Kenapa banyak orang yang mengingkari iman

Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

Matan

Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu berkata,

وَالَّذِي نَفْسُ ابْنِ عُمَر بِيَدِهِ لَوْ كَانَلِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَهُ اللَّهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ.

“Demi Allah yang jiwa Ibnu Umar berada di tangan-Nya, seandainya salah seorang memiliki emas sebesar gunung Uhud, lalu dia infakkan di jalan Allah, niscaya Allah tidak akan menerimanya sampai dia beriman kepada takdir.”

Kemudian Ibnu ‘Umar membaca sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

الْإِيْمَان أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

“Iman itu adalah engkau beriman kepada Allah, kepada malaikat-malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada Rasul-rasul-Nya, kepada hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang buruk maupun yang baik.” (HR. Muslim)

Syarah

Dalil pertama yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah adalah tentang bagaimana bahayanya seseorang yang mengingkari takdir, yaitu orang yang mengingkari takdir akan keluar dari Islam. Di antara rukun iman adalah beriman kepada takdir, dan barangsiapa yang mengingkari salah satu dari rukun iman maka dia kafir. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Maidah: 5)

Rukun iman ada enam, jika sekiranya seseorang beriman dengan lima rukun iman, kemudian mengingkari satu di antaranya, maka dia telah kafir. Oleh karena itu enam rukun iman harus dimana sepenuhnya, tidak boleh seseorang hanya beriman dengan sebagian dan kufur dengan sebagian yang lainnya.

Hadits ini adalah hadits pertama dalam Kitabul Iman dalam Shahih Muslim. Hadits ini menceritakan tentang dua orang yang datang kepada Ibnu ‘Umar dan bercerita tentang munculnya sebagian orang yang membahas lebih dalam tentang takdir, di mana salah seorang di antara mereka bernama Ma’bad Al-Juhani di Bashrah. Ma’bad Al-Juhani ini mengatakan bahwa suatu perkara adalah suatu yang baru, dan Allah tidak tahu sebelumnya. Maka Ibnu ‘Umar mengomentari tentang sekelompok orang yang berdalam-dalam tentang ilmu takdir ini sehingga menjadikan mereka berpendapat bahwa setiap perkara adalah suatu yang baru dan Allah tidak tahu sebelumnya, maka Ibnu ‘Umar berkata,

فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ، وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي، لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ

“Apabila kamu bertemu orang-orang tersebut, maka kabarkanlah kepada mereka bahwa saya berlepas diri dari mereka, dan bahwa mereka berlepas diri dariku, seandainya salah seorang memiliki emas sebesar gunung Uhud, lalu dia infakkan di jalan Allah, niscaya Allah tidak akan menerimanya sampai dia beriman kepada takdir. ”([1])

Bisa kita bayangkan, gunung Uhud memiliki panjang kurang lebih delapan kilo meter dan lebar kurang lebih 2-3 kilo meter, dan tinggi lebih dari 100 meter, tentunya jika seseorang memiliki emas sebesar gunung Uhud tentu sangat berat. Akan tetapi meskipun orang tersebut menginfakkan gunung emasnya tersebut dan dia ikhlas di jalan Allah Subhanahu wa ta’ala, tidak akan diterima infaknya sampai dia beriman dengan takdir. Ini menunjukkan bahwa seseorang harus beriman dengan seluruh rukun iman yang ada.

Matan

Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu, dia berkata kepada anaknya,

يَا بُنَيَّ إِنَّكَ لَنْ تَجِدَ طَعَمَ الْإِيْمَانِ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَك، وَمَا أَخْطَأَك لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَك. سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم يقول: إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ. يَا بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ مِنِّي

“Wahai putraku, sesungguhnya engkau tidak akan bisa merasakan manisnya iman sampai kamu meyakini bahwa apa yang telah ditakdirkan menimpa dirimu tidak akan pernah meleset darimu, dan apa yang Allah telah ditakdirkan tidak menimpamu maka pasti tidak akan menimpamu. Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Pertama kali yang Allah ciptakan adalah pena, lalu Allah berfirman kepadanya: ‘Tulislah!’ Pena itu menjawab, ‘Wahai Rabb, apa yang harus aku tulis?’ Allah menjawab: ‘Tulislah semua takdir yang akan terjadi hingga datangnya hari kiamat’. Wahai anakku, aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Barangsiapa meninggal tidak di atas keyakinan seperti ini maka ia bukan dari golonganku’.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)

Dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan dengan lafal,

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ الله تَعَالَى الْقَلَم، فَقَالَ لَه: اكْتُبْ، فَجَرَى فِي تِلْكَ السَّاعَةِ بِمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Sesungguhnya pertama kali yang diciptakan Allah Ta’ala adalah Al-Qalam (pena), kemudian Allah berfirman kepadanya, ‘Tulislah’. Maka ditulislah apa yang akan terjadi hingga hari kiamat.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Wahhab bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَمَنْ لَمْ يُؤْمِنْ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ أَحْرَقَهُ اللهُ بِالنَّارِ

“Barangsiapa yang tidak beriman dengan takdir baik maupun buruk, maka Allah akan membakarnya dengan api neraka.”

Diriwayatkan Musnad Imam Ahmad dan Kutubussunan, dari Ibnu Dailami dia berkata,

أَتَيْتُ أُبَيَّ بنَ كَعْبٍ فَقُلْتُ فِي نَفْسِي شَيْءٌ مِنَ الْقَدرِ، فَحَدِثْنِي بِشَيْءٍ لَعَلَّ اللهَ يُذْهِبُهُ مِنْ قَلبِي. فَقَالَ: لَوْ أَنْفَقْتَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا قَبِلَهُ اللهُ مِنْكَ حَتَّى تُؤْمنَ بِالقدرِ، وَتَعلمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَك، وَمَا أَخْطَأَك لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَك، وَلَوْ مِتَّ عَلَى غيرِ هذَا لَكُنْتَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ. قَالَ: فَأَتَيْتُ عَبدَ الله بنَ مَسْعُودٍ وَحُذَيْفَةَ ابنَ اليَمَانِ وَزَيد بن ثَابِت، فَكُلُّهُمْ حَدَّثَنِي بِمِثْلِ ذَلِكَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم

“Aku datang kepada Ubai bin Ka’ab, kemudian aku katakan kepadanya ‘Ada sesuatu di hatiku (yang mengganjal) tentang masalah takdir, maka sampaikanlah kepadaku suatu hadits yang dengannya semoga dapat menghilangkan kejanggalan dalam hatiku’. Maka Ubay bin Ka’ab berkata (sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam), ‘Seandainya engkau menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya Allah tidak akan menerimanya dari sampai engkau beriman kepada takdir, dan kamu meyakini bahwa apa yang telah ditakdirkan mengenaimu tidak akan meleset darimu, dan apa yang telah ditakdirkan tidak mengenaimu pasti tidak akan menimpau, dan jika kamu mati dalam keadaan tidak meyakini hal ini pasti kamu termasuk penghuni neraka Jahannam’. Kemudian aku mendatangi Abdullah Ibnu Mas’ud, Hudzifah bin Yaman, dan Zaid bin Tsabit, semuanya mengatakan kepadaku hadits yang sama dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (yang disampaikan Ubay bin Ka’ab).” (Hadits sahih riwayat Al-Hakim dalam Shahihnya)

Syarah

Pembahasan masalah takdir adalah pembahasan yang penting dalam masalah tauhid, bahwasanya di antara kesempurnaan tauhid seseorang adalah dia beriman kepada takdir Allah Subhanahu wa ta’ala. Kebanyakan orang yang menyimpang dalam takdir karena menggunakan akal yang berlebihan sebagaimana yang dilakukan oleh Ma’bad Al-Juhani, dia terlalu dalam menggunakan akalnya sampai memperdalam pada hal-hal di luar ranah akal tersebut. Oleh karenanya banyak orang yang mengingkari takdir dan terjerumus dalam penyimpangan takdir karena menggunakan akal di luar ranahnya.

A. Muqaddimah

Takdir (القَدَرُ/التَّقْدِيْرُ) secara bahasa artinya adalah penentuan perencanaan untuk menyusun dan melakukan tindakan (eksekusi). Contoh seperti seorang Developer/Kontraktor tatkala ingin membangun rumah, maka sebelum dia membangun rumah dia harus menakdirkan terlebih dahulu segala perkiraan-perkiraan yang akan dia bangun, kemudian setelah itu dia mengerjakan apa yang telah dia rencanakan, inilah yang disebut menakdir sebelum eksekusi. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman tentang takdir,

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

“Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (perencanaan).” (QS. Al-Qamar: 49)

Ada beberapa pembahasan yang perlu untuk kita ketahui sebelum kita membahas lebih jauh tentang takdir.

  1. الْقَدر سِرُّ الله (Takdir itu rahasia Allah)

Takdir adalah rahasia Allah, tidak ad yang mengetahui hakikatnya baik nabi maupun malaikat, bahkan tidak ada yang mengetahui isi Lauhul Mahfudz kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya datang dalam sebagian perkataan para salaf, di antaranya Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu ketika dia ditanya,

يَا أَبَا الْحَسَنِ مَا تَقُولُ فِي الْقَدَرِ؟ فَقَالَ: طَرِيقٌ مُظْلِمٌ فَلَا تَسْلُكْهُ، فَقَالَ: يَا أَبَا الْحَسَنِ مَا تَقُولُ فِي الْقَدَرِ؟ فَقَالَ: بَحْرٌ عَظِيمٌ فَلَا تَلِجْهُ، فَقَالَ: يَا أَبَا الْحَسَنِ مَا تَقُولُ فِي الْقَدَرِ؟ فَقَالَ: سِرُّ اللَّهِ فَلَا تَكَلَّفْهُ

“Wahai Abu Hasan, apa pendapatmu tentang takdir”. Ali bin Abi Thalib berkata, ‘Takdir itu jalan yang gelap, jangan engkau lewati’. Kemudian dia bertanya, ‘Wahai Abu Hasan, apa pendapatmu tentang takdir’, Ali bin Abi Thalib menjawab, ‘Takdir itu lautan yang sangat dalam, jangan engkau masuk ke dalamnya’. Kemudian dia bertanya lagi, ‘Wahai Abu Hasan, apa pendapatmu tentang takdir’. Ali bin Abi Thalib menjawab, ‘Takdir adalah rahasia Allah, jangan engkau cari-cari’.”([2])

Sebab takdir adalah rahasia Allah, maka Allah mengingatkan dalam firman-Nya,

لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ

“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah (manusia) yang akan ditanya.” (QS. Al-Anbiya’: 23)

Sesungguhnya manusia tidak ditugaskan untuk menghisab Allah, akan tetapi manusialah yang akan dihisab oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.

