KOMPAS.com - Ali bin Abi Talib berasal dari keturunan Bani Hasyim. Ia adalah sepupu Nabi yang kemudian menjadi menantu setelah menikahi Fatimah az-Zahra. Show Dikutip dari Khulafaur Rasyidin (2019), Ali adalah satu-satunya sahabat yang dididik oleh Rasul sejak kecil. Ali memerintah selama enam tahun dari 35 hingga 40 H atau 655-660 M. Pengangkatan Ali bin Abi Talib sebagai khalifahSetelah Usman wafat, keadaan semakin kacau. Kaum muslimin mendesak agar Ali dibaiat sebagai khalifah. Dalam suasana kacau, Ali pun dibaiat. Peristiwa itu berlangsung pada 25 Zulhijah 35 H di Masjid Madinah. Baca juga: Nama dan Gelar Khulafaur Rasyidin Pemerintahan Ali bin Abi TalibAli diwarisi berbagai pergolakan. Masa pemerintahannya penuh dengan cobaan. Ia berusaha mengatasinya dengan menarik para amir yang sebelumnya diangkat oleh Usman bin Affan. Ia juga mengambil alih tanah yang dihadiahkan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatan kepada negara. Ali mengembalikan sistem distribusi pajak tahunan di antara orang Islam yang pernah diterapkan pendahulunya Umar bin Khattab. Pemberontakan yang dihadapi Ali bin Abi Talib di antaranya datang dari Talhah, Zubair, dan Aisyah. Mereka mengecam Ali yang tak mau menghukum pembunuh Usman. Mereka minta agar ada pembalasan. Ali yang ingin menghindari perang, mengirim surat ke Talhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perakara itu secara damai. Baca juga: Masa Kekhalifahan Abu Bakar As Siddiq Namun keduanya menolak. Maka pertempuran hebat pun meletus. Pertempuran itu dikenal dengan nama Perang Jamal (unta) karena Aisyah menunggang unta. Zubair dan Talhah terbunuh. Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah. Setelah pemberontakan itu padam, Ali begerak dari Kufah ke Damaskus. Pasukannya bertemu dengan pasukan Muawiyah di Siffin. Keduanya bertempur dan dikenal dengan nama Perang Siffin. Perang ini berakhir dengan takhim atau arbitrase. Tapi takhim tak menyelesaikan masalah. Bahkan, takhim menyebabkan munculnya golongan ketiga, yakni Al Khawarij atau orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Talib. Masa kepemimpinan yang penuh gejolak ini membuat tak banyak warisan yang ditinggalkan Ali. Salah satu dari sedikit warisan itu yakni penyempurnaan bahasa Arab. Baca juga: Masa Kekhalifahan Umar bin Khattab Ali memerintahkan Abul Aswad Ad Duali untuk memberi tanda baca dan menulis kitab-kitab Nahwu (tata bahasa). Harapannya, muslim dari luar Arab dapat mempelajari Al-Quran dan Al-Hadis dengan benar. Ali juga membangun kota Kufah di Irak sebagai pusat pemerintahan dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Berakhirnya khalifah Ali bin Abi TalibDi akhir masa pemerintahan Ali bin Abi Talib, umat terpecah menjadi tiga golongan, yakni:MuawiyahSyiah, pengikut Abdullah bin Saba' al-Yahudi yang menyusup barisan tentara Ali bin Abi Talib Al Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Talib Ini menyebabkan tentara makin lemah. Hingga pada 20 Ramadan 40 H atau 660 M, Ali bin Abi Talib dibunuh oleh Abdullah bin Muljam, anggota Khawarij. Baca juga: Masa Kekhalifahan Usman bin Affan Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Khawārij (Arab: خوارج baca Khowaarij, secara harfiah berarti "Mereka yang Keluar") ialah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya. Disebut Khowarij disebabkan karena keluarnya mereka dari dinul Islam dan pemimpin kaum muslimin.[1] Awal keluarnya mereka dari pemimpin kaum muslimin yaitu pada zaman khalifah Ali bin Abi Thalib ketika terjadi (musyawarah) dua utusan. Mereka berkumpul disuatu tempat yang disebut Khoruro (satu tempat di daerah Kufah). Oleh sebab itulah mereka juga disebut Al Khoruriyyah.[2] Dalam mengajak umat mengikuti garis pemikiran mereka, kaum Khawarij sering menggunakan kekerasan dan pertumpahan darah.[butuh rujukan] TerminologiKata Khawarij dalam terminologi ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang kemudian keluar dan meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim), dalam perang Shiffin pada tahun 37/648 Masehi dengan kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan perihal persengketaan khalifah.