perubahan sebagaimana diuraikan berikut ini:
4. Perkembangan Struktur Organisasi Dinas Perkebunan Sejalan dengan upaya penataan keorganisasian yang dilakukan oleh pemerintah, maka Struktur Organisasi Dinas Perkebunan pun mengalami penyesuaian-penyesuaian sebagai berikut: 1.1. Menurut Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 5 tahun 2000 Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat terdiri dari unsur-nsur:a. Kepala Dinasb. Bagian Tata Usaha1) Sub Bagian Kepegawaian2) Sub Bagian Keuangan 3) Sub Bagian Umum c. Sub Dinas Bina Program :1) Seksi Data dan Informasi2) Seksi Evaluasi dan Pelaporan 3) Seksi Penyusunan Program d. Bina Produksi :1) Seksi Pembenihan dan Pengembangan Komoditas2) Seksi sarana dan Prasarana Produksi 3) Seksi Intensifikasi dan Rehabilitasi e. Bina Pengendalian :1) Seksi Pelindungan Tanaman.2) Seksi Pelestarian Lahan dan Lingkungan 3) Seksi Penataan Areal dan Pengembangan Perkebunan. f. Bina Usaha :1) Seksi Pasca Panen dan Pemasaran2) Seksi Manajemen dan Kelembagaan Usaha Perkebunan. 3) Seksi Pemberdayaan SDM dan Permodalan. g. Unit Pelaksana Pelaksana Teknis Dinas 1.2. Berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 45 Tahun 2001 struktur Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat terdiri dari:a. Kepala Dinasb. Wakil Kepala Dinasc. Bagian Tata Usaha1) Sub Bagian Kepegawaian2) Sub Bagian Keuangan 3) Sub Bagian Umum d. Sub dinas Bina Program1) Seksi Data dan Informasi.2) Seksi Penyusunan Program 3) Seksi Evaluasi pelaporan e. Sub Dinas Bina Produksi1) Seksi Pembenihan dan Pengembangan Komoditas2) Seksi Sarana dan Prasarana Produksi 3) Seksi Intensifikasi dan Rehabilitasi f. Sub Dinas Bina Usaha1) Seksi Pemberdayaan SDM dan permodalan2) Seksi manajemen dan Kelembagaan Usaha Perkebunan 3) Seksi pasca Panen dan Pemasaran g. Sub Dinas Pengendalian1) Seksi Pelestarian Lahan dan Lingkungan2) Seksi Perlindungan Tanaman Perkebunan 3) Seksi penataan Areal dan Pengembangan Perkebunan. h. Unit Pelaksanaan Teknis Dinas 1.3. Berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 38 Tahun 2009 tentang tugas pokok, fungsi dan rincian tugas unit dan tata kerja Dinas Perkebunan Provinsi Jawa barat, maka struktur Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat terdiri dari:a. Kepala Dinasb. Sekretariat1) Sub Bagian Kepegawaian dan Umum2) Sub Bagian Keuangan 3) Sub Bagian Perencanaan dan Program c. Bidang Produksi1) Seksi Tanaman Tahunan.2) Seksi Tanaman Semusim. 3) Seksi Sarana Produksi. d. Bidang Pengembangan SDM, Kelembagaan dan Permodalan1) Seksi Pengembangan SDM Perkebunan2) Seksi Kelembagaan Perkebunan 3) Seksi Permodalan e. Bidang Pengembangan dan Pengendalian Perkebunan1) Seksi Penataan Lahan Perkebunan2) Seksi Prasarana Perkebunan 3) Seksi Pengendalian Perkebunan f. Bidang Pengolahan, Pemasaran dan Usaha Perkebunan1) Seksi Pengolahan Hasil Perkebunan2) Seksi Pemasaran Hasil Tanaman Perkebunan 3) Seksi Bina Usaha Perkebunan. g. Unit Pelaksanaan Teknis Dinas, yang dibentuk melalui Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 54 Tahun 2010 tentang Tugas Pokok, Fungsi, Rincian Tugas Unit dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) di Lingkungan Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat,terdiri dari:1. UPTD Balai Pengembangan Benih Tanaman Perkebunan (BPBTP)a) Kepala Balaib) Sub Bagian Tata Usahac) Seksi Pengembangan Benihd) Seksi Pemasaran Benihe) Kelompok Jabatan Fungsional f) Sub Unit Pelayanan 2. UPTD Balai Proteksi Tanaman Perkebunan (BPTP)a) Kepala Balaib) Sub Bagian Tata Usahac) Seksi Sarana Teknologi Pengendalian Hama Terpadud) Seksi Pengembangan Teknologi Pengendalian Hama Terpadue) Kelompok Jabatan Fungsional f) Sub Unit Pelayanan 3. UPTD Balai Pengawasan dan Pengujian Mutu Benih Tanaman Perkebunan (BP2MBTP)a) Kepala Balaib) Sub Bagian Tata Usahac) Seksi Pengawasan Benihd) Seksi Pengujian Mutu Benihe) Kelompok Jabatan Fungsional f) Sub Unit Pelayanan |