Tempat tinggal merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia, maka hampir semua orang pernah atau akan melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan. Setiap kali mendengar atau akan melakukan transaksi jual beli rumah pastilah terbesit pertanyaan dalam benak kita, bagaimanakah sebenarnya prosedur pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan? Apakah setiap transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan dikenakan pajak? Berapakah besarannya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terjawab setelah anda membaca tulisan ini. Sampai dengan 27 Mei 1997 (keluarnya UU Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Banguan/BPHTB) tidak ada dasar hukum yang jelas untuk pemungutan pajak atas pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan. Bahkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1950 yang menggantikan semua peraturan pertanahan di Indonesia juga tidak mengatur pengenaan bea balik nama atas jual beli tanah dan atau bangunan. UU BPHTB kemudian diperbaharui kembali dengan dikeluarkannya UU No.20 tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 21 tahun 1997 tentang BPHTB. Namun demikian seiring dengan semangat otonomi daerah seperti halnya PBB, maka BPHTB pun pada tahun 2011 akan menjadi pajak daerah dengan diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2009. Filosofi BPHTB Filosofi utama yang melandasi pajak ialah peran serta masyarakat dalam pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan serta kemakmuran rakyat melalui peningkatan penerimaan Negara dengan cara pengenaan pajak. Mengapa BPHTB dinamai Bea, bukan Pajak ? Tidak banyak yang tahu mengapa BPHTB dinamai dengan bea dan bukan pajak. Ternyata ada beberapa ciri khusus yang membuatnya dinamai bea.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan dikenakan terhadap orang atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan atas suatu hak atas tanah dan atau bangunan ini bisa diartikan bahwa orang atau badan tersebut mempunya nilai lebih atas tambahan atau perolehan hak tersebut. Dimana tidak semua orang mempunyai kemampuan lebih untuk mendapatkan tanah dan atau bangunan. Pengertian dan Dasar Hukum BPHTB Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Dasar hukum BPHTB adalah Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Kemudian pajak ini masuk dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD Pasal 85 sampai dengan Pasal 93. Peraturan terkait lainnya antara lain:
Subjek BPHTB, Subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan dengan kata lain adalah pihak yang menerima pengalihan hak baik itu badan mapupun orang pribadi. Subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak. Objek BPHTB Objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah atau bangunan yaitu terhadap peristiwa hukum atau perbuatan hukum atas transaksi/peralihan haknya yang meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru Perolehan hak tersebut meliputi; a. Pemindahan hak
b. Pemberian hak baru.
Jenis-Jenis Hak atas Tanah Diatur dalam UU Pokok Agraria (UU No. 5 / 1960):
Diatur dalam UU Rumah Susun (UU No. 16 / 1985):
Diatur dalam PP No. 8 Tahun 1953:
Objek yang Tidak Dikenakan BPHTB, Yang bukan merupakan objek yang dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh :
Dasar Pengenaan BPHTB Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). Jika NPOP sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan 9 tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan maka DPP yang dipakai adalah NJOP. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Selanjutnya didalam pasal 7 UU BPHTB, pemerintah menentukan suatu batas nilai perolehan tidak kena pajak yang disebut Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Ketentuan pasal 7 ini dijabarkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah dan yang terakhir adalah Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tanggal 1 Desember 2000 yang kemudian ditindaklanjuti lagi dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000. Keputusan Menteri Keuangan ini kemudian mengalami perubahan dan yang terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.03/2008 tanggal 22 Februari 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak BPHTB. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.03/2008 ini berisikan ketentuan sebagai berikut:
Sedangkan menurut UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD pasal 85 ayat (4), (5) dan (6) besarnya NPOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp. 60.000.000,00 untuk setiap wajib pajak. Kemudian untuk perolehan hak karena waris atau hibah wasiat NPOPTKP ditetapkan paling rendah Rp. 300.000.000,00. NPOPTKP menurut UU PDRD tersebut akan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tarif BPHTB Tarif BPHTB menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 Pasal 5 adalah sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). Sedangkan menurut UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD Pasal 88 disebutkan bahwa tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Cara Penghitungan BPHTB Perhitungan BPHTB berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 Pasal 8 adalah sebagai berikut: Sedangkan perhitungan BPHTB menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 