Jelaskan apa yang kamu pahami dari QS Al-Baqarah ayat 155-157?

Maulana, Lutni (2020) BUKTI DALAM QURAN (Studi Perbandingan Tafsir Ibnu Katsir dan M. Quraish Shihab pada Surat Al Baqarah ayat 155-157).

Ringkasan

Qur'an (Studi Perbandingan Tafsir oleh Ibnu Katsir dan M. Quraish Shihab dengan Surat Al Baqarah ayat 155-157). Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humor. Institut Studi Agama dan Tafsir. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Juru Bicara : Prof.Dr. Budihardjo, M. Ag Kata Kunci: Ayat Al-Qur'an, Pemeriksaan, Tafsir Perbandingan Karya ini membahas tentang perbandingan atau perbandingan dua ahli tafsir yaitu Ibnu Katsir dengan kitab tafsirnya Ibnu Kas}ir dan M. Quraish Shihabs al -Qur'anul 'Adhim dengan kitab tafsirnya Tafsir al-Misbah tentang tafsirnya terhadap surat al-Misbah. Baqarah 155-157. Kedua komentator tersebut mewakili generasi yang berbeda, Ibnu Katsir dari periode klasik sedangkan M. Quraish Shihab dari periode kontemporer. Perbedaan waktu menjadi menarik dalam pembahasan ini karena keduanya memaknainya dalam kondisi waktu yang berbeda dan jelas permasalahan yang mereka hadapi juga berbeda. Keduanya juga sama dengan para ulama tafsir terkemuka yang karya-karyanya banyak dijadikan referensi di bidang tafsir. Perbedaan yang sangat signifikan terletak pada penjabaran makna ayat 155-157 dalam surat kepada Baqarah ini. Ibnu Katsir dengan demikian memaknai kehidupan masyarakat zaman dahulu yang masih sederhana dan masih kaya akan nilai-nilai agama. Sedangkan M. Quraish Shihab memaknai ayat tersebut sesuai dengan kondisi saat ini dengan kondisi masyarakat saat ini yang banyak yang tidak bisa berbahasa Arab.

Tindakan (Akses diperlukan)

Pandemi Covid-19 membuat sebuah perubahan yang tak terduga-duga. Kasusnya tiap hari kian membuat masyarakat resah. Namun, di satu sisi jika masyarakat tetap mengurung diri di dalam rumah dengan alasan agar tidak tertular dengan virus ini. Maka, ekonomi di dalam sebuah keluarga bahkan meluas dampaknya kepada negara akan merosot secara drastis. Karen setiap tindakan memiliki konsekuensi dan ganjaran masing-masing.

Tentu seseorang yang terkurung dalam situasi dan kondisi seperti ini akan menjerit. Dalam istilah yang populer sering kali terdengar “maju kena, mundur pun kena”. Bahkan tak sedikit yang kadang merasa frustasi, pesimis bahkan bunuh diri.

Islam mengajarkan kepada umatnya tentu agar terus optimis, tegar, produktif, teguh bahkan tak mudah menyerah. Karena Allah pada hakikatnya tidak akan menguji seorang hamba kecuali sesuai dengan takaran kemampuannya. Bayangkan, jika seseorang lulus setelah menghadapi ujian yang sulit bahkan tak banyak orang bisa lulus.

Tentu, orang itu akan sangat senang bahkan sangking senangnya dibikin story pada media sosial yang ia miliki. Lalu, bagaimana jika umat manusia terkhusus umat Islam lulus ketika menghadapi ujian berupa musibah daripada sang khaliq.

Ayat Tentang Ujian dan Ganjarannya

Balasan atau ganjaran yang Allah berikan terhadap hamba yang berhasil lulus ketika menghadapi ujian tergambarkan dari QS. Al-Baqarah [2]: 155-157 :

Artinya: Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Ayat yang telah disebutkan diatas, penulis menemukan bahwa terdapat tiga ganjaran bagi hamba yang lulus setelah menghadapi musibah.

