Sifat api yang panas merupakan bagian dari takdir

Seorang teman pernah bertanya demikian: mengapa ya, “ide brilliant Tuhan” (dalam konteks science dan ilmu pengetahuan yang bermakna penyingkapan rahasia pengetahuan dan hukum-hukum alam/sunnatullah) hanya diberikan kepada orang-orang yang tekun dan memilih “jalan sunyi” sebagai ilmuwan? dan bukan kepada orang-orang yang sengaja mendekatkan diri pada Tuhan seperti ahli ibadah, pertapa, atau sufi (beliau tidak memasukkan nabi dalam klasifikasi ini sebab nabi menurut beliau adalah representasi pengabdi/utusan Tuhan)?

Mungkin yang perlu digaris-bawahi disini dalam konteks pertanyaan diatas adalah sangat berbeda (baca tidak ada hubungannya) antara:

    - seorang ilmuwan yang tekun dalam mengamati dan mempelajari fenomena alam dan kemudian berhasil menyingkap suatu fenomena alam lain akibat pengamatannya itu dengan

    - seorang ahli ibadah yang kerjanya “hanya” berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara beribadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing.

Kita tidak bisa membandingkan keduanya jika kita merujuk kepada hasil akhir (“disingkapkannya ide brillian Tuhan”) dari masing-masing upaya mereka karena takdirnya (ketentuannya) berbeda.

Allah SWT telah menentukan takdir (ketentuan terperinci) yang berbeda untuk masing-masing upaya tadi. Sebenarnya Allah SWT itu telah menentukan takdir akan segala sesuatu baik yang ada dilangit, dibumi, diantara keduanya, yang jelas maupun yang gaib (banyak ayat dalam Al Quran yang menyebutkan demikian). Penentuan takdir ini bahkan telah dilakukan 50.000 tahun sebelum Allah menciptakan alam semesta.

Segala sesuatunya itu (takdir segala sesuatu itu) telah tertulis dalam Al Lauh Mahfuz. Takdir atau ketentuan Allah akan segala sesuatu itu meliputi antara lain ketentuan akan sifat-sifat sebuah ciptaan berikut ketentuan-ketentuan lain jika satu ciptaan berinteraksi dengan ciptaan lain. Misalnya:

    - air antara lain diberikan takdirnya terdiri dari komposisi Hidrogen dan Oksigen (H2O), 

    - air selalu mengalir ketempat yang rendah – akibat hasil interaksi dengan takdir Allah yang lain (gaya gravitasi), 

    - air akan membeku jika didinginkan pada suhu tertentu (katakanlah 00C), 

    - air akan menguap jika dipanaskan pada suhu tertentu dll. 

Air panas (mendidih) hasil dari interaksi air dalam sebuah panci dengan api yang jika diinteraksikan dengan sesendok gula dan teh celup akan menghasilkan minuman teh yang nikmat.. Alhamdulillah..

Nah jika kita kembali kepada topik diskusi, seorang ilmuwan (ilmuwan yang saya maksudkan disini adalah siapa saja yang mau memfungsikan akal pikirannya untuk mengamati, memikirkan dan mengkaji alam sekitar) pada dasarnya adalah seorang yang (telah) berusaha untuk mengamati dan memahami fenomena alam baik yang fisik maupun yang abstrak. Jika dibahasakan dalam istilah takdir maka seorang ilmuwan adalah seorang yang menggunakan/memfungsikan akal pikirannya untuk mengamati dan memahami suatu ciptaan Allah dan sifat-sifat ciptaan itu (apa saja), serta berusaha untuk memahami ketentuan Allah yang berkaitan dengan ciptaan amatannya itu jika ciptaan amatannya itu berinteraksi dengan ciptaan lain. Hasil dari pengamatan dan pemahaman itu (yang tentu saja jika dilakukan dengan metode ilmiah yang benar) akan menghasilkan sebuah pengetahuan yang baru (dari sinilah kemudian, pengetahuan yang baru itu dikenal  dan lahir sebagai (cabang) ilmu pengetahuan). 

