Jelaskan upaya pemerintah untuk menumpas gerakan DI/TII di Aceh

Usaha pemerintah dalam menumpas pemberontakan DI/TII di Jawa Barat yang dipimpin oleh Kartosuwirjo dilakukan dengan dua cara. Cara pertama adalah dengan cara damai. Pada cara ini, pemerintah membentuk sebuah panitia yang beranggotakan Zainul Arifin (kementerian Agama), Makmun Sumadipraja (Kementerian Dalam Negeri), dan kolonel Sadikin (Kementerian Pertahanan). Mereka diberikan tugas untuk mengadakan kontak dengan pimpinan DI/TII untuk berunding. Namun, usaha ini pun gagal. Upaya lain yang dilakukan pemerintah aalah mengirim surat ke Kartosuwiryo untuk berunding melalui Mohammad Natsir Natsir (mantan perdana menteri dan pemimpin Masyumi), namun juga tidak berhasil.

Karena kegagalan cara diplomatis, akhirnya pemerintah melakukan tindakan militer berupa Operasi Pagar Betis. Operasi Pagar Betis adalah operasi militer Indonesia untuk mengakhiri pemberontakan DI/TII di Jawa Barat yang dipimpin oleh Kartosuwiryo, dengan mengepung markas pemberontak di Gunung Geber. Dalam operasi ini, TNI yang dipimpin oleh Divisi Siliwangi mengepung wilayah-wilayah yang menjadi basis kekuatan DI/TII dan membatasi gerakkan mereka. Operasi ini dinamakan “pagar betis” karena pasukan TNI mengepung basis-basis pemberontak DI/TII sehingga membatasi ruang gerak mereka. Akhirnya pada 4 Juni 1962, Kartosuwiryo berhasil ditangkap di Gunung Geber. Tertangkapnya Kartosuwiryo ini mengakhiri pemberontakan DI/TII di Jawa Barat.

Dengan demikian, usaha pemerintah untuk memadamkan pemberontakan DI/TII di Jawa Barat yang dipimpin oleh Kartosuwirjo dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan musyawarah dengan jalan diplomasi kemudian dilanjutkan dengan operasi militer di bawah TNI (operasi Pagar Betis).

Jadi, jawaban yang tepat adalah B.

Jelaskan upaya pemerintah untuk menumpas gerakan DI/TII di Aceh

Kronologi penumpasan pemberontakan DI/TII yang juga berkembang di Aceh, dipimpin oleh Tengku Moh. Daud Beureuh setelah menyatakan bahwa Aceh merupakan bagian dari NII Kartosuwirjo. Dimulai pada tanggal 20 September 1953, dengan Pemberontakan DI/TII di asrama Brimob di Langsa, Aceh, dapat digagalkan setelah mendapatkan bantuan pasukan dari Medan. Kemudian pada tanggal 18 November 1953, Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI)/TNI mulai bergerak di bawah komando Kapten N.H. Sitorus untuk menumpas gerombolan DI/TII di Blangrakal, Aceh. Pada tanggal 20 November 1953, kesatuan-kesatuan APRI menuju Lapahan, Aceh untuk memerangi pemberontakan DI/TII. Operasi ini mendorong pemberontak melarikan diri. Kemudian pada 29 November 1953, pemberontakan di Aceh berakhir setelah APRI berhasil mengambil alih Kota Geumpang, Aceh. Kota ini merupakan kota terakhir yang dikuasai kelompok DI/TII. Upaya dalam pendekatan persuasif yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dilakukan pada 8 Mei 1962 dengan usaha Pangdam Iskandar Muda Kolonel M. Yasin melakukan pendekatan terhadap Daud Beureuh, sehingga Aceh dapat kembali masuk dalam Negara Indonesia. Negosiasi tersebut memutuskan bahwa Aceh diberikan hak otonomi sebagai provinsi yang disebut Daerah Istimewa Aceh dan boleh menerapkan syariat Islam sebagai aturan daerah yang berbeda dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Jadi jawaban yang paling tepat adalah D.

