Kenapa harus ada pembaharuan dalam Islam?

Pada abad modern ini terus berkembang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dunia sudah berubah maju memberikan penemuan-penemuan yang mengefisiensikan kebutuhan manusia. Masa modern ini memberikan kita prinsip-prinsip modern yang selalu menguatamakan rasionalitas. Namun dunia islam masih terpaku pada masa-masa gemilang dan berpegang teguh dengan tradisi-tradisi. Banyak kaum muslim pada masa ini masih ingin untuk berbalik ke masa lalu dan menginginkan segala sikap dan pengaruh saat itu teraplikasi ke dalam dunia modern ini. Tetapi hal itu tidak mungkin terjadi ketika keadaan sudah berubah total. Kaum muslim seharusnya bangkit dengan kemajuan dan ilmu pengetahuan tetapi tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

Orang-orang Islam cenderung memandang negatif terhadap modernisasi. Modernisasi dianggap sebagai produk barat. Kaum muslim memandang dengan mengikuti peradaban di barat akan menimbulkan sekulerisasi atau yang mengenyampingkan agamanya. Modernisasi di barat memang memiliki keunggulan-keunggulan di bidang pengetahuan dan teknologi. Tapi tidak semua konsep modernisasi barat tersebut dapat diterima dan diserap seluruhnya oleh kaum muslimin. Tetapi modernisasi itu tetap dapat kita disesuaikan dengan pemikiran dan ajaran-ajaran islam. Konsep mondernitas di barat pun tidak sepenuh baik. Barat pun seakan-seakan melakukan imprealisme budaya terhadap budaya masyarakat lainnya. Menurut keyakinan mereka bahwa yang tidak mengikuti peradaban di barat merupakan masyarakat yang terbelakang dan tradisional. Kaum muslim sendiri lebih suka untuk menyebut prinsip-prinsip modern yang masuk sebagai pembaharuan Islam dibandingkan dengan modernisasi Islam.

Sejarah islam mencatat permulaan periode modern dimulai pada penghujung ke 18. Timbul sebuah kultur moderenitas di dalam Islam. Di mesir muncul tokoh pemikir awal pembaharuan Islam yaitu Jamaluddin Al-Afghani. Ia memiliki pandangan bahwa pentingnya bertindak secara rasional dan menerima gagasan yang dihasilkan oleh akal. Ia juga merupakan tokoh pendukung pan-islamisme. Kaum muslim akan bergerak maju ketika mempunyai persatuan dan pemikiran yang mendalam terhadap pengetahuan.

Gagasan pembaharuan juga terjadi di India. Melalui karya-karyanya, Sir Sayyid Ahmad Khan telah berupaya menunjukan bahwa ilmu pengetahuan alam dan temuan-temuannya sebenarnya sesuai dengan iman Islam, tetapi ia juga berbependapat sains dan agama sebenernya berhubungan dengan wilayah-wilayah yang berbeda sehingga ilmu dan agama tidak bertentangan maupun bertikai satu sama lain (Khan 1984: vol.3 hlm.281-2) . Ia merupakan pemikir yang menyerukan saintifikasi masyarakat muslim. Seperti Al-Afgani, ia menyerukan kaum muslim untuk meraih ilmu pengetahuan modern. Ia melihat adanya kekuatan yang membebaskan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Kekuatan pembebas itu antara lain, penjelasan mengenai suatu peristiwa dengan sebab-sebab yang bersifat rasional.

Semangat kaum muslim untuk menempuh pendidikan dan perkembangan teknologi akan memberikan sumbangan peradaban di masa modern ini. Pembaharuan dimaksudkan untuk memunculkan pengetahuan baru demi kemajuan masyarakat muslim. Kaum muslim juga harus tetap menerapkan prinsip-prinsip Al-qur’an dalam menerima modernitas yang ada. Jika hal tersebut terjadi, maka di masa depan akan hadir kaum intelektual yang tetap berpegang teguh pada ajaran Islam. (GY)

Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan.Jakarta: Bulan Bintang. 1975.

John Cooper, Ronald L.Nettler dan Mohamed Mahmoud, Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd, Jakarta: Erlangga, 2002.

Ramadan, Thariq. Menjadi Modern Bersama Islam. Jakarta: Teraju. 2003.

5/5 (2)

FOLLOW untuk mengikuti artikel-artikel mencerahkan
Follow Us

IslamLib – Salah satu imbas positif dari peristiwa pengeboman gedung WTC (9/11) adalah munculnya wacana tentang Reformasi atau Pembaruan Islam. Wacana ini sesungguhnya bukanlah baru, karena para sarjana sudah sejak lama mendiskusikannya.

Yang baru adalah bahwa wacana ini kini dibicarakan secara luas, tak hanya oleh kalangan akademis saja, tapi juga oleh media massa, politisi, dan para pengambil keputusan di negara-negara Barat.