Beragam hasil temuan yang berhasil disingkap oleh ilmuan antara lain hukum gravitasi yang “dipopulerkan” pertama kali oleh Sir Isaac Newton. Pada prinsipnya hukum gravitasi adalah suatu ketentuan yang telah diberikan oleh Allah kepada bumi untuk menarik kepada dirinya segala apapun yang berada dalam wilayah jangkauannya dengan kecepatan tarik tertentu. Besaran kecepatan tarik ini yang berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran Newton kemudian dia tetapkan sebagai besaran rata-rata gaya gravitasi bumi (disebut rata-rata karena besaran gaya gravitasi antara satu tempat dengan tempat yang lain itu tidak sama karena dipengaruhi oleh banyak faktor).

Masih teramat sangat banyak “ide ide brillian Tuhan” lain yang terhampar di sekitar kita yang belum tersingkap. Setiap manusia dikarunia akal pikiran dan orang-orang yang menggunakan akal pikirannya untuk memikirkan ciptaan Allah (dalam pengertian berusaha memahami ketentuan sebuah ciptaan dan kemungkinan tak terhingga dari ketentuan lain atas hasil interaksi suatu ciptaan yang satu dengan ciptaan yang lain), maka dia akan diberikan kemudahan dalam memahaminya. Hal ini karena akal pikiran memang diciptakan dan dikondisikan untuk melakukan hal ini. Siapa saja yang melakukan ini dengan sungguh-sungguh, maka niscaya dia akan dapat menyingkap suatu ide brillian Tuhan terlepas apakah dia percaya atau tidak bahwa semua itu diciptakan oleh Tuhan yang Maha Agung pencipta alam semesta. Dalam banyak ayat dalam Al Quran, Allah memuji orang-orang yang mau memanfaatkan akal pikirannya untuk memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.

Sekarang bagaimana dengan orang-orang “ahli ibadah” – orang-orang yang sengaja “hanya” mendekatkan diri kepada Tuhan sesuai dengan cara dan kepercayaan mereka masing-masing – mengapa mereka tidak diberikan pemahaman akan ide-ide brilllian Tuhan tadi? Bukankah segala sesuatunya ini adalah milik Tuhan penguasa alam semesta? Mengapa mereka yang “mengaku” dekat dengan Tuhan akibat ibadah mereka justru tidak diberikan pengetahuan/pemahaman akan ide-ide brillian Tuhan tadi?

Nah disini sebenarnya berlaku takdir Allah yang lain..

Allah telah menentukan (salah satunya) bahwa jika seseorang (rajin) beribadah maka dia akan (paling tidak) mendapatkan ketenangan batin didunia ini. Dia akan berperilaku baik karena interaksinya yang sering dengan Tuhan dan dia dijanjikan untuk mendapatkan ganjaran yang lebih besar nanti di akhirat. Ketentuan Allah lain yang bisa saja dia dapatkan misalnya dia akan mendapatkan petunjuk untuk melakukan segala sesuatu dengan benar dan tidak tersesat. Apakah Tuhan juga telah menentukan bahwa jika seseorang rajin beribadah maka Tuhan akan memberikan dia “ide ide brilliant”? sayangnya hal itu tidak berlaku atau dengan kata lain, Tuhan telah menentukan bahwa “ide-ide brilliantnya” itu tidak akan diberikan kepada orang-orang yang “hanya” beribadah saja kepadaNya. Untuk mendapatkan ide-ide itu maka dia harus menggunakan akal pikirannya dan mengikuti metode yang benar sehingga dia bisa menyingkap banyak dari ide-ide brilliant Tuhan yang tersebar disekeliling kita. 

Apakah dapat dikatakan bahwa orang-orang yang “hanya” beribadah saja telah tidak menggunakan akal pikirannya?.. dalam konteks penyingkapan ide-ide brilliant Tuhan seperti yang didiskusikan diatas, jawabannya adalah benar… tetapi disini bukan berarti bahwa orang-orang yang “hanya” beribadah saja benar-benar telah tidak menggunakan akal pikirannya sama sekali.. yang saya maksudkan disini adalah bahwa orang-orang itu hanya tidak menggunakan akal pikirannya untuk menyingkap ide-ide brilliant Tuhan.

Dari dua penjelasan diatas, yang mana dari keduanya yang lebih baik, yang sebaiknya kita ikuti?

