Show
Sejarah Internet, Latar Belakang Internet beserta Penemu Internet merupakan topik yang hari ini kembali ingin Saya bagi kepada Anda para pembaca. Tidak lengkap dan kurang menurut Saya jika Internet adalah kebutuhan kita agar dapat explore dunia lebih luas, namun penemu juga sejarahnya kita tidak tahu. Oleh karena itu menjadi baik jika Anda memikirikan hal ini, selain hal yang wajar tentu ini akan menjadi pengetahuan penambah wawasan Anda. Internet yaitu jaringan computer global yang bisa dibuka oleh computer serta saling terhubung pada computer satu dengan computer yang lain di Dunia. Saya dapat wikipedia terbentuknya internet atau digagas pertama kali oleh departemen pertahanan amerika serikat pada th 1969. Melalui proyek ARPA yang disebut ARPANET (Advanced Research Project Agency Network), di mana mereka mendemonstrasikan bagaimana dengan hardware dan software computer yang berbasis unix, kita bisa kerjakan komunikasi di dalam jarak yang tidak terhingga melalui saluran Telephone. Proyek arpanet merancang bentuk jaringan, kehandalan, seberapa besar informasi dapat dipindahkan, dan setelah itu seluruh standar yang mereka tentukan lantas cikal akan pembangunan protokol baru yang sekarang ini dikenal sebagai TCP/IP (Transmission Control Protocol/ Internet Protocol). Perlu di ketahui tujuan awal dibangunnya proyek itu sendiri yakni untuk keperluan Militer pada mulanya. Saat itu departemen pertahanan amerika serikat (us department of defense) buat sistem jaringan computer yang tersebar hubungkan computer di daerah-daerah vital untuk mengatasi masalah jika berjalan serangan nuklir dan untuk jauhi berjalannya informasi terpusat, yang bila berjalan perang dapat gampang di identifikasi dengan jelas serta dihancurkan. Awal mulanya arpanet hanya menghubungkan 4 situs saja yaitu stanford research institute, university of california, santa barbara, university of utah, di mana mereka membentuk satu jaringan terpadu pada th. 1969, dan dengan umum arpanet diperkenalkan pada bln. oktober 1972. Tidak lama lalu proyek ini berkembang cepat di seluruh tempat/ area spesifik, dan seluruh universitas di negara tersebut pingin berhimpun, sampai buat arpanet kesulitan untuk mengaturnya. Oleh sebab itu arpanet dipecah manjadi dua, yaitu milnet untuk keperluan militer dan arpanet baru yang lebih kecil untuk keperluan non-militer layaknya, universitas-universitas. gabungan ke-2 jaringan setelah itu dikenal dengan nama darpa internet, yang lalu disederhanakan lantas yang kita kenal sampai sekarang ini yakni Internet. Leonard Kleinrock dikenal dengan sebutan ayah/ bapak Internet serta lagi rame dikatakan sebagai penemu internet itu sendiri. Lahir di New York City, new york, Amerika Serikat, 13 juni 1934. Perlu Saya katakan sesungguhnya bukan sekedar Leonard yang mempunyai pengeruh besar sebagai penemu internet tetap ada sebagian nama yang menurut penulis pantas untuk diketahui, tetapi rencana Leonard lah yang mempunyai rancangan lebih prima dibanding yang lain. Suatu hal rekaman catatan yang menerangkan bahwa hubungan sosial dapat ditangani juga melalui suatu hal jaringan computer ada pada seri memo yang ditulis oleh J.C.R. Licklider dari MIT (Massachuset Institut of Technology) pada bln. agustus th. 1962. waktu memo tersebut di uraikan gagasan galactic networknya. dia memiliki visi suatu hal jaringan computer global yang saling berkenaan dimana masing-masing orang dapat akses data dan program dengan cepat dari area manapun. Semangat gagasan tersebut sangat sesuai layaknya internet yang ada saat ini. Sekarang ini. Licklider yakni pimpinan pertama riset program computer dari projek darpa, 4 yang dimulai bln. oktober 1962. Selama di Darpa dia bekerja berbarengan dengan Ivan Sutherland, Bob Taylor, dan seorang peneliti MIT, Lawrence G. Roberts. Leonard Kleinrock di MIT mempublikasikan catatanya berjudul The First Paper on Packet Switching Theory di dalam bln. juli 1961 dan The First Book on The Subject di th. 1964. Kleinrock sepaham dengan Roberts di dalam teori yang berbarengan mereka cermati. Peroleh informasi tiap-tiap orang yang punya adil di dunia Internet pada tulisan dikesempatan waktu itu. Share This Post To : Kembali ke Atas Artikel Lainnya :Komentar :
Kembali ke Atas Internet yaitu jaringan komputer yang diwujudkan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat pada tahun 1969, melewati proyek ARPA yang disebut ARPANET (Advanced Research Project Agency Network), di mana mereka mendemonstrasikan bagaimana dengan hardware dan software komputer yang berbasis UNIX, kita mampu memperagakan komunikasi dalam jarak yang tak terhingga melewati arus telepon. Proyek ARPANET merancang bangun jaringan, kehandalan, seberapa akbar informasi mampu dipindahkan, dan kemudiannya seluruh standar yang mereka tentukan menjadi cikal bakal pembangunan protokol baru yang sekarang dikenal sbg TCP/IP (Transmission Control Protocol/Internet Protocol). Tujuan awal didirikannya proyek itu yaitu untuk kebutuhan militer. Pada kala itu Departemen Pertahanan Amerika Serikat (US Department of Defense) membuat sistem jaringan komputer yang tersebar dengan menghubungkan komputer di daerah-daerah vital untuk mengatasi masalah bila terjadi agresi nuklir dan untuk menghindari terjadinya informasi terpusat, yang apabila terjadi perang mampu remeh dihancurkan. Pada mulanya ARPANET hanya menghubungkan 4 situs saja yaitu Stanford Research Institute, University of California, Santa Barbara, University of Utah, di mana mereka membentuk satu jaringan terpadu pada tahun 1969, dan secara umum ARPANET dikenalkan pada bulan Oktober 1972. Tak lama kemudian proyek ini mengembang pesat di seluruh kawasan, dan seluruh universitas di negara tersebut berhasrat bergabung, sehingga membuat ARPANET kesukaran untuk mengaturnya. Oleh sebab itu ARPANET dipecah manjadi dua, yaitu "MILNET" untuk kebutuhan militer dan "ARPANET" baru yang semakin kecil untuk kebutuhan non-militer seperti, universitas-universitas. Gabungan kedua jaringan kemudiannya dikenal dengan nama DARPA Internet, yang kemudian disederhanakan menjadi Internet. Daftar peristiwa penting
Peristiwa penting lainnyaTahun 1971, Ray Tomlinson sukses menyempurnakan program e-mail yang beliau ciptakan setahun yang lalu untuk ARPANET. Program e-mail ini begitu remeh sehingga langsung menjadi populer. Pada tahun yang sama, ikon "@" juga dikenalkan sbg simbol penting yang menunjukkan “at” atau “pada”. Tahun 1973, jaringan komputer ARPANET mulai dikembangkan ke luar Amerika Serikat. Komputer University College di London yaitu komputer pertama yang benar di luar Amerika yang menjadi anggota jaringan Arpanet. Pada tahun yang sama, dua orang berbakat komputer yakni Vinton Cerf dan Bob Kahn mempresentasikan suatu gagasan yang semakin akbar, yang menjadi cikal bakal pemikiran internet. Ide ini dipresentasikan untuk pertama kalinya di Universitas Sussex. Hari bersejarah berikutnya yaitu tanggal 26 Maret 1976, ketika Ratu Inggris sukses mengirimkan e-mail dari Royal Signals and Radar Establishment di Malvern. Setahun kemudian, sudah semakin dari 100 komputer yang bergabung di ARPANET membentuk suatu jaringan atau network. Pada 1979, Tom Truscott, Jim Ellis dan Steve Bellovin, membuat newsgroups pertama yang diberi nama USENET. Tahun 1981 France Telecom membuat gebrakan dengan meluncurkan telpon televisi pertama, dimana orang mampu saling menelpon sambil berhubungan dengan video link. Karena komputer yang membentuk jaringan semakin hari semakin banyak, karenanya diperlukan suatu protokol resmi yang diakui oleh seluruh jaringan. Pada tahun 1982 diwujudkan Transmission Control Protocol atau TCP dan Internet Protokol atau IP yang kita kenal seluruh. Sementara itu di Eropa muncul jaringan komputer tandingan yang dikenal dengan Eunet, yang menyediakan perbuatan yang berguna jaringan komputer di negara-negara Belanda, Inggris, Denmark dan Swedia. Jaringan Eunet menyediakan perbuatan yang berguna e-mail dan newsgroup USENET. Untuk menyeragamkan alamat di jaringan komputer yang benar, karenanya pada tahun 1984 dikenalkan sistem nama domain, yang sekarang kita kenal dengan DNS atau Domain Name System. Komputer yang tersambung dengan jaringan yang benar sudah melebihi 1000 komputer semakin. Pada 1987 banyak komputer yang tersambung ke jaringan melonjak 10 kali lipat manjadi 10.000 semakin. Tahun 1988, Jarko Oikarinen dari Finland menemukan dan sekaligus memperkenalkan IRC atau Internet Relay Chat. Setahun kemudian, banyak komputer yang saling berhubungan kembali melonjak 10 kali lipat dalam setahun. Tak kurang dari 100.000 komputer sekarang membentuk suatu jaringan. Tahun 1990 yaitu tahun yang sangat bersejarah, ketika Tim Berners Lee menemukan program editor dan browser yang mampu menjelajah sela satu komputer dengan komputer yang lainnya, yang membentuk jaringan itu. Program inilah yang disebut www, atau World Wide Web. Tahun 1992, komputer yang saling tersambung membentuk jaringan sudah melampaui sejuta komputer, dan pada tahun yang sama muncul istilah surfing the internet. Tahun 1994, situs internet telah tumbuh menjadi 3000 alamat halaman, dan untuk pertama kalinya virtual-shopping atau e-retail muncul di internet. Dunia langsung berubah. Pada tahun yang sama Yahoo! didirikan, yang juga sekaligus lahir Netscape Navigator. edunitas.com Page 2Internet yaitu jaringan komputer yang diwujudkan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat pada tahun 1969, melewati proyek ARPA yang disebut ARPANET (Advanced Research Project Agency Network), di mana mereka mendemonstrasikan bagaimana dengan hardware dan software komputer yang berbasis UNIX, kita mampu memperagakan komunikasi dalam jarak yang tak terhingga melewati arus telepon. Proyek ARPANET merancang bangun jaringan, kehandalan, seberapa akbar informasi mampu dipindahkan, dan kemudiannya seluruh standar yang mereka tentukan menjadi cikal bakal pembangunan protokol baru yang sekarang dikenal sbg TCP/IP (Transmission Control Protocol/Internet Protocol). Tujuan awal didirikannya proyek itu yaitu untuk kebutuhan militer. Pada kala itu Departemen Pertahanan Amerika Serikat (US Department of Defense) membuat sistem jaringan komputer yang tersebar dengan menghubungkan komputer di daerah-daerah vital untuk mengatasi masalah bila terjadi agresi nuklir dan untuk menghindari terjadinya informasi terpusat, yang apabila terjadi perang mampu remeh dihancurkan. Pada mulanya ARPANET hanya menghubungkan 4 situs saja yaitu Stanford Research Institute, University of California, Santa Barbara, University of Utah, di mana mereka membentuk satu jaringan terpadu pada tahun 1969, dan secara umum ARPANET dikenalkan pada bulan Oktober 1972. Tak lama kemudian proyek ini mengembang pesat di seluruh kawasan, dan seluruh universitas di negara tersebut berhasrat bergabung, sehingga membuat ARPANET kesukaran untuk mengaturnya. Oleh sebab itu ARPANET dipecah manjadi dua, yaitu "MILNET" untuk kebutuhan militer dan "ARPANET" baru yang semakin kecil untuk kebutuhan non-militer seperti, universitas-universitas. Gabungan kedua jaringan kemudiannya dikenal dengan nama DARPA Internet, yang kemudian disederhanakan menjadi Internet. Daftar peristiwa penting
