Jika kompetensi profesional tidak dimiliki guru bagaimana dampaknya terhadap proses pembelajaran

Ada sebuah ungkapan berbahasa Arab berbunyi: Ath-thoriqotu ahammu minal maadah, wal mudarrisu ahammu min kulli sya’i. Artinya, metode pembelajaran lebih penting daripada materi pembelajaran, dan guru lebih penting dari segalanya.

Ungkapan ini mengandung makna bahwa seorang pengajar harus menguasai materi yang akan disampaikan. Namun, ada hal yang lebih penting daripada itu, seorang guru harus menguasai metode yang menentukan proses pembelajaran. Guru yang menguasai metode lebih baik ketimbang guru yang cuma menguasai materi.

Ini berarti dalam pembelajaran, yang terpenting adalah guru. Semua metode, media, referensi, dan sebagainya tak akan berarti bila guru tak mampu memerankan tugasnya dengan baik. Hal ini seperti halnya koki yang pintar meracik menu ketimbang tukang masak biasa yang cuma hafal bumbu. Daftar bumbu bisa disalin, tapi koki susah dicari gantinya.

Melihat pentingnya posisi guru dalam dunia pendidikan, maka sumber daya manusia (SDM) yang unggul adalah hal mutlak dalam proses pembelajaran. Seorang guru harus memenuhi standar pendidik yang dapat dicapai dengan memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik. Hal ini tak bisa ditawar karena sudah diamanatkan dalam Pasal 8 Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Beleid tersebut memberi pengakuan bahwa guru adalah tenaga profesional yang setara dengan profesi lain seperti dokter, pengacara, dan seterusnya.

Dalam Pasal 2 ayat 1 1 UU No 14 Tahun 2005 disebutkan, guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara tenaga profesional dalam UU tersebut terlebih dahulu sudah diatur dalam Pasal 1 butir 4 yang menyatakan bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Sebagai tenaga profesional, tentu saja ada konsekuensi atau standar kelayakan yang harus ditempuh seorang guru (Pasal 8 UU No 14 Tahun 2005). Salah satunya, seorang guru wajib memiliki kompetensi. Atau amanat UU ini bisa diartikan apabila guru tidak mampu memenuhi kompetensi, maka akan gugur keguruannya.

Secara etimologis, kompetensi berasal dari bahasa Inggris dengan kata dasar compete atau berarti bertanding, bersaing, berlomba. Kemudian dijadikan kata benda menjadi competence atau competency yang berarti kemampuan, kecakapan, atau wewenang. Lalu, ada beberapa pengertian kompetensi secara terminologis. Misalnya, seperti dirumuskan UU No 14 Tahun 2015 yakni, kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku yang harus dihayati, dan dikuasai oleh seorang dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.

Sedangkan, pada Pasal 1 UU No 14 Tahun 2005, guru didefinisikan sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Jadi, kompetensi guru adalah himpunan pengetahuan, kemampuan, dan keyakinan yang dimiliki seorang guru dan ditampilakan untuk situasi mengajar. Dengan kata lain, kompetensi guru adalah seperangkat pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.

Pasal 10 ayat 1 UU No 14 Tahun 2005 menyebutkan kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ada 4 kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Yaitu, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.

Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki. Misalnya, mampu memutuskan mengapa, kapan, dimana, dan bagaimana suatu materi mendukung tujuan pengajaran dan bagaimana memilih jenis-jenis materi yang sesuai untuk keperluan belajar siswa.

Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, berakhlak mulia yang menjadi teladan bagi peserta didik. Misalnya, selalu menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa.

Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik sesama guru, orang tua atau wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Misalnya, berkontribusi terhadap perkembangan pendidikan di sekolah dan masyarakat.

Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan guru dapat membimbing peserta didik untuk memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalan Standar Nasional Pendidikan. Sebut misal, kemampuan perencanaan program proses belajar mengajar. Ketentuan lebih lanjut perihal kompetensi guru juga diatur dengan peraturan pemerintah.