  1. الْعَقل لَهُ حَدّ (Kemampuan akal terbatas)

Pendapat yang mengatakan bahwa kemampuan akal terbatas adalah hal yang benar, sebagaimana indra-indra manusia yang lain juga terbatas. Contohnya adalah mata kita, kita tidak mampu untuk melihat matahari secara langsung, kita tidak mampu melihat cahaya tatkala mengelas secara langsung, dan bahkan virus kecil mematikan pun kita tidak bisa lihat dengan mata kepala kita, itu karena mata kita terbatas kemampuannya. Demikian pula dengan pendengaran, kita tidak mampu mendengar suara dari kejauhan, kita tidak mampu mendengar orang yang berbisik-bisik, dan yang lainnya. Intinya indra yang kita miliki memiliki keterbatasan. Oleh karena itu, akal yang kita miliki juga memiliki batas dan ranah pikirnya sendiri, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hanifah rahimahullah bahwa seseorang yang semakin dalam membahas takdir maka dia seperti melihat matahari, semakin lama dia menatap matahari maka matanya akan semakin sakit, semakin dalam dia membahas takdir maka dia semakin bingung([3]).

Mengapa kemampuan akal terbatas? Logikanya, jika seseorang ingin mengetahui rahasia takdir Allah, maka dia harus melewati akal Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, akal para malaikat, dan yang selevel dengan ilmu Allah. Ketahuilah, jangankan berpikir tentang akhirat yang gaib, berpikir tentang perkara dunia saja sering akal kita tidak sampai dan tidak mampu untuk memikirkannya. Sering penulis sampaikan, sampai saat ini saja banyak di antara kita yang akalnya masih tidak bisa memikirkan bagaimana bisa suara seseorang yang berada di kutub utara sampai kepada orang yang ada di kutub selatan hanya dengan telepon genggam yang amat kecil. Orang-orang yang paham mungkin bisa mengetahuinya, akan tetapi kita belum tentu sampai akal kita tentang hal tersebut. Demikian pula dengan apa yang ada di dalam tubuh kita, kita tidak mengetahui dengan pasti apa yang di dalam tubuh kita. Kita tidak tahu bagaimana cara kerja virus sehingga bisa membuat kita sakit. Artinya, banyak hal yang tidak bisa kita pikirkan karena akal kita belum mampu dan belum sampai untuk memikirkannya. Maka jika pada perkara-perkara dunia saja kita terbatas dalam memikirkannya, maka bagaimana lagi dengan perkara akhirat?

Ada beberapa hal gaib yang kita dilarang untuk memikirkannya, di antaranya:

Pertama: Dilarang memikirkan tentang Dzat Allah. Tentunya kita tidak mampu memikirkan Dzat Allah, maka kita dilarang untuk memikirkannya. Dalam hadits disebutkan,

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْتِي أَحَدَكُمْ، فَيَقُولُ: مَنْ خَلَقَ السَّمَاءَ؟ فَيَقُولُ: اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، فَيَقُولُ: مَنْ خَلَقَ الْأَرْضَ؟ فَيَقُولُ: اللَّهُ، فَيَقُولُ: مَنْ خَلَقَ اللَّهَ؟ فَإِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ ذَلِكَ، فَلْيَقُلْ: آمَنْتُ بِاللَّهِ وَبِرُسُلِهِ

“Sesungguhnya syaithan datang kepada salah seorang dari kalian dan berkata: ‘Siapa yang menciptakan langit?’ maka dia berkata: ‘Allah ‘azza wajalla’. Lalu syaithan bertanya kepadanya: ‘Siapa yang menciptakan bumi?’ dia berkata: ‘Allah’. Syaithan bertanya lagi: ‘Siapa yang menciptakan Allah?’ Jika salah seorang dari kalian mendapatkan hal semacam ini hendaklah ia berkata: ‘Aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya’.”([4])

Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Pencipta, maka Allah tidaklah diciptakan. Akan tetapi syaithan akan datang memberikan syubhat dalam pikiran kita untuk kita memikirkan hal-hal yang tidak benar, di antaranya tentang siapa pencipta Allah. Oleh karena itu, memikirkan tentang Dzat Allah adalah terlarang, karena hal tersebut tidak benar, dan juga di luar daripada kemampuan kita untuk memikirkannya.

Kedua: Dilarang memikirkan kaifiyah sifat atau Dzat Allah. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (Allah). Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura’: 11)

Maka bagaimana pun kita memikirkan tentang Allah maka pasti kita akan keliru.

Ketiga: Tidak boleh berpikir tentang rahasia takdir. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

وَإِذَا ذُكِرَ الْقَدَرُ فَأَمْسِكُوا

“Dan apabila disebutkan tentang takdir maka tahanlah diri kalian (untuk berbicara).” ([5])

Sesungguhnya tentang ruh akal kita tidak sampai, tentang jin akal kita juga tidak sampai, dan banyak hal lain yang akal kita tidak sampai termasuk masalah takdir. Oleh karenanya yang perlu untuk kita lakukan terkait takdir Allah adalah husnuzan dan yakin kepada Allah bahwasanya semua yang Dia takdirkan di atas hikmah yang Dia kehendaki.

  1. Semua yang Allah tetapkan pasti ada hikmah di baliknya

Sebagian kejadian kita tahu hikmahnya, dan itu adalah karunia dari Allah, di mana Allah Subhanahu wa ta’ala memberitahukan kepada kita hikmah atas apa yang menimpa kita. Akan tetapi banyak kejadian yang Allah sembunyikan hikmahnya sebagai ujian bagi seorang hamba. Ingatlah ketika orang-orang musyrikin Arab protes kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka berkata,

أَهَؤُلَاءِ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَيْنِنَا أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ

“Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah? (Allah berfirman), ‘Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang mereka yang bersyukur (kepada-Nya)?’.” (QS. Al-An’am: 53)

Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ سَيُصِيبُ الَّذِينَ أَجْرَمُوا صَغَارٌ عِنْدَ اللَّهِ وَعَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا كَانُوا يَمْكُرُونَ

“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya. Orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan azab yang keras karena tipu daya yang mereka lakukan.” (QS. Al-An’am: 124)

Mungkin kita bertanya-tanya, kenapa kerasulan diberikan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam? Kenapa tidak ke yang lain? Mungkin kita bertanya Iblis dijadikan sesat? Kenapa Nabi Adam ‘alaihissalam di turunkan ke Bumi? Kenapa Allah menciptakan makhluk? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini di luar kemampuan kita, akal kita tidak mampu untuk memikirkannya. Hanya saja syaithan datang kepada kita dan membisikkan kepada kita pikiran-pikiran tersebut. Maka dari itu, kita harus yakin bahwasanya di balik apa-apa yang Allah tetapkan itu pasti ada hikmahnya, di mana terkadang sebagian Allah buka hikmahnya, dan lebih banyak dari itu yang Allah tutup hikmahnya dari kita sebagai bentuk ujian kepada kita hamba-hamba-Nya.

  1. Buah beriman kepada takdir Allah

Banyak hal yang akan didapatkan oleh seorang hamba apabila dia beriman dengan takdir Allah Subhanahu wa ta’ala, di antaranya:

Pertama: Dia selalu husnuzan kepada Allah. Ketika kita melihat alam semesta yang begitu rapi, kita melihat bahwa hal itu menunjukkan bagaimana hebatnya penciptanya. Melihat matahari yang beredar ditempatnya, tidak pernah berpindah dari tempatnya, tidak pernah terlambat untuk terbit dan terbenam, yang mungkin itu telah terjadi entah berapa ribu tahun lamanya, kita jadi menyadari bahwa Allah adalah pencipta yang luar biasa. Ketika kita kagum dengan apa yang diciptakan oleh Allah, maka kita harus yakin bahwasanya tatkala Allah menakdirkan roda kehidupan di alam semesta ini pasti juga dengan sangat luar biasa dan penuh hikmah, sehingga kemudian kita senantiasa berhusnuzan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Kita semakin sadar bahwasanya Allah lebih tahu apa yang Dia tetapkan, adapun kita tidak tahu apa-apa. Kita semakin sadar bahwasanya yang Allah urus adalah alam semesta, bukan hanya diri kita seorang, sehingga Allah tentu lebih tahu dengan apa yang dia lakukan.

Kedua: Sabar tatkala terkena musibah. Kita tentu sudah sangat paham bahwa semuanya sudah ditakdirkan, baik kebaikan maupun keburukan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ، لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfudzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid: 22-23)

Ketika kita terkena musibah maka cukuplah kita mengucapkan,

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ، قَدَّرَ اللَّهُ، وَمَا شَاءَ فَعَلَ

“Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali. Telah menjadi ketentuan Allah, Ia melakukan sesuatu yang dikehendaki-Nya.”

Lihatlah ‘Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, ketika dia ditikam oleh Abdurrahman bin Muljam dia berkata,

وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا

“Dan ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.”([6])

Demikian pula Thalhah bin Ubaidillah ketika ditikam saat perang Jamal, dia juga berkata,

وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا

“Dan ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.”([7])

Artinya ‘Umar dan Thalhah yakin bahwasanya mereka telah ditakdirkan meninggal tatkala itu, dan tidak ada yang bisa keluar dari takdir Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, ketika kita tertimpa sesuatu maka hendaknya kita meyakini bahwasanya hal tersebut telah Allah tetapkan, dan Allah melakukan apa yang Dia kehendaki, dan itu akan menjadikan kita jadi sabar ketika tertimpa musibah, terlebih lagi jika seseorang meyakini bahwa Allah memiliki hikmah yang sempurna.

Di antara cara agar seseorang bisa sabar ketika ditimpa musibah adalah dia yakin bahwasanya apa yang menimpanya telah ditetapkan 50.000 tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi([8]). Maka jika kita ditimpa musibah, kita boleh bersedih akan tetapi tidak perlu berlebihan, karena semuanya terjadi karena telah ditakdirkan. Ketahuilah bahwa seringnya kita tidak bahagia karena tidak beriman dengan takdir. Betapa sering kita dapati orang yang sangat gelisah berlebihan, akhirnya dia suuzan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala tentang masa depannya.

Ketiga: Menjadikan orang tidak sombong atas prestasinya. Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman,

وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

“Dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid: 23)

Ketika seseorang berusaha dalam suatu urusan kemudian dia berhasil, jika dia orang yang beriman dengan takdir maka dia akan merasa bahwa keberhasilannya tersebut adalah karena takdir Allah, adapun dirinya hanya menjalankan apa yang Allah takdirkan. Sesungguhnya masih banyak orang yang lebih pintar dari kita, masih banyak orang yang lebih giat berusaha daripada kita, namun ternyata mereka tidak meraih keberhasilan yang mereka usahakan, itu semua adalah karena takdir Allah Subhanahu wa ta’ala.