Thomas L. Friedman, kolumnis terkenal asal Amerika, misalnya, menulis sebuah artikel menarik di New York Times, berjudul “An Islamic Reformation” (4/12/02). Menurutnya, pembaruan Islam adalah sebuah keharusan bagi kaum muslim sekarang ini, karena perang terhadap terorisme dan radikalisme akan percuma tanpa diikuti perbaikan dari dalam kaum muslim sendiri.

Baginya, Amerika “bisa membunuh Osama bin Laden dan para pengikutnya, tapi yang lain akan muncul menggantikannya. Satu-satunya yang bisa memerangi akar kekerasan itu adalah kaum muslim sendiri. Dan itu hanya mungkin terjadi jika mereka sendiri yang memperjuangkan demokrasi dan pembaruan agama.”

Dalam Islam sendiri, pembaruan bukanlah sesuatu yang baru dan sama sekali bukanlah agenda yang diciptakan oleh Amerika. Ia sudah ada sekurangnya sejak abad ke-19, ketika para pembaru Islam seperti Jamal al-Din al-Afghani (w. 1897) dan Muhammad Abduh (w. 1905) memulai gerakan ini di Mesir. Pada saat itu, agenda utama Reformasi Islam adalah membebaskan kaum mslim dari pemahaman agama yang sempit dan kaku.

Sejak abad ke-15, secara intelektual kaum muslim mengalami kemunduran serius. Berbeda secara diametris dengan orang-orang Eropa yang memulai masa kebangkitan dan pencerahan, kaum muslim sejak abad itu memulai tidur panjang dalam keterbelakangan dan kebodohan.

Beberapa kerajaan Islam yang muncul selama masa ini -seperti Usmaniyah di Turki dan Moghul di India- hanya mampu memproduksi alat-alat perang dan sedikit seni arsitektur. Tidak ada pencapaian intelektual yang berarti selama periode itu.

Para pembaru Islam menyadari akan kondisi tersebut, dan atas dasar itulah mereka memulai gerakan pembaruan Islam, sebuah agenda yang sampai kini masih terus berlanjut. Di Indonesia, gerakan Pembaruan Islam dimulai dari Minangkabau, Sumatra Barat, oleh para tokoh pembaru agama seperti Abdullah Ahmad (w. 1933), Muhammad Djamil Djambek (w. 1947), dan Hadji Rasul (w. 1945).

Gerakan ini kemudian diteruskan oleh para tokoh pembaru Islam di pulau Jawa, seperti K.H. Ahmad Dahlan (w. 1923), H.O.S. Tjokroaminoto (w. 1934), dan Hadji Agus Salim (w. 1954).

Setelah kemerdekaan, agenda pembaruan Islam diteruskan oleh para intelektual muslim liberal semacam Nurcholish Madjid, K.H. Abdurrahman Wahid, M. Dawam Rahardjo, dan M. Syafii Maarif. Tokoh-tokoh ini adalah para reformis sejati yang menyadari pentingnya pembaruan dilakukan dalam tubuh umat Islam.

Organisasi besar Islam seperti Muhammadiyah dan NU ketika dipegang oleh para tokoh pembaru itu, memainkan peran yang sangat besar dalam melakukan pencerahan kepada umat Islam.

Sayangnya, setelah para tokoh reformis itu tak lagi berkiprah, organisasi-organisasi itu kini menjadi mandek, bahkan cenderung menjadi puritan dan anti terhadap reformasi keagamaan.

Kaum muslim harus tetap menjalankan agenda Reformasi Islam, untuk kebaikan diri mereka sendiri. Bahwa agenda itu kemudian mendapat dukungan dari Amerika dan negara-negara Barat, ini bukanlah sesuatu yang harus ditolak dan dicemooh, tapi justru harus disyukuri dan disambut baik.

Para pembaru Islam memiliki kesamaan pandangan dengan negara-negara Barat karena mereka memang memiliki landasan berpikir yang sama, yakni tentang kemajuan, persamaan, toleransi, dan penghormatan kepada hak-hak dasar manusia.

Jika selama ini kita berbicara tentang dialog dan kerjasama dengan Barat, maka inilah saat yang tepat untuk melakukan dialog dan kerjasama itu. Negara-negara Barat memiliki pengalaman panjang dalam menghadapi kejumudan, keterbelakangan, dan fanatisme agama. Sudah sewajarnya kaum Muslim belajar dari pengalaman mereka.

Musuh bersama umat beragama saat ini adalah otoritarianisme penafsiran terhadap ajaran-ajaran agama. Lembaga-lembaga agama yang otoriter, yang merasa benar sendiri, adalah musuh bagi kebebasan beragama. Kekerasan agama tidak dimulai dari Osama bin Laden atau Dr. Azahari, tapi dari ajaran-ajaran intoleran yang bibit-bibitnya disemai oleh para otoritas agama yang otoriter.

Pada akhirnya, semuanya terpulang kepada kaum muslim sendiri, apakah mereka tetap ingin memelihara pemikiran-pemikiran sempit yang berujung pada kekerasan agama dan terorisme, ataukah mereka ingin melanjutkan pembaruan Islam, sebuah agenda luhur yang telah disemai sejak abad ke-19.

LIKE untuk mengikuti artikel-artikel mencerahkan