Baca Juga  Mengkaji Makna Qāma dalam Al-Quran

Tiga Ganjaran Mereka Yang Lulus Ujian

Pertama, memperoleh kasih sayang. M. Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut bahwa ketika seseorang ditimpa musibah lalu mengucapkan “inna lillahi wa inna ilaihi rajiun”, maka dia akan mendapatkan sebuah keberkahan. Keberkahan itu sempurna, banyak dan beraneka ragam. Sebagimana difahami dalam bentuk jama’ yang digunakan ayat (diatas) antara lain berupa limpahan ampunan, pujian, menggantikan nikmat sebelumnya dengan suatu yang lebih baik. Dengan demikian keberkatan itu dilimpahkan kepada hamba yang bersumber dari tuhan.

Sedangkan ar-Razi dalam Mafatihu al-Ghaib membedakan Selawat dan Rahmat. Menurutnya, selawat adalah pujian yang agung sedangkan rahmat kenikmatan Allah kepada hambanya yang diberikan dengan segera.

Kedua, memperoleh Rahmat dari Allah. Selain mendapat selawat, manusia yang ditimpa musibah mendapatkan rahmat. Kata “rahmat”, walau sepintas terlihat berbetuk tunggal (mufrad), tetapi karena ia berbentuk kata masdar, maka kata itu sendiri bermakna jamak/banyak. Para pakar bahasa Arab berkata bahwa kata masdar bisa memiliki arti kata tunggal dan juga jamak.

Menurut Quraish Shihab, kita tidak tahu persis makna rahmat Ilahi. Yang pasti, rahmat-Nya bukan seperti rahmat makhluk. Rahmat makhluk merupakan rasa pedih melihat ketidakberdayaan pihak lain. Rasa pedih itulah yang menghasilkan dorongan untuk membantu mengatasi ketidakberdayaan. Bagaimana rahmat Allah? Allah yang maha mengetahui tentang rahmatnya. Kita hanua bisa melihat dampak atau hasilnya yaitu limpahan karunia.

Ketiga, mendapat Hidayah (petunjuk). Kata hidayah ini biasanya dimaknai sama halnya dengan petunjuk walaupun tidak sama persis hakikatnya daripada hidayah. Sebab rasa bahasa yang terkandung dalam kalimat hidayah itu mengandung kekhususan, yaitu petunjuk suci yang datangnya dari Allah.

Hidayah Sebagai Ganjaran

Jadi, kalimat hidayah itu bisa dikatakan semacam hak prerogatif Allah. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al-Qasash [28] ayat 56:

Baca Juga  Tanwir dan Intelektualisme Tafsir Kaum Muda

Artinya: “Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”

Terkait ayat tersebut, M. Quraish Shihab mengatakan bahwa orang-orang yang ketika ditimpa musibah kemudian ber-istirja’ atau mengembalikan segala sesuatu kepada Allah. Maka mereka juga selain mendapat keberkahan dan rahmat juga mendapatkan petunjuk. Bukan saja petunjuk mengatasi kesulitan dan kesedihannya, melainkan juga petunjuk menuju jalan kebahagian duniawi dan ukhrawi.

Sedangkan menurut Razi yang dimaksudkan orang-orang yang mendapatkan hidayah pada ayat diatas ada beberapa pendapat yang ia kutip. Pertama, mereka yang dibimbing menuju kebajikan. Kedua, mereka yang mendapatkan petunjuk untuk bisa masuk ke Surga. Ketiga, mereka yang mendapat petunjuk selain dari kedua tersebut.

Penyunting: Ahmed Zaranggi Ar Ridho

Kamis, 18 November 2021 - 21:07 WIB

Jelaskan apa yang kamu pahami dari QS Al-Baqarah ayat 155-157?

Ilustrasi ujian bagi orang-orang beriman. Foto: iStock.