Di antara hal yang tidak boleh kita sombongkan adalah iman dan Islam kita, karena sesungguhnya kita tidak tahu bagaimana penghujung hidup kita, kita tidak tahu apakah kita meninggal dalam keadaan husnul khatimah atau su’ul khatimah waliya’udzubillah. Kita tidak tahu bagaimana kesudahan hidup kita karena tidak ada yang tahu apa-apa yang Allah telah tetapkan, baik Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam maupun malaikat. Oleh karena mengetahui bahwa Allah yang telah menetapkan segala takdir, dan ketidaktahuan kita dengan apa yang akan datang akan menjadikan kita tidak sombong dengan apa yang kita raih.

Keempat: Qana’ah dengan rezeki yang Allah berikan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا، فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ، خُذُوا مَا حَلَّ، وَدَعُوا مَا حَرُمَ

“Sesungguhnya sebuah jiwa tidak akan mati hingga terpenuhi rezekinya meski tersendat-sendat. Bertakwalah kepada Allah, carilah yang baik dalam mencari dunia, ambilah yang halal dan tinggalkan yang haram.”([9])

Oleh karena rezeki telah ditentukan, maka carilah rezeki dengan cara yang halal. Sesungguhnya kita tidak pernah tahu jika kita memiliki harta yang banyak kita bisa lupa diri, kita bisa sombong, kita bisa lupa beribadah, kita tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Maka apa yang Allah berikan kita hendaknya berusaha cari dan kita qana’ah (merasa cukup) dengan apa yang Allah berikan kepada kita, karena kita tahu bahwasanya rezeki kita tidak akan tertukar, dan pasti Allah berikan kepada kita. Maka ingatlah bahwa kehidupan kita ini telah ditetapkan oleh Allah, dan biarkan Allah menjalankan urusannya, tugas kita hanyalah bertakwa dan beribadah kepada Allah, adapun urusan rezeki adalah urusan Allah.

Kelima: Berusaha dan bertawakal. Orang yang beriman dengan takdir maka dia pasti memiliki tawakal yang tinggi kepada Allah, karena dalam hadits disebutkan,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ، فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

Berusahalah (semangat) dengan sungguh-sungguh terhadap apa yang berguna bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah kamu menjadi orang yang lemah. Apabila kamu tertimpa suatu kemalangan, maka janganlah kamu mengatakan; ‘Seandainya tadi saya berbuat begini dan begitu, niscaya tidak akan menjadi begini dan begitu’. Tetapi Katakanlah: ‘lni sudah takdir Allah dan apa yang dikehendaki-Nya pasti akan dilaksanakan-Nya’. Karena sesungguhnya ungkapan kata ‘law’ (seandainya) akan membukakan jalan bagi godaan syaithan.”([10])

Jika kita berbicara tentang para sahabat, mengapa mereka berani untuk berjihad? Tidak lain karena mereka sudah tahu bahwa ajal mereka telah ditentukan oleh Allah, kalau belum ajal mereka maka mereka pasti tidak akan mati di medan pertempuran. Lihatlah Khalid bin Walid yang masuk dalam berbagai medan pertempuran, betapa banyak peperangan yang dia jalani namun ternyata dia tidak meninggal, namun ternyata dia meninggal di atas tempat tidurnya karena sakit. Oleh karena itu, tugas kita hanyalah berusaha dan menunggu bagaimana takdir Allah Subhanahu wa ta’ala, karena takdir tidak mengajarkan kita untuk bersikap pasrah dan tinggal di rumah.

Inilah muqaddimah kita dalam pembahasan takdir. Intinya, takdir adalah salah satu keistimewaan yang Allah ajarkan melalui Nabi-Nya kepada kita umat Islam, sehingga memberikan ketenangan pada diri seseorang dalam menghadapi berbagai macam permasalahan. Beriman kepada takdir akan menjadikan hati seseorang tenang, apa pun yang terjadi dia menjadi tenang, dia menjadi husnuzan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Kegelisahan yang terjadi pada diri kita biasanya terjadi karena keimanan kita terhadap takdir Allah itu kurang. Beriman kepada takdir bukan hanya sekadar ilmu teori, akan tetapi ilmu praktik yang akan kita terapkan dalam keseharian kita, karena tidak semua apa yang kita alami adalah sesuai dengan apa yang kita inginkan, namun bagi orang yang beriman kepada takdir dengan keimanan yang baik, maka dia akan tenang dalam menghadapi berbagai macam permasalahan.

B. Tahapan-tahapan Takdir (مَرَاتِبُ الْقَدرِ

Tahapan-tahapan takdir menurut Ahlussunnah wal Jama’ah terdiri atas empat tahapan yaitu: Ilmu Allah azali, pencatatan, kehendak Allah, dan kemudian penciptaan. Sebelum kita membahas lebih jauh, perlu untuk kita ketahui bahwa tahapan-tahapan ini bukan berarti menunjukkan urutan, akan tetapi maksudnya adalah rangkaian-rangkaian terjadinya takdir, karena yang namanya kehendak dan ilmu Allah itu bersamaan.

  1. الْعِلْمُ السَّابِقُ (Ilmu Allah azali)

Allah Subhanahu wa ta’ala ketika hendak menciptakan segala apa yang terjadi di alam semesta maka Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengetahui terlebih dahulu apa yang hendak Dia ciptakan, dan inilah yang disebut الْعِلْمُ السَّابِقُ (ilmu masa lalu), yaitu ilmu Allah adalah azali.

Terdapat banyak ayat yang menjelaskan tentang hal ini, di antaranya firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Maidah: 97)

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Tidakkah engkau perhatikan, bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tidak ada lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tidak ada yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia pasti ada bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari Kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Mujadalah: 22)

Allah Subhanahu wa ta’ala mengetahui empat hal:

Pertama: Allah tahu apa yang akan terjadi

Kedua: Allah tahu apa yang telah terjadi

Ketiga: Allah tahu apa yang sedang terjadi

Keempat: Allah tahu apa yang tidak terjadi, bahkan jika seandainya terjadi Allah pun tahu hal tersebut, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

وَلَوْ رُدُّوا لَعَادُوا لِمَا نُهُوا عَنْهُ وَإِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ

Seandainya mereka dikembalikan ke dunia, tentu mereka akan mengulang kembali apa yang telah dilarang mengerjakannya. Dan sungguh mereka itu pendusta.” (QS. Al-An’am: 28)

Jadi Allah Subhanahu wa ta’ala tahu bahwa jika mereka dikembalikan di dunia mereka akan melakukan ini dan itu. Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman tentang orang-orang munafik,

لَوْ خَرَجُوا فِيكُمْ مَا زَادُوكُمْ إِلَّا خَبَالًا وَلَأَوْضَعُوا خِلَالَكُمْ يَبْغُونَكُمُ الْفِتْنَةَ وَفِيكُمْ سَمَّاعُونَ لَهُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ

“Jika (mereka berangkat bersamamu), niscaya mereka tidak akan menambah (kekuatan)mu, malah hanya akan membuat kekacauan (kerusakan), dan mereka tentu bergegas maju ke depan di celah-celah barisanmu untuk mengadakan kekacauan (di barisanmu), sedang di antara kamu ada orang-orang yang sangat suka mendengarkan (perkataan) mereka. Allah mengetahui orang-orang yang zalim.” (QS. At-Taubah: 47)

Ini semua menunjukkan bahwa Allah Maha Mengetahui segalanya, ilmu Allah meliputi segalanya.

  1. الْكِتَابَةُ (Pencatatan)

Pencatatan di sini maksudnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala mencatat ilmu-Nya yang berkaitan dengan apa yang akan Allah ciptakan “eksekusi”. Allah ceata di dalam kitab yang namanya al-Lauhul Mahfudz. Dalil akan hal ini jelas terdapat dalam Al-Quran dan hadits-hadits Nabi ﷺ.

Dalil Al-Quran

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ

“Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab, kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan.” (QS. Al-An’am: 38)

Artinya semua telah dicatat oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ

“Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas (Lauhul Mahfudzh).” (QS. Yasin: 12)

Demikian pula firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa diri kalian sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfudzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22)

Artinya, sebelum Allah ﷻ mengeksekusi (menciptakan) apa yang terjadi di alam semesta, semua telah tercatat di kitab Lauhul Mahfudzh, bahkan sampai hal-hal yang merupakan musibah.

Dalil hadits

Nabi ﷺ bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ

“Pertama kali yang Allah ciptakan adalah pena, lalu Allah berfirman kepadanya: ‘Tulislah!’ Pena itu menjawab, ‘Wahai Rabb, apa yang harus aku tulis?’ Allah menjawab: ‘Tulislah semua takdir yang akan terjadi hingga datangnya hari kiamat’.”([11])

Hadits ini sangat jelas menjelaskan bahwa takdir dicatat di Lauhul Mahfudzh. Demikian pula hadits Nabi ﷺ yang lain,

قَدَّرَ اللَّهُ المَقَادِيرَ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Allah telah menentukan takdir segala sesuatu, lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.”([12])

Tentu masih banyak dalil yang menunjukkan bahwasanya ilmu Allah azali berkaitan dengan apa yang Allah akan ciptakan itu dicatat di Lauhul Mahfudzh, dan oleh karena itu catatannya menuliskan kejadian hingga hari kiamat, karena setelah hari kiamat tidak ada lagi ujung kehidupan.

Rangkaian takdir berikutnya adalah kehendak Allah ﷻ, yaitu semua yang terjadi baik itu berupa kebaikan maupun keburukan adalah kehendak Allah, tidak ada yang keluar dari kehendak Allah. Sederhananya, ketika Allah ﷻ yang merencanakan, Allah yang mengeksekusi rencana tersebut, maka tidak ada yang keluar dari kehendak Allah ﷻ. Jika sekiranya ada yang keluar dari kehendak Allah, maka perencanaan tidak sesuai dan menunjukkan bahwa Allah tidak mampu, dan Allah bukan perencana yang baik. Tentu tidak demikian, adapun Allah ﷻ adalah sebaik-baik pencipta, sebaik-baik yang merencanakan, sebaik-baik yang mengetahui segalanya. Allah ﷻ berfirman,

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. At-Takwir: 29

Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Tetapi kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali apabila Allah kehendaki Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS. Al-Insan: 30)

Sesungguhnya manusia memiliki kehendak yang banyak, dan terangkum padanya kehendak baik dan kehendak buruk, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan bahwa tidaklah seluruh manusia berkehendak kecuali karena kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka tidak akan terjadi suatu perzinaan atas kehendak Allah sebagaimana tidak ada ibadah yang terjadi di atas muka bumi ini kecuali karena kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala.

Allah ﷻ menciptakan keburukan

Terdapat pembahasan yang sangat penting terkait hal ini, yaitu timbul pertanyaan oleh banyak orang bahwa apakah Allah menghendaki terjadi keburukan (takdir yang buruk)? Di antara iman kepada takdir adalah beriman dengan takdir yang baik maupun yang buruk. Maka jawabannya adalah benar Allah ﷻ menciptakan keburukan di alam semesta ini. Contohnya Allah ﷻ menciptakan Iblis, yang mengizinkan Iblis menggoda anak cucu Adam adalah Allah. Ini di antara yang menunjukkan bahwa Allah menciptakan keburukan.