Peristiwa penting lainnyaTahun 1971, Ray Tomlinson sukses menyempurnakan program e-mail yang beliau ciptakan setahun yang lalu untuk ARPANET. Program e-mail ini begitu remeh sehingga langsung menjadi populer. Pada tahun yang sama, ikon "@" juga dikenalkan sbg simbol penting yang menunjukkan “at” atau “pada”. Tahun 1973, jaringan komputer ARPANET mulai dikembangkan ke luar Amerika Serikat. Komputer University College di London yaitu komputer pertama yang benar di luar Amerika yang menjadi anggota jaringan Arpanet. Pada tahun yang sama, dua orang berbakat komputer yakni Vinton Cerf dan Bob Kahn mempresentasikan suatu gagasan yang semakin akbar, yang menjadi cikal bakal pemikiran internet. Ide ini dipresentasikan untuk pertama kalinya di Universitas Sussex. Hari bersejarah berikutnya yaitu tanggal 26 Maret 1976, ketika Ratu Inggris sukses mengirimkan e-mail dari Royal Signals and Radar Establishment di Malvern. Setahun kemudian, sudah semakin dari 100 komputer yang bergabung di ARPANET membentuk suatu jaringan atau network. Pada 1979, Tom Truscott, Jim Ellis dan Steve Bellovin, membuat newsgroups pertama yang diberi nama USENET. Tahun 1981 France Telecom membuat gebrakan dengan meluncurkan telpon televisi pertama, dimana orang mampu saling menelpon sambil berhubungan dengan video link. Karena komputer yang membentuk jaringan semakin hari semakin banyak, karenanya diperlukan suatu protokol resmi yang diakui oleh seluruh jaringan. Pada tahun 1982 diwujudkan Transmission Control Protocol atau TCP dan Internet Protokol atau IP yang kita kenal seluruh. Sementara itu di Eropa muncul jaringan komputer tandingan yang dikenal dengan Eunet, yang menyediakan perbuatan yang berguna jaringan komputer di negara-negara Belanda, Inggris, Denmark dan Swedia. Jaringan Eunet menyediakan perbuatan yang berguna e-mail dan newsgroup USENET. Untuk menyeragamkan alamat di jaringan komputer yang benar, karenanya pada tahun 1984 dikenalkan sistem nama domain, yang sekarang kita kenal dengan DNS atau Domain Name System. Komputer yang tersambung dengan jaringan yang benar sudah melebihi 1000 komputer semakin. Pada 1987 banyak komputer yang tersambung ke jaringan melonjak 10 kali lipat manjadi 10.000 semakin. Tahun 1988, Jarko Oikarinen dari Finland menemukan dan sekaligus memperkenalkan IRC atau Internet Relay Chat. Setahun kemudian, banyak komputer yang saling berhubungan kembali melonjak 10 kali lipat dalam setahun. Tak kurang dari 100.000 komputer sekarang membentuk suatu jaringan. Tahun 1990 yaitu tahun yang sangat bersejarah, ketika Tim Berners Lee menemukan program editor dan browser yang mampu menjelajah sela satu komputer dengan komputer yang lainnya, yang membentuk jaringan itu. Program inilah yang disebut www, atau World Wide Web. Tahun 1992, komputer yang saling tersambung membentuk jaringan sudah melampaui sejuta komputer, dan pada tahun yang sama muncul istilah surfing the internet. Tahun 1994, situs internet telah tumbuh menjadi 3000 alamat halaman, dan untuk pertama kalinya virtual-shopping atau e-retail muncul di internet. Dunia langsung berubah. Pada tahun yang sama Yahoo! didirikan, yang juga sekaligus lahir Netscape Navigator. edunitas.com Page 3Internet yaitu jaringan komputer yang diwujudkan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat pada tahun 1969, melewati proyek ARPA yang disebut ARPANET (Advanced Research Project Agency Network), di mana mereka mendemonstrasikan bagaimana dengan hardware dan software komputer yang berbasis UNIX, kita mampu memperagakan komunikasi dalam jarak yang tak terhingga melewati arus telepon. Proyek ARPANET merancang bangun jaringan, kehandalan, seberapa akbar informasi mampu dipindahkan, dan kemudiannya seluruh standar yang mereka tentukan menjadi cikal bakal pembangunan protokol baru yang sekarang dikenal sbg TCP/IP (Transmission Control Protocol/Internet Protocol). Tujuan awal didirikannya proyek itu yaitu untuk kebutuhan militer. Pada kala itu Departemen Pertahanan Amerika Serikat (US Department of Defense) membuat sistem jaringan komputer yang tersebar dengan menghubungkan komputer di daerah-daerah vital untuk mengatasi masalah bila terjadi agresi nuklir dan untuk menghindari terjadinya informasi terpusat, yang apabila terjadi perang mampu remeh dihancurkan. Pada mulanya ARPANET hanya menghubungkan 4 situs saja yaitu Stanford Research Institute, University of California, Santa Barbara, University of Utah, di mana mereka membentuk satu jaringan terpadu pada tahun 1969, dan secara umum ARPANET dikenalkan pada bulan Oktober 1972. Tak lama kemudian proyek ini mengembang pesat di seluruh kawasan, dan seluruh universitas di negara tersebut berhasrat bergabung, sehingga membuat ARPANET kesukaran untuk mengaturnya. Oleh sebab itu ARPANET dipecah manjadi dua, yaitu "MILNET" untuk kebutuhan militer dan "ARPANET" baru yang semakin kecil untuk kebutuhan non-militer seperti, universitas-universitas. Gabungan kedua jaringan kemudiannya dikenal dengan nama DARPA Internet, yang kemudian disederhanakan menjadi Internet. Daftar peristiwa penting
Peristiwa penting lainnyaTahun 1971, Ray Tomlinson sukses menyempurnakan program e-mail yang beliau ciptakan setahun yang lalu untuk ARPANET. Program e-mail ini begitu remeh sehingga langsung menjadi populer. Pada tahun yang sama, ikon "@" juga dikenalkan sbg simbol penting yang menunjukkan “at” atau “pada”. Tahun 1973, jaringan komputer ARPANET mulai dikembangkan ke luar Amerika Serikat. Komputer University College di London yaitu komputer pertama yang benar di luar Amerika yang menjadi anggota jaringan Arpanet. Pada tahun yang sama, dua orang berbakat komputer yakni Vinton Cerf dan Bob Kahn mempresentasikan suatu gagasan yang semakin akbar, yang menjadi cikal bakal pemikiran internet. Ide ini dipresentasikan untuk pertama kalinya di Universitas Sussex. Hari bersejarah berikutnya yaitu tanggal 26 Maret 1976, ketika Ratu Inggris sukses mengirimkan e-mail dari Royal Signals and Radar Establishment di Malvern. Setahun kemudian, sudah semakin dari 100 komputer yang bergabung di ARPANET membentuk suatu jaringan atau network. Pada 1979, Tom Truscott, Jim Ellis dan Steve Bellovin, membuat newsgroups pertama yang diberi nama USENET. Tahun 1981 France Telecom membuat gebrakan dengan meluncurkan telpon televisi pertama, dimana orang mampu saling menelpon sambil berhubungan dengan video link. Karena komputer yang membentuk jaringan semakin hari semakin banyak, karenanya diperlukan suatu protokol resmi yang diakui oleh seluruh jaringan. Pada tahun 1982 diwujudkan Transmission Control Protocol atau TCP dan Internet Protokol atau IP yang kita kenal seluruh. Sementara itu di Eropa muncul jaringan komputer tandingan yang dikenal dengan Eunet, yang menyediakan perbuatan yang berguna jaringan komputer di negara-negara Belanda, Inggris, Denmark dan Swedia. Jaringan Eunet menyediakan perbuatan yang berguna e-mail dan newsgroup USENET. Untuk menyeragamkan alamat di jaringan komputer yang benar, karenanya pada tahun 1984 dikenalkan sistem nama domain, yang sekarang kita kenal dengan DNS atau Domain Name System. Komputer yang tersambung dengan jaringan yang benar sudah melebihi 1000 komputer semakin. Pada 1987 banyak komputer yang tersambung ke jaringan melonjak 10 kali lipat manjadi 10.000 semakin. Tahun 1988, Jarko Oikarinen dari Finland menemukan dan sekaligus memperkenalkan IRC atau Internet Relay Chat. Setahun kemudian, banyak komputer yang saling berhubungan kembali melonjak 10 kali lipat dalam setahun. Tak kurang dari 100.000 komputer sekarang membentuk suatu jaringan. Tahun 1990 yaitu tahun yang sangat bersejarah, ketika Tim Berners Lee menemukan program editor dan browser yang mampu menjelajah sela satu komputer dengan komputer yang lainnya, yang membentuk jaringan itu. Program inilah yang disebut www, atau World Wide Web. Tahun 1992, komputer yang saling tersambung membentuk jaringan sudah melampaui sejuta komputer, dan pada tahun yang sama muncul istilah surfing the internet. Tahun 1994, situs internet telah tumbuh menjadi 3000 alamat halaman, dan untuk pertama kalinya virtual-shopping atau e-retail muncul di internet. Dunia langsung berubah. Pada tahun yang sama Yahoo! didirikan, yang juga sekaligus lahir Netscape Navigator. edunitas.com Page 4Lambang Presiden Republik Indonesia Bendera Presiden Republik Indonesia Istana Merdeka, salah satu lambang Lembaga Kepresidenan Indonesia Presiden dan Wakil Presiden Indonesia (secara bersama-sama dinamakan lembaga kepresidenan Indonesia) memiliki sejarah yang hampir sama tuanya dengan sejarah Indonesia. Diceritakan hampir sama sebab pada ketika proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia belum memiliki pemerintahan. Barulah sehari kemudian, 18 Agustus 1945, Indonesia memiliki konstitusi yang diproduksi menjadi landasan untuk mengatur pemerintahan (|UUD 1945)dan lembaga kepresidenan yang memimpin seluruh bangsa. Dari titik inilah perjalanan lembaga kepresidenan yang bersejarah dimulai. Sejarah perjalanan lembaga kepresidenan Indonesia memiliki keunikan tersendiri, sebagaimana tiap-tiap bangsa memiliki ciri khas pada sejarah pimpinan mereka masing-masing. Perjalanan sejarah yang dilewati lembaga kepresidenan diwarnai setidaknya tiga atau bahkan empat konstitusi. Selain itu ini boleh diceritakan “hanya” diatur dalam konstitusi. Peraturan di bawah konstitusi hanya mengatur beberapa kecil dan itupun letaknya tersebar dalam beragam jenis maupun tingkatan peraturan. Ini berlainan dengan lembaga legislatif dan lembaga yudikatif yang memiliki undang-undang tentang bangun dan posisi lembaga itu sendiri. Lain daripada itu masalah tokoh dan periodisasi juga membutuhkan pencermatan semakin lanjut. Oleh sebab lembaga kepresidenan beberapa agung diatur dalam konstitusi, karenanya pembahasan sejarah lembaga ini akan difokuskan menurut pengaturan dalam konstitusi dan akan dibagi menurut masa berlakunya masing-masing konstitusi. Pembagian inipun tidak sepenuhnya lepas dari kesukaran di setidaknya dua kurun ketika. Pertama, periode selang tahun 1949–1950 ketika ada dua konstitusi yang berlaku secara bersamaan. Kedua, selang 1999–2002 ketika konstitusi merasakan pembongkaran ulang. Selain itu, karena dinamika yang sedang terus berlaku, karenanya pembahasan artikel hanya akan dibatasi sampai tahun 2008 atau setidak-tidaknya pertengahan 2009. Periode 1945–1950Periode 18 Agustus 1945 – 15 Agustus 1950 adalah periode berlakunya konstitusi yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, yang kelak kemudian dinamakan sebagai UUD 1945. Periode ini dibagi lagi diproduksi menjadi dua masa yaitu, pertama, selang 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 ketika negara Indonesia berdiri sendiri, dan kedua selang 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950 ketika negara Indonesia bergabung sebagai negara anggota dari negara federasi Republik Indonesia Serikat. Menurut UUD 1945, lembaga kepresidenan, yang bersifat personal[1], terdiri dari seorang presiden dan seorang wakil presiden. Lembaga ini dipilih oleh MPR dengan syarat tertentu dan memiliki masa letak selama 5 tahun. Sebelum bekerjanya lembaga ini bersumpah di depan MPR atau DPR. Menurut UUD 1945:
