Jika perbuatan baik tidak menyelamatkan mengapa orang kristen dituntut untuk selalu berbuat baik

Di dalam Injil Matius 22, ketika Tuhan Yesus mengemukakan hukum yang terutama atau hukum kasih agar kita mengasihi Tuhan, Allah kita, dengan segenap hati, segenap jiwa, dan segenap akal budi, dan mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri, lalu Tuhan mengucapkan kalimat: “Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” Orang yang tidak mengasihi Allah dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi, tidak akan dapat mengalami dan memiliki keselamatan. Memang, bukan karena perbuatan baik kita selamat. Sebab, perbuatan baik menurut standar Allah tidak akan dapat dilakukan oleh manusia. Dan Allah juga tidak akan menuntut apa yang tidak dapat dilakukan manusia dengan kekuatannya sendiri. 

Perbuatan baik menurut standar Allah adalah kesempurnaan seperti Bapa. Yesus pernah mengucapkan kalimat di dalam Lukas 18:18, “Tidak ada yang baik selain Allah.” Kata “baik” yang dimaksud oleh Yesus adalah kebaikan menurut standar Allah. Kemudian, Tuhan Yesus menambahkan pernyataan-Nya di Injil Matius 19:21-23, agar dia melepaskan diri dari segala ikatan atau belenggu, sehingga proses untuk menjadi baik menurut Allah dapat berlangsung. Dengan kalimat lain, ia harus mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan. Bagaimana proses manusia (dalam hal ini umat pilihan) untuk bisa mencapai kebaikan menurut standar Allah itu? Perbuatan baik menurut standar Allah hanya dapat terjadi atau terwujud di dalam kehidupan manusia, jika ia telah ditebus oleh darah Yesus, kemudian dibenarkan di hadapan Allah atau dianggap benar walaupun belum benar. Kemudian, Tuhan memberikan meterai Roh Kudus, dan Roh Kudus menuntun orang itu kepada segala kebenaran. Artinya, Roh Kudus yang akan menolong seseorang mengerti Injil, sebab Injil itu yang menyelamatkan (Rm. 1:16-17). Selanjutnya, Allah bekerja dalam segala hal untuk mendatangkan kebaikan; kebaikan guna serupa dengan Yesus.

Hal itu bisa terjadi hanya kepada orang-orang yang mengasihi Allah (Rm. 8:28). Hanya dengan mengasihi Allah secara benar, seseorang dapat merespons keselamatan yang dikerjakan Roh Kudus dalam hidupnya. Roh Kudus tidak bisa menggarap orang yang setengah-setengah. Umat pilihan, pada mulanya hanya dituntut untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, akal budi, dan kekuatan. Walaupun berkeadaan belum sesuai dengan rancangan Allah semula; masih rusak, masih berkodrat dosa, belum memiliki kemuliaan Allah. Tetapi, bisa mengasihi Allah. Kalau bagi bangsa Israel, mengasihi Allah dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi, dan kekuatan diwujudkan dengan melakukan hukum, tapi bagi umat Perjanjian Baru—tentu sudah melakukan hukum dulu—dengan memberi diri digarap oleh Roh Kudus untuk bisa dikembalikan ke rancangan Allah semula.

Sehebat apa pun seseorang, kalau ia tidak menemukan kemuliaan Allah yang hilang, ia pasti menyesal. Lukas 14:33, “Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat jadi murid-Ku.” Artinya, tidak bisa menerima penggarapan Tuhan. Tuhan Yesus pun tidak mendadak jadi sempurna. Dia belajar taat agar mencapai kesempurnaan. Tuhan Yesus bergumul. Maka, Tuhan tahu bagaimana mengosongkan diri (Flp. 2:5-7). Jadi, orang yang mau diubahkan oleh Allah, haruslah yang mengasihi Allah lebih dari mengasihi siapa pun dan apa pun. Tuhan tidak bisa memuridkan atau mengubah orang yang tidak mengasihi Dia dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan.