Bagaimana bisa Allah menciptakan keburukan?

Kita tentu ingin makan enak, akan tetapi terkadang kita minum obat atau jamu yang sebenarnya kita tidak suka, akan tetapi kita harus mengkonsumsi obat-obatan tersebut karena ada kebaikan dibaliknya yaitu kesembuhan.

Contohnya pula orang yang terkena penyakit gula dan harus diamputasi, dia tentu tidak senang dengan amputasi karena mengakibatkan sebagian anggota tubuhnya akan hilang, akan tetapi dia harus melakukan amputasi yang dia anggap keburukan itu karena ada kebaikan di balik itu, yaitu jika tidak diamputasi maka akan semakin parah lukanya. Maka logikanya seperti ini, sesuatu yang dikehendaki itu ada dua:

Pertama: Ada yang dikehendaki secara dzatnya. Contohnya adalah Allah ﷻ menghendaki adanya Nabi, dan hal ini tentunya berkaitan dengan kebaikan. Contoh lain seperti makan dan minum, yang seperti ini berkaitan dengan kehendak yang berkaitan dengan dzatnya.

Kedua: Ada yang dikehendaki terjadi karena perkara yang lainnya (مَا أريدَ لِغَيْرِهِ). Contohnya adalah Allah menciptakan Iblis. Kita tahu bahwa Iblis adalah buruk, akan tetapi Allah menakdirkan adanya Iblis karena ada kebaikan-kebaikan dibalik terjadinya Iblis. Jika ditinjau dari Iblisnya tentu Allah tidak menyukai Ibilis, akan tetapi jika ditinjau dari kebaikan-kebaikan yang akan muncul dengan adanya Iblis maka Allah mencintai kebaikan-kebaikan yang akan muncul tersebut. Di antara kebaikan-kebaikan yang akan muncul dengan adanya Iblis adalah dengan adanya Iblis maka ada pula surga dan neraka. Adanya Iblis akan ada orang-orang yang bertaubat, karena jika Iblis tidak ada maka siapa yang berbuat dosa lantas bertaubat? Di antaranya pula dengan adanya Iblis akan tampak sifat Allah Al-Ghafur dan Ar-Rahim. Dengan adanya Iblis seseorang akan tahu bahwa dirinya lemah sehingga dia bergantung kepada Allah ﷻ. Dengan adanya Iblis maka ada jihad di jalan Allah, akan terlihat hamba-hamba-Nya yang rela mengorbankan nyawanya karena Allah ﷻ. Dengan adanya Iblis akan tampak wali-wali Allah yang rela mengeluarkan hartanya di jalan Allah ﷻ. Dengan adanya Iblis Allah menunjukan bahwa Allah bisa menciptakan dua hal yang kontradiktif, Allah menciptakan Jibril dan Iblis, Muhammad dan Abu Jahl, Musa dan Firáun, Surga dan Neraka, kasih sayang dan kebengisan, kebaikan dan kejahatan, kedermawanan dan pelit, dan lain sebagaimnya. Semua kebaikan-kebaikan dan masalahat ini terjadi karena sebab Iblis. Maka Iblis asalnya adalah suatu yang buruk, akan tetapi ketika kita merenungkan ternyata dengan adanya Iblis akan ada hikmah-hikmah dibalik penciptaannya. Inilah yang dimaksud dengan takdir buruk yang Allah kehendaki, namun ada perkara baik di balik kejadian buruk tersebut.

Maka jika dengan adanya Iblis (yang merupakan puncak keburukan dan kejahatan) kita bisa melihat adanya perkara-perkara baik dibalik Iblis, maka tentu hal tersebut berlaku pada perkara-perkara buruk lainnya. Apakah sebelum menciptakan Iblis Allah tahu bahwa Iblis akan berbuat keburukan? Tentu Allah mengetahuinya dan mengizinkannya, akan tetapi dibalik kehendak tersebut ada hikmah dan kebaikan-kebaikan yang banyak([13]).

Contoh lain seperti Allah ﷻ berfirman tentang menciptakan keburukan,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)

Ayat ini jelas menunjukkan bahwa Allah menciptakan keburukan di laut dan di bumi, padahal kita tahu bahwa Allah tidak suka dengan kerusakan (keburukan)([14]). Lantas mengapa Allah menciptakan kerusakan tersebut? Lihatlah di akhir ayat Allah ﷻ mengatakan bahwa menciptakan kerusakan di daratan dan di lautan tujuannya adalah agar manusia merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka sadar. Jadi, kerusakan yang Allah ciptakan yang menurut kita keburukan memiliki tujuan atau kehendak lain di balik hal tersebut, dan tentunya di balik hal tersebut adalah kebaikan atau maslahat-maslahat. Jadi, ini adalah contoh sederhana bahwasanya pada sesuatu yang buruk Allah menghendaki sesuatu di baliknya. Contoh lain seperti yang dilakukan oleh Nabi Khadir, ketika dia bertemu seorang anak dia kemudian memenggal kepalanya hingga meninggal. Tentu kita mengatakan bahwa membunuh adalah suatu perkara yang buruk, akan tetapi ternyata di balik itu ada kehendak Allah yang lain, yaitu anak tersebut jika masih hidup akan menjerumuskan orang tuanya kepada kekufuran di kemudian hari, maka Nabi Khadir pun kemudian membunuh anak tersebut. Inilah contoh-contoh agar kita bisa berpikir bahwa ternyata kejadian buruk yang Allah ciptakan itu memiliki hikmah di baliknya. Oleh karena itu, Allah ﷻ menghendaki kebaikan dan menghendaki keburukan. Akan tetapi perlu untuk kita ketahui bahwasanya perbuatan Allah tidak ada yang buruk, keburukan yang Allah ﷻ ciptakan asalnya bukanlah keburukan, karena dibalik penciptaan itu ada hikmah-hikmah yang luar biasa.

Penyimpangan Qadariyah dan Jabariyah

Berkaitan dengan pembahasan “Kehendak Allah” ini, telah menyimpang dua kelompok yaitu Qadariyah dan Jabariyah. Kedua kelompok tersebut menyimpang dengan satu kesalahan yang sama, yaitu mereka mengatakan bahwa Allah ﷻ hanya menghendaki kebaikan dan tidak mungkin Allah menghendaki terjadinya keburukan, padahal kita telah menjelaskan bahwa kebaikan dan keburukan semuanya dikehendaki oleh Allah ﷻ, dan keburukan yang Allah kehendaki tersebut pada hakikatnya ada kebaikan-kebaikan di baliknya.

Keyakinan mereka ini bahwa “Allah hanya menghendaki kebaikan” menjadikan mereka berkesimpulan “Semua yang Allah kehendaki pasti Allah cintai”, dan selanjutnya “Semua yang Allah ciptakan pasti Allah kehendaki, dan semua yang Allah kehendaki pasti baik, maka semua yang Allah ciptakan pasti baik”.

Setelah itu, keduanya kemudian bersimpang jalan,

Jabariyah menyatakan bahwa semua yang terjadi (kebaikan dan keburukan, ketaatan dan kemaksiatan) adalah kehendak Allah, dan semua yang kehendak Allah pasti dicintai oleh Allah ﷻ. Karena kemaksiatan adalah ciptaan Allah berdasarkan kehendak Allah, maka melazimkan Allah juga mencintai kemaksiatan.

Qadariyah menyatakan bahwa di dunia terjadi kebaikan dan keburukan, adapun keburukan terjadi bukan karena kehendak Allah karena Allah tidak mencintai keburukan.

Dari pernyataan Qadariyah, timbul pertanyaan, jika demikian lantas siapakah yang menghendaki dan menciptakan keburukan?. Apakah ada pencipta selain Allah di alam semesta ini?. Inilah sebabnya Qadariyah dikatakan sebagai kaum Majusinya umat Islam, karena seakan-akan mereka seperti orang-orang Majusi yang meyakini adanya tuhan api yang menciptakan kebaikan-kebaikan dan tuhan kegelapan yang menciptakan keburukan. Akhirnya, orang-orang Majusi mengakui adanya dua tuhan, satu yang menghendaki keburukan dan satunya lagi menghendaki keburukan. Dan telah datang dalam sebuah hadits yang statusnya diperselisihkan oleh para ulama bahwa Nabi ﷺ bersabda,

الْقَدَرِيَّةُ مَجُوسُ هَذِهِ الْأُمَّةِ: إِنْ مَرِضُوا فَلَا تَعُودُوهُمْ، وَإِنْ مَاتُوا فَلَا تَشْهَدُوهُمْ

“Kaum Qadariyah adalah majusinya umat ini, jika sakit maka jangan kalian jenguk mereka, dan jika mati maka jangan kalian iringi jenazahnya.”([15])

Kelaziman dari perkataan orang-orang Qadariyah yang mengatakan bahwa keburukan bukan kehendak Allah adalah seakan-akan ada tuhan lain yang menghendaki keburukan tersebut, sehingga seakan-akan ada sesuatu yang terjadi di alam semesta ini yang di luar dari kehendak Allah yang artinya ada tuhan lain selain Allah, oleh karenanya mereka di katakan sebagai kaum Majusi umat ini([16]).

Adapun Jabariyah, mereka mengatakan bahwa semua yang terjadi atas kehendak Allah, dan semua yang dikehendaki Allah adalah dicintai oleh Allah. Jika demikian, maka kelazimannya adalah mereka mengatakan bahwa keburukan semuanya dicintai oleh Allah. Bantahannya tentu sangat mudah, yaitu Allah menghendaki keburukan bukan karena mencintai keburukan tersebut, akan tetapi karena Allah menghendaki terjadinya hal lain berupa kebaikan-kebaikan atau maslahat di balik keburukan tersebut.

Rangkaian takdir berikutnya adalah penciptaan dari seluruh perencanaan takdir. Maksud penciptaan di sini yaitu semua yang terjadi baik itu berupa kebaikan atau pun keburukan, semua diciptakan oleh Allah, tidak ada yang terjadi keluar dari ciptaan Allah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ، حَتَّى الْعَجْزِ وَالْكَيْسِ

“Segala sesuatu itu sesuai takdirnya, hingga kelemahan dan kecerdasan.”([17])

Hadits ini menunjukkan bahwa semuanya adalah ciptaan Allah, baik Nabi, Iblis, kebaikan, keburukan, kemaksiatan, semua diciptakan oleh Allah termasuk perbuatan seorang hamba.

C. Sikap kelompok-kelompok terhadap takdir

Sikap kelompok-kelompok terhadap takdir secara umum kita bisa bagi menjadi tiga kelompok, yaitu sikap kelompok Al-Qadariyah, sikap kelompok Jabariyah, dan sikap Ahlussunnah wal Jama’ah.

