Sedekah bisa kita lakukan dengan beragam cara. Sesuai dengan kondisi, potensi, dan kemampuan yang kita miliki. Bagi siapa saja yang diberi kelebihan harta, maka ia bisa bersedekah dengan materi ataupun non materi. Bagi siapa saja yang diuji dengan kekurangan harta, maka pintu sedekah tidak tertutup baginya. Ia bisa bersedekah dengan beragam cara dan meraih pahala sedekah sebagaimana yang didapatkan oleh orang-orang berharta. Sedekah dengan kebaikan dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah atas karunia-Nya. Kata sedekah berasal dari bahasa Arab, yaitu shadaqah yang berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang sebagai kebajikan yang mengharap ridha Allah dan pahala semata. Sedekah lebih utama jika diberikan secara diam-diam dibandingkan diberikan secara terang-terangan. Sedekah lebih utama diberikan kepada kaum kerabat atau sanak saudara terdekat sebelum diberikan kepada orang lain. Berikut ini beberapa cara bersedekah dengan kebaikan yang dapat kita lakukan. 1. Sedekah dengan hati Seorang hamba bisa mendapatkan pahala sedekah hanya dengan niatnya yang tulus. Sebagian salaf berkata “Alangkah banyaknya amalan kecil menjadi besar karena niat, dan alangkah banyaknya pula amalan besar menjadi kecil karena niat.” Ya, niat seseorang yang tulus untuk menggunakan harta dalam kebaikan seandainya Allah memberinya, dapat mengantarkan dirinya untuk mendapatkan pahala yang sama dengan orang kaya. 2. Sedekah dengan lisan Lisan berpotensi menjadi bagian tubuh terbaik atau terburuk bagi seseorang. Ia akan menjadi anggota tubuh terbaik jika ia berbicara baik. Pun sebaliknya, lisan akan menjadi anggota tubuh terjelek jika ia berbicara buruk. Di antara hal-hal yang dapat menyebabkan lisan seseorang menjadi bengkok ialah menggunjing, mencaci maki, melaknat, mencela, mengadu domba, berdusta, dan menghina. Adapun cara sedekah dengan lisan antara lain: Berzikir dapat dilakukan di antaranya dengan membaca tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), takbir (Allahu akbar), dan tahlil. Dengan berkata baik berarti seseorang telah memberikan kebahagiaan kepada orang lain, seperti kebahagiaan saat menerima pemberian. Di antara perkataan yang baik yang termasuk sedekah antara lain:
3. Sedekah dengan perbuatan Berikut ini contoh-contoh perbuatan yang dapat bernilai sebagai sedekah, yaitu: Ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Sedekah jenis ini termasuk sedekah kepada diri kita sendiri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Orang Islam yang baik adalah orang yang tidak mengganggu kaum muslimin lainnya dengan lidah dan tangannya. Disebutkan dalam sebuah hadits:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Sedekah dengan menanam tanaman memang ajaib, karena yang dicuri pun akan bernilai sedekah bagi sang penanamnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Mengajarkan ilmu yang bermanfaat adalah sedekah, baik dengan menuliskannya dalam sebuah buku maupun menjelaskannya kepada orang lain. Maka dari itu hendaknya setiap muslim senantiasa mau belajar dan juga mengajarkan ilmu yang dipelajarinya kepada orang lain, sebab mengajarkan ilmu yang kita kuasai kepada orang lain termasuk sedekah bagi kita yang pahalanya akan terus mengalir sesudah meninggal nanti. Semoga beragam cara bersedekah yang dipaparkan di sini dapat memudahkan kita untuk meraih pahala sedekah. Setiap muslim bebas memilih cara bersedekahnya, baik dengan hati, lisan, maupun perbuatan. Semoga Allah selalu menggerakkan hati dan memudahkan langkah kita untuk bersedekah, baik dengan materi maupun non materi. Referensi Fahrur Mu’is, 2007, Sedekah Tanpa Uang, Solo: Aqwam. Lia Wijayanti Wibowo, 2015, Sedekah Tak Sekedar Rupiah, https://muslimah.or.id/7165-sedekah-tak-sekedar-rupiah.html. Penulis: Septia Rani Jurusan Informatika UII menerima kiriman artikel untuk ditampilkan pada Pojok Informatika dan Pojok Dakwah. Ketentuan dan prosedur pengiriman dapat dilihat pada laman berikut.