Dr. Ir. Soekarno, Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1967; Presiden RIS 1949-1950 Pada 18 Agustus 1945, untuk pertama kalinya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh PPKI. Dalam masa peralihan ini kekuasaan presiden sangat agung karena seluruh kekuasaan MPR, DPR, dan DPA, sebelum lembaga itu terbentuk, dijalankan oleh presiden dengan bantuan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Namun tugas berat juga dibebankan untuk presiden untuk mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditentukan UUD 1945. Hanya beberapa bulan pemerintahan, KNIP yang diproduksi menjadi pembantu presiden dalam menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA menginginkan kekuasaan yang semakin. Hal itu kemudian direspon oleh lembaga kepresidenan dengan memberikan kekuasaan untuk menetapkan haluan negara dan membentuk UU melewati Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang dikeluarkan pada 16 Oktober 1945. Kurang dari sebulan, kekuasaan presiden menjadi kurang dengan terbentuknya Kabinet Syahrir I yang tidak lagi bertanggung jawab untuknya melainkan untuk Badan Pekerja KNIP. Pada tahun-tahun berikutnya ketika kondisi darurat, 29 Juni 1946 – 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 – 3 Juli 1947, presiden mengambil alih kekuasaan lagi. Begitu pula selang 29 Januari 1948 – 27 Desember 1949 kabinet kembali bersifat presidensial (bertanggung jawab untuk presiden). Ketika pemerintahan, termasuk di dalamnya lembaga kepresidenan, di Yogyakarta lumpuh dan tidak mampu bekerjanya ketika Agresi Militer Belanda II. Walau ditawan musuh, nampaknya lembaga ini tidak selesai. Sementara pada ketika yang sama, atas landasan mandat darurat yang diberikan sesaat sebelum kejatuhan Yogyakarta, suatu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang didirikan di pedalaman Sumatera (22 Desember 1948 – 13 Juli 1949) mendapat legitimasi yang sah. Kondisi inilah yang menimbulkan pemerintahan dan juga lembaga kepresidenan ganda. Sebab pemerintahan darurat itupun memiliki pimpinan pemerintahan (atau lembaga kepresidenan) dengan sebutan Ketua Pemerintahan Darurat. Hal inilah yang sering menimbulkan kontroversi dan polemik berkepanjangan tentang status pemerintah darurat dan status ketua pemerintah darurat. Untuk beberapa pihak, PDRI dan juga Ketua Pemerintahan Darurat adalah penerima tongkat estafet pemerintahan dan kepemimpinan nasional ketika pemerintahan di ibukota tertawan musuh. Oleh karenanya posisinya tidak mampu diabaikan. Lebih-lebih pada 13 Juli 1949, Ketua Pemerintah Darurat Syafruddin Prawiranegara secara resmi menyerahkan kembali mandat untuk Wakil Presiden Mohammad Hatta yang pulang dari tawanan musuh. Namun untuk pihak lain, tidak mundurnya presiden dan wakil presiden secara resmi menunjukkan tongkat estafet pemerintahan dan kepemmpinan nasional tetap dipegang oleh Soekarno dan Mohammad Hatta yang tertawan. Lebih-lebih perundingan-perundingan, seperti Perjanjian Roem-Royen, dilakukan dengan pemerintahan dan lembaga kepresidenan tertawan bukan dengan pemerintah darurat. Periode 1949–1950Negara Federasi Republik Indonesia Serikat 1949-1950 Pada periode 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950, RI bergabung dalam negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan posisi sebagai negara anggota. Hal ini mengakibatkan berlakunya 2 konstitusi secara bersamaan di wilayah negara anggota RI, yaitu Konstitusi RIS dan UUD 1945. Pada 27 Desember 1949, Presiden RI Soekarno sudah menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI untuk Assaat sebagai Pemangku Letak Presiden. Menurut Konstitusi RIS, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri dari seorang presiden. Presiden dipilih oleh Dewan Pemilih (Electoral College) yang terdiri dari utusan negara-negara anggota dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum bekerjanya, presiden bersumpah dihadapan Dewan Pemilih. Berlainan dengan UUD 1945, Konstitusi RIS mengatur posisi dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara semakin rinci. Selain itu dalam sistematika Konstitusi RIS, hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di beragam pasal. Menurut Konstitusi RIS (secara khusus[2]):
Selain berperan secara khusus, sebagai anggota dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler[3], presiden, menurut konstitusi, selang lain:
Lembaga kepresidenan dalam periode ini hanya berumur sangat pendek. RI dan RIS sampai kesepakatan pada 19 Mei 1950 untuk kembali ke bangun negara kesatuan. Pada 15 Agustus 1950, di depan sidang DPR dan Senat, diproklamasikan berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia menggantikan negara federasi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS diubah diproduksi menjadi Undang-Undang Landasan Sementara Republik Indonesia (yang selanjutnya dikenal sebagai UUDS 1950) berdasarkan UU RIS No. 7 Tahun 1950. Pada hari itu juga, Pemangku Letak Presiden RI, Assaat, menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI untuk Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia. Periode 1950–1959Drs. Moh Hatta, Wakil Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1956 Masa republik ketiga adalah periode diberlakukannya konstitusi sementara yang kelak kemudian dinamakan dengan UUDS 1950. Konstitusi ini sebenarnya merupakan perubahan konstitusi federal. Dari anggota materi, konstitusi negara kesatuan Republik Indonesia ini merupakan perpaduan selang konstitusi federal milik negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan konstitusi yang disahkan oleh PPKI milik Republik Indonesia, sebagai hasil persetujuan RIS dan RI tanggal 19 Mei 1950. Secara tepatnya periode ini berlaku selang 15 Agustus 1950 – 5 Juli 1959. Menurut konstitusi sementara, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri dari seorang presiden dan seorang wakil presiden [Pasal 44, 45, 46 (1), 47, dan 48]. Presiden dan wakil presiden dipilih menurut UU dengan syarat tertentu [pasal 45 (3) dan (5)]. Tidak ada masa letak yang jelas untuk lembaga ini, namun dari sifat konstitusi sementara [pasal 134 dan penjelasan konstitusi], letak ini dipertahankan sampai ada lembaga baru menurut konstitusi tetap yang disusun oleh Konstituante. Sebelum bekerjanya presiden dan wakil presiden bersumpah dihadapan DPR [pasal 47]. Sama seperti konstitusi federal, konstitusi sementara mengatur posisi dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara semakin rinci. Dalam sistematika konstitusi sementara hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di beragam pasal dalam konstitusi. Menurut konstitusi sementara (secara khusus[4]):
Selain berperan secara khusus, sebagai anggota dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler[5], presiden (dan wakil presiden), menurut konstitusi, selang lain:
Lembaga kepresidenan dalam masa republik ketiga tergolong unik. Tokoh yang memangku letak presiden pada periode ini merupakan hasil persetujuan dari RIS dan RI pada 19 Mei 1950 [penjelasan konstitusi]. Sedangkan tokoh wakil presiden untuk pertama kalinya dinaikkan oleh presiden dari tokoh yang diajukan oleh DPR [pasal 45 (4)]. Dari hal-hal tersebut jelas bahwa lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) hanya bersifat sementara seiring pemberlakuan konstitusi sementara dan akan belakangnya dengan lembaga kepresidenan menurut konstitusi tetap yang akan diproduksi. Dalam perjalanannya letak wakil presiden merasakan kekosongan per 1 Desember 1956 karena wakil presiden mengundurkan diri. Agak pasal 45 (4) tidak lagi mampu digunakan untuk mengisi lowongan tersebut sedangkan konstitusi tetap maupun UU pemilihan presiden dan wakil presiden belum ada. Pada 1958 presiden sempat berhalangan dan dialihkan oleh pejabat presiden. Kekuasaan lembaga kepresidenan ini otomatis belakangnya seiring munculnya dekrit presiden 5 Juli 1959 dan dialihkan dengan lembaga kepresidenan menurut UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Periode 1959–1999Jend Agung TNI Purn. H. M. Soeharto, Pejabat Presiden Indonesia 1967-1968 dan Presiden Indonesia 1968-1998 Masa republik keempat adalah periode diberlakukannya kembali konstitusi yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945 dengan sebutan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini berlaku selang 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999. Dengan diberlakukannya kembali konstitusi ini karenanya semua kekuasaan, bangun dan posisi, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan praktis sama dengan periode republik I. Untuk melihat secara detilnya diminta melihat kembali masa republik I. Ada beberapa hal yang menarik dari anggota peraturan perundang-undangan dalam periode ini. Menurut dekrit presiden yang memberlakukan kembali konstitusi dari republik I, anggota penjelasan konstitusi mendapat kekuatan hukum yang mengikat karena diterbitkan dalam lembaran negara. Dengan demikian lembaga kepresidenan tidak hanya diatur dalam pasal-pasal konstitusi namun juga dalam penjelasan konstitusi. Dengan keadaan lembaga MPR/MPRS dalam ketatanegaraan republik IV mengundang konsekuensi dengan lahirnya konstitusi semu yang dinamakan Ketetapan MPR/MPRS. Melewati produk hukum ini, secara umum lembaga kepresidenan juga diatur, selang lain melalui: Selain itu presiden sebagai mandataris MPR juga diberi kewenangan dan kekuasaan penuh untuk melakukan tindakan apapun guna menyelenggarakan pemerintahan, selang lain dengan: Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, Wakil Presiden Indonesia 1998 dan Presiden Indonesia 1998-1999 Dengan landasan hukum tersebut lembaga kepresidenan, terutama presiden, diproduksi menjadi lembaga tinggi yang “super power” dibanding lembaga tinggi lainnya. Ada beberapa hal unik dan menarik untuk dicermati pada periode ini. Hal-hal tersebut selang lain, pertama, sesudah MPRS terbentuk lembaga ini tidak langsung bersidang untuk menetapkan tokoh yang memangku letak dalam lembaga kepresidenan yang baru. Kedua, pada tahun 1963 MPRS menetapkan ketetapan MPRS yang mengangkat presiden petahana sebagai presiden seumur hidup. Ketiga, munculnya letak “Pejabat Presiden” ketika Presiden dimakzulkan pada tahun 1967. Keempat, penetapan “Pejabat Presiden” diproduksi menjadi Presiden pada tahun 1968. Kelima, pengisian lembaga kepresidenan sesuai dengan konstitusi baru dilakukan pada tahun 1973, tiga belas tahun sesudah MPR (MPRS) terbentuk. Keenam, pengucapan sumpah pelantikan presiden oleh wakil presiden tidak dilakukan di depan MPR atau DPR melainkan hanya di depan pimpinan MPR/DPR dan Mahkamah Agung ketika presiden mundur dari letaknya pada tahun 1998. Sebenarnya sedang banyak hal lain yang menarik namun mengingat keterbatasan tempat karenanya hanya enam hal di atas yang diketengahkan. Gelombang people power yang dikenal dengan “gerakan reformasi 1998” yang muncul pada tahun 1998 belakangnya juga mengakibatkan sistem ketatanegaraan berganti secara cepat. Presiden tidak lagi memiliki kekuasaan penuh dengan dicabutnya Ketetapan MPR No. V/MPR/1998[6] dengan Ketetapan MPR No. XII/MPR/1998[7]. Dan periode republik IV yang sudah berusia empat puluh tahun ini pun belakangnya sekitar satu setahun dari munculnya gelombang people power. Periode 1999–2002K. H. Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia 1999-2001 Masa republik kelima adalah periode transisi ketatanegaraan dampak proses perubahan konstitusi “UUD 1945” secara fundamental. Secara tepatnya periode ini berlaku selang 19 Oktober 1999 – 10 Agustus 2002. Periode ini muncul sebagai dampak dari gelombang people power yang dikenal dengan reformasi 1998. Oleh karena perubahan kekuasaan, bangun dan posisi, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan dilakukan secara bertahap karenanya pembahasan periode ini dilakukan menurut tahapan perubahan konstitusi [8]. Pada tahun 1999 sebagai dampak perubahan I konstitusi karenanya ada perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