Maka, jangan sampai kita terlanjur mengasihi dunia atau objek apa pun dan siapa pun lebih dari Tuhan, sehingga kita tidak akan pernah bisa digarap oleh Allah dengan baik, untuk mengalami dan memiliki keselamatan. Iblis itu cerdik, pengalamannya bermilyar atau bertrilyun tahun. Iblis mengupayakan orang-orang Kristen yang mestinya menjadi umat pilihan ini untuk menunda bertobat dan mengambil keputusan untuk mengasihi Tuhan. Sehingga, mereka bisa terkunci dalam belenggu atau ikatan, dan mereka tidak akan mampu mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan. Ini dapat berlaku bagi siapa saja. Iblis mengunci atau membelenggu seseorang melalui berbagai sarana; materi, kekayaan, dan keindahan dunia ini. Iblis juga dapat mengunci seseorang, karena kebiasaan melakukan perbuatan-perbuatan yang melukai hati Tuhan, serta perbuatan-perbuatan yang merugikan dan menyakiti sesama.

Hanya dengan hati yang mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi, seseorang bisa mengimbangi kasih Allah yang tiada batas, dan bisa berinteraksi dengan Allah. Allah tidak mungkin berinteraksi dengan orang yang tidak serius mengasihi Dia. Kita seharusnya berani mengatakan, “Aku mengasihi Engkau, Tuhan. Aku belum sempurna, tapi aku bisa mengambil keputusan mengasihi Tuhan. Aku mengambil keputusan untuk tidak mencintai dunia. Aku mengambil keputusan mengubah selera hidupku.” Pada kesempatan ini, kita mau bertobat, jangan menyia-nyiakan kesempatan yang ada.

Iblis mengupayakan orang Kristen yang mestinya menjadi umat pilihan, untuk menunda-nunda mengambil keputusan untuk mengasihi Tuhan.

Oleh: Yoseph Heriyanto

"Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya." Efesus 2:10

Sering kita mendengar pernyataan bahwa perbuatan baik itu belum tentu dibalas dengan kebaikan pula. Pertanyaannya adalah apakah lantas kita memilih untuk tidak berbuat baik kepada orang lain? Tentu jawabannya adalah tidak.

Perbuatan baik adalah kewajiban bagi semua orang tanpa harus mempertimbangkan alasannya apa, kalau berbuat baik itu memiliki alasan tertentu berarti perbuatan baik yang kita lalukan tersebut bukanlah perbuatan yang tulus. Jika perbuatan baik itu diikuti dengan “pamrih”, maka perbuatan baik itu bukanlah tindakan yang utuh.

Seperti kata pepatah di atas, ketika kita akan melakukan perbuatan yang baik kepada orang lain tetapi di sertai dengan pemikiran bahwa apakah nanti kebaikan saya juga akan mendapatkan balasan yang baik? Apakah ada keuntungannya buat saya ketika saya melakukan kebaikan bagi orang lain? dan apakah orang lain tersebut mau menerima kebaikan saya? Jika kita berpikir demikian, maka selamanya kita tidak bisa melakukan hal yang baik kepada orang lain.

Melalui Efesus 2:10 kita diingatkan kembali bahwa kita diselamatkan Tuhan bukan untuk menjadi orang yang pasif, melainkan kita dituntut untuk menjadi orang yang aktif. Aktif dalam hal apa? Aktif dalam hal melakukan pekerjaan baik. Melakukan perbuatan yang baik kepada orang lain adalah perwujudan iman yang aktif seperti yang dikehendaki oleh Tuhan.

Yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana dengan tindakan kita di dalam kehidupan sehari-hari sebagai orang yang sudah diselamatkan Tuhan?

Sudahkah kita melakukan tindakan atau perbuatan yang baik? Ataukah sebaliknya, kita seringkali menjadi batu sandungan dan tidak menjadi berkat bagi orang lain.

Marilah kita senantiasa melakukan perbuatan yang baik bagi kehidupan orang lain dengan terus mengingat bahwa Tuhan telah terlebih dahulu melakukan kebaikan dalam hidup kita dan telah menyelamatkan kita. Dimanapun kita berada, baik di lingkungan tempat kita belajar, tempat kita bekerja, dan bahkan di manapun tempat kita bersosialisasi/berkomunikasi dengan orang lain, tebarkanlah benih-benih perbuatan yang baik. Sehingga dengan kehadiran kita di manapun, dalam situasi apapun, orang lain diberkati.