Dari paparan di atas sangat jelas bahwa program kompetensi guru sangat penting bagi tenaga pendidik dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengajar profesional. Program kompetensi guru menjadi standar mutlak guru dalam meningkatkan kualitas mengajar agar tercapai tujuan pendidikan nasional. Kompetensi guru juga bisa sebagai upaya pembinaan dan pengembangan profesi guru dalam bentuk pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB). Diharapkan, guru tak lagi sekadar menyampaikan materi pembelajaran saja, tetapi lebih dari itu: harus mampu memiliki sikap Ing ngarso sung tuladha, Ing madya mangun karso, Tutwuri Handayani (di depan menjadi teladan, di tengah membangun karsa, membangkitkan semangat dan kreatifitas, serta di belakang memberi motivasi, mengawasi, dan mengayomi. ***

Ikuti tulisan menarik Ronggo Warsito lainnya di sini.

Jakarta - Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru. Guru adalah elemen penting dalam pendidikan. Akan seperti apa dan bagaimana bangsa Indonesia di masa depan sangat bergantung pada kualitas guru. Saking pentingnya peran dan tanggung jawab guru, UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan guru sebagai agen pembelajaran yang harus menjadi fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik. Konsekuensi logisnya, anggaran pendidikan tahun 2017 alokasinya 20% dari total APBN. Nilainya mencapai Rp 419 triliun. Walau agak ironis, karena sebagian besar anggaran pendidikan tersebut digunakan untuk gaji dan tunjangan guru. Maka wajar, rata-rata tingkat penghasilan guru mengalami lonjakan tiga kali lipat. Sementara alokasi untuk pembangunan maupun renovasi sekolah masih sangat kecil.Ironisnya lagi, data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016 memperlihatkan, pendidikan di Indonesia hanya menempati peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang. Sedangkan komponen penting dalam pendidikan yaitu guru menempati urutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kualitas pendidikan di Indonesia masih jauh dari memadai. Besarnya anggaran pendidikan pun tidak serta merta menjadikan kualitas pendidikan meningkat. Mengapa? Karena kualitas guru masih bermasalah. Suka tidak suka, hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2015, rata-rata nasional hanya 44,5 --jauh di bawah nilai standar 75. Bahkan kompetensi pedagodik, yang menjadi kompetensi utama guru pun belum menggembirakan. Masih banyak guru yang cara mengajarnya kurang baik, cara mengajar di kelas membosankan. Inilah momentum yang tepat untuk mengkritisi soal kompetensi guru.

Kompetensi Guru

Patut disepakati, persoalan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia tentu tidak bisa dijawab dengan cara mengubah kurikulum. Atau, bahkan mengganti menteri atau dirjen. Kualitas pendidikan hanya bisa dijawab oleh kualitas guru. Guru yang profesional, guru yang berkualitas adalah jaminannya. Tanpa perbaikan kualitas guru maka kualitas pendidikan akan tetap "jauh panggang dari api", akan tidak memadai.Bayangkan saja, dari 3,9 juta guru yang ada saat ini, masih terdapat 25% guru yang belum memenuhi syarat kualifikasi akademik, dan 52% guru belum memiliki sertifikat profesi. Di sisi lain, seorang guru dalam menjalankan tugasnya harus memiliki standar kompetensi yang mencakup kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.Kita masih ingat, penerapan sekolah lima hari yang menimbulkan polemik. Bahkan penerapan Kurikulum 2013 yang "terpaksa" dibatalkan akibat guru yang belum paham betul. Banyak guru yang bingung sehingga pembelajaran tidak berjalan optimal. Maka upaya meningkatkan kompetensi guru sebagai pelaksana kurikulum di kelas sangatlah penting. Karena sebaik apapun kurikulum yang ada, tidak akan bisa berjalan dengan baik tanpa didukung guru yang berkualitas. Persoalan guru memang tidak sederhana. Walau jangan pula dinyatakan terlalu kompleks. Membahas kompetensi guru, prinsip dasarnya adalah memetakan faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya kompetensi guru. Dalam konteks ini, setidaknya dapat diduga ada empat penyebab rendahnya kompetensi guru.

Pertama, ketidaksesuaian disiplin ilmu dengan bidang ajar. Masih banyak guru di sekolah yang mengajar mata pelajaran yang bukan bidang studi yang dipelajarinya. Hal ini terjadi karena persoalan kurangnya guru pada bidang studi tertentu.