  1. القَدَرِية (Kelompok penolak takdir)

Kelompok penolak takdir terbagi menjadi dua kelompok,

  • غُلَاة القَدَرية (Qadariyah ekstrem)

Kelompok Qadariyah ini maksudnya adalah kelompok Qadariyah yang paling fanatik. Qadariyah ekstrem ini, sikap mereka terhadap takdir adalah mengingkari ilmu Allah azali (عِلْمُ اللهِ السَّابِق) dan pencatatan (الكِتَابَة), jadi mereka mengingkari tingkatan pertama dan kedua dari tahapan-tahapan (rangkaian) takdir. Dan jika mereka menginkari tingkatan ilmu Allah azali, maka seharusnya melazimkan mereka mengingkari semua tingkatan, karena penciptaan (eksekusi) juga dibangun oleh ilmu Allah sebelum mencipta. Demikian juga kehendak tidak terbayangkan kecuali diatas ilmu.

Kelompok ini diwakili oleh Ma’bad Al-Juhani. Sebagaimana kita telah singgung di awal pembahasan, Ma’bad Al-Juhani dan kelompok Qadariyah ekstrem ini mengatakan bahwa suatu perkara baru yang terjadi itu tidak diketahui oleh Allah ﷻ. Oleh karenanya, menurut mereka Allah ﷻ hanyalah mencipta, lalu kemudian membiarkan ciptaan-Nya tanpa tahu apa yang akan dilakukan oleh ciptaan-Nya([18]). Dengan demikian, para ulama sepakat bahwa mereka kafir, keluar dari Islam karena tidak beriman dengan takdir.

Kelompok Qadariyah selanjutnya adalah kelompok Qadariyah yang tidak ekstrem, dan mereka diwakili oleh orang-orang Mu’tazilah. Kelompok Qadariyah ini menetapkan bahwa ilmu Allah azali dan pencatatan takdir, akan tetapi mereka mengingkari tingkatan takdir kehendak (المشيئة) dan penciptaan (الْخَلق). Sebagaimana telah kita sebutkan sebelumnya bahwa Allah tidak berkehendak pada hal-hal yang buruk sehingga Allah tidak menciptakan keburukan. Oleh karena perbuatan manusia ada yang baik dan ada yang buruk, maka menunjukkan bahwa Allah ﷻ tidak menciptakan perbuatan manusia.

Konsekuensi dari keyakinan mereka adalah:

Pertama: Ada kejadian di alam semesta di luar kehendak Allah ﷻ. Hal ini melazimkan pernyataan bahwa ada Tuhan lain yang berkehendak.

Kedua: Ada kejadian atau makhluk di alam semesta ini yang bukan ciptaan Allah ﷻ. Hal ini juga melazimkan bahwa ada Tuhan lain di alam semesta ini yang menciptakan.

Mereka tentu tidak mengatakan bahwa ada Tuhan yang lain, akan tetapi dua hal inilah yang merupakan konsekuensi atau kelaziman dari perkataan dan keyakinan mereka bahwa Allah tidak menghendaki keburukan. Sebab dua konsekuensi inilah akhirnya mereka disebut oleh Nabi ﷺ,

الْقَدَرِيَّةُ مَجُوسُ هَذِهِ الْأُمَّةِ: إِنْ مَرِضُوا فَلَا تَعُودُوهُمْ، وَإِنْ مَاتُوا فَلَا تَشْهَدُوهُمْ

“Kaum Qadariyah adalah majusinya umat ini, jika sakit maka jangan kalian jenguk mereka, dan jika mati maka jangan kalian iringi jenazahnya.”([19])

Menurut mereka, kesimpulan dari konsekuensi akidah mereka ini adalah bahwasanya Allah ﷻ hanya sekadar mengetahui bahwa akan terjadi demikian dan demikian, namun hal tersebut tidak diciptakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Tentunya kita katakan bahwa hal tersebut adalah tidak benar, karena sebagaimana yang telah kita bahas bahwa takdir adalah perencanaan Allah ﷻ, Allah yang merencanakan dan mencatatnya, kemudian Allah yang mengeksekusi apa yang Dia telah rencanakan. Hal ini sangat penting untuk kita ketahui karena banyak orang terjerumus dan jatuh dalam kesalahan ini, bahkan sebagian Da’i terjerumus dalam kesalahan ini. Mungkin sepintas logika mereka masuk akal, akan tetapi pada hakikatnya sangat-sangat tidak masuk akal.

Kelompok Qadariyah ini sebenarnya ingin mengatakan bahwasanya Allah itu adil, namun sayangnya dengan apa yang mereka katakan mereka tidak bisa menjelaskan bahwasanya Allah itu adil. Contoh, mereka melogikakan Allah itu seperti seorang ayah yang memiliki dua orang anak, kemudian kedua orang anak tersebut masing-masing diberi pedang, namun ternyata dari kedua anak tersebut satu jadi mujahid dan satunya lagi menjadi perampok. Ayahnya dalam hal ini tidak memiliki campur tangan terhadap kedua anaknya, dia telah berlaku adil dengan memberikan masing-masing pedang kepada kedua anaknya. Namun kita katakan bahwa logika ini keliru, karena jika seandainya bentuk keadilan Allah itu sama persis maka seharusnya setiap yang diberi pedang harusnya jadi mujahid semua atau sama-sama jadi perampok. Jika satu jadi mujahid dan yang lainnya jadi perampok maka tentu ada yang beda antara yang satu dengan yang lainnya, baik karena perbedaan penjelasan, atau karena keduanya memiliki IQ yang berbeda, atau sebab yang lain yang menjadikan mereka berdua berbeda. Oleh karenanya inilah yang kita katakan bahwa ada sesuatu yang di luar kemampuan kita untuk memikirkannya. Ketika kita bertanya mengapa Allah menciptakan Iblis? Mengapa Allah menyesatkan sebagian yang lain dan memberi petunjuk kepada sebagian yang lain? Mengapa Allah memilih Nabi Muhammad r sebagai seorang Nabi? Mengapa Fir’aun dijadikan Fir’aun? Ini semua di luar kemampuan kita untuk memikirkannya, dan Allah tidak akan pernah mengungkap rahasia Allah dalam menetapkan apa yang Dia kehendaki, semua itu adalah urusan Allah ﷻ dan Dia tidak ditanya tentang apa yang Dia kerjakan,

لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ

“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah (manusia) yang akan ditanya.” (QS. Al-Anbiya’: 23)

Disebutkan oleh Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi dalam kitabnya Syarah Aqidah Thahawiyah, diceritakan ada dua orang yang bersama dalam perahu, satu Qadariyah dan satunya lagi Majusi. Keduanya saling berdiskusi hingga akhirnya mulailah orang Qadariyah mendakwahi orang Majusi. Maka orang Qadariyah kemudian mengajak orang Majusi untuk masuk Islam,

فَقَالَ الْقَدَرِيُّ لِلْمَجُوسِيِّ: أَسْلِمْ، قَالَ الْمَجُوسِيُّ: حَتَّى يُرِيدَ اللَّهُ، فَقَالَ الْقَدَرِيُّ: إِنَّ اللَّهَ يُرِيدُ، وَلَكِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يُرِيدُ! قَالَ الْمَجُوسِيُّ: أَرَادَ اللَّهُ وَأَرَادَ الشَّيْطَانُ، فَكَانَ مَا أَرَادَ الشَّيْطَانُ! هَذَا شَيْطَانٌ قَوِيٌّ! وَفِي رِوَايَةٍ أَنَّهُ قَالَ: فَأَنَا مَعَ أَقْوَاهُمَا

“Berkata orang Qadariyah kepada orang Majusi, “Masuk Islamlah!”, Majusi berkata “Aku akan masuk Islam jika Allah telah berkehendak”. Qadariyah berkata, “Sesungguhnya Allah telah berkehendak untuk engkau masuk Islam, akan tetapi syaithan tidak ingin’ (kau masuk Islam)”. Majusi berkata, “Allah punya kehendak dan syaithan punya kehendak, dan yang terjadi adalah kehendak syaitan, ini adalah syaithan yang amat kuat’

dalam riwayat lain si Majusi berkata : ‘Dan aku bersama (ikut) kepada yang lebih kuat dari keduanya’.”([20])

Lihatlah bagaimana kebodohan Qadariyah, ini semua sebabnya adalah karena meyakini bahwa adanya keburukan di luar kehendak Allah ﷻ. Adapun kita Ahlussunnah meyakini bahwasanya semua terjadi atas kehendak Allah, baik itu berupa kebaikan-kebaikan maupun keburukan, dan adapun keburukan maka di baliknya selalu ada maslahat-maslahat.

Demikian pula kisah yang lain dari ‘Amr bin Ubaid yang merupakan salah seorang tokoh Mu’tazilah, dia didatangi oleh seseorang yang kehilangan untanya tatkala dia sedang berceramah. Dia meminta kepada ‘Amr bin Ubaid untuk berdoa kepada Allah agar Allah mengembalikan untanya yang telah dicuri. Kemudian ‘Amr bin Ubaid berdoa dengan berkata,

اللَّهُمَّ إِنَّكَ لَمْ تُرِدْ أَنْ تُسْرَقَ نَاقَتُهُ فَسُرِقَتْ، فَارْدُدْهَا عَلَيْهِ

“Ya Allah sesungguhnya Engkau tidak menghendaki untanya dicuri, namun untanya dicuri, maka kembalikan untanya kepadanya.”

Maka mendengar doanya tersebut, orang yang kehilangan unta tersebut berkata,

لَا حَاجَةَ لِي فِي دُعَائِكَ، أَخَافُ كَمَا أَرَادَ أَنْ لَا تُسْرَقَ فَسُرِقَتْ أَنْ يُرِيدَ رَدَّهَا فَلَا تُرَدُّ

“Aku tidak butuh terhadap doamu itu, aku takut sebagaimana Dia berkehendak untuk untaku tidak dicuri namun dicuri, maka demikian pula jika Dia berkehendak agar untaku kembali namun dia tidak kembali.”([21])

Inilah gambaran tentang bagaimana bodohnya akidah orang-orang Qadariyah. Maka segala puji bagi Allah bahwa akidah Ahlussunnah mudah untuk dipahami bahwa Allah ﷻ menghendaki segalanya. Sungguh sudah sangat sering kita mendengar dalam kajian,

مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ، فَلا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِل، فَلا هَادِيَ لَهُ

“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang bisa memberi petunjuk kepadanya.”

Lantas bagaimana hukum orang Qadariyah ini? Para ulama khilaf menjadi dua pendapat tentang hukum mereka, ada yang mengatakan bahwa mereka kafir, dan yang lain mengatakan mereka tidak kafir. Namun pendapat yang benar adalah mereka tidak kafir, sebagaimana kaidah menyebutkan “لَازِمُ القَول لَيْسَ بِقَوْلٍ” (kelaziman perkataan tidaklah diyakini oleh pengucapnya), yaitu meskipun kelaziman dari perkataan mereka adalah adanya Tuhan yang lain selain Allah, namun mereka tidak menyatakan kelaziman tersebut. Oleh karenanya Imam Al-Bukhari rahimahullah menulis buku untuk membantah mereka yang berjudul Khalqu Af’alul ‘Ibad, yaitu buku yang membahas bahwasanya perbuatan hamba juga merupakan ciptaan Allah ﷻ.