Ujian dan cobaan adalah keniscayaan bagi manusia selama hidup di dunia, terutama orang-orang beriman. Allah menguji hamba-Nya dengan cara dan bentuk yang bermacam-macam, mulai dari kesengsaraan hingga kesenangan.Dalam Alquran, Allah akan menguji hamba-Nya dengan berbagai ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan (bahan makanan). Dengan ujian ini, kaum muslimin menjadi umat yang kuat mentalnya atau justru akan rapuh.Firman Allah dalam Surat Al Baqarah ayat 155:وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ Arti: Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.

Baca Juga:Tafsir Surat Ghafir Ayat 19: Allah Maha Mengetahui Isi Hati

Lewat ayat ini, Allah menjelaskan bahwa kehidupan manusia di dunia pasti akan dipenuhi memang cobaan. Allah akan menguji hambanya agar nampak kualitas keimanan seorang muslim.

Berbagai musibah sering kita hadapi, baik berupa bencana alam, paceklik, maupun pandemi. Tak terkecuali ketika seseorang ditinggal mati oleh orang tua, anak, atau kekasihnya, demikian ini juga termasuk musibah.

Apakah semua orang pasti mendapatkan musibah? Apa hakikat arti musibah tersebut? Salah satu firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 155-157, memberikan keterangan tentang musibah. Allah berfirman:

وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَيۡءٖ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ  ١٥٥ ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتۡهُم مُّصِيبَةٞ قَالُوٓاْ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَ  ١٥٦

Artinya: “ (155) Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan suatu ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (156) (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).”

Sekilas dari terjemahan ayat, dapat kita pahami bahwa musibah merupakan sesuatu yang bakal ditimpakan oleh Allah bagi umat manusia. Baidhowi dalam Anwaru al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, menjelaskan lanabluwannakum, Allah pasti akan menguji kita dengan menimpakan musibah. Kenapa Allah harus memberikan musibah kepada manusia? Tiada lain supaya kita dapat memahami pelajaran, bersabar dan bersikap pasrah dari musibah tersebut  (1418 H: 1/114).

Dengan suatu ketakutan dan kelaparan, apa yang dimaksud dengan suatu ketakutan dan kelaparan? Masih menurut Baidhowi, menukil pendapat Imam Syafi’i, khouf  (ketakutan)  yang dimaksud adalah takut kepada Allah. al-Ju’ (kelaparan) berarti puasa Ramadhan. (1418 H: 1/1154)

Lebih jelas Baidhowi menambahkan yang dimaksud sesuatu ketakutan dan kelaparan, adalah Allah memberi sedikit kelemahan terhadap apa yang manusia miliki, supaya manusia merasa lemah, sekaligus menegaskan bahwa rahmat-Nya Allah tidak jauh dari manusia. Ditimpakannya musibah terhadap manusia, merupakan sebuah nisbat terhadap apapun yang menimpa kepada orang-orang yang durhaka di akhirat kelak. Pertanyaannya kemudian, apakah kita akan mendapatkan musibah? Allah memberi kabar terlebih dahulu sebelum terjadinya musibah tersebut, supaya kita dapat melatih diri sendiri dengan kekurangan, baik kekurangan harta,  sakit-sakitan, dan buah-buahan. (1418 H: 1/114)

Seakan kita perlu berusaha untuk melatih diri, terkadang kita merasa khawatir dan takut atas apa yang terjadi pada hari esok. Ternyata rasa khawatir, rasa takut kelaparan hanya bagian kecil dari apa yang Allah timpakan kepada manusia. Baidhowi mengingatkan kita, bahwa perasaan tersebut, supaya kita dapat mengingat Allah beserta rahmat-Nya. Menarik bukan, bahwa musibah juga sebagai pelatihan diri!