Pada tahun 2000 sebagai dampak perubahan II konstitusi karenanya ada perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
Pada tahun 2001 sebagai dampak perubahan III konstitusi karenanya ada perubahan kekuasaan, bangun dan posisi, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu: Pada tahun 2002 sebagai dampak perubahan IV konstitusi karenanya ada perubahan kekuasaan, bangun dan posisi, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu: Beberapa hal yang diproduksi menjadi catatan dalam periode republik V ini, selang lain, adalah, pertama, untuk pertama kalinya presiden dipilih oleh MPR dari calon yang berjumlah semakin dari satu orang. Kedua, presiden membekukan parlemen dan berdampak dimakzulkannya presiden. Ketiga, presiden wajib menyampaikan laporan tahunan penyelenggaraan pemerintahan untuk MPR. Sebenarnya periode transisi ini tidak belakangnya pada tahun 2002 melainkan pada tahun 2004. Namun karena acuannya adalah konstitusi karenanya periode ini dicukupkan pada tahun 2002. Periode transisi selanjutnya dibahas pada anggota republik VI. Semenjak 2002Dr(HC), Hj. Diah Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri, Wakil Presiden Indonesia 1999-2001 dan Presiden Indonesia 2001-2004 Masa republik keenam adalah periode diberlakukannya konstitusi yang disahkan PPKI sesudah merasakan proses perubahan ketatanegaraan yang fundamental yang tetap dinamakan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini dihitung mulai 10 Agustus 2002 sampai terjadinya perubahan yang fundamental terhadap konstitusi. Dengan perubahan I-IV konstitusi selama masa republik V karenanya terjadi perubahan yang sangat fundamental dari anggota ketatanegaraan. Dan mampu diceritakan lembaga-lembaga negara, termasuk lembaga kepresidenan, memperoleh kekuasaan, bangun dan posisi, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban yang baru menurut “konstitusi yang baru”. Menurut konstitusi, lembaga kepresidenan bersifat personal dan terdiri dari seorang presiden dan seorang wakil presiden [pasal 4 (2); 3 (2); 6; 6A; 7; 7A; 7B; 8; dan 9]. Lembaga ini dipilih secara langsung oleh rakyat dengan syarat dan atur cara tertentu [pasal 6 dan 6A] dengan masa letak selama lima tahun dan hanya dibatasi untuk dua periode letak [pasal 7]. Sebelum bekerjanya lembaga ini dilantik oleh MPR [pasal 3 (2)] dengan bersumpah di depan MPR atau DPR [pasal 9 (1)] atau pimpinan MPR dan pimpinan MA bila parlemen tidak mampu bersidang [pasal 9 (2)]. Secara sistematika lembaga kepresidenan diatur secara terkonsentrasi pada bab III dari konstitusi. Namun demikian ada pengaturan lembaga kepresidenan di bab-bab lainnya dari konstitusi. Menurut konstitusi: Periode transisi sedang mewarnai masa republik VI ini, setidaknya selang tahun 2002 – 2004. Beragam peraturan konstitusi semu, yang bernama Ketetapan MPR, yang mengatur lembaga kepresidenan, secara bertahap diketengahkan tidak berlaku oleh lembaga pembuatnya sendiri, yaitu MPR, sampai terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004. Selain itu agak peralihan pasal I dan II juga berlaku selama masa transisi ini. Dalam masa transisi ini pula diproduksi peraturan UU yang mengatur pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung. Mulai tahun 2004, kekuasaan, bangun dan posisi, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan diatur melewati konstitusi, UU, PP, maupun Perpres. Namun, berlainan dengan lembaga negara lain yang diatur secara terkonsentrasi dalam suatu peraturan perundang-undangan (UU, PP, dan Perpres), peraturan tentang lembaga kepresidenan tidak ada dalam satu UU melainkan tersebar dalam beragam UU, PP, maupun Perpres. Sebagai catatan kesudahan, pada tahun 2004, pertama kalinya dalam sejarah, dipersiapkan pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung oleh rakyat. SoekarnoSoekarno atau semakin umum dinamakan Bung Karno, adalah tokoh presiden pertama dari Indonesia. Letak pertama ini dimulai semenjak 18 Agustus 1945. Bung Karno terpilih secara aklamasi dalam sidang PPKI atas usul Otto Iskandardinata. Beliau ditemani oleh wakil presiden Drs. Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Menurut agak yang ada pada ketika itu kekuasaan presiden sangat agung. Seiring berlakunya ketika kekuasaan legislatif diserahkan untuk Badan Pekerja Komite Nasional pada bulan Oktober 1945. Selanjutnya pada bulan November pada tahun yang sama, Sukarno menyerahkan kekuasaan eksekutif pada Kabinet Syahrir I. Namun demikian pada 29 Juni 1946 – 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 – 3 Juli 1947, Sukarno kembali mengambil alih kekuasaan ketika terjadi kondisi darurat[9]. Pada 29 Januari 1948 Sukarno kembali membentuk kabinet presidensil[10]. Wakil presiden Moh Hatta ditugasi untuk memimpin kabinet sehari-hari. Di sini mampu diamati bahwa presiden dan wakil presiden melakukan pembagian kekuasaan. Sehingga wakil presiden tidak hanya duduk di bangku cadangan yang baru diturunkan ketika pemain utama cedera. Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan gerakan militer menyerang ibukota Yogyakarta. Dalam peristiwa ini Sukarno dan Hatta ikut tertawan sehingga praktis pemerintahan lumpuh walau tidak selesai secara resmi. Namun sebelum tertawan, presiden dan wakilnya sempat mengirimkan mandat untuk Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara yang ada di Sumatera untuk membentuk pemerintahan, dan mandat untuk Menteri Keuangan Mr. A. A. Maramis yang ada di India untuk membentuk pemerintahan pengasingan bila usaha Syafruddin membentuk pemerintahan gagal dilakukan. Syafruddin sukses membentuk pemerintahan darurat di Sumatera pada 22 Desember 1948. Namun Belanda semakin menentukan berunding dengan pemerintahan tertawan. Hal inilah yang menimbulkan kondisi pemerintahan ganda. Sampai belakangnya pada 13 Juli 1949, sesudah melewati proses yang berliku, Syafruddin mengembalikan mandatnya untuk Moh. Hatta. Pada 16 Desember 1949 Sukarno terpilih sebagai presiden negara federasi Republik Indonesia Serikat[11]. Pada ketika yang hampir bersamaan Hatta terpilih sebagai perdana menteri negara federasi[12]. Konstitusi federal yang melarang rangkap letak untuk kepala negara federal dan perdana menteri federal dengan letak apapun, mengharuskan Sukarno dan Hatta untuk meletak letak bersama-sama. Kondisi ini diantisipasi dengan keluarnya UU No 7 Tahun 1949. Dalam UU ini diatur apabila presiden dan wakil presiden berhalangan secara bersama-sama karenanya ketua parlemen dinaikkan diproduksi menjadi Pemangku Letak Presiden. Belakangnya pada 27 Desember 1949 Sukarno selesai sebagai presiden dan menyerahkan letak lembaga kepresidenan untuk Ketua Badan Pekerja KNI Pusat, Mr. Asaat Datuk Mudo. Pada 27 Desember 1949 Sukarno memulai masa letaknya yang pertama sebagai presiden negara federal Indonesia. Tidak banyak yang terekam dalam letak presiden federal ini yang sangat singkat ini. Suatu persetujuan selang pemerintah federal RIS (yang berperan atas namanya sendiri dan atas mandat penuh dari pemerintah negara anggota yang tersisa, pemerintah negara anggota Negara Indonesia Timur dan pemerintah negara anggota Negara Sumatera Timur) dan pemerintah negara anggota Republik Indonesia (yang beribukota di Yogyakarta) menentukan Sukarno sebagai presiden negara kesatuan yang akan diproduksi dari penggabungan RIS dengan RI (Yogyakarta). Letak presiden federal dipangku Sukarno sampai tanggal 15 Agustus 1950. Letak ini mampu dihitung sebagai masa letak kedua untuk Sukarno. Pada tanggal itu presiden federal memproklamasikan berdirinya negara kesatuan dihadapan sidang gabungan DPR dan Senat di Jakarta. Sore harinya Bung Karno terbang ke Yogyakarta untuk membubarkan pemerintah RI (Yogyakarta) dan menerima penyerahan kekuasaan dari Pemangku Letak Presiden. Sesudah kembali ke Jakarta pada hari yang sama Sukarno menerima penyerahan kekuasaan dari perdana menteri RIS. ISKS Hamengku Buwono IX, Wakil Presiden Indonesia 1973-1978 Pada 15 Agustus 1950 Sukarno secara resmi sudah diproduksi menjadi presiden negara kesatuan yang pertama sesudah menerima kekuasaan dari dua pemerintahan RIS dan RI (Yogyakarta). Letak ini mampu dihitung sebagai letak ketiga untuk Sukarno. Keesokan hari tanggal 16 Agustus 1950, Presiden melantik DPR Sementara Negara Kesatuan, hasil penggabungan dari DPR (RIS), Senat (RIS), Badan Pekerja KNI Pusat(RI-Yogyakarta), dan DPA (RI-Yogyakarta). Sesuai konstitusi, Sukarno mengangkat Hatta sebagai Wakil Presiden atas usulan dari DPR Sementara. Untuk Hatta letak ini mampu dihitung sebagai masa letak kedua. Sesuai konstitusi pula lembaga ini berulangkali membentuk kabinet. Sampai awal 1956 lembaga kepresidenan sudah membentuk setidaknya enam kabinet dan menerima pengembalian mandat pemerintahan sebanyak lima kali. Pada kesudahan tahun 1956, tanggal 1 Desember 1956, Hatta mengundurkan diri dari letak wakil presiden. Mulai ketika itu, lembaga kepresidenan hanya “dihuni” oleh seorang presiden tanpa wakilnya. UUD Sementara tidak mengatur pemilihan wakil presiden dan menyerahkannya pada konstitusi yang akan disusun oleh Konstituante. Kondisi yang kian genting menyebabkan Sukarno mengeluarkan SOB pada 1957[13]. Perlahan namun pasti kekuasaan Sukarno sebagai Penguasa Tingkatan Perang meningkat. Puncaknya Sukarno mengeluarkan dekrit untuk memberlakukan kembali konstitusi yang pernah digunakan, UUD 1945, serta membubarkan konstituante yang tak kunjung berhenti menyusun konstitusi tetap. Sukarno tetap menjabat presiden berdasar agak peralihan pasal II konstitusi yang disahkan PPKI. Demikian pula DPR Sementara negara kesatuan berganti fungsi diproduksi menjadi DPR Peralihan[14] sampai ditentukan DPR yang baru menurut konstitusi. Letak ini mampu dihitung sebagai letak presiden peralihan atau mampu dihitung sebagai masa letak keempat untuk Sukarno. Sementara itu, agak peralihan pasal III dan IV konstitusi sudah tidak mampu digunakan lagi. Presiden tidak ditemani oleh wakil presiden maupun Komite Nasional menyebabkan seluruh kekuasaan pemerintahan negara berpusat pada presiden. Tidak satu pun yang mampu bermain-main dengan kekuasaan presiden. DPR Peralihan pun dibubarkan pada 24 Juni 1960 karena tidak menyetujui RAPBN yang diajukan Sukarno[15]. Sebagai gantinya Sukarno membentuk DPR Gotong Royong[16]. Sesuai Penpres No 14 tahun 1960, Presiden mampu membikin produk legislatif bila tidak terjadi kesepakatan dengan parlemen. Pada Desember 1960 Sukarno membentuk MPR Sementara untuk melakukan ketetapan dalam konstitusi. Peranan Sukarno makin agung dengan mengeluarkan PP No 32/1964 yang mengandung DPR-GR merupakan pembantu Presiden/Pimpinan Agung Revolusi dalam anggota legislatif. Melewati UU No 19 tahun 1964 Presiden diberi kewenangan untuk mencampuri keputusan peradilan. MPRS bentukan Sukarno mengeluarkan suatu produk konstitusi semu untuk menetapkan