Sebagaimana kelompok Qadariyah terbagi menjadi dua, kelompok Jabariyah juga terbagi menjadi dua,

  • غَلَاةُ الْجَبَرية (Jabariyah ekstrem)

Kelompok Jabariyah ini berpendapat bahwasanya seluruh gerakan makhluk itu terpaksa. Mereka mengatakan bahwa kita sebagai makhluk seperti bulu yang terombang-ambing mengikuti ke mana arah angin ([22]). Ini adalah pendapat orang-orang Jahmiyah, dan tentu ini tidak benar, karena kita sadar bahwa kita punya kehendak yang bisa lakukan, kita bisa memilih, meskipun terkadang ada hal-hal yang kita tidak bisa berkehendak dalam hal-hal tersebut. Kalau sekiranya seseorang kelak dimasukkan ke dalam neraka, kemudian ditanya mengapa dia bermaksiat, apakah kemudian dia akan berkata “Saya telah dipaksa untuk bermaksiat”? Tentu tidak mungkin, karena Allah ﷻ tidak memaksa seseorang untuk bermaksiat, akan tetapi orang itulah yang memilih untuk bermaksiat.

Kelompok Jabariyah yang tidak ekstrem ini diwakili oleh orang-orang Asya’irah. Perbedaan orang-orang Asya’irah dan Ahlussunnah adalah orang-orang Asya’irah mengatakan bahwa makhluk memiliki qudrah (kehendak) akan tetapi tidak memiliki pengaruh, adapun Ahlussunnah meyakini bahwa makhluk memiliki qudrah namun di bawah kehendak Allah I([23]).

Kelompok Jabariyah yang dalam hal ini Asya’irah mengatakan bahwasanya tidak ada yang berkuasa kecuali Allah ﷻ, sehingga barangsiapa mengatakan bahwasanya ada yang berkuasa selain Allah ﷻ maka dia musyrik. Dari sinilah kemudian mereka mengatakan bahwa makhluk tidak memiliki qudrah sama sekali. Lantas bagaimana mereka menggambarkan qudrah yang terjadi pada manusia? Analoginya seperti seseorang yang memotong roti dengan pisau, maka roti tersebut bukan terbelah karena pisau, akan tetapi pisau hanyalah tanda akan terbelahnya roti, adapun yang membelah roti tersebut adalah Allah ﷻ. Apakah ini masuk akal? Lihatlah pandangan Ahlussunnah, mereka mengatakan bahwasanya ketika seseorang memukulkan palu ke kaca maka kaca akan pecah karena palu memiliki kemampuan untuk memecahkan, akan tetapi kaca tersebut pecah atas izin dan kehendak Allah ﷻ. Oleh karenanya ketika api memiliki kemampuan untuk membakar, yang menentukan kemampuan tersebut adalah Allah ﷻ, akan tetapi ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dilemparkan ke dalam api, Allah memerintahkan agar api menjadi dingin, yang jika seandainya Allah tidak perintahkan maka api tersebut pasti akan membakar Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Ini menunjukkan bahwa makhluk juga memiliki qudroh yang berpengaruh (yaitu sebab yang bisa menimbulkan akibat), tidak sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Asya’irah. Dan betapa banyak ayat-ayat yang menjelaskan bahwa manusia disifati oleh Allah ﷻ memiliki amalan-amalan, yang ini semua menunjukkan bahwa manusia memiliki qudrah (kehendak), dan qudrahnya tersebut memiliki pengaruh untuk menimbulkan akibat meskipun yang menentukan semuanya adalah Allah ﷻ.

  1. أَهْلُ السُّنَّةِ وَالجَمَاعَةِ

Sikap Ahlussunnah terhadap takdir adalah sebagaimana yang telah kita sebutkan dalam maratibut taqdir, yaitu Ahlussunnah menetapkan empat tingkatan takdir. Adapun poin yang paling krusial ada dua, yaitu pada poin kehendak dan penciptaan.

Ahlussunnah meyakini bahwasanya Allah ﷻ menghendaki kebaikan dan keburukan. Namun pada poin ini perlu untuk kita perhatikan bahwa makhluk juga punya kehendak, namun kehendak makhluk di bawah kehendak Allah. Contoh seperti ketika kita ingin makan, kita ingin ikut pengajian, kita ingin ini dan itu, semua dilakukan dengan tidak terpaksa. Namun ada pula hal-hal yang secara terpaksa orang lakukan karena ketidakmampuannya. Itu semua adalah bentuk bahwa makhluk juga memiliki kehendak, akan tetapi semua kehendak makhluk tersebut baik terpaksa maupun tidak, semuanya di bawah kehendak Allah, Allah ﷻ berfirman,

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. At-Takwir: 29)

Pada poin ini kita harus benar-benar menundukkan akal kita karena ada hal-hal yang akal kita tidak mampu untuk memikirkannya. Ahlussunnah meyakini bahwa semua selain Allah diciptakan oleh Allah, termasuk manusia, kehendak manusia, dan perbuatan manusia. Maka akal kita harus menerima bahwasanya semua yang terjadi di alam semesta ini terjadi karena kehendak Allah ﷻ, tidak ada yang keluar dari kehendak-Nya, namun kita juga harus ketahui bahwa kita tidak terpaksa, kita memiliki juga kehendak. Pada poin inilah kita yang harus merenungkan firman Allah ﷻ,

لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ

“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah (manusia) yang akan ditanya.” (QS. Al-Anbiya’: 23)

Inilah yang para ulama mengatakan bahwa takdir adalah rahasia Allah ﷻ. Maka jika sekiranya akal kita tidak bisa menerima hal ini, yakinlah bahwasanya pendapat lain lebih tidak masuk akal lagi.

Kelompok-kelompok selain Ahlussunnah sebenarnya hanya ingin berusaha untuk memasukkan akal mereka terkait masalah takdir ini, akan tetapi akhirnya menjadikan pendapat mereka bertentangan dengan dalil dan lebih tidak masuk akal. Adapun Ahlussunnah meyakini bahwasanya ada poin yang bagi mereka memang sulit untuk diterima oleh akal, namun kemudian di situlah mereka menundukkan akal, dan itulah yang namanya beriman dengan takdir yang baik maupun yang buruk. Sesungguhnya beriman kepada takdir yang baik semua orang bisa menerima, akan tetapi jika telah berkaitan dengan takdir buruk maka di situlah dibutuhkan untuk akal kita ditundukkan.

Inilah beberapa penjelasan tentang sikap kelompok-kelompok terhadap takdir. Maka hendaknya kita berpegang teguh kepada sikap dan keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah. Namun ingatlah bahwa di sini kita perlu untuk menundukkan akal kita, kita meyakini bahwa takdir itu ada empat hal, yaitu Allah berilmu tentang segalanya, kemudian Allah menulis perencanaan tersebut, Allah berkehendak semuanya terjadi, dan Allah mengeksekusi sehingga terjadilah apa yang terjadi. Maka semua yang terjadi ini adalah kehendak Allah. Kita berdiri, duduk, membaca buku ini adalah kehendak dan ciptaan Allah ﷻ, tangan, suara, dan yang lainnya adalah ciptaan Allah ﷻ. Tidak ada Tuhan lain yang menciptakan selain Allah, dan kehendak kita di bawah kehendak Allah ﷻ.

Sebagaimana kita sebutkan di awal pembahasan bahwa takdir adalah rahasia Allah, maka semakin seseorang mendalami dan bertanya-tanya tentang takdir maka dia pasti akan semakin bingung, akhirnya bisa saja dia terjerumus pada hal yang mengingkari dalil atau menakwil dalil, terjerumus dalam akidah Qadariyah atau akidah Jabariyah. Ini sangat penting untuk kita ingat dan pahami, agar jangan sampai kita terjatuh dalam kesalahan dalam iman kepada takdir.

D. Analogi yang keliru tentang takdir

Terdapat tiga contoh analogi yang keliru tentang takdir.

  1. Perumpamaan guru dan murid-muridnya

Perumpamaan ini adalah perumpamaan yang sangat sering disampaikan. Terlihat sangat logis padahal ini adalah akidah orang-orang Qadariyah. Perumpamaan ini mengetahui bahwasanya guru telah mengetahui kemampuan masing-masing murid, lalu kemudian sang guru membuat ujian kepada murid-muridnya. Maka sebelum sang murid melakukan ujian, sang guru sudah mengetahui hasilnya.

Guru dianalogikan sebagai Allah dan murid-murid adalah hamba. Artinya, Allah ﷻ telah mengajarkan (menjelaskan) kepada sang hamba cara-cara menghadapi ujian. Namun sebelum Allah memberikan ujian kepada sang hamba, Allah tahu bahwa si A nilainya 10, si B nilainya 4, si C nilainya 7, dan seterusnya.

Secara sepintas akidah ini sangat logis, akan tetapi kenyataannya tidak benar. Kesalahannya terletak pada poin di mana Allah ﷻ tidak memiliki andil dalam keberhasilan sang hamba dalam melewati ujian, Allah hanya mengetahui dan menjelaskan tentang ilmu tersebut, adapun yang menjalankan takdir adalah sang hamba itu sendiri. Ketahuilah bahwa inilah akidah Qadariyah, karena Qadariyah mengatakan bahwa Allah ﷻ hanya sekadar mengetahui dan mencatat, akan tetapi Allah tidak berkehendak terhadap hamba-hamba-Nya. Maka analogi ini salah dari tiga sisi: (1) guru hanya sekadar mengetahui, (2) guru tidak berkehendak, (3) dan guru tidak melakukan eksekusi.

  1. Perumpamaan pelatih dan para pemain bola

Pelatih berkata kepada kapten kesebelasan, “Di hadapanmu ada tiga kemungkinan, (1) jika menggunakan taktik pertama maka hasilnya akan demikian dan demikian, (2) jika menggunakan taktik kedua maka hasilnya akan demikian dan demikian, (3) jika menggunakan taktik ketiga maka akan hasilnya akan demikian dan demikian”. Maka kemudian yang memilih taktik ada sang kapten, dia bisa memilih salah satu dari tiga taktik yang akan dia gunakan dalam bermain sepak bola.

Perumpamaan ini menyebutkan bahwa Allah itu pelatih dan hamba adalah sang kapten. Di mana letak kesalahan perumpaman ini? Kesalahannya adalah menunjukkan bahwa Allah ﷻ tidak memiliki andil dalam menentukan pilihan sang hamba, perumpamaan ini hanya memberikan penjelasan dan tidak menentukan jalan mana yang akan diambil oleh sang hamba. Namun yang benar adalah Allah ﷻ telah menjelaskan jalan bagi sang hamba, dan Allah ﷻ juga telah menentukan jalan sang hamba (menakdirkan).