[butuh rujukan] Sumber pemikiran, sifat dan karakter Khawarij awalnya dari seseorang yang bernama Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim.[3][4] Awalnya dia telah menuduh Rasulullah Muhammad ﷺ tidak adil dalam pembagian harta rampasan perang, ucapannya membuat Umar bin Khattab atau Khalid bin Walid[5][6][7] hendak memenggal lehernya, akan tetapi dicegah oleh Rasulullah Muhammad ﷺ. Ciri khas Khawarij lainnya adalah mengkafirkan pemerintah kaum muslimin dan orang-orang yang bersama pemerintah tersebut (karena melakukan dosa-dosa besar), memberontak kepada pemerintah kaum muslimin, menghalalkan darah dan harta kaum muslimin. Dalam riwayat lain disebutkan, "Sesungguhnya akan lahir dari orang ini suatu kaum yang membaca Al-Qur’an tetapi tidak sampai melewati kerongkongannya, mereka membunuh orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala. Mereka terlepas dari Islam sebagaimana anak panah yang terlepas dari busurnya. Kalau aku menjumpai mereka sungguh akan aku perangi mereka sebagaimana memerangi kaum ‘Ad.”[8] Perkembangan
Kemudian perkembangan gerakan Khawarij membesar pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-7, terpusat di daerah yang kini ada di Irak selatan, disuatu tempat yang disebut Khouro, Kuffah. Khawarij merupakan bentuk yang berbeda dari Sunni dan Syi’ah. Gerakan ini berakar sejak zaman Khalifah Utsman bin Affan dibunuh, dan kaum Muslimin kemudian mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika itu, kaum Muslimin mengalami kekosongan kepemimpinan selama beberapa hari. Setelah Utsman bin Affan dibunuh oleh orang-orang yang membencinya, kaum muslimin mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, setelah beberapa hari kaum muslimin hidup tanpa seorang khalifah. Kabar kematian 'Ustman kemudian terdengar oleh Mu'awiyyah, yang mana dia masih memiliki hubungan kekerabatan dengan 'Ustman bin Affan. Sesuai dengan syariat Islam, Mu'awiyyah berhak menuntut balas atas kematian 'Ustman. Mendengar berita ini, orang-orang Khawarij pun ketakutan, kemudian menyusup ke pasukan Ali bin Abi Thalib. Mu'awiyyah berpendapat bahwa semua orang yang terlibat dalam pembunuhan 'Ustman harus dibunuh, sedangkan Ali berpendapat yang dibunuh hanya yang membunuh 'Ustman saja karena tidak semua yang terlibat pembunuhan diketahui identitasnya. Akhirnya terjadilah perang shiffin karena perbedaan dua pendapat tadi. Kemudian masing-masing pihak mengirim utusan untuk berunding, dan terjadilah perdamaian antara kedua belah pihak. Melihat hal ini, orang-orang khawarijpun menunjukkan jati dirinya dengan keluar dari pasukan Ali bin abi Thalib. Mereka (Khawarij) merencanakan untuk membunuh Mu'awiyyah bin Abi Sufyan dan Ali bin Abi Thalib, tetapi yang berhasil mereka bunuh hanya Ali bin Abi Thalib. Ajaran
Secara umum, ajaran-ajaran pokok golongan ini adalah:
Aliran Khawarij dalam perkembangan selanjutnya pecah lagi menjadi beberapa sekte dari yang paling keras adalah sekte Azariqah di bawah pimpinan Nafi Ibnu Azraq. Golongan ini berpendapat bahwa orang-orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka adalah kafir dan akan kekal selama-lamanya dalam neraka, walaupun ia meninggal ketika masih anak-anak. Termasuk dalam sekte ini adalah Abdurrahman bin Muljam yang membunuh Khalifah Ali ketika sedang sholat Subuh di Kufah. Ada juga sekte yang lebih lunak seperti kelompok Najdah Ibnu Amir Al-Hanafi dari Yamamah, kelompok Ziad Ibnu Asfar. Sedangkan yang paling lunak adalah sekte Ibadiah pimpinan Abdullah bin Ibad yang tidak sampai mengkafirkan dan masih menganggap Islam kelompok di luar mereka. Tokoh utama
Tokoh-tokoh utama Khawarij antara lain:
Sekte
Akibat perbedaan pendapat di antara tokoh-tokohnya, Khawarij terpecah menjadi beberapa sekte, antara lain:
Perpecahan itulah yang menghancurkan aliran Khawarij. Satu-satunya yang masih ada, Ibadi dari Oman, Zanzibar, dan Maghreb menganggap dirinya berbeda dari yang lain dan menolak disebut Khawarij. Referensi
Rujukan
|