89 adalah sebagai berikut: Saat terutangnya BPHTB Menurut ketentuan pasal 9 ayat (1) UU BPHTB No. 20 Tahun 2000 menyatakan bahwa saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah sebagai berikut : Pajak terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak, dengan kata lain saat terutang pajak BPHTB adalah merupakan saat untuk wajib membayar pajak. Tempat Terutangnya BPHTB Tempat pajak terutang adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan. Pembayaran BPHTB Pajak yang terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau Tempat Pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (SSB). Ketetapan BPHTB Direktorat Jenderal Pajak (menurut UU No. 20 Tahun 2000) atau Kepala Daerah (menurut UU No. 28 Tahun 2009) dalam jangka waktu 5 tahun sesudah terutangnya BPHTB setelah terlebih dahulu melakukan pemeriksaan lapangan ataupun kantor dan dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea (SKB) atau Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD):
Terhadap jumlah kekurangan pajak yang terhutang dalam SKBKB tersebut dikenakan sanksi administrasi sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan (sehingga maksimal 48%) terhitung sejak tanggal terutangnya pajak. Sedangkan terhadap kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut, namun demikian jika WP melaporkan sendiri sebelum dilakukan pemeriksaan maka kenaikan tersebut tidak dikenakan. Jangka waktu pelunasan SKB tersebut adalah 1 bulan sejak tanggal diterbitkannya surat ketetapan. Surat Tagihan BPHTB (STB) Menurut UU No. 20 Tahun 2000 Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan STB apabila;
Sanksi administrasi berupa bunga 2% sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dapat dikenakan apabila hasil pemeriksaan menyatakan kurang bayar, sanksi ini dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB). Hak WP untuk Keberatan BPHTB Dalam jangka waktu 3 bulan sejak diterimanya SKP yang dapat dibuktikan dengan cap pos, Wajib pajak dapat mengajukan keberatan terhadap:
Syarat pengajuan keberatan;
Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan. DJP harus memberi keputusan atas keberatan apakah diterima, ditolak atau bahkan menambah besarnya pajak terutang dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal surat ketetapan diterima. Hak WP untuk Banding BPHTB Apabila permohonan keberatan ditolak, WP masih dapat mengajukan upaya Banding ke Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 3 bulan sejak diterimanya SK Keberatan yang dapat dibuktikan dengan cap pos. Pengadilan Pajak harus memberi keputusan atas banding apakah diterima, ditolak atau bahkan menambah besarnya pajak terutang dalam jangka waktu paling lama 12 bulan. Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, maka kelebihan pembayaran pajak akan dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding tersebut. Hak WP untuk Pengurangan Selain hak WP untuk mengajukan keberatan terhadap SKP, WP juga dapat mengajukan pengurangan dalam hal:
Pengurangan akan diproses dalam waktu paling lama 3 bulan (apabila proses dilakukan di KPP Pratama) dan 6 bulan (apabila proses dilakukan di Kantor Pusat Dirjen Pajak) sejak tanggal diterima permohonan pengurangan BPHTB. Bagi WP yang memenuhi syarat dapat menghitung sendiri besarnya pengurangan sebelum melakukan pembayaran BPHTB. Contohnya untuk kasus waris dan hibah wasiat, dimana pembayaran menggunakan SSB setelah dikurangi dengan pengurangan dilakukan terlebih dahulu baru pengajukan permohonan pengurangan ke KPP Pratama. Dalam Surat Setoran Bea diberi tanda “pengurangan dihitung sendiri” dan jumlah setoran BPHTB setelah pengurangan. Dalam hal ini WP tetap mengajukan permohonan pengurangan sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Bila permohonan pengurangannya ditolak/dikabulkan namun dalam pembayaran BPHTB-nya masih kurang bayar maka terhadap WP tersebut akan dikenakan sanksi bunga sebesar 2% per bulan dari kekurangan bayar tersebut, maksimum 24 bulan. Terhadap BPHTB kurang bayar (SKBKB) tidak dapat diajukan pengurangan kembali. Pengembalian Kelebihan Pembayaran Wajib pajak dapat mengajukan usul permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak kepada DJP, antara lain berupa:
Berdasarkan kondisi di atas maka pengembalian kelebihan pembayaran dapat diberikan karena:
Pengajuan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak tersebut diajukan oleh WP ke DirJen Pajak. Kemudian DirJen Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak diterimanya permohonan harus memberikan keputusan. Terhadap pengembalian pajak tersebut WP dapat melakukan restitusi atau kompensasi. Kewajiban Ber NPWP dalam proses BPHTB Sebagai upaya untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam kewajiban perpajakan maka salah satu upaya yang dilakukan oleh DJP adalah melalui transaksi jual beli properti. Untuk itu DJP perlu memonitor setiap pemenuhan kewajiban perpajakan WP yang akan dipantau melalui mekanisme pencantuman NPWP. Dasar hukum proses ini adalah Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-35/PJ/2008 tanggal 9 September 2008 tentang Kewajiban Pemilikan NPWP Dalam Rangka Pengalihan Hak Atas Tanah/Bangunan. Dalam hal ini berarti bahwa baik penjual maupun pembeli wajib memiliki NPWP kecuali:
|