Seorang muslim wajib baginya mengimani perkara-perkara yang telah diberikan kepadanya berupa rukun iman. Seorang muslim yang baik bukan hanya mempercayai saja namun jug mengamalkan dari setiap bagian rukun iman yakni: Iman Kepada Allah, Iman Kepada Malaikat, Iman Kepada Kitab-kitab Allah, Iman Kepada Rasul, Iman Kepada Hari Akhir dan Iman Kepada Qodho dan Qodar. Sebagai penganut agama yang kaffah haruslah terpenuhi keseluruhan itu sesuai tuntunan dan arahan dari al-Qur’an dan Hadits. Pada realitanya, sebagian manusia lupa dan lalai akan kewajibannya mempercayai hal yang sudah pasti tersebut. Manusia yang tersesat bisa saja melupakan Tuhannya dengan meniadakan Allah di setiap nafas hidupnya. Manusia bisa saja melupakan iman kepada malaikat dan hari akhir karena hati yang tersesat dengan tidak mempercayai suatu hal yang ghaib. Manusia bisa saja melupakan iman kepada kitab-kitab Allah, dan Rasul Allah. Namun manusia tidak bisa menghindari dari Qodho dan Qodar Allah. Oleh karena itu, seorang muslim akan dimintai pertanggungjawaban dari setiap perbuatan yang dikerjakannya. Pengertian Qodho dan Qodar Takdir atau lebih lengkapnya Qodho dan Qodar memiliki unsur ikatan kesinambungan. Qodar berarti ketika Allah telah menetapkan sesuatu akan terjadi pada waktunya dan Qodho adalah tibanya masa ketika ketentuan yang telah ditetapkan terjadi. Oleh karenanya, Qodar yakni suatu ketetapan Allah berlaku terhadap segala sesuatu sejak zaman azali serta Qodho adalah pelaksanaan Qodar ketika terjadi.( Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd,2007) Rasul SAW berkata: أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, dan kamu beriman kepada qadar yang baik maupun yang buruk. (HR. Muslim no. 8) Semua yang terjadi di dunia ini sudah menjadi ketetapan dari Allah SWT seperti adanya pergantian siang dan malam, adanya alam yang indah, sebaliknya adanya hal-hal yang ditetapkan seperti bencana alam, musibah dan lain sebagainya. Begitu pula adanya perbedaan keadaan manusia, Allah menciptakan manusia dengan bermacam ragam, ada wujud yang sempurna atau kurang sempurna. Adapun Allah mengatur setiap kebutuhan manusia dan menempatkan kondisi manusia dalam berbagai macam hal yang berbeda. Karena yang sedemikian itu adalah sebuah ketentuan yang sudah pasti baik adanya dan seharusnya manusia juga mampu mengimani sampai sedalam itu. Manusia dan Takdir Hadits di atas menyebutkan takdir baik maupun buruk, oleh karena itu, manusia senantiasa mampu menyiapkan diri dan mental untuk menyambut bukan hanya suatu ketetapan yang diberikan kepada manusia dalam keadaan baik saja, namun juga manusia mampu mempersiapkan dalam keaadaan buruk juga. Manusia akan lebih mudah menerima jika dirinya diberi keadaan takdir yang baik seperti mendapatkan rezeki yang melimpah dan lain sebagainya. Namun, manusia akan susah menerima takdir baginya dalam keadaan buruk atau sebagai musibah dan cobaan. Karenanya sering kali manusia frustasi dan menempatkan prasangka buruk kepada takdir yang telah Allah berikan kepadanya. Sejatinya manusia mampu membuat rencana yang hebat. Mampu merencanakan untuk mencapai kepentingan dan tujuannya dengan detail dan rinci. Akan tetapi, sebagus-bagusnya rencana manusia ketika Allah tidak meridhoi rencana itu terjadi manusia mampu berbuat apa. Mau tidak mau kita harus menerima apapun yang terjadi dalam hidup kita baik ataupun buruk. Sehingga kita seringkali tidak