Amin.

Bersikaplah ramah dan berbuat baik kepada semua orang. Sebab, barangkali di balik pakaiannya yang sederhana mereka menyimpan sayapnya yang perkasa.

Katanya percaya Yesus langsung masuk surga, yaudah orang Kristen jadi orang bejat aja, enak!” Pernyataan ini seringkali menjadi kebingungan baik bagi orang Kristen maupun non-Kristen. Sederhananya, apakah benar orang Kristen pasti masuk surga dan/sehingga tidak perlu berbuat baik? Kita akan mencoba membahas secara sangat topik ini dalam 2 bagian secara singkat.

Pertama, pernyataan ini mengasumsikan bahwa keselamatan (yang seringkali di-oversimplifikasi menjadi sekadar “masuk surga”) adalah suatu hal yang bisa didapatkan dari suatu ritual tertentu, yaitu “percaya Yesus”. Seakan-akan, “percaya Yesus” hanyalah tanda kita “booking tempat” di surga. Terdapat paling sedikit 2 kekeliruan dalam pandangan ini: (1) menganggap keseluruhan perjalanan iman orang Kristen hanyalah “percaya Yesus”, (2) menganggap “percaya Yesus” hanya sebatas ucapan mulut saja.

Pertama, kekeliruan ada pada menganggap bahwa keseluruhan perjalanan iman seorang Kristen hanyalah “percaya Yesus”. Pandangan ini mengabaikan kenyataan bahwa sebelum seseorang percaya Yesus, dia harus terlebih dahulu menyadari bahwa dia adalah orang berdosa dan menyadari betapa dalamnya dosa itu. Tidak semua orang sadar dirinya berdosa. Semakin hari, kita semakin melihat bahwa bahkan hal-hal yang sudah jelas-jelas berdosa, misal LGBT, saat ini sudah tidak lagi dianggap dosa di beberapa bagian dunia. Namun tidak terbatas pada hal-hal yang sudah hitam-putih. Banyak orang menganggap dirinya tidak berdosa padahal yang dipikirkannya sehari-hari hanyalah dirinya sendiri, bagaimana aku jadi pintar, bagaimana aku jadi dokter yang sukses, dan seterusnya.

Pun jika seseorang sadar diri berdosa, tidak akan ada yang menyadari seberapa dalamnya dosanya tersebut. Semua orang bisa berkata musik karangan Beethoven itu indah, tapi hanya orang-orang yang belajar sungguh-sungguh tentang musik tersebut yang akan menyadari keindahan musik tersebut secara benar dan penuh. Demikian juga mungkin banyak orang yang sadar diri berdosa, tapi tidak akan ada seorang pun yang menyadarinya secara benar dan penuh, betapa dalamnya ia berdosa. Mengapa demikian? Karena semua orang telah mati dalam dosa. Seluruh pikiran, perasaan, dan kehendaknya telah dibelenggu oleh dosa sehingga – sebagaimana orang mati tidak menyadari dirinya mati demikian juga – tidak ada orang yang menyadari kalau dirinya mati dalam dosa.

Maka cara satu-satunya manusia bisa menyadari diri berdosa dan menyadarinya secara benar dan penuh, hanya dengan anugerah dan kebaikan Allah saja, tidak ada yang lain. Di titik ini, kita sadar adanya konsep all or none, di mana jika Allah sudah membukakan kesadaran berdosa ini kepada dia, maka tidak mungkin tidak, orang tersebut akan menyadari bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkannya, termasuk perbuatan-perbuatan baiknya juga. Dengan menyadari hal tersebut, dia akan sadar bahwa keselamatan itu harus berasal dari luar dirinya, yaitu pengorbanan Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat satu-satunya, yang suci dan tak bercacat, yang menanggung murka Allah atas dosa-dosa kita. Oleh karena itu, siapapun kamu yang membaca artikel ini, tidak ada yang memaksa kamu percaya Yesus, namun kami mengajak kamu untuk berdoa memohon kepada Tuhan untuk menyadarkanmu akan seberapa dalam keberdosaanmu. Sadarlah bahwa tidak ada yang dapat menghapuskan dosa-dosamu, ibadahmu tidak bisa, kebaikanmu tidak bisa, pahalamu tidak bisa, mengapa? Sebab dosa kita terlalu besar dan dalam; sementara Tuhan adalah Allah yang suci dan membenci. Oleh karena itu, tidak bisa tidak, keselamatan hanya, benar-benar hanya, dapat kita peroleh dari luar diri kita, tepatnya dari pengorbanan Yesus Kristus di atas kayu salib, tidak ada yang lain. Jadi pertanyaannya, kita yang sudah menyadari keberdosaan kita, apakah kita masih mau bersukacita dalam dosa dan menjadi orang Kristen yang hidupnya bejat?

