Pasti pada tau kalimat yang harusnya ada di depan peribahasa di atas kan? Ya, kalau menurut peribahasa, “Kasih Ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah”. Artinya kira-kira, kasih sayang ibu yang diberikan ke kita akan ada seumur hidup, sementara kasih sayang yang kita berikan pada mereka terukur, dan malah hanya sepanjang galah. Tau galah, kan? Itu lho, semacam alat dari bambu yang gunanya untuk memetik buah di pohon. Show Apa benar, kasih sayang kita terhadap orangtua hanya sepanjang itu? Beberapa waktu lalu, hangat hampir di semua media berita mengenai Aisyah. Gadis cilik berusia 8 tahun yang merawat ayahnya yang terbaring sakit. Luar biasa, ya? Luar biasanya lagi, akibat kekurangan biaya, mereka harus meninggalkan rumah dan mencicil becak sebagai tempat tinggal mereka. *gambar dari siniAtau kisah Miranda, gadis kecil berkebutuhan khusus berusia 10 tahun yang merawat ayahnya yang stroke. *gambar dari siniMembaca berita ini, sungguh membuat saya tertohok. Apa yang saya lakukan pada orangtua saya sejauh ini, sungguh tak ada apa-apanya dibanding Aisyah atau Miranda. Sudah lazim bahwa yang namanya kasih sayang turun ke bawah. Dari ibu ke anak, anak ke cucu, cucu ke cicit dan seterusnya. Orangtua overprotektif? Sudah biasa. Orangtua mati-matian merawat anak? Menjadi kewajiban. Tapi bagaimana dengan anak ke orangtua? Atau cucu ke kakek nenek mereka? Saya mungkin beruntung, melihat contoh nyata dari kasih sayang anak ke orangtua. Seperti yang saya pernah ceritakan di sini, ibu saya merawat nenek sampai akhir hidupnya. Selama lebih dari 14 tahun, Mama saya merawat nenek yang stroke tanpa mengeluh. Saya menyaksikan bagaimana Mama menyuapi nenek, memandikan, memakaikan baju, meladeni ocehan nenek, bahkan menceboki atau memakaikan popok, saat nenek kembali menjadi seperti bayi. Saya mendapat pelajaran besar dari sini. Kasih sayang anak nggak selalu sepanjang galah. Bisa nggak kita menyayangi mereka seperti mereka menyayangi kita selama ini? Menurut saya, apapun yang kita berikan, nggak akan setimpal dengan apa yang mereka berikan, yaitu kehidupan. Sederhananya, kalau nggak ada mereka, kan kita nggak ada. Jadi, kenapa kita harus protes saat mereka memiliki perbedaan pola pengasuhan dengan kita, padahal kita masih suka bergantung pada mereka? Kenapa saya harus protes saat Mama mengulang ceritanya, padahal saya sudah mendengarnya beratus kali? Toh, waktu saya kecil, saya juga pasti menanyakan atau menceritakan hal yang sama padanya berulang kali. Ah, mudah-mudahan kita bisa mematahkan peribahasa di atas dan mengubahnya jadi "Kasih Ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang hayat". Saya yakin, masih ada Miranda dan Aisyah lain di dunia ini, dan Insyaallah di dalam diri kita. Amiiin :)
INFO PENDIDIKAN – Arti Peribahasa Kasih Ibu Sepanjang Jalan, Kasih Anak Sepanjang Penggalan Arti kata “peribahasa” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu atau ungkapan, kalimat ringkas padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku. Arti Peribahasa Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalanCinta kasih anak kepada ibu tidak sebanyak cinta kasih ibu kepada anak KesimpulanArti peribahasa kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah cinta kasih anak kepada ibu tidak sebanyak cinta kasih ibu kepada anak Arti peribahasa lainnya :Selain arti peribahasa kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalan, berikut beberapa arti peribahasa lainnya yang mungkin menarik untuk diketahui: Tidak usak kerbau oleh penyembelihnya Ikan biar dapat, serampang jangan pukah Bagai kera diberi kaca Hutang tembilang belum langsai, hutang tajak bila pula Kalau tak ada berlela, baiklah mereka Bergedang air orang Seperti si cebot hendak mencapai bulan