ide-ide Pimpinan Agung Revolusi dan belakangnya menetapkan Sukarno sebagai presiden definitif dengan masa letak seumur hidup pada 1963 tanpa ditemani wakil presiden[17]. Lembaga ini juga memberi kekuasaan secara penuh pada Sukarno untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara[18]. Periode ini mampu dihitung sebagai masa letak kelima untuk Sukarno. Pada periode ini Sukarno menggunakan gelar rangkap “Presiden/Pimpinan Agung Revolusi/Panglima Tertinggi/Mandataris MPRS” semakin banyak dari gelar yang diberikan konstitusi “Presiden”. Perubahan cuaca perpolitikan terjadi secara cepat pada tahun 1966-1968 sebagai dampak badai politik tahun 1965. Periode ini merupakan kondisi terburuk yang dialami sang proklamator. Pada tahun 1966 beragam atribut masa kejayaan mulai diurai oleh MPRS. Mulai dari pemilihan/penunjukkan wakil presiden dan pengangkatan pejabat presiden, pengertian mandataris MPR Sementara, Pimpinan Agung Revolusi, dan berpuncak pada peninjauan kembali pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Belakangnya pada 22 Februari 1967 Sukarno “menyerahkan kekuasaan” untuk pejabat presiden dan dilegalisasi dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, presiden Indonesia dimakzulkan untuk pertama kalinya secara resmi pada 12 Maret 1967[19]. SoehartoJend TNI Purn. Umar Wirahadikusumah, Wakil Presiden Indonesia 1983-1988 Jenderal TNI Suharto atau yang dekat diajak berkata-kata Pak Harto merupakan tokoh presiden kedua dari Republik Indonesia. Letak pertamanya dimulai semenjak 27 Maret 1968. Pak Harto dinaikkan oleh MPR Sementara dengan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Presiden Republik Indonesia. Beliau adalah presiden kedua yang ditentukan oleh MPR Sementara. Dalam masa letaknya yang pertama ini suami Ibu Tien tidak ditemani oleh wakil presiden sebagaimana diatur menurut konstitusi. Sebagai mandataris MPR Sementara, secara teori, presiden adalah pelaksana kebijakan lembaga paling tinggi negara tersebut. Pak Harto menjalankan kewajibannya sebagai presiden sampai ada presiden definitif yang dinaikkan oleh MPR hasil pemilu. Pada tahun 1973 pertanggung jawaban Jenderal TNI Suharto dihadapan MPR hasil pemilu 1971 diterima. Kemudian presiden dari kalangan militer yang pertama ini dinaikkan oleh lembaga yang sama sebagai presiden dari calon tunggal pada 24 Maret 1973[20]. Dalam masa letaknya yang kedua Pak Harto ditemani oleh wakil presiden, ISKS Hamengku Buwono IX, Sultan sekaligus Kepala Kawasan Istimewa Yogyakarta[21]. Pada masa-masa ini sampai sekitar 25 tahun mendatang kepemimpinan nasional berlaku dengan urutan yang mudah didampingi relatif tidak diwarnai kontroversi tentang tokoh maupun periodesasi letak. Pada tahun 1978 pertanggung jawaban Suharto dihadapan MPR hasil pemilu 1977 diterima. Pada bulan yang sama purnawiran jenderal ini kembali dinaikkan oleh MPR dari calon tunggal[22]. Dalam masa letak yang ketiga kalinya, Pak Harto ditemani oleh Adam Malik sebagai wakil presiden[23]. Secara matematis, Suharto dinaikkan sehari semakin cepat dari jatah masa letaknya. Selanjutnya pada 1983, lagi-lagi pertanggung jawaban Pak Harto diterima. Bahkan MPR hasil pemilu 1982 memberinya gelar Bapak Pembangunan. Pada 11 Maret 1983, sang purnawirawan kembali dinaikkan oleh MPR untuk menduduki kursi kepresidenannya yang keempat dari calon tunggal[24]. Menurut hitung-hitungan angka beliau dinaikkan tiga belas hari semakin cepat dari masa letaknya yang seharusnya belakangnya pada 23 Maret 1983. Untuk pertama kalinya Pak Harto ditemani oleh purnawirawan militer, Jend TNI (Purn). Umar Wirahadikusumah, sebagai wakil presiden[25]. Tahun 1988, kembali pertanggung jawaban jenderal kelahiran desa Kemusuk diterima. Sesudah genap lima tahun menduduki kursi kepresidenan, Jend (Purn). Suharto kembali dilantik oleh MPR hasil pemilu 1987 pada 11 Maret 1988[26]. Dalam masa letak kelimanya bapak pembangunan ini ditemani wakil presiden dari kalangan militer, Letjend TNI (Purn). Sudarmono SH[27]. Tahun 1993, untuk ke sekian kalinya pertanggung jawaban sang presiden diterima. Pada 11 Maret 1993, sesudah menggenapi masa letaknya, Jenderal TNI (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto dinaikkan untuk menduduki letak presiden keenam[28]. Lagi-lagi MPR hasil pemilu 1992 mengangkatnya dari calon tunggal. Sekarang beliau ditemani oleh mantan panglima militer, Jend TNI (Purn) Try Sutrisno, sebagai wakil presiden[29]. Letjend TNI (Purn). Soedharmono, SH. Wakil Presiden Indonesia 1988-1993 Maret 1998, di tengah badai politik dan ekonomi, pidato pertanggung jawaban Pak Harto diterima oleh MPR. Tidak satupun yang menyangka ini adalah terakhir kalinya beliau menyampaikan laporan pertanggung jawaban. Kurang sehari dari masa letak yang seharusnya dijalani, pada tanggal 10 Maret 1998 Jenderal Agung TNI (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto, dinaikkan dari calon tunggal untuk ketujuh kalinya oleh MPR hasil pemilu 1997[30]. Untuk kedua kalinya beliau ditemani oleh seorang sipil, Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai wakil presiden[31]. Beragam tekanan harus dihadapi sang jenderal yang sudah berusia senja ini. Sebenarnya beliau mampu menggunakan kekuasaan penuh untuk menyingkirkan semua pengganggunya, namun hal itu tidak beliau lakukan. Pimpinan MPR/DPR pada ketika itu sempat menginginkan mundur sang presiden atau menggelar Sidang Istimewa MPR, suatu sidang khusus yang mampu berujung pada pemakzulan seperti yang pernah terjadi pada diri Sukarno. Dan belakangnya pada 21 Mei 1998 Soeharto menyalakan mundur dari letaknya dampak gelombang people power “Gerakan Reformasi 1998”. Baharuddin Jusuf HabibieBaharuddin Jusuf Habibie adalah tokoh presiden ketiga Republik Indonesia. Letak pertamanya dimulai pada 21 Mei 1998. Habibi menggantikan presiden sebelumnya yang mengundurkan diri. Naiknya presiden pertama dari luar Jawa ini menimbulkan sedikit kontroversi setidaknya dalam masalah cara formal pengangkatan sebagai presiden. Secara formal pengucapan sumpah kepresidenan dilakukan dihadapan parlemen. Namun, karena gedung parlemen diduduki oleh pendukung people power yang menyebabkan para legistalor tidak mampu bersidang, pengucapan sumpah letak kepresidenan hanya dilakukan oleh Pak Habibi di depan pimpinan MPR/DPR dan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. Beberapa bulan sesudahnya MPR menggelar Sidang Istimewa. Namun majelis itu tidak memberikan suatu surat pengangkatan khusus sebagaimana pernah diberikan untuk dua presiden sebelumnya Sukarno (1963) dan Suharto ([[1968], 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998). Lembaga paling tinggi negara tersebut hanya mengakui melewati posisi Habibi di dalam Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Bahkan beliau tidak ditemani oleh wakil presiden. Catatan yang diraih oleh presiden kelahiran Provinsi Sulawesi Selatan adalah penyelenggaraan pemilu 1999 yang menghasilkan parlemen baru. Namun parlemen baru yang dipilih melewati pemilu tersebut menolak pertanggung jawaban presiden sesudah presiden diberi kesempatan untuk menggunakan hak jawab untuk parlemen[32]. Pada 19 Oktober 1999 Bacharuddin Yusuf Habibie mengakhiri tugasnya yang sangat singkat dengan mendampingi presiden terpilih mengucapkan sumpah kepresidenan dihadapan sidang umum MPR 1999. Jend TNI Purn Try Sutrisno, Wakil Presiden Indonesia 1993-1998 Abdurrahman WahidAbdurrahman Wahid adalah Presiden ke-4 Indonesia. Masa letaknya dimulai pada tanggal 19 Oktober 1999. Gus Dur adalah presiden terakhir yang dipilih oleh MPR. Beliau dinaikkan oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia. Beliau mengalahkan rivalnya Megawati Soekarnoputri dalam suatu pemilihan yang dilakukan oleh MPR. Namun MPR menentukan rivalnya dalam pemilihan tersebut, Megawati, sebagai wakil presiden yang mendampinginya. Megawati dinaikkan oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Karena satu dan lain hal tentang keterbatasan seperti yang sudah dimaklumi, Gus Dur menyerahkan pelaksanaan tugas teknis pemerintahan sehari-hari pada wakil presiden. Penugasan ini ditentukan dengan Keputusan Presiden Nomor 121 Tahun 2000 tentang Penugasan Presiden untuk Wakil Presiden untuk Melakukan Tugas Teknis Pemerintahan Sehari-hari Presiden Republik Indonesia. Pendulum kekuasaan yang berpindah dari eksekutif ke legislatif mengakibatkan lembaga kepresidenan sepenuhnya tunduk pada parlemen. Hal ini dibuktikan sendiri olehnya. Dua kali sesudah menghadapi memorandum dari DPR, Gus Dur dihadapkan pada suatu pemakzulan. Langkahnya yang mengeluarkan maklumat pembekuan DPR dalam dekrit tidak membuahkan hasil. MPR yang tengah menggelar Sidang Istimewa langsung menolak dekrit itu dengan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2001 tentang Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia terhadap Maklumat Presiden Republik Indonesia Tanggal 23 Juli 2001. Maklumat tersebut juga mengantarkan semakin cepat pada pemakzulannya oleh MPR pada ketika itu juga. Abdurrahman Wahid diproduksi menjadi presiden kedua yang dimakzulkan oleh MPR di tengah masa letaknya, berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid. Megawati SoekarnoputriMegawati Soekarnoputri adalah Presiden ke-5 Indonesia. Letak pertamanya dimulai 23 Juli 2001. Megawati menggantikan Gus Dur karena posisinya sebagai wakil presiden. Beliau adalah wakil presiden kedua yang menggantikan presiden ketika selesai dalam masa letaknya. Megawati dinaikkan oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2001 tentang Penetapan Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri Sebagai Presiden Republik Indonesia. Masa letaknya kurang dari 5 tahun sebab beliau hanya mewarisi masa letak Gus Dur. Presiden perempuan pertama Indonesia ini ditemani oleh Wakil Presiden Hamzah Haz yang memenangkan pemilihan wakil presiden oleh MPR dari rivalnya Susilo Bambang Yudhoyono. Hamzah oleh MPR dinaikkan sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/ 2001 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Catatan dalam masa letaknya adalah Pemilu Legislatif pada April 2004 serta Pemilu Presiden pada Juli 2004. Pada Pemilu Presiden 2004, Megawati harus mengakui keunggulan SBY sesudah melewati dua putaran pemilihan. Beliau mengakhiri masa letak pertamanya pada 20 Oktober 2004, sehari semakin lama dari sisa masa letak Gus Dur yang dilimpahkan untuknya. Susilo Bambang YudhoyonoSusilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia 2004–2009 dan 2009–2014 Susilo Bambang Yudhoyono adalah Presiden ke-6 Indonesia. Letak pertamanya dimulai pada 20 Oktober 2004. Beliau bersama pasangannya Muhammad Jusuf Kalla memenangi Pemilu Presiden 2004 yang merupakan pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali. Sesudah mengakhiri masa letaknya yang pertama, SBY kembali mengucapkan sumpah letak presiden untuk kedua kalinya di depan sidang MPR pada 20 Oktober 2009. Kali ini beliau ditemani oleh Boediono sebagai wakil presiden. Pejabat sementaraSyafruddin PrawiranegaraSyafruddin Prawiranegara, Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, 1948–1949 Syafruddin Prawiranegara adalah Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Beliau ditunjuk dengan radiogram yang mengandung mandat dari Presiden Soekarno yang ketika itu memegang kekuasaan