menerima keadaan dan seringkali menyalahkan takdir Allah yang salah terhadap dirinya. Manusia mulai merasa bahwa nikmat yang diberikan Allah adalah suatu ketidak adilan. Musibah bisa saja menimpa kepada siapa saja terserah kehendak Allah. Misalnya, ketika seorang pedagang yang berjualan dari siang sampai malam, dirinya telah bekerja keras serta mempunyai perhitungan bahwa ketika hari itu akan sangat ramai, namun karena hujan lebat seharian alhasil pelanggan yang datang hanya sebanyak hitungan jari. Hal yang terjadi adalah pedagang tersebut tidak bisa menolak dari takdir yang demikian. Takdir yang demikian seringkali membuat kita jauh akan syukur kepada Allah. Adapula perencanaan manusia yang telah merencanakan dan mempersiapkan tentang jodoh. Pada suatu hari, ada sepasang calon pengantin yang telah saling mengenal dengan cara ta’aruf sehingga mendapatkan keinginan yang sama yakni melangsungkan ke jenjang pernikahan. Keduanya telah merencanaka dengan matang apa saja yang diperlukan untuk melangsungkan pernikahannya. Undangan telah dicetak dan disebar luaskan, gedung pernikahan telah dipersiapkan, kedua belah pihak keluarga telah saling mempersiapkan kostum dan hari pelaksanaan dengan matang. Semua hal tersebut menurut renananya akan berjalan dengan sangat lancar dan baik, tidak akan ada suatu hal yang mampu menghentikan rencana mulia mereka. Akan tetapi pada hari berlangsungnya akad pernikahan, mempelai pria mengalami musibah kecelakaan dengan satu mobil rombongannya menuju lokasi pernikahan. Allah pun berkehendak lain, kecelakaan tersebut mengakibatkan meninggal dunia calon mempelai suaminya. Hal-hal di atas seringkali membuat manusia akan merasa bahwa dunia tidak adil, takdir Allah tidak bagus dan merasa garis hidupnya tidak jelas. Namun akan tiba saatnya manusia akan menyadari apa yang telah direncanakan oleh Allah adalah suatu hal yang terbaik bagi hidupnya. Tidak sedikit juga di antara banyak manusia yang memiliki hati yang tangguh dengan mampu menerima dan selalu bersyukur dengan semua apa yang telah Allah tetapkan. Rodhiatan Mardiyatan Kebanyakan muslim ketika ditanyai apa yang mereka cari dalam hidup ini? Mereka selalu menjawab mencari ridho Allah, karena mereka ingin mendapat ridho dari Allah. Akan tetapi hal yang sebenarnya bahwa ridho Allah bukan untuk diminta dan dicari tetapi untuk mereka lakukan. Karena subjek utama ridho Allah adalah diri mereka sendiri yang harus ridho kepada Allah bahwa kemudian Allah ridho adalah hal yang otomatis. Karena tidak mungkin kalau mereka ridho dengan takdir Allah lalu Allah tidak meridhoi. Rumus sederhana di puncak firman-firman Allah dengan siapa yang dipanggil Allah untuk memasuki hilir kemesraan cinta dengan Allah. Siapa yang kompatibel terhadap cinta Allah, karena unsur kompatibelnya adalah Rodhiatan Mardiyah. Hal ini sesuai dengan firman Allah: يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ Wahai jiwa yang tenang! ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. (Q.S.al-Fajr [89]: 27-28) Dari dalil di atas menyebutkan bahwa semua manusia di muka bumi ini bisa jadi Allah meridhoi dan menerima amalan kita bisa jadi tidak, kecuali beberapa orang yang dijamin masuk surga oleh Allah seperti Rasulullah. Selain itu, semua manusia di dunia ini kedudukannya sama di mata Allah. Oleh karena itu, kita tidak usah sibuk mencari ridho Allah, akan tetapi kitalah yang harus terus menerus ridho kepada Allah karena rumusnya adalah Rodhiatan Mardiyah bukan terbalik Mardiyatan Rodhiah. Jadi kitalah yang harus memastikan setiap saat ridho kepada apapun saja yang Allah tentukan untuk kita, jika kita ridho dan terus ridho efeknya pasti diridhoi oleh Allah. Hal yang disebut kita ridho kepada Allah adalah ridho kepada setiap aplikasi Allah dalam hidup kita. Misalnya jantung kita berdetak menandakan bahwa Allah mempunyai urusan dengan jantung kita dan kita harus ridho dengan nikmat demikian. Sebagaimana pohon, binatang dan alam itu adalah 100% ekspresi dari ridho. Oleh karena itu, temukanlah ridho karena manusia adalah makhluk yang diberi akal untuk mengambil jalan dari kehidupan maka setiap hari manusia harus menemukan yang mana saja dari perilaku kita hari ini yang diridhoi Allah dan mana saja yang tidak dirihoi. Termasuk yang mana perilaku kita yang mencerminkan ridho kepada Allah dan mana yang tidak itulah ukuran hidup. seharusnya kita ridho berlangsung di setiap saat dalam hidup kita. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak berdiri di fakta hidupnya, tidak berdiri di kenyataan hidupnya mereka berdiri di harapannya saja. Maka yang akan terjadi adalah akan selalu merasa kurang apa yang di dapat dari hidupnya. Namun jika kita ikhlas berpijak ditempat dan momentum yang Allah beri serta dengan meridhoi apa yang telah Allah karuniai kita sampai saat ini dengan posisi dan keadaan bagaimanapun. Maka ridho Allah akan menyertai keikhlasan kita untuk melangsungkan kehidupan kita. Kesimpulan pada pembahasan Rodhiatan Mardiyatan adalah ketika umat muslim di dunia ini telah mengaplikasikan ridho untuk diridhoi, maka akan terciptanya hati yang senantiasa ikhlas kepada setiap ketentuan yang Alah berikan. Serta kita menjadi hamba Allah yang insyaAllah dimuliakan Allahkarena mendapatkan ridho Allah. Semoga kita semuanya menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur atas ni’mat Allah dengan segala takdir-Nya. Muhammad Athoillah. Alumni FPSB 2014 Referensi Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, “Definisi Qadha’ Dan Qadar Serta Kaitan Di Antara Keduanya”, al-Manhaj, 7 Juli 2007, <https://almanhaj.or.id/2168-definisi-qadha-dan-qadar-serta-kaitan-di-antara-keduanya.html>, 16 April 2019 Mutiara Hikmah, Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya. (Q.S. Fushshilat [41]: 46) Kehendak Tuhan, adalah manifestasi keber'ada'an Tuhan. Kehendak Tuhan merupakan ketetapan Tuhan terhadap segala hal yang berada di alam semesta, termasuk pula kehidupan manusia.
Contoh kehendak Tuhan sebagai berikut, gravitasi, air mengalir dari atas ke bawah, termasuk segala hukum yang mengatur interaksi segala hal di alam semesta.
Kehendak Tuhan juga termanifestasi dalam dunia gaib. Hubungan antara makhluk gaib dengan sesamanya dan dengan manusia diatur oleh kehendak Tuhan. Di dunia modern saat ini, kehendak Tuhan dinamakan pula sebagai hukum alam. Namun kehendak Tuhan tak terbatas hanya pada benda-benda fisik di alam semesta. Hubungan antar manusia yang sangat dinamis pun memiliki hukum-hukumnya sendiri. Dengan kata lain, kehendak Tuhan juga termanifestasi dalam hukum-hukum yang mengatur hubungan antar manusia.
Upaya mengetahui kehendak Tuhan dalam Islam disebut makrifatullah. Saat ini kebanyakan umat Islam dan umat agama lain melihat upaya mengenal Tuhan hanya dalam perspektif spiritual semata dan melupakan sisi ilmu dan pengetahuan.