Dalam Al Quran, banyak sekali ayat yang menjelaskan tentang perlunya (dianjurkannya) melakukan pengamatan dan pemikiran tentang takdir (ketentuan) Allah.. memikirkan tentang ketentuan Allah berarti memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, memikirkan tentang ciptaan Allah di langit dan dibumi.. memikirkan tentang proses terjadinya hujan, memikirkan tentang proses tumbuh kembangnya janin dalam perut seorang ibu, memikirkan tentang fenomena alam, memikirkan tentang bagaimana memasak rendang yang enak dan masih banyak lagi yang lain…(tahukah kita bahwa cara memasak rendang yang enak adalah sebuah pengetahuan dan merupakan takdir/ketentuan Allah yang tidak berubah berkaitan dengan masakan rendang itu? Bukankah dalam konteks jika seorang juru masak (misalkan Si A) mencatat dengan teliti segala sesuatunya (bahan dan takarannya, prosesnya, cara memasaknya, panas api yang dibutuhkan, lama waktu memasak dll yang berkaitan dengan proses memasak rendang) – dan orang lain (Misalkan si B) kemudian melakukan hal yang sama persis dengan yang dilakukan oleh si A dalam memasak rendang itu, maka si B juga akan menghasilkan masakan rendang yang sama nikmat dan lezatnya seperti yang dibuat oleh si A?).

Di ayat lain dalam Al Quran juga banyak disebutkan untuk rajin beribadah kepada Allah agar kita terus diberikan petunjukNya, mendapatkan ketenangan batin, dan agar kita termasuk orang orang yang mendapatkan ganjaran yang baik di dunia dan di akhirat kelak..

Dari sini sebenarnya sudah jelas bahwa Allah SWT memerintahkan kita untuk melakukan kedua hal tersebut diatas secara bersamaan.

Lantas bagaimana hubungan antara yang satu dengan yang lainnya?

Sebelum dijelaskan hubungannya, terlebih dahulu kita perlu tahu bahwa pertanyaan pada topik diskusi diatas (pada bagian pertama dari tulisan ini) sebenarnya (sering) muncul karena kita semua cenderung (dipaksa secara perlahan-lahan) untuk memisahkan antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama….. akibatnya disalah satu sisi terdapat kubu ilmuwan dan disisi lain ada kubu ahli agama.. pembahasan tentang ilmu pengetahuan hanya dilakukan oleh ilmuwan dan pembahasan tentang ilmu agama hanya dilakukan oleh orang-orang ahli agama.. keduanya terpisah dan tidak ada hubungan sama sekali..

Padahal seperti yang dipaparkan di atas, dalam Al Quran, banyak sekali ayat yang memerintahkan kita untuk berpikir seperti ilmuwan dan pada saat yang sama juga kita diperintahkan untuk berpikir tentang agama. Jadi sangat perlu bagi kita untuk melakukan keduanya pada saat yang bersamaan. Bukankah segala apa yang ada dialam semesta ini adalah ciptaan Allah?.

Quraish Shihab dalam tafsirnya Al Misbah menjelaskan bahwa pemahaman tentang agama akan mengantarkan seseorang untuk mengetahui dan memahami tujuan hidupnya didunia dan diakhirat sedangkan pemahaman tentang ilmu pengetahuan akan mempercepat seseorang untuk mencapai tujuan itu.. jadi keduanya bersinergi satu sama lain.. dapat dikatakan bahwa seorang (yang hanya berfungsi sebagai) ilmuwan adalah orang yang tahu akan sesuatu (dan mungkin tahu tujuan hidupnya didunia) tetapi tidak tahu tujuan hidupnya diakhirat kelak dan seorang agamawan adalah orang yang tahu tujuan hidupnya diakhirat dan (didunia?) tetapi “lambat” dalam mencapai tujuan itu.

Sekarang apa sebutan Al Quran untuk orang orang yang melakukan kedua hal tersebut diatas secara bersamaan?