Kedua, kualifikasi guru yang belum setara sarjana. Konsekuensinya, standar keilmuan yang dimiliki guru menjadi tidak memadai untuk mengajarkan bidang studi yang menjadi tugasnya. Bahkan tidak sedikit guru yang sarjana, namun tidak berlatar belakang sarjana pendidikan sehingga "bermasalah" dalam aspek pedagogik.Ketiga, program peningkatan keprofesian berkelanjutan (PKB) guru yang rendah. Masih banyak guru yang "tidak mau" mengembangkan diri untuk menambah pengetahuan dan kompetensinya dalam mengajar. Guru tidak mau menulis, tidak membuat publikasi ilmiah, atau tidak inovatif dalam kegiatan belajar. Guru merasa hanya cukup mengajar.Keempat, rekrutmen guru yang tidak efektif. Karena masih banyak calon guru yang direkrut tidak melalui mekanisme yang profesional, tidak mengikuti sistem rekrutmen yang dipersyaratkan. Kondisi ini makin menjadikan kompetensi guru semakin rendah.

Mutu Pendidikan

Fakta di tahun 2016, kualitas pendidikan di Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 69 negara. Hal ini menjadi cermin konkret akan kualitas dan kuantitas guru di Indonesia. Maka harus ada langkah serius untuk membenahi kualitas guru. Karena nyatanya, tidak sedikit guru yang hari ini tetap saja menjalankan proses belajar-mengajar dengan pola "top-down". Guru seolah berada "di atas" dan siswa berada "di bawah", guru bertindak sebagai subjek dan siswa sebagai objek belajar.

Guru merasa berkuasa untuk "membentuk" siswanya. Ibaratnya, guru menjadi "teko" dan siswa sebagai "gelas" sehingga siswa berstatus hanya menerima apapun yang dituangkan guru. Siswa tidak diajarkan untuk mengeksplorasi kemampuan dirinya. Siswa hanya bisa disuruh tanpa diajarkan untuk mengenal dirinya lalu mampu bertahan hidup.Belajar bukanlah proses untuk menjadikan siswa sebagai "ahli" pada mata pelajaran tertentu. Siswa lebih membutuhkan "pengalaman" dalam belajar, bukan "pengetahuan". Karena itu, kompetensi guru menjadi syarat utama tercapainya kualitas belajar yang baik. Guru yang kompeten akan "meniadakan" problematika belajar akibat kurikulum. Kompetensi guru harus berpijak pada kemampuan dalam mengajarkan materi pelajaran secara menarik, inovatif, dan kreatif yang mampu membangkitkan gairah siswa dalam belajar.Maka, hari ini sangat dibutuhkan guru-guru yang mampu mengubah kurikulum menjadi unit pelajaran yang mampu menembus ruang-ruang kelas. Kelas sebagai ruang sentral interaksi guru dan siswa harus menyenangkan. Guru tidak butuh kurikulum yang mematikan kreativitas. Seharusnya, guru menjadi sosok yang tidak dominan di dalam kelas. Guru bukan orang yang tahu segalanya. Guru bukan pendidik yang berbasis kunci jawaban. Tapi, guru penuntun siswa agar tahu bidang pelajaran yang paling disukainya.

Tujuan besar perubahan kurikulum tentu akan sia-sia apabila mindset guru tidak berubah. Guru adalah kreator dan tidak perlu text book terhadap kurikulum. Guru tidak boleh nyaman dengan cara belajar yang satu arah. Sekali lagi, mutu pendidikan hanya bisa terjadi bila guru mengajar dengan hati, bukan hanya logika.

Jadi, mutu pendidikan ada di tangan guru. Kurikulum memang penting, tapi tidak urgen bagi kualitas pendidikan. Menteri sehebat apapun tidak terlalu penting bagi mutu pendidikan. Kasihan dunia pendidikan kita. Sudah terlalu banyak diskusi tentang teori-teori untuk memajukan pendidikan. Terlalu banyak berdebat tentang pelaksanaan kurikulum. Tapi sayang, kita terlalu sedikit bertindak untuk membenahi kompetensi dan mentalitas guru dalam mendidik. Ketahuilah, guru akan sulit menerima perubahan jika kompetensinya rendah. Pendidikan akan semakin rumit ke depan bila kualitas guru kita memang lemah. Maka kompetensi guru harus segera ditingkatkan, itulah titik penting mutu pendidikan Indonesia.

Syarifudin Yunus dosen Universitas Indraprasta PGRI
(mmu/mmu)