Kenapa indonesia tidak mau disebut unwillingness

tirto.id - Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) adalah kesewenang-wenangan terhadap hak-hak individu atau kelompok. Padahal, sebagaimana diketahui, HAM menjamin setiap manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai hak atau pun martabat yang sama.

Maka daripada itu, pelanggaran HAM menjadi masalah yang sensitif di negara mana pun dan cukup menjadi perhatian dunia internasional. Jika suatu negara dinilai tidak mau menangani kasus pelanggaran HAM, maka negara tersebut akan mendapat julukan unwillingness state (negara yang tidak mau/tidak peduli dalam penanganan kasus pelanggaran HAM). Jika sudah demikian, maka kasus pelanggaran HAM diserahkan pada Mahkamah Internasional.

Apabila sudah begitu, maka wibawa negara yang tidak peduli HAM akan jatuh. Kedaulatan hukum di negara tersebut cukup lemah dan cenderung kurang memiliki tempat dalam pergaulan bangsa-bangsa beradab.

Dalam modul PPKn Kelas XI (Dikdasmen 2020) disebutkan, untuk mengatasi persoalan HAM di Indonesia, pemerintah membentuk Komnas HAM, melakukan pembentukan instrumen HAM, dan pembentukan pengadilan HAM. Di samping itu, pada UUD 1945 bab X A juga ditambahkan mengenai HAM yang melengkapi pasal-pasal terdahulu mengenai masalah HAM.

Sementara menurut buku PPKn Kelas XII (Kemdikbud 2015), selama ini Indonesia seringkali menangani kasus pelanggaran HAM tanpa bantuan Mahkamah Internasional. Beberapa contoh kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia adalah:

  • Kerusuhan Tanjung Priok 12 September 1984. Kasus ini menelan korban meninggal 24 jiwa, 36 orang luka berat dan 19 orang luka ringan.
  • Peristiwa Talangsari 7 Februari 1989. Kasus ini menewaskan 27 orang, sekitar 173 orang ditangkap. Hanya saja yang kasusnya sampai ke pengadilan hanya 23 orang.
  • Penembakan mahasiswa Universitas Trisakti 12 Mei 1998. Sejumlah 5 mahasiswa tewas.
  • Dan masih banyak lagi.

Baca juga: Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia & Contohnya dalam Sejarah

Terkait pelanggaran HAM, Indonesia telah memiliki payung hukum berupa UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kasus-kasus yang memiliki kaitan dengan pelanggaran HAM akan diperiksa dan diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc yang dibentuk presiden dan berada di lingkungan peradilan umum.

Pada Pasal 10 UU Nomor 26 Tahun 2000, dijelaskan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dilakukan menurut ketentuan Hukum Acara Pidana. Jaksa Agung dengan surat perintah dan alasan penangkapan memiliki wewenang untuk melakukan proses penyidikan dan penangkapan, kecuali tersangka tertangkap tangan.

Tersangka dapat ditahan paling lama 90 hari untuk pemeriksaan dalam sidang di Pengadilan HAM. Kendati begitu, penahanan bisa diperpanjang maksimal 30 hari oleh pengadilan negeri sesuai daerah hukumnya. Lamanya penahanan jika sudah di tingkat Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, maksimal 60 hari dan bisa diperpanjang sampai 30 hari.

Komnas HAM akan bertindak sebagai penyelidik dalam pelanggaran HAM berat. Komnas HAM juga bisa membentuk tim ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM bersama unsur masyarakat. Hasil penyelidikan lalu diserahkan pada Jaksa Agung berupa laporan pelanggaran HAM. Jaksa Agung akan menindaklanjuti dalam proses penyidikan dan dapat pula membentuk penyidik ad hoc.

Setelah melalui penyidikan, Jaksa Agung akan melakukan penuntutan perkara pelanggaran HAM dan dapat mengangkat jaksa penuntut umum ad hoc. Perkara ini lalu diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan HAM melalui Majelis Hakim Pengadilan HAM, paling lama 180 hari usai berkas perkara dilimpahkan penyidik ke Pengadilan HAM.

Jika dimohonkan banding, maka perkara akan dilanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi yakni Pengadilan Tinggi dan sudah harus memperoleh putusan maksimal 90 hari sejak perkara dilimpahkan. Apabila terjadi kasasi, maka diselesaikan di Mahkamah Agung dan perkara harus sudah mendapat putusan paling lama 90 hari sejak perkara dilimpahkan.

Baca juga:

  • Komnas HAM Minta Pimpinan KPK Kooperatif soal Penyelidikan TWK
  • Proyek Mandalika dalam Pusaran Tudingan Pelanggaran HAM
  • Mengenal Kategori Kasus Pelanggaran HAM Berat Secara Internasional

Baca juga artikel terkait KASUS PELANGGARAN HAM atau tulisan menarik lainnya Ilham Choirul Anwar
(tirto.id - ica/ale)


Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Alexander Haryanto
Kontributor: Ilham Choirul Anwar

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Jakarta (Komisi Yudisial) - Calon hakim agung (CHA) keempat di hari kedua yang mendapat kesempatan untuk diwawancara adalah Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Bandung Subiharta. Calon ditanya pendapatnya tentang pelaksanaan peradilan HAM di Indonesia.