2. Bagaimana upaya pemerintah untuk mengatasi pemberontakan DI/TII di Aceh? Pembahasan: Untuk menumpas pemberontakan DI/TII di Aceh, pemerintah mengadakan dua pendekatan (pendekatan persuasif dan operasi militer). Perdekatan persuasif dilakukan dengan mengembalikan kepercayaan rakyat kepada pemerintah, sedangkan operasi militer dilakukan untuk menghancurkan kekuatan bersenjata DI/TII. Dengan dua pendekatan tersebut, pemerintah berhasil memulihkan kepercayaan rakyat dan berhasil menciptakan keamanan rakyat Aceh. Pada tanggal 17–21 Desember 1962 diadakan musyawarah kerukunan rakyat Aceh. Adanya musyawarah tersebut merupakan gagasan dari Pangdam I/Iskandar Muda, Kolonel M. Yasin yang didukung oleh tokoh pemerintah daerah dan masyarakat Aceh. Hasil musyawarah tersebut pemerintah menawarkan amnesti kepada Daud Beureueh asalkan Daud Beureueh bersedia kembali ke tengah masyarakat. Dengan kembalinya Daud Beureueh ke tengah masyarakat menandai berakhirnya pemberontakan DI/TII.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama


Page 2

KOMPAS.com - Pemberontakan DI/TII terjadi di beberapa daerah, seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. 

Kahar Muzzakar memimpin pemberontakan DI/TII di daerah Sulawesi Selatan, Amir Fatah memimpin pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah, Kartosuwiryo memimpin pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, dan DI/TII Aceh dipimpin Daud Beureueh. 

Seluruh upaya perlawanan mereka akhirnya dikalahkan pemerintah. Berikut upaya penumpasan pemberontakan DI/TII di berbagai daerah.

Baca juga: Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah

Penumpasan Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah

Penyebab terjadinya gerakan DI/TII di Jawa Tengah dimulai dari adanya perubahan situasi politik di daerah Tegal-Brebes karena penandatangan Perjanjian Renville. 

Dalam perjanjian tersebut disebutkan satu pasal yang berisi bahwa semua kekuatan pasukan RI yang ada di daerah pendudukan Belanda harus ditarik dan ditempatkan di daerah RI. 

Oleh sebab itu, pasukan RI harus meninggalkan daerahnya, salah satunya Pekalongan yang sudah dikuasai Belanda. 

Akan tetapi, tidak untuk pasukan RI uang ada di Brebes dan Tegal. Mereka tidak meninggalkan daerahnya. 

Para pejuang di Brebes dan Tegal masih bertahan dan berupaya menyusun strategi untuk melakukan perlawanan. 

Mereka kemudian melakukan operasi militer Gerakan Antareja Republik Indonesia (GARI) dan Gerilya Republik Indonesia (GRI).

Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah ini dipimpin oleh Amir Fatah. 

Amir Fatah bersama pasukannya menyerang para TNI dan beberapa desa, yaitu Desa Rokeh Djati dan Pagerbarang.

Untuk melemahkan kekuatan Amir Fatah dan pasukannya, upaya penumpasan pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah dilakukan dengan membentuk Gerakan Banteng Nasional (GBN).

GBN dipimpin oleh Letnan Kolonel Sarbini, Letkol Bachrum, dan Letkol Ahmad Yani.

Akhirnya, tanggal 22 Desember 1950, pasukan DI/TII di Jawa Tengah berhasil ditangkap di Desa Cisayong, Tasikmalaya, begitu juga dengan Amir Fatah yang kemudian dipenjara selama dua tahun. 

Baca juga: Pemberontakan DI/TII di Aceh

Penumpasan Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat 

Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dipimpin oleh Kartosuwiryo pada 7 Agustus 1949. 

Terjadinya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat didasari oleh rasa tidak puas dari Kartosuwiryo terhadap kemerdekaan Republik Indonesia yang waktu itu dibayang-bayangi kehadiran Belanda. 

Awal tahun 1948, Kartosuwiryo pun bertemu dengan Panglima Laskar Sabilillah dan Raden Oni Syahroni, di mana ketiga tokoh ini menentang Perjanjian Renville karena dianggap tidak melindungi warga Jawa Barat.

Wujud penolakannya tersebut ditunjukkan dengan membentuk Negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpin Kartosuwiryo.

Setelah NII, ia membentuk Tentara Islam Indonesia (TII) untuk memerangi pasukan TNI agar dapat memisahkan diri dari Indonesia. 

Hal ini yang menjadi awal terjadinya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dan melebar ke daerah-daerah lainnya. 