pemerintahan negara pada 18 Desember 1948. Oleh sebab Bukittinggi yang diproduksi menjadi tempat posisinya juga diserang Belanda, radiogram itu tidak sampai pada ketikanya. PDRI tidak bermarkas di satu tempat melainkan selalu berpindah. Bermula dari perkebunan teh di Halaban, Sumatera Barat beliau pergi ke Riau dan kembali lagi ke Sumatera Barat. Pada bulan Mei 1949, beliau membentuk perwakilan PDRI di pulau Jawa. Beliau berselisih paham dengan Soekarno karena mengirim utusan untuk Belanda dalam Perjanjian Roem-Royen. Sesudah melewati beragam proses berliku belakangnya Syafruddin mau mengembalikan mandat yang sudah diberikan presiden untuk Hatta. Posisi Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia sebagai kepala negara dan/atau kepala pemerintahan ataupun setidaknya setingkat pejabat presiden, adil secara de facto maupun de jure, sedang diperdebatkan apakah sah atau tidak. AssaatAssaat, Pemangku Letak Presiden Indonesia 1949–1950 Assaat adalah Pemangku Letak Presiden Republik Indonesia. Letaknya dimulai pada 27 Desember 1949 ketika Soekarno secara resmi menyerahkan letak Presiden RI untuknya. Assaat sebelumnya adalah Ketua Badan Pekerja KNIP, parlemen Indonesia kala itu. Beliau menjabat sebagai pemangku letak presiden karena UU No. 7 Tahun 1949 menentukan bila presiden dan wakil presiden secara bersama-sama tidak mampu melakukan kewajibannya karenanya Ketua DPR diproduksi menjadi "Pemangku Letak Presiden". Letak tersebut diembannya sampai 15 Agustus 1950 ketika beliau menyerahkan kekuasaan untuk Soekarno sebagai Presiden RI (negara kesatuan) sesuai persetujuan RIS dan RI pada 19 Mei 1950. SartonoSartono pernah menjabat sebagai Pejabat Presiden Indonesia. Belum banyak data yang dikenal tentang tokoh ini. Satu-satunya ajar yang ada ialah Sartono menandatangani Lembaran Negara tahun 1958 nomor 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13 ,14, 15, 16, 17, dan 18, tertanggal selang 13 Januari 1958 – 17 Februari 1958, yang salah satunya adalah UU No 8 tahun 1958 tentang penetapan UU Drt No 9 tahun 1954 tentang perubahan nama Provinsi Sunda Kecil diproduksi menjadi Provinsi Nusa Tenggara (LN 1954 No 66) sebagai UU pada tanggal 17 Februari 1958. Untuk sementara perhitungan tokoh ini diabaikan, dengan pengertian, sesudah mendapat keterangan yang jelas tentang posisinya, tokoh ini akan dibawa masuk[33]. SoehartoSoeharto juga pernah diproduksi menjadi Pejabat Presiden Indonesia. Letaknya dimulai pada 22 Februari 1967 walau surat pengangkatannya baru dikeluarkan pada 12 Maret 1967. Beliau diproduksi menjadi pejabat presiden sebagai ketetapan dari Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Atur Cara Pengangkatan Pejabat Presiden, sesudah Soekarno dimakzulkan dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Seharusnya Soeharto diproduksi menjadi pejabat presiden sampai dengan hal ada presiden yang dipilih oleh MPR baru dari hasil pemilihan umum. Namun pada 27 Maret 1968, karena kondisi politik ketika itu, beliau mengakhiri tugasnya sebagai pejabat presiden karena ditentukan sebagai presiden (penuh) oleh MPRS kala itu. Polemik periode dan pejabatPeriodisasi letak lembaga kepresidenan sering menimbulkan polemik. Namun, sebelum masuk terlalu dalam, perlu dikawal beberapa hal yang boleh jadi bersifat mendasar.
Sebagai ilustrasi, mampu diamati pada kasus Presiden Filipina. Ilustrasi ini juga didasarkan pada sisi historis, sebab Supomo ketika menjelaskan UUD 1945 beliau membandingkan UUD Indonesia dengan Konstitusi Filipina[34]. Diosdado Pangan Macapagal adalah Presiden Filipina urutan kesembilan sekaligus presiden kelima dari republik ketiga negara Filipina. Satu yang mampu diamati disini bahwa beliau menduduki dua buah daftar dengan nomor urut yang berlainan. Presiden Macapagal pada 1962 mengubah perayaan resmi hari kemerdekaan dari 4 Juli (hari ketika Amerika Serikat memberikan kemerdekaan Filipina pada 1946, hari yang juga diproduksi menjadi peringatan kemerdekaan AS) diproduksi menjadi 12 Juni (hari ketika Emilio Aguinaldo mengumumkan kemerdekaan dari Spanyol pada 1898). Keputusan ini sebagai keputusan hukum tentang ketika yang sudah ditentukan sebelumnya. Beliau juga mengakui Jose P. Laurel yang diproduksi menjadi Presiden Filipina oleh tentara pendudukan Jepang, sebagai presiden resmi negara itu. Sebelumnya Laurel tidak diakui oleh pemerintahan-pemerintahan Filipina sesudah Perang Dunia II, karena dianggap tidak ada status hukum apapun namun mengakui dua presiden yang ada dalam pengasingan di Amerika. Di sini mampu diamati bahwa pemerintahan pengasingan diakui dan pemerintahan ganda juga diakui. Semakin dari itu Macapagal menetapkan suatu keputusan resmi tentang pengakuan tokoh yang menjabat dalam lembaga kepresidenan Filipina, Ng Pangulo Ng Pilipinas. Periodisasi masa letak maupun urutan tokoh yang duduk dalam lembaga kepresidenan sering menimbulkan ketidaksepakatan. Berikut akan diusahakan untuk memilah periodisasi dan urutan tokoh yang menjabat lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) sesuai kronologi tokoh ketika memangku letak untuk yang pertama kalinya. Soekarno memiliki beberapa probabilitas periodisasi letak presiden, selang lain:
Mohammad Hatta memiliki beberapa probabilitas periodisasi letak wakil presiden, yaitu:
Syafruddin Prawiranegara memiliki beberapa probabilitas periodisasi letak, yaitu:
Assaat memiliki 2 probabilitas periodisasi letak, yaitu:
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia 2004-2009 Soeharto memiliki beberapa probabilitas periodisasi letak, selang lain:
Hamengkubuwana IX memiliki 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 24 Maret 1973 sampai 23 Maret 1978. Adam Malik memiliki 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 23 Maret 1978 sampai 11 Maret 1983. Umar Wirahadikusumah memiliki 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 11 Maret 1983 sampai 1988. Sudharmono memiliki 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 11 Maret 1988 sampai 1993. Try Sutrisno memiliki 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 11 Maret 1993 sampai 1998. Baharuddin Jusuf Habibie memiliki periode jabatan:
Abdurrahman Wahid memiliki 1 periode letak presiden yaitu semenjak 19 Oktober 1999 sampai 23 Juli 2001. Megawati Soekarnoputri memiliki periode jabatan:
Hamzah Haz memiliki 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 26 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004. Susilo Bambang Yudhoyono memiliki 2 periode letak presiden yaitu semenjak 20 Oktober 2004 sampai 2009 dan semenjak 20 Oktober 2009 sampai ketika ini. Muhammad Jusuf Kalla memiliki 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 20 Oktober 2004 sampai 2009. Boediono memiliki 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 20 Oktober 2009 sampai ketika ini. Untuk mengetahui urutan tokoh atau urutan masa letak lembaga kepresidenan yang ke berapakah sekarang yang menjabat karenanya tinggal merangkai masing-masing masa letak tokoh. Perlu hati-hati dalam merangkai beberapa tokoh karena akan ada over lapping masa tugas dan tidak mungkin over lapping masa tugas. Di sini akan diberi dua contoh berlainan. Contoh Pertama: Sukarno menurut versi (2), Suharto versi (2), Habibie (2), Gus Dur, Mega (2), SBY.
Prof. Dr. Boediono, Wakil Presiden Indonesia 2009-2014 Contoh Kedua: Soekarno menurut versi (5), Syafruddin (1), Assaat (1), Suharto versi (3), Habibi (2), Gus Dur, Mega (2), SBY.
Kedua contoh di atas memperlihatkan suatu perbedaan yang amat mencolok. Dan itu pun baru contoh dari dua versi. Catatan kaki
ReferensiLihat pulaedunitas.com Page 5Simbol Presiden Republik Indonesia Bendera Presiden Republik Indonesia Istana Merdeka, salah satu simbol Lembaga Kepresidenan Indonesia Presiden dan Wakil Presiden Indonesia (secara bersama-sama dinamakan lembaga kepresidenan Indonesia) ada sejarah yang hampir sama tuanya dengan sejarah Indonesia. Diceritakan hampir sama sebab pada ketika proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia belum ada pemerintahan. Barulah sehari kemudian, 18 Agustus 1945, Indonesia ada konstitusi yang dibuat menjadi landasan untuk mengatur pemerintahan (|UUD 1945)dan lembaga kepresidenan yang memimpin seluruh bangsa. Dari titik inilah perjalanan lembaga kepresidenan yang bersejarah dimulai. Sejarah perjalanan lembaga kepresidenan Indonesia ada keunikan tersendiri, sebagaimana tiap-tiap bangsa ada ciri khas pada sejarah pimpinan mereka masing-masing. Perjalanan sejarah yang dilewati lembaga kepresidenan diwarnai setidaknya tiga atau bahkan empat konstitusi. Selain itu ini boleh diceritakan “hanya” diatur dalam konstitusi. Peraturan di bawah konstitusi hanya mengatur beberapa kecil dan itupun letaknya tersebar dalam beragam jenis maupun tingkatan peraturan. Ini berlainan dengan lembaga legislatif dan lembaga yudikatif yang ada undang-undang tentang bangun dan posisi lembaga itu sendiri. Lain daripada itu masalah tokoh dan periodisasi juga membutuhkan pencermatan lebih lanjut. Oleh sebab lembaga kepresidenan beberapa agung diatur dalam konstitusi, karenanya pembahasan sejarah lembaga ini akan difokuskan menurut pengaturan dalam konstitusi dan akan dibagi menurut masa berlakunya masing-masing konstitusi. Pembagian inipun tidak sepenuhnya lepas dari kesukaran di setidaknya dua kurun ketika. Pertama, periode selang tahun 1949–1950 ketika ada dua konstitusi yang berlaku secara bersamaan. Kedua, selang 1999–2002 ketika konstitusi merasakan pembongkaran ulang. Selain itu, karena dinamika yang sedang terus berlaku, karenanya pembahasan artikel hanya akan dibatasi sampai tahun 2008 atau setidak-tidaknya pertengahan 2009. Periode 1945–1950Periode 18 Agustus 1945 – 15 Agustus 1950 adalah periode berlakunya konstitusi yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, yang kelak kemudian dinamakan sebagai UUD 1945. Periode ini dibagi lagi dibuat menjadi dua masa yaitu, pertama, selang 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 ketika negara Indonesia berdiri sendiri, dan kedua selang 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950 ketika negara Indonesia bergabung sebagai negara anggota dari negara federasi Republik Indonesia Serikat. Menurut UUD 1945, lembaga kepresidenan, yang bersifat personal[1], terdiri dari seorang presiden dan seorang wakil presiden. Lembaga ini dipilih oleh MPR dengan syarat tertentu dan ada masa letak selama 5 tahun. Sebelum bekerjanya lembaga ini bersumpah di depan MPR atau DPR. Menurut UUD 1945:
Dr. Ir. Soekarno, Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1967; Presiden RIS 1949-1950 Pada 18 Agustus 1945, untuk pertama kalinya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh PPKI. Dalam masa peralihan ini kekuasaan presiden sangat agung karena seluruh kekuasaan MPR, DPR, dan DPA, sebelum lembaga itu terbentuk, dijalankan oleh presiden dengan bantuan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Namun tugas berat juga dibebankan untuk presiden untuk mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditentukan UUD 1945. Hanya beberapa bulan pemerintahan, KNIP yang dibuat menjadi pembantu presiden dalam menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA menginginkan kekuasaan yang lebih. Hal itu kemudian direspon oleh lembaga kepresidenan dengan memberikan kekuasaan untuk menetapkan haluan negara dan membentuk UU melewati Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang dikeluarkan pada 16 Oktober 1945. Kurang dari sebulan, kekuasaan presiden menjadi kurang dengan terbentuknya Kabinet Syahrir I yang tidak lagi bertanggung jawab untuknya melainkan untuk Badan Pekerja KNIP. Pada tahun-tahun berikutnya ketika kondisi darurat, 29 Juni 1946 – 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 – 3 Juli 1947, presiden mengambil alih kekuasaan lagi. Begitu pula selang 29 Januari 1948 – 27 Desember 1949 kabinet kembali bersifat presidensial (bertanggung jawab untuk presiden). Ketika pemerintahan, termasuk di dalamnya lembaga kepresidenan, di Yogyakarta lumpuh dan tidak bisa bekerjanya ketika Agresi Militer Belanda II. Walau ditawan musuh, nampaknya lembaga ini tidak selesai. Sementara pada ketika yang sama, atas landasan mandat darurat yang diberikan sesaat sebelum kejatuhan Yogyakarta, suatu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang didirikan di pedalaman Sumatera (22 Desember 1948 – 13 Juli 1949) mendapat legitimasi yang sah. Kondisi inilah yang menimbulkan pemerintahan dan juga lembaga kepresidenan ganda. Sebab pemerintahan darurat itupun ada pimpinan pemerintahan (atau lembaga kepresidenan) dengan sebutan Ketua Pemerintahan Darurat. Hal inilah yang sering menimbulkan kontroversi dan polemik berkepanjangan tentang status pemerintah darurat dan status ketua pemerintah darurat. Untuk beberapa pihak, PDRI dan juga Ketua Pemerintahan Darurat adalah penerima tongkat estafet pemerintahan dan kepemimpinan nasional ketika pemerintahan di ibukota tertawan musuh. Oleh karenanya posisinya tidak bisa diabaikan. Lebih-lebih pada 13 Juli 1949, Ketua Pemerintah Darurat Syafruddin Prawiranegara secara resmi menyerahkan kembali mandat untuk Wakil Presiden Mohammad Hatta yang pulang dari tawanan musuh. Namun untuk pihak lain, tidak mundurnya presiden dan wakil presiden secara resmi menunjukkan tongkat estafet pemerintahan dan kepemmpinan nasional tetap dipegang oleh Soekarno dan Mohammad Hatta yang tertawan. Lebih-lebih perundingan-perundingan, seperti Perjanjian Roem-Royen, diterapkan dengan pemerintahan dan lembaga kepresidenan tertawan bukan dengan pemerintah darurat. Periode 1949–1950Negara Federasi Republik Indonesia Serikat 1949-1950 Pada periode 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950, RI bergabung dalam negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan posisi sebagai negara anggota. Hal ini mengakibatkan berlakunya 2 konstitusi secara bersamaan di wilayah negara anggota RI, yaitu Konstitusi RIS dan UUD 1945. Pada 27 Desember 1949, Presiden RI Soekarno sudah menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI untuk Assaat sebagai Pemangku Letak Presiden. Menurut Konstitusi RIS, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri dari seorang presiden. Presiden dipilih oleh Dewan Pemilih (Electoral College) yang terdiri dari utusan negara-negara anggota dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum bekerjanya, presiden bersumpah dihadapan Dewan Pemilih. Berlainan dengan UUD 1945, Konstitusi RIS mengatur posisi dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Selain itu dalam sistematika Konstitusi RIS, hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di beragam pasal. Menurut Konstitusi RIS (secara khusus[2]):
Selain bertindak secara khusus, sebagai anggota dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler[3], presiden, menurut konstitusi, selang lain:
Lembaga kepresidenan dalam periode ini hanya berumur sangat pendek. RI dan RIS sampai kesepakatan pada 19 Mei 1950 untuk kembali ke bangun negara kesatuan. Pada 15 Agustus 1950, di depan sidang DPR dan Senat, diproklamasikan berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia menggantikan negara federasi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS diubah dibuat menjadi Undang-Undang Landasan Sementara Republik Indonesia (yang selanjutnya dikenal sebagai UUDS 1950) berdasarkan UU RIS No. 7 Tahun 1950. Pada hari itu juga, Pemangku Letak Presiden RI, Assaat, menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI untuk Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia. Periode 1950–1959Drs. Moh Hatta, Wakil Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1956 Masa republik ketiga adalah periode diberlakukannya konstitusi sementara yang kelak kemudian dinamakan dengan UUDS 1950. Konstitusi ini sebenarnya merupakan perubahan konstitusi federal. Dari anggota materi, konstitusi negara kesatuan Republik Indonesia ini merupakan perpaduan selang konstitusi federal milik negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan konstitusi yang disahkan oleh PPKI milik Republik Indonesia, sebagai hasil persetujuan RIS dan RI tanggal 19 Mei 1950. Secara tepatnya periode ini berlaku selang 15 Agustus 1950 – 5 Juli 1959. Menurut konstitusi sementara, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri dari seorang presiden dan seorang wakil presiden [Pasal 44, 45, 46 (1), 47, dan 48]. Presiden dan wakil presiden dipilih menurut UU dengan syarat tertentu [pasal 45 (3) dan (5)]. Tidak ada masa letak yang jelas untuk lembaga ini, namun dari sifat konstitusi sementara [pasal 134 dan penjelasan konstitusi], letak ini dipertahankan sampai ada lembaga baru menurut konstitusi tetap yang disusun oleh Konstituante. Sebelum bekerjanya presiden dan wakil presiden bersumpah dihadapan DPR [pasal 47]. Sama seperti konstitusi federal, konstitusi sementara mengatur posisi dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Dalam sistematika konstitusi sementara hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di beragam pasal dalam konstitusi. Menurut konstitusi sementara (secara khusus[4]):
Selain bertindak secara khusus, sebagai anggota dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler[5], presiden (dan wakil presiden), menurut konstitusi, selang lain:
Lembaga kepresidenan dalam masa republik ketiga tergolong unik. Tokoh yang memangku letak presiden pada periode ini merupakan hasil persetujuan dari RIS dan RI pada 19 Mei 1950 [penjelasan konstitusi]. Sedangkan tokoh wakil presiden untuk pertama kalinya dinaikkan oleh presiden dari tokoh yang diajukan oleh DPR [pasal 45 (4)]. Dari hal-hal tersebut jelas bahwa lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) hanya bersifat sementara seiring pemberlakuan konstitusi sementara dan akan belakangnya dengan lembaga kepresidenan menurut konstitusi tetap yang akan dibuat. Dalam perjalanannya letak wakil presiden merasakan kekosongan per 1 Desember 1956 karena wakil presiden mengundurkan diri. Agak pasal 45 (4) tidak lagi bisa digunakan untuk mengisi lowongan tersebut sedangkan konstitusi tetap maupun UU pemilihan presiden dan wakil presiden belum ada. Pada 1958 presiden sempat berhalangan dan dialihkan oleh pejabat presiden. Kekuasaan lembaga kepresidenan ini otomatis belakangnya seiring munculnya dekrit presiden 5 Juli 1959 dan dialihkan dengan lembaga kepresidenan menurut UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Periode 1959–1999Jend Agung TNI Purn. H. M. Soeharto, Pejabat Presiden Indonesia 1967-1968 dan Presiden Indonesia 1968-1998 Masa republik keempat adalah periode diberlakukannya kembali konstitusi yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945 dengan sebutan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini berlaku selang 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999. Dengan diberlakukannya kembali konstitusi ini karenanya semua kekuasaan, bangun dan posisi, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan praktis sama dengan periode republik I. Untuk melihat secara detilnya diminta melihat kembali masa republik I. Ada beberapa hal yang menarik dari anggota peraturan perundang-undangan dalam periode ini. Menurut dekrit presiden yang memberlakukan kembali konstitusi dari republik I, anggota penjelasan konstitusi mendapat kekuatan hukum yang mengikat karena diterbitkan dalam lembaran negara. Dengan demikian lembaga kepresidenan tidak hanya diatur dalam pasal-pasal konstitusi namun juga dalam penjelasan konstitusi. Dengan keadaan lembaga MPR/MPRS dalam ketatanegaraan republik IV mengundang konsekuensi dengan lahirnya konstitusi semu yang dinamakan Ketetapan MPR/MPRS. Melewati produk hukum ini, secara umum lembaga kepresidenan juga diatur, selang lain melalui: Selain itu presiden sebagai mandataris MPR juga diberi kewenangan dan kekuasaan penuh untuk melakukan tindakan apapun guna menyelenggarakan pemerintahan, selang lain dengan: Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, Wakil Presiden Indonesia 1998 dan Presiden Indonesia 1998-1999 Dengan landasan hukum tersebut lembaga kepresidenan, terutama presiden, dibuat menjadi lembaga tinggi yang “super power” dibanding lembaga tinggi lainnya. Ada beberapa hal unik dan menarik untuk dicermati pada periode ini. Hal-hal tersebut selang lain, pertama, sesudah MPRS terbentuk lembaga ini tidak langsung bersidang untuk menetapkan tokoh yang memangku letak dalam lembaga kepresidenan yang baru. Kedua, pada tahun 1963 MPRS menetapkan ketetapan MPRS yang mengangkat presiden petahana sebagai presiden seumur hidup. Ketiga, munculnya letak “Pejabat Presiden” ketika Presiden dimakzulkan pada tahun 1967. Keempat, penetapan “Pejabat Presiden” dibuat menjadi Presiden pada tahun 1968. Kelima, pengisian lembaga kepresidenan berdasarkan dengan konstitusi baru diterapkan pada tahun 1973, tiga belas tahun sesudah MPR (MPRS) terbentuk. Keenam, pengucapan sumpah pelantikan presiden oleh wakil presiden tidak diterapkan di depan MPR atau DPR melainkan hanya di depan pimpinan MPR/DPR dan Mahkamah Agung ketika presiden mundur dari letaknya pada tahun 1998. Sebenarnya sedang banyak hal lain yang menarik namun mengingat keterbatasan tempat karenanya hanya enam hal di atas yang diketengahkan. Gelombang people power yang dikenal dengan “gerakan reformasi 1998” yang muncul pada tahun 1998 belakangnya juga mengakibatkan sistem ketatanegaraan berganti secara cepat. Presiden tidak lagi ada kekuasaan penuh dengan dicabutnya Ketetapan MPR No. V/MPR/1998[6] dengan Ketetapan MPR No. XII/MPR/1998[7]. Dan periode republik IV yang sudah berusia empat puluh tahun ini pun belakangnya sekitar satu setahun dari munculnya gelombang people power. Periode 1999–2002K. H. Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia 1999-2001 Masa republik kelima adalah periode transisi ketatanegaraan dampak proses perubahan konstitusi “UUD 1945” secara fundamental. Secara tepatnya periode ini berlaku selang 19 Oktober 1999 – 10 Agustus 2002. Periode ini muncul sebagai dampak dari gelombang people power yang dikenal dengan reformasi 1998. Oleh karena perubahan kekuasaan, bangun dan posisi, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan diterapkan secara bertahap karenanya pembahasan periode ini diterapkan menurut tahapan perubahan konstitusi [8]. Pada tahun 1999 sebagai dampak perubahan I konstitusi karenanya ada perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
Pada tahun 2000 sebagai dampak perubahan II konstitusi karenanya ada perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