Dr Muhbib Abdul Wahab MA, Dosen Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tauhid merupakan ajaran Islam paling fundamental. Akidah tauhid itu diformulasikan dalam kalimat singkat, tetapi sangat dahsyat, yaitu kalimat tahlil: la ilaha illa Allah (tiada tuhan selain Allah). Kalimat ini menegasikan segala jenis Tuhan sekaligus menetapkan keesaan dan keagungan Allah SWT. Kalimat tauhid merupakan kunci pembuka surga. Rasulullah SAW bersabda: ”Kunci surga adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah” (HR Ahmad). Disabdakan bahwa “Tiada seorang hamba yang menyatakan la ila illah Allah lalu meninggal dalam keadaan bertauhid, melainkan dia akan masuk surga” (HR Muslim). Keagungan kalimat tahlil tidak hanya terletak pada dampaknya yang luar biasa bagi mukmin, tetapi juga terlihat dalam struktur kalimatnya. Kalimat La Ilaha illa Allah itu hanya terdiri atas tiga huruf: alif, lam, dan ha’. Bayangkan, tiga huruf dapat membentuk ajaran paling sentral dalam Islam. Struktur kalimat tahlil tersebut begitu agung, singkat, padat, dan bernas. Artinya, ajaran tentang keesaan Allah itu lugas, sederhana, rasional, mudah dipahami, tidak ambigu, dan tidak rumit. Apabila kalimat tahlil itu dipadatkan, esensi tiga huruf dalam la ilaha illa Allah adalah Allah (yang juga terdiri atas tiga huruf). Secara semantik, kata Allah dalam bahasa Arab berasal dari alaha-ya’lahu yang bermakna: menyembah, melindungi, menolong. Jadi, Allah adalah Dzat yang paling layak disembah, paling berhak dimintai perlindungan dan pertolongan. Oleh karena itu, setiap shalat, terutama saat membaca surah al-Fatihah, komitmen bertauhid itu selalu diulang. Oleh karena keagungan kalimat tahlil, zikir paling afdal adalah membaca, menghayati, dan mengamalkan makna kalimat tahlil. Menurut fitrahnya, manusia sangat merindukan keesaan dan kasih sayang Allah karena rahmat Allah itu mahaluas, tak terbatas, menjangkau, memenuhi, dan menjamin segala kebutuhan makhluk-Nya (QS al-A’raf [7]: 156). Menurut Said Nursi, kalimat tahlil berisi tauhid uluhiyah dan tauhid ma’budiyah. Tauhid yang pertama menghendaki pemurnian akidah dalam menuhankan Allah. Dialah satu-satunya Tuhan, Dia Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan tiada selain-Nya yang layak dituhankan. Karena itu, dosa terbesar adalah syirik, penuhanan selain Allah, karena bertentangan dengan tauhid uluhiyyah. Tauhid yang kedua, ma’budiyah, mengharuskan totalitas kepasrahan, penyerahan diri, dan penghambaan kepada Allah. Menjadi hamba Allah itu esensinya adalah bersikap sami’na wa atha’na, mau belajar, memahami, dan menaati syariat Allah. Dengan beribadah hanya kepada Allah, hamba dapat meraih derajat takwa (QS al-Baqarah [2]: 21). Dengan bertakwa kepada-Nya sebagai modal terbaik, hamba dapat meraih kasih sayang Allah (QS al-Hujurat [49]: 10), mendapat keberuntungan di dunia dan akhirat (QS Ali Imran [3]: 200), dan menjadi hamba yang pandai bersyukur (QS Ali Imran [3]: 123). Sumber: republika.id. (sm/mf) |