Baca Juga : Arti Peribahasa Berbilang Dari Esa, Mengaji Dari Alif Sumbing melalui ratak melampaui garis Dikulum menjadi manikam, dimuntahkan menjadi sekam Jadi dinding lasak peti manian Bagai mencari kutu di dalam ijuk Nyamuk mati gatal tak lepas Bagai balak terendam Kalau baik buat tauladan, kalau tak baik buat sempadan Terpanjat di hutan dadap Dalam dua tengah tiga Dientak alu luncung Air tenang biasa menghanyutkan Kuda pelejang bukit Angin tak dapat ditangkap, asap tak dapat digenggam Lihat juga :
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.” (QS. Al Isra: 24) MENANGIS meratapi diri. Menjerit hati nuran. Merasa diri ini belum utuh mengurus ibunda tercinta yang menderita diabetes sejak 20 tahun yang lalu dan terkena stroke lima tahun lamanya. Pepatah “kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah” benar adanya. Betapa tidak meratapi, ketika mengantar ibu ke rumah sakit, saya menyaksikan dan mendengar dengan kepala, telinga dan mata sendiri ada sosok ibu yang demikian tulus, sayang dan cinta menemani anaknya yang terkena stroke, ” ini anak saya yang kena stroke, tutur sang ibu dengan wajah yang berbinar. Ini kenyataan bahwa ada ketimpangan besar antara “kasih sayang” ibu dan anak, sampai akhirnya ada perbandingan sepanjang “masa” dan “galah”. “Masa” mewakili ketidak-berujungan kasih sayang ibu, dan “galah” mewakili keterbatasan kasih sayang seorang anak kepada ibunya. Seorang ibu mampu merawat lebih dari lima anak sekaligus, tetapi belum tentu lima anak mampu merawat seorang ibu. BACA JUGA: Teladan Uwais al-Qarni, Model Bakti Seorang Anak kepada Ibu Teringat pada sebuah riwayat, pada suatu hari, Ibnu Umar melihat seseorang yang sedang menggendong ibunya sambil thawaf mengelilingi Ka’bah. Orang tersebut lantas berkata kepadanya, “Wahai Ibnu Umar, menurut pendapatmu apakah aku sudah membalas kebaikan ibuku?” Ibnu Umar menjawab, “Belum, meskipun sekadar satu nafas ibumu ketika melahirkanmu. Akan tetapi engkau sudah berbuat baik. Allah akan memberikan balasan yang banyak kepadamu terhadap sedikit amal yang engkau lakukan.” (Kitab al-Kabair karya adz-Dzahabi). Ya Allah di hadapanku, ada ibunda yang telah Allah titipkan, amanatkan, hampir tujuh tahun lamanya, tetapi belum saya maksimalkan untuk berbakti, belum sungguh-sungguh diri ini merawatnya, astaghfirullaah, mohon ampun atas semua kesalahan dan kelalaianku selama ini. Apakah diri ini mampu meneladani sosok Uwais Al Qorni, yang tercatat dalam sejarah sepanjang hidupnya tidak pernah menolak perintah dan permintaan ibunya tercinta, kecuali hanya meminta diizinkan untuk bertemu dengan Rasulullah SAW, sementara diri ini selalu saja punya berbagai alasan untuk menolak permintaan ibuku, ada rapat, harus berangkat pagi, mengajar dan alasan lainnya. BACA JUGA: Menjadi Seorang Ibu Terbaik Sudah di hari yang kedua, ibunda tercinta di rawat di Rumah Sakit, terasa pilu direlung hati ini, belum mampu membuatnya merasa tenang, nyaman, dan nampak raut wajah bahagia seutuhnya, ya Allah kasihi dan sayangilah ibunda tercinta, sebagaimana dirinya menyayangiku sejak kecil, angkat penyakitnya, sehatkan dan berikan kesabaran serta keikhlasan dalam menerima ujian sakitnya, kabulkan doa hambaMu ini. Berbisik dalam hati ini di tengah malam yang sunyi, melagukan untai syair abadi tentang ketulusan kasih ibu kepada anaknya, “Kasih ibu, sepanjang masa. Tak terhingga, sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali. Bagai sang surya, menyinari dunia.” Duhai Robb, hamba mohon ampunan atas kelalaian selama ini, bimbing dan berikan kesabaran dan keikhlasan untuk merawat ibunda tercinta, jadikan hambaMu ini menjadi anak yang berbakti. Aamiin. [] |