Untuk menanggulangi pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, pemerintah mengeluarkan peraturan No. 59 Tahun 1958 yang berisi tentang penumpasan DI/TII.

Upaya penumpasan pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dilakukan dengan menurunkan pasukan Kodam Siliwangi dan menerapkan taktik Pagar Betis. 

Taktik Pagar Betis dilakukan menggunakan tenaga rakyat dengan jumlah ratusan ribu untuk mengepung tempat persembunyian DI/TII. 

Selain itu, Kodam Siliwangi juga melakukan operasi lain, yaitu Operasi Brata Yudha. 

Operasi Brata Yudha bertujuan untuk menemukan tempat persembunyian Kartosuwiryo.

Kartosuwiryo pun berhasil ditemukan oleh Letda Suhanda, pemimpin Kompi C Batalyon 328 Kujang II/Siliwangi.

Baca juga: Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat

Penumpasan Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan

Tahun 1950, terjadi pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan.

Kahar Muzakkar memimpin pemberontakan DI/TII di daerah Sulawesi Selatan bersama kelompok gerakan bernama Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). 

Pada 20 Januari 1952, Kahar Muzakkar memutuskan untuk bergabung bersama DI/TII.

Kemudian, tanggal 7 Agustus 1953, ia mengumumkan bahwa Sulawesi Selatan dan sekitarnya merupakan bagian dari Negara Islam Indonesia. 

Pemberontakan DI/TII Sulawesi Selatan yang dipimpin Kahar Muzakkar didasari dengan rasa kecewanya karena banyak anggota KGSS yang ditolak menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). 

Kahar Muzakkar melakukan pemberontakan dalam dua tahap. Tahap pertama terjadi tahun 1950-1952 dan tahap kedua berlangsung sejak 1953 hingga 1965. 

Sebagai tindak lanjut dari pemberontakan yang dilakukan Kahar Muzakkar, pemerintah pusat pun mengirimkan operasi militer ke Sulawesi Selatan. 

Akhirnya, Februari 1965 Kahar Muzakkar ditembak mati. 

Baca juga: Pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan

Penumpasan Pemberontakan DI/TII di Aceh

Pemberontakan DI/TII di Aceh terjadi pada 20 September 1953 dipimpin oleh Daud Beureueh.

Pemberontakan DI/TII di Aceh ini terjadi karena adanya pernyataan proklamasi mengenai berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di bawah imam besar Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Selain itu, Daud Beureueh juga merasa kesal karena pada 1948, Presiden Soekarno pernah berjanji bahwa Aceh boleh menerapkan syariat Islam dan tetap menjadi provinsi di Indonesia.

Namun, karena merasa dibohongi, Daud memantapkan diri untuk melancarkan pemberontakan DI/TII.

Tujuan Daud melancarkan pemberontakan yaitu menuntut diberikannya hak otonom untuk Aceh.

Melihat peristiwa ini, pemerintah pun melakukan upaya penumpasan pemberontakan DI/TII di Aceh melalui upaya militer dan diplomasi.

Operasi Militer dilakukan dengan melangsungkan Operasi 17 Agustus dan Operasi Merdeka.

Sedangkan upaya diplomasi dilakukan dengan mengirim utusan ke Aceh untuk berbincang dengan Daud Beureueh. 

Pemberontakan Di/TII di Aceh akhirnya dapat diselesaikan dengan cara damai, di mana pemerintah pusat memutuskan untuk memberikan hak otonomi kepada Aceh sebagai provinsi yang disebut Daerah Istimewa Aceh dan diperbolehkan menerapkan syariat Islam.

Tanggal 18-22 Desember 1962 dilangsungkan upacara besar bernama Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA) di Aceh sebagai tanda perdamaian. 

Referensi: 

  • Dijk, C. van Cornelis. (1981). Rebeliion under the banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia. Den Haag: M. Nijhoff.
  • Kepustakaan Populer Gramedia. (2011). Daud Beureueh: Pejuang Kemerdekaan yang Berontak. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  • Agung, Ide Anak. (1991). Renville. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. hlm 71.
  • Dijk, Van. (1995). Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Jakarta: Pustaka Utama Graffiti. hlm 127. 
  • Soraya dan Abdurakhman. (2019). Jalan Panjang Penumpasan Pemberontakan DI/TII Jawa Barat 1942-1962. Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. 
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.