Dalam salah satu ayat dalam Al Quran disebutkan:

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ULAMA (QS 35:28)

Diayat sebelumnya di Surah ini dan di banyak ayat lain dalam Al-Quran dijelaskan tentang orang-orang yang memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, memikirkan tentang penciptaan tentang bumi dan penghamparannya dan memikirkan tentang penciptaan segala hal yang terdapat di langit dan dibumi dan dimana hasil dari pemikirannya itu yang kemudian memberikan kesadaran dalam diri mereka akan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT, bahwa Allah lah yang menciptakan semua itu dan bahwa segala sesuatunya berada dalam pengawasan, pengaturan dan kekuasaan Allah. Kesadaran semacam ini yang kemudian mendorong mereka untuk lebih banyak menyingkap rahasia dari ketentuan-ketentuan Allah akan ciptaanNya (ide-ide brilliant Tuhan dalam bahasa si penanya)  dan pada saat yang sama mendorong mereka juga untuk lebih banyak beribadah kepada Allah sebagai bentuk pengakuan akan kebesaran dan keagungan Tuhan pencipta segala sesuatu. Kesadaran inilah yang kemudian akan menjadikan mereka sebagai ilmuwan-ilmuwan hebat yang tetap tunduk dan patuh kepada Allah pencipta segala sesuatu (Banyak contoh dari bentuk kesadaran ini yang telah melahirkan banyak ilmuwan-ilmuwan muslim yang ternama di masa lalu misalnya Ibnu Sina)..

Jadi, seseorang yang berusaha untuk mendapatkan ilmu pengetahuan (mempelajari alam semesta termasuk bumi dan segala isinya) dan kemudian perolehan ilmu pengetahuannya itu mengantarnya untuk mengakui Allah sebagai pencipta segala sesuatu dan kemudian kagum dan sekaligus tunduk dan takut kepada Allah karena menyadari akan kebesaran dan kekuasan Maha Luas dan Agung dari Allah SWT, maka orang ini yang kemudian memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam kategori orang orang yang Insya Allah ditinggikan kedudukannya beberapa derajat disisi Allah.. 

Orang-orang seperti inilah juga (menurut Quraish Shihab) yang dimaksud Allah dalam Al Quran sebagai ULAMA yaitu berkumpul dalam dirinya seorang ILMUWAN dan AGAMAWAN sekaligus. 

Nah sekarang, sudahkah kita berusaha untuk menjadi salah satu dari orang-orang beruntung ini dan mendapatkan ketinggian derajat disisi Allah? 

Hanya Allah dan diri kita masing masing yang tahu jawabannya.. 

Wallahu a'lam


Page 2

Di Indonesia pada tahun ini akan diadakan pilkada serentak di 171 daerah dengan rincian 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Di Sulawesi Selatan sendiri, pilkada akan diadakan di 9 kabupaten dan 3 kota belum termasuk pemilihan gubernur (kpu.go.id, 2018). Jadi total 13 pasang pimpinan daerah di Sulawesi Selatan akan diperebutkan oleh total 37 pasangan calon sesuai daerahnya yang telah resmi diakui oleh KPUD masing masing (liputan6.com, 2018).

Sebagai warga Sul-Sel, kita diharapkan untuk ikut berpartisipasi dalam ajang pesta demokrasi 5 tahunan ini untuk memilih calon terbaik yang akan memimpin kita selama 5 tahun kedepan. Masing masing calon nantinya akan memaparkan visi misi dan program kerjanya. Tentu saja apa yang akan mereka paparkan nantinya adalah hal hal yang (mereka duga) baik dan realistis serta bisa dilaksanakan di daerahnya masing masing. Namun demikian, terkadang ada satu dua dari program itu nantinya yang mungkin terlalu jauh mengambang di awang awang tanpa langkah implementasi yang jelas.

Selain visi misi, program kerja dan rekam jejak dari masing masing calon yang bisa kita jadikan dasar dalam memilih salah satu calon nantinya, kita sebagai pemilih juga bisa menentukan indikator atau acuan sendiri untuk memilih calon pemimpin daerah kita. Salah satu yang bisa dijadikan acuan adalah seberapa besar perhatian dari masing masing calon itu terhadap budaya keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

Apa sih budaya K3 itu dan mengapa perhatian terhadap budaya K3 ini menjadi penting dan seharusnya dijadikan salah satu dasar dalam memilih pemimpin kita nantinya?