  1. Perumpamaan dengan grafik

Sebagian orang tatkala menjelaskan tentang takdir, mereka membuat grafik seperti di bawah ini:

Grafik ini menjelaskan bahwasanya Y bergantung dengan X, apabila variabel X berubah maka Y juga akan berubah.

Kesalahan model grafik di atas adalah karena menyebutkan X lebih dahulu daripada Y, atau mengatakan X sama dengan Y. Artinya mereka menyebutkan bahwa usaha seorang lebih dahulu daripada takdir, padahal kita tahu bahwasanya takdir mendahului perbuatan hamba. Sekilas analogi ini keren dan bagus, akan tetapi ketahuilah bahwasanya ini adalah perumpamaan yang keliru. Maka yang benar adalah Y (takdir) lebih dahulu dari pada X (usaha hamba).

Salah satu dari akidah orang-orang Ahli Filsafat mengatakan bahwasanya Allah ﷻ ketika mencipta, Allah hanya membuat aturan-aturan yang barangsiapa yang mengambil aturan tertentu maka dia akan menempuh jalan tersebut, akan tetapi tujuannya belum ditulis oleh Allah ﷻ. Oleh karena itu dikatakan bahwasanya akidah orang-orang Ahli Filsafat ini mirip dengan perumpamaan analogi grafik ini.

Ketahuilah bahwa banyak orang yang berbicara tentang takdir dengan logika ingin semuanya masuk ke dalam logikanya, akan tetapi kejadiannya tidak seperti yang dia harapkan, hasilnya bahkan tidak berlogika dan tidak masuk akal, dan bahkan menimbulkan kelaziman-kelaziman yang buruk. Memang benar bahwa ada hal-hal dalam akidah Ahlussunnah yang ketika membahas hal tersebut akal kita tidak mampu untuk memikirkannya, maka cukupkan akal kita sampai di situ saja, yaitu pada titik poin bahwa semua diciptakan oleh Allah namun kita punya kehendak, kita tahu kehendak kita namun kita tidak tahu bagaimana takdir kita. Yang jelas Allah telah menjelaskan bahwa yang berbuat baik masuk surga dan yang berbuat buruk masuk neraka. Maka tidak mungkin di akhirat seseorang akan mengatakan “Allah telah menakdirkan aku masuk neraka”. Dari mana dia bisa tahu bahwa dia ditakdirkan masuk ke dalam neraka? Bukankah Allah telah memberikan kepadanya pilihan? Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ

“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan).” (QS. Al-Balas: 10)

Bukankah hidup kita ini pilihan? Jika seandainya hidup kita ini paksaan maka tentu berbuat maksiat tidak menjadikan kita berdosa. Namun kenyataannya sebagian kita bermaksiat tanpa paksaan sama sekali, bahkan meskipun sudah dilarang orang ustaz, oleh istri, oleh sahabat, namun tetap saja sebagian kita tetap bermaksiat, bukankah itu menunjukkan bahwa tidak ada yang memaksa kita untuk bermaksiat? Lantas dari mana seseorang bisa mengatakan bahwasanya dia telah dipaksa untuk bermaksiat? Ketahuilah bahwa tidak seorang pun bisa berhujjah di hadapan Allah ﷻ kelak dengan dalil takdir.

E. Ringkasan sikap kelompok-kelompok terhadap “Perbuatan hamba”

Ahlussunnah mengatakan tentang perbuatan hamba,

أَفْعَالُ الْعِبَاد مَخْلُوقة ولِلْعِبَاد قُدرةٌ مُؤثِّرَة

“Perbuatan-perbuatan hamba diciptakan oleh Allah, namun makhluk memiliki kehendak dan kemampuan yang berpengaruh.”

Qadariyah mengatakan bahwasanya,

أَفْعَالُ العِبَاد غَيْرَ مَخْلَوقَة

“Perbuatan-perbuatan hamba bukan ciptaan Allah.”

Jabariyah mengatakan,

أَفعَالُ العِبَاد مَخْلُوقَة وَلَا قُدْرَةٌ لِلعِبَاد

“Perbuatan-perbuatan hamba adalah makhluk (ciptaan Allah), dan manusia tidak berkehendak dan tidak berkuasa (semuanya terpaksa).”

Asyar’irah mengatakan tentang perbuatan hamba,

أَفْعَالُ العِبَاد مَخْلُوقة وَلِلعِبَاد قدْرَةٌ وَلَكِنَّهَا غَيرَ مُؤَثِّرة

“Perbuatan-perbuatan hamba adalah makhluk, dan hamba memiliki kehendak (kemampuan), namun tidak berpengaruh.”

F. Pencatatan Takdir

Takdir dicatat di Lauhul Mahfudzh, dicatat lima puluh ribu tahun sebelum Allah ﷻ menciptakan langit dan bumi. Semua takdir dicatat dengan detail, dan yang mengetahui isinya hanyalah Allah ﷻ, Nabi ﷺ maupun malaikat tidak mengetahuinya. Dari takdir yang Allah catatkan, ada tiga jenis takdir : ([24])

  1. التَّقْدِيْرُ العُمرِيُّ (takdir umur).

Takdir ‘umri yaitu takdir ketika seseorang masih dalam berbentuk janin, malaikat kemudian diperintahkan oleh Allah untuk mencatat apa yang akan terjadi dengan janin tersebut hingga dia meninggal dunia. Takdir ini diketahui oleh malaikat karena Allah yang beri tahu kepada malaikat untuk dicatat oleh mereka. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ,

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، ثُمَّ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعٍ: بِرِزْقِهِ وَأَجَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ

“Sungguh salah seorang di antara kalian dihimpun dalam perut ibunya selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal darah juga seperti itu, kemudian menjadi segumpal daging juga seperti itu, kemudian Allah mengutus malaikat dan diperintahkannya dengan empat hal, rezekinya, ajalnya, sengsara ataukah bahagia.”([25])

Data-data yang dicatat oleh malaikat terkait hal tersebut datangnya dari Al-Lauhul Mahfudz([26]). Demikian pula hal yang sama ketika Allah ﷻ menciptakan Nabi Adam ‘alaihissalam, Allah keluarkan keturunan Adam dan Allah catatkan masing-masing takdirnya.

  1. التَقْدِيْرُ السَّنَوِيُّ (takdir tahunan)

Di antara yang dikeluarkan dari kita Lauhul Mahfudzh adalah takdir tahunan. Takdir tahunan ini dikeluarkan pada saat malam Lailatul Qadar. Allah ﷻ berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ، فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ، أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang diberkahi. Sungguh, Kamilah yang memberi peringatan. Pada (malam itu) dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan dari sisi Kami. Sungguh, Kamilah yang mengutus rasul-rasul.” (QS. Ad-Dukhan: 3-5)

Takdir tahunan ini diambil dari Lauhul Mahfudz yang menyebutkan tentang takdir satu tahun ke depan, yaitu hingga malam Lailatul Qadar berikutnya.

  1. التَّقْدِيْرُ الْيَوْمِيُّ (takdir harian)

Sebagian para ulama berpendapat bahwa takdir harian ini ada dan sebagian lagi mengatakan tidak ada. Adapun Ibnul Qayyim mengatakan takdir harian itu ada berdasarkan firman Allah ﷻ,

كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ

“Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (QS. Ar-Rahman: 28)

Yaitu setiap hari Allah memerintahkan malaikat untuk melakukan ini dan itu secara harian, sehingga yang terjadi disebut sebagai takdir harian.

Oleh karena itu, ada perbedaan-perbedaan antara catatan malaikat dan catatan di Lauhul Mahfudzh, di antaranya,

Pertama: Catatan di Lauhul Mahfudz merupakan takdir yang awal, adapun catatan malaikat adalah takdir belakangan, yaitu catatan malaikat tentang takdir adalah muncul setelah catatan di Lauhul Mahfudzh.

Kedua: Catatan di Lauhul Mahfudz dicatat oleh الْقَلَم (pena) sebagaimana disebutkan dalam hadits, adapun catatan malaikat dicatat oleh malaikat.

Ketiga: Catatan di Lauhul Mahfudz hanya diketahui oleh Allah ﷻ, adapun catatan malaikat mengetahui ketika telah dicatat atau telah terjadi. Dan dari penjelasan di atas menyebutkan bahwa malaikat hanya tahu takdir tentang umur seseorang, takdir tahunan, dan takdir harian, adapun tentang masa depan tidak diketahui.

Keempat: Catatan di Lauhul Mahfudz tidak akan berubah, sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa ketika Nabi ﷺ menyampaikan tentang takdir,

يَا رَسُولَ اللهِ بَيِّنْ لَنَا دِينَنَا كَأَنَّا خُلِقْنَا الْآنَ، فِيمَا الْعَمَلُ الْيَوْمَ؟ أَفِيمَا جَفَّتْ بِهِ الْأَقْلَامُ، وَجَرَتْ بِهِ الْمَقَادِيرُ، أَمْ فِيمَا نَسْتَقْبِلُ؟ قَالَ: لَا، بَلْ فِيمَا جَفَّتْ بِهِ الْأَقْلَامُ وَجَرَتْ بِهِ الْمَقَادِيرُ، قَالَ: فَفِيمَ الْعَمَلُ؟ فَقَالَ: اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ

“Suatu ketika Suraqah bin Malik bin Ju’syam datang kepada Rasulullah seraya berkata, ‘Ya Rasulullah, terangkanlah kepada kami agama ini, seolah-olah kami baru diciptakan. Apakah hakikat amalan hari ini? Apakah karena telah tertulis oleh pena yang telah kering, dan takdir yang pasti berlaku, ataukah amalan yang harus kita hadapi?’ Rasulullah menjawab: ‘Tidak, tapi karena pena yang telah kering dan takdir yang mesti berlaku’. Suraqah berkata: ‘Lalu untuk apa kita beramal?’ Rasulullah menjawab: ‘Beramallah, karena semuanya akan dipermudah’.”([27])

Artinya, seseorang akan diarahkan masing-masing kepada takdirnya. Oleh karenanya dalam suatu hadits Nabi ﷺ juga bersabda,

وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ، وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ

“Ketahuilah, sesungguhnya jika umat bersatu untuk memberimu manfaat, mereka tidak akan memberi manfaat apa pun selain yang telah ditakdirkan Allah untukmu. Dan seandainya bila mereka bersatu untuk membahayakanmu, mereka tidak akan membahayakanmu sama sekali kecuali yang telah ditakdirkan Allah padamu, pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering (takdir telah ditetapkan).”([28])

Adapun catatan malaikat bisa berubah, karena malaikat tidak tahu isi Al-Lauhul Mahfudzh, dan perubahan yang ada pada catatan malaikat tersebut telah ada di al-Lauhul Mahfudzh. Allah ﷻ berfirman,

يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ

“Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Dan di sisi-Nya terdapat Ummul-Kitab (Lauhul Mahfudzh).” (QS. Ar-Ra’d: 39)

Maksudnya adalah perubahan dan penetapan yang Allah tetapkan pada catatan malaikat itu perubahan serta hasil perubahan telah ada di Al-Lauhul Mahfudzh. Maka jangan kemudian kita menyangka bahwasanya perubahan catatan yang ada pada malaikat menunjukkan bahwa catatan di Al-Lauhul Mahfudzh juga berubah, tidak demikian. Oleh karenanya ketika Nabi ﷺ juga mengatakan,

لَا يَرُدُّ القَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ، وَلَا يَزِيدُ فِي العُمْرِ إِلَّا البِرُّ

“Tidak ada yang dapat mencegah takdir kecuali doa dan tidak ada yang bisa menambah umur kecuali amal kebajikan.”([29])

Yaitu maksudnya seseorang yang berdoa dan berubah karena doa tersebut, maka Allah perintahkan malaikat untuk merubah catatan takdir yang ada pada malaikat, namun peristiwa perubahan catatan yang ada pada malaikat itu telah dijelaskan dan dicatat di al-Lauhul Mahfudzh lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi. Tentunya, di balik ini semua ada hikmah yang Allah kehendaki, yang mungkin kita tidak dapat mengetahuinya. ([30])

Matan

Kandungan bab ini:

  1. Keterangan tentang kewajiban beriman kepada qadar
  2. Keterangan tentang cara beriman kepada qadar
  3. Amal Ibadah seseorang sia-sia, jika tidak beriman kepada qadar
  4. Disebutkan bahwa seseorang tidak akan merasakan iman sebelum ia beriman kepada qadar.
  5. Penjelasan bahwa makhluk pertama yang diciptakan Allah yaitu Qalam.
  6. Diberitahukan dalam hadits bahwa –dengan perintah dari Allah- menulis ketentuan-ketentuan sampai hari kiamat
  7. Rasulullah ﷺ menyatakan bahwa dirinya lepas dari orang yang tidak beriman kepada qadar.
  8. Tradisi para ulama salaf dalam menghilangkan keraguan, yaitu dengan bertanya kepada ulama.
  9. Dan para ulama salaf memberikan jawaban yang dapat menghilangkan keraguannya tersebut, dengan hanya menuturkan hadits dari Rasulullah ﷺ.

Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab At-Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

_______________________

([1]) HR. Muslim no. 8

([2]) Syarah Ushulul I’tiqad 4/695 No. 1123

([3]) Ushul Ad-Diin ‘inda Abi Hanifah h.521

([4]) Shahihul Jami’ Ash-Shaghir no. 1656

([5]) H.R. ‘Abdurrazzq, Al-Amali Fi Atsari As-Shohabah, 51, At-Thobaroni, Al-Mu’jamu Al-Kabir, 1427. Berkata Syaikh Al-Albani: “diriwayatkan dari jalur Ibnu Mas’ud, Tsauban, Ibnu ‘Umar, Thowus, radhiallahu ‘anhum ajma’in secara mursal, dan semuanya diriwayatkan dengan sanad yang dho’if. Akan tetapi, satu dengan yang lainnya saling menguatkan”. (Silsilah Al-Ahadit As-Shohihah, No.34)

([6]) Mushannaf Ibnu Abi Syaibah no. 37068

([7]) Al-Ibanah Ibnu Bathah No. 1585

([8]) ‘Amr bin Al-‘Ash radhiallahu’anhu meriwayatkan, bahwasanya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

” كَتَبَ اللهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ، قَالَ: وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ “

“Sesungguhnya Allah telah mencatat taqdir setiap hamba sebelum Allah menciptakan langit dan bumi selama 50.000 tahun lamanya, sementara ‘Arsy Allah ada di atas air” (HR. Muslim, No.2653)

([9]) HR. Ibnu Majah no. 2144

([10]) HR. Muslim no. 2664

([11]) HR. Abu Daud no. 4700

([12]) HR. At-Tirmidzi no. 2156, Al-Albani mengatakan hadits ini sahih

([13]) Jika ada yang berkata, “Apakah Allah tidak mampu menciptakan kebaikan-kebaikan tersebut tanpa menciptakan Iblis?”. Jawabannya ini adalah hal yang tidak mungkin, sama seperti pertanyaan, “Bisakah engkau menggambarkan bujur sangkar yang bulat?”, atau “Bisakah engkau turun ke atas?”, “Bisakah Allah menciptakan Tuhan semisalnya?” (karena namanya Tuhan tidak mungkin makhluk yang diciptakan). Demikian pula tidak mungkin Allah menciptakan “seorang yang bertaubat tanpa dosa” atau “berjihad tanpa ada yang dilawan” atau “Musa yang berdakwah tanpa ada Firáun yang didakwahi” dst.

([14]) Di antara ayat yang menyebutkan bahwa Allah tidak suka dengan kerusakan adalah firman-Nya,

وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ

“Sedang Allah tidak menyukai kerusakan.” (QS. Al-Baqarah: 205)

([15]) HR. Abu Daud no. 4691. Hadits ini dinilai hasan oleh Al-Albani (As-Shahihah no 2748, dan lihat juga penjelasan As-Safaarini di Lawami an-Anwaar 1/304-306).

([16]) Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, diantaranya :

Al-Baihaqi berkata :

وَإِنَّمَا سُمُّوا قَدَرِيَّةً؛ لِأَنَّهُمْ أَثْبَتُوا الْقَدَرَ لِأَنْفُسِهِمْ، وَنَفَوْهُ عَنِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، وَنَفَوْا عَنْهُ خَلْقَ أَفْعَالِهِمْ وَأَثْبَتُوهُ لِأَنْفُسِهِمْ فَصَارُوا بِإِضَافَةِ بَعْضِ الْخَلْقِ إِلَيْهِ دُونَ بَعْضٍ مُضَاهِينَ لِلْمَجُوسِ فِي قَوْلِهِمْ بِالْأَصْلَيْنِ النُّورِ وَالظُّلْمَةِ وَأَنَّ الْخَيْرَ مِنْ فِعْلِ النُّورِ وَالشَّرَّ مِنْ فِعْلِ الظُّلْمَةِ

“Dan hanyalah mereka dinamakan dengan qodariyah karena mereka menetapkan taqdir kepada diri mereka sendiri dan mereka menafikannya dari Allah. Mereka menafikan dari Allah “penciptaan perbuatan mereka” dan mereka menetapkan bahwa merekalah yang menciptakan perbuatan mereka. Maka dengan sikap mereka yang menyandarkan sebagian makhluk kepada Allah dan sebagian makhluk tidak disandarkan kepada Allah jadilah mereka menyerupai orang-orang Majusi yang meyakini adanya dua tuhan, yaiut tuhan cahaya dan tuhan kegelapan, bahwasanya kebaikan adalah perbuatan cahaya sementara keburukan adalah perbuatan kegelapan” (Al-I’tiqood hal 236)

Al-Khotthobi berkata :

إِنما جعلهم مجوساً لمضاهاة مذهبهم مذهب المجوس في قولهم بالأصلين وهما النور والظلمة يزعمون إن الخير من فعل النور، والشر من فعل الظلمة فصاروا ثانوية، وكذلك القدرية يضيفون الخير إلى الله عز وجل والشر إلى غيره والله سبحانه خالق الخير والشر لا يكون شيء منهما إلاّ بمشيئته. وخلقه الشر شراً في الحكمة كخلقه الخير خيراً، فالأمران معاً مضافان إليه خلقاً وايجاداً وإلى الفاعلين لهما من عباده فعلاً واكتساباً

“Hanyalah Nabi menjadikan mereka majusi karena mereka menyerupai madzhab kaum majusi yang meyakini ada dua pencipta, yaitu cahaya dan kegelapan. Majusi menyangka bahwa kebaikan adalah hasil perbuatan cayaha sementara keburukan adalah hasil perbuatan kegelapan maka jadilah mereka meyakini dualisme tuhan. Demikian pula Qodariyah, mereka menyandarkan kebaikan kepada Allah dan mereka menyandarkan keburukan kepada selain Allah, padahal Allah adalah pencipta kebaikan dan keburukan, dan tidak ada sesuatupun dari kebaikan dan keburukan kecuali terjadi atas kehendakNya. Allah menciptakan keburukan karena ada hikmah sebagaimana Allah menciptakan kebaikan (yang juga karena hikmah). Maka kedua perkara tersebut (kebaikan dan keburukan) keduanya bersamaan disandarkan kepada Allah, yaitu Allah sebagai penciptanya, adapun kepada pelaku keburukan dan kebaikan tersebut disandarkan kepada mereka sebagai pelaku” (Maáalim as-Sunan 4/317)

([17]) HR. Muslim no. 2655

([18]) Keyakinan seperti ini muncul kembali di zaman sekarang yang dikenal dengan aliran Deism (الرُّبُوْبِيُّ), yaitu aliran yang meyakini bahwa Tuhan setelah menciptakan makhluk maka dibiarkan begitu saja. Sebagaimana seorang pembuat jam tangan setelah menciptakan jam lalu dibiarkan saja bergerak tanpa diurusi lagi. (Lihat penjelasan ini dalam buku kami yang lain yang berjudul “Tauhid Ar-Rububiyah”)

([19]) HR. Abu Daud no. 4691

([20]) Syarah Aqidah Thahawiyah 1/323 Tahqiq Al-Arnauth

([21]) Syarah Aqidah Thahawiyah 1/323 Tahqiq Al-Arnauth

([22]) Lihat : Al-Milal Wa An-Nihal, As-Syihristani, 1/85

([23]) Lihat Tuhfah Al-Murid ‘Ala Jauharoh At-Tauhid, Al-Bajuri, 168, Al-Milal Wa An-Nihal, As-Syihristani, 1/97, Syarhu Al-Maqoshid, Attaftazani, 3/166-167

([24]) Lihat A’lamu As-Sunnah Al-Mansyuroh, Hafizh Al-Hakami, 1/81-dst

([25]) HR. Bukhari no. 6594

([26]) Yaitu data terakhir yang dicatat oleh Malaikat, karena -sebagaimana akan datang penjelasannya- bahwa catatan bisa mengalami perubahan, dan perubahan terakhir itulah yang sesuai dengan apa yang di al-Lauh al-Mahfuz. Demikian juga proses perubahan itupun sudah tercatat di al-Lauh al-Mahfuuz

([27]) HR. Muslim no. 2648

([28]) HR. At-Tirmidzi no. 2516, dan Al-Albani mengatakan hadits ini sahih

([29]) HR. At-Tirmidzi no. 2139, dinilai hasan oleh Al-Albani

([30]) Lihat : Majmu’ Al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 14/490-493, Mirqotu Al-Mafatih, Mulla ‘Ali Al-Qori, 4/1528