Masih menurut Baidhowi mengutip pendapat Imam Syafi’i, maksud dari arti al-Naqshu min al-amwal (kekurangan harta) ialah memberi shodaqoh dan membayar zakat, sedangkan min al-anfus (dari jiwa) ialah sakit. Dan min al-tsamarat (dari buah-buahan) adalah kematian anak (1418 H: 1/114). Rasanya perasaan malas atau tidak mau bersedekah dan mengeluarkan zakat dampak dari rasa khawatir sandang pangan di hari esok yang berlebihan.

Menurut pendapat Imam Syafi’i ini, menuturkan pesan implisit. Bahwa saat kita mampu dan berkecukupan pun, juga diberi musibah dengan perasaan takut dan khawatir kehabisan harta, jika harus mengeluarkan shodaqoh dan zakat sesuai perintah Allah.

Terkait perasaan khawatir dan ketakutan atas musibah, menarik untuk memahami penjelasan Sya’rowi dalam Tafsir al-Sha’rawi, perasaan takut dan khawatir itu bersumber dari diri sendiri, tentu perasaan tersebut tidak bisa dihilangkan dengan perasaan takut pula. Melainkan kita harus menyibukkan diri dari tercegahnya perkara yang membuat khawatir dan menakutkan, juga termasuk meninggalkan perkara yang menimbulkan sebab perasaan takut. Bagaimanapun kita tidak boleh hidup dalam ketakutan, sayangnya kebanyakan dari kita mudah merasa takut sebelum musibah datang.

Seharusnya sedapat mungkin kita keluar dari perasaan khawatir, supaya rasa takut tidak berlarut. Perlu diingat bahwa saat Allah menurunkan Musibah, juga akan menurunkan rahmat dan belas kasih terhadap hambanya. Andai kita menjalani dengan sabar, dengan introspeksi diri untuk menghadapi musibah yang menyulitkan, kita akan hidup dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Demikian tulis Sya’rowi dalam tafsirnya (1997:2/660). Dapat dipahami pentingnya sikap optimistis dan berfikir positif dari apapun musibah yang kita hadapi.

Objek ayat 156 adalah Nabi Muhammad SAW, atau siapapun yang bersikap atas kabar gembira ini. Secara umum musibah yang menimpa kepada manusia ialah perkara yang tidak disenangi. Seperti dalam Hadist Nabi: كُلُّ شَيْءٍ يُؤْذِي المُؤْمِنَ فَهُوَ لَهُ مُصِيْبَةٌ

Artinya: “Segala sesuatu yang merugikan orang yang beriman, ia adalah musibah.”

Sabar bukan sekadar meminta perlindungan dari Allah melalui lisan saja, melainkan juga dengan hati yang dapat mengilustrasikan untuk apa ia diciptakan, bahwa sesungguhnya ia akan kembali kepada Allah. Perlu dan penting kiranya mengingat nikmat-nikmat yang Allah berikan, sangatlah banyak yang dinikmati, sehingga diri akan merasa mudah dan tetap pasrah kepada Allah. Tulis Baidhowi dalam tafsirnya (1418 H: 1/114)

Sya’rawi menambahkan tentang musibah, Musibah merupakan sesuatu kesulitan dan kesusahan yang dialami oleh manusia, bagi seorang yang beriman ia akan percaya bahwa dibalik musibah terdapat pahala (1997:2/663).

Dalam tafsir al-Munir Wahbah Zuhaili menjelaskan, bahwa mereka yang berbahagia mereka yang mengimani qadha’ dan qadar, juga sabar saat pertama kali menghadapi kejutan musibah. Seraya mereka berucap Inna lillahi Wainna Ilaihi raji’un, Allah akan memberi pahala kepada mereka yang berbahagia dan sabar atas musibah (1418 H:2/42).  Dengan adanya pandemi Covid-19 kita akan terus diajak berdialog oleh al-Qur’an untuk memaknai kembali tentang ayat-ayat musibah supaya kita masuk golongan orang yang merugi. Wallahu A’lam.