Secara filosofi, budaya K3 adalah sebuah perilaku berpikir terus menerus tentang bahaya dan resiko yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja dan di lingkungan hidup kita sehari hari yang disertai dengan upaya pencegahan dan penanggulangannya (Harian Fajar, 2017).

Selama ini di Sulawesi Selatan dan mungkin juga di daerah lain, budaya K3 baru terbatas dilaksanakan di perusahaan perusahaan, itupun karena diwajibkan oleh undang undang (UU No. 1 Thn 1970 tentang keselamatan kerja). Walaupun cenderung terpaksa, namun harus diakui bahwa manfaat penerapan budaya K3 di perusahaan sangat banyak. Diantaranya adalah dapat meningkatkan kualitas produk yang dibuat perusahaan, dapat meningkatkan daya saing perusahaan, dapat mengurangi bahkan menghilangkan kejadian kecelakaan di tempat kerja dengan slogannya “zero accident” dan yang terakhir, dapat meningkatkan produktifitas karyawan.

Namun penerapan budaya K3 di luar perusahaan juga penting dan ini yang belum dilakukan. Padahal justru hal inilah yang mendesak untuk dilakukan karena melibatkan masyarakat dalam tahapan pelaksanaannya dengan cakupan yang tentu saja lebih luas.

Dengan memperhatikan makna filosofi budaya K3 di atas, perhatian terhadap keselamatan dan kesehatan diri dan masyarakat juga harus dilakukan oleh kita bersama karena cakupan maknanya adalah untuk semua orang, dimanapun dan kapanpun. Ini karena potensi potensi bahaya dengan tingkatan resikonya masing masing bisa berada dimana saja dan pada setiap saat baik itu ketika berada di rumah misalnya, di jalan, di pusat perbelanjaan, di lingkungan tempat tinggal kita dll.

Orang yang berbudaya K3 ketika berkendara adalah orang yang memperhatikan dan mematuhi rambu rambu lalu-lintas, mengenakan helm pengaman atau mengenakan sabuk pengaman. Orang seperti ini akan bertindak hati hati dalam berkendara dan cenderung berperilaku aman. Perilaku seperti ini dengan sendirinya akan berdampak pada pengurangan bahkan penghilangan kejadian kecelakaan di jalan raya. Jika perilaku ini juga diterapkan untuk setiap aspek dalam kehidupan bermasyarakat kita, maka masyarakat yang demikian itu akan cenderung meningkat kualitas hidupnya, meningkat derajat kesehatannya dan akan tercipta masyarakat dengan perilaku yang aman dan sehat.

Dalam mewujudkan perilaku masyarakat yang berbudaya K3, pemerintah daerah dibawah calon pemimpin yang terpilih nantinya harus mendukung dengan perangkat peraturan daerah dan kebijakan pembangunan yang memudahkan dan membantu masyarakat untuk berbudaya K3. Misalnya dengan kebijakan sosialisasi budaya K3 di masyarakat, mewajibkan ditambahkan dan diajarkannya materi tentang K3 di sekolah sekolah mulai dari PAUD hingga pendidikan tinggi, melengkapi sarana dan prasana di daerahnya yang mendukung terwujudnya perilaku budaya K3, dll.

Pada setiap pilkada, kita memilih orang dan bukan partai, jadi lihatlah dan cermatilah dengan baik personalitas, rekam jejak dan komitmen pelaksanaan budaya K3 dari masing masing calon. Setiap calon pemimpin yang terpilih nantinya harus melanjutkan prestasi dari gubernur Syahrul Yasin Limpo sebagai salah satu pembina K3 terbaik se Indonesia tahun lalu dengan menjadi pembina K3 terbaik di daerahnya masing masing dan dengan lebih memperluas cakupan dari pelaksanaan budaya K3 tidak hanya di dalam perusahaan saja tetapi juga dalam kehidupan kita sehari hari.

Perhatian terhadap budaya K3 adalah salah satu perwujudan dari ketaqwaan calon pemimpin kita (Harian Fajar, 2017). Dari ke 37 pasangan calon yang akan bertarung untuk menjadi 13 pasang pimpinan daerah di Sulawesi Selatan, apakah ada calon pemimpin yang seperti itu?.