Menurutnya, praktik peradilan HAM di Indonesia belum berjalan secara optimal. Hal itu karena dalam memproses pelanggaran HAM diharuskan melalui mekanisme di mana Komnas HAM sebagai lembaga atau institusi yang berwenang melakukan penyelidikan awal pelanggaran HAM. Selain itu, tidak mudah memformulasikan pelanggaran HAM di Indonesia.

Ada tiga hal dalam pelanggaran HAM berat yang bisa diproses melalui pengadilan HAM, yakni genosida, kejahatan kemanusiaan, dan pidana yang berkaitan dengan peperangan.

Misalnya pelanggaran HAM di Indonesia seperti kasus Semanggi. Sampai sekarang ternyata belum dilakukan suatu proses penegakan hukum setelah melalui perubahan pemerintahan dari dekade sebelumnya atau dari presiden sebelumnya ke presiden yang sekarang," kata dia.

"Misalnya pelanggaran HAM (berat) terhadap kasus Semanggi. Sampai sekarang ternyata belum dilakukan suatu proses penegakan hukum setelah melalui perubahan pemerintahan dari dekade sebelumnya atau dari presiden sebelumnya ke presiden yang sekarang," jelas Subiharta.

Ia menekankan bahwa dalam praktik peradilan HAM, maka membutuhkan political will atau kehendak politik dari penguasa.

Subiharta kembali ditanya pandangannya terkait kemungkinan mengaitkan penegakan hukum pelanggaran HAM berat dengan International Criminal Court (ICC). Namun, jawaban Subiharta tampak tidak memuaskan panelis, sehingga Anggota KY Amzulian menjelaskan tentang yang dimaksud ICC.

Adanya ICC itu karena ada dua faktor. Satu karena adanya unwilling, kemudian ada yang unable. Unsur unwilling karena tidak ada political will untuk mengadili. Sementara unsur kedua yakni unable atau tidak adanya kesanggupan untuk membawa keadilan tersebut.

"Kedua faktor itu memunculkan tercipta yang namanya International Criminal Court. Solusi apa yang bisa dilakukan yaitu mengencourage pemerintah kita untuk meratifikasi konvensi tentang ICC itu," pungkas Amzulian. (KY/Festy)

Penegakan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) di Indonesia mencapai kemajuan ketika pada tanggal 6 November 2000 disahkannya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan kemudian diundangkan tanggal 23 November 2000. Undang-undang ini merupakan undang-undang yang secara tegas menyatakan sebagai undang-undang yang mendasari adanya pengadilan HAM di Indonesia yang akan berwenang untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat. Undang-undang ini juga mengatur tentang adanya pengadilan HAM ad hoc yang akan berwenang untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.

Pengadilan HAM ini merupakan jenis pengadilan yang khusus untuk mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengadilan ini dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk pengadilannya sudah secara spesifik menggunakan istilah pengadilan HAM dan kewenangan pengadilan ini juga mengadili perkara-perkara tertentu. Istilah pengadilan HAM sering dipertentangkan dengan istilah peradilan pidana karena memang pada hakekatnya kejahatan yang merupakan kewenangan pengadilan HAM juga merupakan perbuatan pidana. UU No. 26 Tahun 2000 yang menjadi landasan berdirinya pengadilan HAM ini mengatur tentang beberapa kekhususan atau pengaturan yang berbeda dengan pengaturan dalam hukum acara pidana. Pengaturan yang berbeda atau khusus ini mulai sejak tahap penyelidikan dimana yang berwenang adalah Komnas HAM sampai pengaturan tentang majelis hakim dimana komposisinya berbeda denga pengadilan pidana biasa. Dalam pengadilan HAM ini komposisi hakim adalah lima orang yang mewajibkan tiga orang diantaranya adalah hakim ad hoc.

Pengaturan yang sifatnya khusus ini didasarkan atas kerakteristik kejahatan yang sifatnya extraordinary sehingga memerlukan pengaturan dan mekanisme yang seharusnya juga sifatnya khusus. Harapan atas adanya pengaturan yang sifatnya khusus ini adalah dapat berjalannya proses peradilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat secara kompeten dan fair. Efek yang lebih jauh adalah putusnya rantai impunity atas pelaku pelanggaran HAM yang berat dan bagi korban, adanya pengadilan HAM akan mengupayakan adanya keadilan bagi mereka.

UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM telah dijalankan dengan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-timur. Dalam prakteknya, pengadilan HAM ad hoc ini mengalami banyak kendala terutama berkaitan dengan lemahnya atau kurang memadainya instumen hukum. UU No. 26 Tahun 2000 ternyata belum memberikan aturan yang jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang diatur dan tidak adanya mekanisme hukum acara secara khusus. Dari kondisi ini, pemahaman atau penerapan tentang UU No. 26 Tahun 2000 lebih banyak didasarkan atas penafsiran hakim ketika melakukan pemeriksaan di pengadilan.

Pengadilan HAM di Indonesia adalah bahan materi yang disampaikan oleh Zainal Abidin pada Kursus Ham untuk Pengacara XI yang dilaksanak oleh Elsam pada tahun 2007.  pokok pembahasan dalam materi ini adalah Latar Belakang Pembentukan Pengadilan HAM, Landasan Yuridis Terbentuknya Undang-undang Pengadilan HAM, Kedudukan dan Tempat Kedudukan, Lingkup Kewenangan Pengadilan HAM, Pengadilan HAM Adhoc.