Kehendak Allah atau Iradah Allah adalah salah satu sifat dari sifat-sifat Allah di dalam akidah Islam dan termasuk Rububiyah-Nya (Lordship). Allah berkehendak akan terjadinya (atau tidak terjadinya) sesuatu terhadap makhluknya. Memahami kehendak Allah ini merupakan bagian dari beriman kepada takdir Allah, Qadha dan Qadar-Nya. Umat Islam meyakini bahwa segala yang terjadi di alam ini adalah dalam kehendak dan dengan sepengetahuan Allah,[1] dan tidak ada satupun peristiwa yang terjadi di luar kehendak Allah dan Allah tidak mengetahuinya. Allah melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya.[2] Dia tidaklah mewujudkan sesuatu kecuali sebelumnya telah menghendaki-Nya. Apapun yang dikehendaki-Nya dan dilakukan-Nya adalah selalu bersifat baik dan terpuji, sedangkan perbuatan ciptaannya kadang perbuatan terpuji dan kadang tercela.[3] Barangsiapa meyakini bahwa manusia melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri tanpa adanya kehendak takdir Allah, atau bahwa Allah hanya menciptakan kebaikan namun tidak menakdirkan kejahatan, maka orang tersebut sama saja mengatakan adanya pencipta lain selain Allah, yaitu pencipta kejahatan.[4] Jenis kehendak AllahKehendak Allah di dalam Islam terbagi menjadi dua bagian, yaitu: Iradah Kauniyah Qadari (Masyiah; Kehendak yang pasti terjadi)Iradah Kauniyah Qadari, kehendak Kauni atau Masyiah adalah kehendak Allah terhadap perbuatan-Nya, baik yang dikehendaki-Nya dan dilakukan-Nya tersebut disukai-Nya ataupun dibenci-Nya. Iradah Kauniyah adalah kehendak Allah yang pasti terjadi pada seluruh makhluknya secara mutlak,[5][6] tidak ada pilihan lain bagi makhluknya kecuali takdir ini harus terjadi.[7] Iradah Kauni terjadi pada seluruh makhluknya, baik kepada hamba-Nya yang dicintai-Nya maupun yang dibenci-Nya, makhluk yang beriman maupun yang ingkar (kafir).[8] Allah berkehendak untuk memberi petunjuk dan juga menyesatkan hamba yang dikehendakinya.[9] Allah menakdirkan kebaikan dan kecelakaan bagi makhluknya. Allah menghendaki adanya hamba yang kaya atau miskin, sehat atau sakit, cantik atau cacat, raja atau rakyat, beriman atau kafir.[10] Semua terjadi karena hikmah-Nya[11] dan agar terjadi interaksi kehidupan di muka bumi. Segala yang telah terjadi dalam sejarah dunia kita adalah kehendak Kauni Allah yang telah dan pasti terjadi, dan tidak akan ada dunia aternatif (Alternate world/realitas alternatif).[12] Sebagian contoh Iradah Kauniyah:
Iradah Syari’yah Diniyah (Kehendak yang tidak mesti terjadi)Iradah Syar’iyah Diniyah atau Kehendak Syar’i adalah kehendak Allah dalam perintah agama-Nya, Iradah Syar’iyah adalah kehendak Allah yang tidak mengharuskan terjadinya apa yang diinginkan-Nya dan dicintai-Nya, hal ini dikarenakan Allah memberikan pilihan (free will) bagi manusia untuk taat atau untuk menolak.[13][14] Allah menyukai kehendaknya ini untuk dilaksanakan makhluknya dan membenci apabila kehendaknya ini dilanggar. Barangsiapa yang menuruti kehendak syar’i ini diberi pahala dan dijanjikan Surga sedangkan yang menolak berdosa dan terancam Neraka. Iradah Syar’i hanya terjadi kepada hambanya yang dicintai-Nya yaitu hambanya yang beriman. Allah senang bila mereka mendapat petunjuk dan bersyukur, dan tidak ridha apabila mereka kafir.[15] Sebagian contoh Iradah Syar’iyah:
Penerapan kedua jenis kehendak AllahKehendak Allah bisa terjadi dan terpenuhi dalam kedua sisinya (secara Kauni dan Syar’i). Dan kadang kala hanya terjadi secara Kauni tapi tidak secara syar’i, yang mana tidak terjadinya kehendak syar’i tersebut adalah atas karena kehendak Kauni Allah.[16][17] Penerapan yang terjadi di alam ini misalnya:
Ibnu Qudamah berkata, “Para Imam pendahulu dari kalangan umat Islam telah ijma’ (sepakat) bahwa wajib beriman kepada qadha’ dan qadar Allah yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit, yang sedikit maupun yang banyak. Tidak ada sesuatu pun terjadi kecuali atas kehendak Allah dan tidak terwujud segala kebaikan dan keburukan kecuali atas kehendak-Nya. Dia menciptakan siapa saja dalam keadaan sejahtera dan ini merupakan anugerah yang Allah berikan kepadanya dan menjadikan siapa saja yang Dia kehendaki dalam keadaan sengsara. Ini merupakan keadilan dari-Nya serta hak absolut-Nya dan ini merupakan ilmu yang disembunyikan-Nya dari seluruh makhluk-Nya.”[18]
|