Kalau tadi kita melihat bahwa ternyata tindakan “percaya Yesus” itu ternyata didahului oleh beberapa hal lain, sekarang kita lanjut ke kekeliruan selanjutnya: menganggap “percaya Yesus” hanya sebatas pengakuan kata-kata yang keluar dari mulut sebagai mantra. Kalau kita melihat uraian di paragraf sebelumnya, maka secara logis kita dapat menyimpulkan bahwa pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya Tuhan dan Juruselamat adalah pengakuan yang berasal dari hati yang hancur dan putus asa akan keberdosaan yang membelenggu kita sehingga akan menghasilkan respon hati yang ingin lepas darinya. Kesadaran akan keberdosaan ini menuntut respon hati yang sungguh-sungguh dan tidak hanya ucapan mulut semata.

Poin besar yang kedua, pernyataan “orang Kristen pasti masuk surga sehingga tidak perlu berbuat baik” juga pernyataan yang melupakan kuasa kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Yesus telah mati di atas kayu salib untuk menebus seluruh hutang dosa kita. Di dalam kematian-Nya itu kita melihat betapa Allah membenci dan murka terhadap dosa; di sanalah kita melihat murka Allah yang paling puncak atas dosa manusia yang ditumpahkan ke atas pribadi Yesus Kristus. Pertanyaannya, bagaimana mungkin kita yang menyadari akan keberdosaan kita dan yang kini melihat kebencian Allah terhadap dosa masih mau bermain-main dengan dosa? Bukankah kita sudah menyadari bahwa dosa hanya akan membawa kita kepada kehancuran dan murka Allah semata?

Namun tidak sampai di situ, kuasa kematian Kristus tidak hanya membuat kita tidak melakukan dosa karena rasa takut akan murka Allah, tetapi kita didorong untuk melihat alasan yang jauh lebih dalam dari itu, yaitu kasih Allah. Kita baru melihat betapa Allah membenci dosa, namun lihatlah! Lihatlah betapa besar pengorbanan yang Allah lakukan demi menyelamatkan manusia yang berdosa! Ia mengutus Anak-Nya yang Tunggal, Tuhan kita, Yesus Kristus untuk mati di atas kayu salib menanggung murka dosa kita. Pertanyaannya, tidakkah hati kita kagum melihat kasih yang sedemikian besar dan tidak masuk akal ini? Bagaimana mungkin hati kita tidak tergerak untuk mengasihi-Nya kembali? Maka, mungkinkah kita yang sudah percaya Yesus masih hidup sembarangan di dalam dosa, yang jelas-jelas kita tahu mendukakan hati-Nya? Jelas tidak.

Dari penjelasan di atas maka kita melihat bahwa orang Kristen seharusnya bukan hanya tidak boleh hidup dalam dosa lagi, melainkan lebih dari itu orang Kristen harusnya tidak bisa lagi hidup dalam dosa. Orang Kristen seharusnya membenci dosa dan melakukan perbuatan yang benar. Namun, yang membedakan orang Kristen dari yang lain adalah perbuatan baik yang dilakukan orang Kristen, sama sekali tidak ditujukan agar dia bisa masuk surga, sebab jaminan itu sudah ada ketika dia percaya Yesus. Perbuatan baik itu murni dilakukannya untuk kemuliaan Tuhan.