Pada tahun 2001 sebagai dampak perubahan III konstitusi karenanya ada perubahan kekuasaan, bangun dan posisi, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu: Pada tahun 2002 sebagai dampak perubahan IV konstitusi karenanya ada perubahan kekuasaan, bangun dan posisi, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu: Beberapa hal yang dibuat menjadi catatan dalam periode republik V ini, selang lain, adalah, pertama, untuk pertama kalinya presiden dipilih oleh MPR dari calon yang berjumlah lebih dari satu orang. Kedua, presiden membekukan parlemen dan ada dampak dimakzulkannya presiden. Ketiga, presiden wajib menyampaikan laporan tahunan penyelenggaraan pemerintahan untuk MPR. Sebenarnya periode transisi ini tidak belakangnya pada tahun 2002 melainkan pada tahun 2004. Namun karena acuannya adalah konstitusi karenanya periode ini dicukupkan pada tahun 2002. Periode transisi selanjutnya dibahas pada anggota republik VI. Semenjak 2002Dr(HC), Hj. Diah Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri, Wakil Presiden Indonesia 1999-2001 dan Presiden Indonesia 2001-2004 Masa republik keenam adalah periode diberlakukannya konstitusi yang disahkan PPKI sesudah merasakan proses perubahan ketatanegaraan yang fundamental yang tetap dinamakan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini dihitung mulai 10 Agustus 2002 sampai terjadinya perubahan yang fundamental terhadap konstitusi. Dengan perubahan I-IV konstitusi selama masa republik V karenanya terjadi perubahan yang sangat fundamental dari anggota ketatanegaraan. Dan bisa diceritakan lembaga-lembaga negara, termasuk lembaga kepresidenan, memperoleh kekuasaan, bangun dan posisi, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban yang baru menurut “konstitusi yang baru”. Menurut konstitusi, lembaga kepresidenan bersifat personal dan terdiri dari seorang presiden dan seorang wakil presiden [pasal 4 (2); 3 (2); 6; 6A; 7; 7A; 7B; 8; dan 9]. Lembaga ini dipilih secara langsung oleh rakyat dengan syarat dan atur cara tertentu [pasal 6 dan 6A] dengan masa letak selama lima tahun dan hanya dibatasi untuk dua periode letak [pasal 7]. Sebelum bekerjanya lembaga ini dilantik oleh MPR [pasal 3 (2)] dengan bersumpah di depan MPR atau DPR [pasal 9 (1)] atau pimpinan MPR dan pimpinan MA bila parlemen tidak bisa bersidang [pasal 9 (2)]. Secara sistematika lembaga kepresidenan diatur secara terkonsentrasi pada bab III dari konstitusi. Namun demikian ada pengaturan lembaga kepresidenan di bab-bab lainnya dari konstitusi. Menurut konstitusi: Periode transisi sedang mewarnai masa republik VI ini, setidaknya selang tahun 2002 – 2004. Beragam peraturan konstitusi semu, yang bernama Ketetapan MPR, yang mengatur lembaga kepresidenan, secara bertahap diketengahkan tidak berlaku oleh lembaga pembuatnya sendiri, yaitu MPR, sampai terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004. Selain itu agak peralihan pasal I dan II juga berlaku selama masa transisi ini. Dalam masa transisi ini pula dibuat peraturan UU yang mengatur pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung. Mulai tahun 2004, kekuasaan, bangun dan posisi, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan diatur melewati konstitusi, UU, PP, maupun Perpres. Namun, berlainan dengan lembaga negara lain yang diatur secara terkonsentrasi dalam suatu peraturan perundang-undangan (UU, PP, dan Perpres), peraturan tentang lembaga kepresidenan tidak ada dalam satu UU melainkan tersebar dalam beragam UU, PP, maupun Perpres. Sebagai catatan kesudahan, pada tahun 2004, pertama kalinya dalam sejarah, dipersiapkan pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung oleh rakyat. SoekarnoSoekarno atau lebih umum dinamakan Bung Karno, adalah tokoh presiden pertama dari Indonesia. Letak pertama ini dimulai semenjak 18 Agustus 1945. Bung Karno terpilih secara aklamasi dalam sidang PPKI atas usul Otto Iskandardinata. Beliau ditemani oleh wakil presiden Drs. Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Menurut agak yang ada pada ketika itu kekuasaan presiden sangat agung. Seiring berlakunya ketika kekuasaan legislatif diserahkan untuk Badan Pekerja Komite Nasional pada bulan Oktober 1945. Selanjutnya pada bulan November pada tahun yang sama, Sukarno menyerahkan kekuasaan eksekutif pada Kabinet Syahrir I. Namun demikian pada 29 Juni 1946 – 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 – 3 Juli 1947, Sukarno kembali mengambil alih kekuasaan ketika terjadi kondisi darurat[9]. Pada 29 Januari 1948 Sukarno kembali membentuk kabinet presidensil[10]. Wakil presiden Moh Hatta ditugasi untuk memimpin kabinet sehari-hari. Di sini bisa diamati bahwa presiden dan wakil presiden melakukan pembagian kekuasaan. Sehingga wakil presiden tidak hanya duduk di bangku cadangan yang baru diturunkan ketika pemain utama cedera. Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan gerakan militer menyerang ibukota Yogyakarta. Dalam peristiwa ini Sukarno dan Hatta ikut tertawan sehingga praktis pemerintahan lumpuh walau tidak selesai secara resmi. Namun sebelum tertawan, presiden dan wakilnya sempat mengirimkan mandat untuk Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara yang ada di Sumatera untuk membentuk pemerintahan, dan mandat untuk Menteri Keuangan Mr. A. A. Maramis yang ada di India untuk membentuk pemerintahan pengasingan bila usaha Syafruddin membentuk pemerintahan gagal diterapkan. Syafruddin sukses membentuk pemerintahan darurat di Sumatera pada 22 Desember 1948. Namun Belanda lebih menentukan berunding dengan pemerintahan tertawan. Hal inilah yang menimbulkan kondisi pemerintahan ganda. Sampai belakangnya pada 13 Juli 1949, sesudah melewati proses yang berliku, Syafruddin mengembalikan mandatnya untuk Moh. Hatta. Pada 16 Desember 1949 Sukarno terpilih sebagai presiden negara federasi Republik Indonesia Serikat[11]. Pada ketika yang hampir bersamaan Hatta terpilih sebagai perdana menteri negara federasi[12]. Konstitusi federal yang melarang rangkap letak untuk kepala negara federal dan perdana menteri federal dengan letak apapun, mengharuskan Sukarno dan Hatta untuk meletak letak bersama-sama. Kondisi ini diantisipasi dengan keluarnya UU No 7 Tahun 1949. Dalam UU ini diatur apabila presiden dan wakil presiden berhalangan secara bersama-sama karenanya ketua parlemen dinaikkan dibuat menjadi Pemangku Letak Presiden. Belakangnya pada 27 Desember 1949 Sukarno selesai sebagai presiden dan menyerahkan letak lembaga kepresidenan untuk Ketua Badan Pekerja KNI Pusat, Mr. Asaat Datuk Mudo. Pada 27 Desember 1949 Sukarno memulai masa letaknya yang pertama sebagai presiden negara federal Indonesia. Tidak banyak yang terekam dalam letak presiden federal ini yang sangat singkat ini. Suatu persetujuan selang pemerintah federal RIS (yang bertindak atas namanya sendiri dan atas mandat penuh dari pemerintah negara anggota yang tersisa, pemerintah negara anggota Negara Indonesia Timur dan pemerintah negara anggota Negara Sumatera Timur) dan pemerintah negara anggota Republik Indonesia (yang beribukota di Yogyakarta) menentukan Sukarno sebagai presiden negara kesatuan yang akan dibuat dari penggabungan RIS dengan RI (Yogyakarta). Letak presiden federal dipangku Sukarno sampai tanggal 15 Agustus 1950. Letak ini bisa dihitung sebagai masa letak kedua untuk Sukarno. Pada tanggal itu presiden federal memproklamasikan berdirinya negara kesatuan dihadapan sidang gabungan DPR dan Senat di Jakarta. Sore harinya Bung Karno terbang ke Yogyakarta untuk membubarkan pemerintah RI (Yogyakarta) dan menerima penyerahan kekuasaan dari Pemangku Letak Presiden. Sesudah kembali ke Jakarta pada hari yang sama Sukarno menerima penyerahan kekuasaan dari perdana menteri RIS. ISKS Hamengku Buwono IX, Wakil Presiden Indonesia 1973-1978 Pada 15 Agustus 1950 Sukarno secara resmi sudah dibuat menjadi presiden negara kesatuan yang pertama sesudah menerima kekuasaan dari dua pemerintahan RIS dan RI (Yogyakarta). Letak ini bisa dihitung sebagai letak ketiga untuk Sukarno. Keesokan hari tanggal 16 Agustus 1950, Presiden melantik DPR Sementara Negara Kesatuan, hasil penggabungan dari DPR (RIS), Senat (RIS), Badan Pekerja KNI Pusat(RI-Yogyakarta), dan DPA (RI-Yogyakarta). Berdasarkan konstitusi, Sukarno mengangkat Hatta sebagai Wakil Presiden atas usulan dari DPR Sementara. Untuk Hatta letak ini bisa dihitung sebagai masa letak kedua. Berdasarkan konstitusi pula lembaga ini berulangkali membentuk kabinet. Sampai awal 1956 lembaga kepresidenan sudah membentuk setidaknya enam kabinet dan menerima pengembalian mandat pemerintahan sebanyak lima kali. Pada kesudahan tahun 1956, tanggal 1 Desember 1956, Hatta mengundurkan diri dari letak wakil presiden. Mulai ketika itu, lembaga kepresidenan hanya “dihuni” oleh seorang presiden tanpa wakilnya. UUD Sementara tidak mengatur pemilihan wakil presiden dan menyerahkannya pada konstitusi yang akan disusun oleh Konstituante. Kondisi yang kian genting menyebabkan Sukarno mengeluarkan SOB pada 1957[13]. Perlahan namun pasti kekuasaan Sukarno sebagai Penguasa Tingkatan Perang meningkat. Puncaknya Sukarno mengeluarkan dekrit untuk memberlakukan kembali konstitusi yang pernah digunakan, UUD 1945, serta membubarkan konstituante yang tak kunjung berhenti menyusun konstitusi tetap. Sukarno tetap menjabat presiden berdasar agak peralihan pasal II konstitusi yang disahkan PPKI. Demikian pula DPR Sementara negara kesatuan berganti fungsi dibuat menjadi DPR Peralihan[14] sampai ditentukan DPR yang baru menurut konstitusi. Letak ini bisa dihitung sebagai letak presiden peralihan atau bisa dihitung sebagai masa letak keempat untuk Sukarno. Sementara itu, agak peralihan pasal III dan IV konstitusi sudah tidak bisa digunakan lagi. Presiden tidak ditemani oleh wakil presiden maupun Komite Nasional menyebabkan seluruh kekuasaan pemerintahan negara berpusat pada presiden. Tidak satu pun yang bisa bermain-main dengan kekuasaan presiden. DPR Peralihan pun dibubarkan pada 24 Juni 1960 karena tidak menyetujui RAPBN yang diajukan Sukarno[15]. Sebagai gantinya Sukarno membentuk DPR Gotong Royong[16]. Berdasarkan Penpres No 14 tahun 1960, Presiden bisa membikin produk legislatif bila tidak terjadi kesepakatan dengan parlemen. Pada Desember 1960 Sukarno membentuk MPR Sementara untuk melakukan ketetapan dalam konstitusi. Peranan Sukarno makin agung dengan mengeluarkan PP No 32/1964 yang mengandung DPR-GR merupakan pembantu Presiden/Pimpinan Agung Revolusi dalam anggota legislatif. Melewati UU No 19 tahun 1964 Presiden diberi kewenangan untuk mencampuri keputusan peradilan. MPRS bentukan Sukarno mengeluarkan suatu produk konstitusi semu untuk menetapkan ide-ide Pimpinan Agung Revolusi dan belakangnya menetapkan Sukarno sebagai presiden definitif dengan masa letak seumur hidup pada 1963 tanpa ditemani wakil presiden[17]. Lembaga ini juga memberi kekuasaan secara penuh pada Sukarno untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara[18]. Periode ini bisa dihitung sebagai masa letak kelima untuk Sukarno. Pada periode ini Sukarno menggunakan gelar rangkap “Presiden/Pimpinan Agung Revolusi/Panglima Tertinggi/Mandataris MPRS” lebih banyak dari gelar yang diberikan konstitusi “Presiden”. Perubahan cuaca perpolitikan terjadi secara cepat pada tahun 1966-1968 sebagai dampak badai politik tahun 1965. Periode ini merupakan kondisi terburuk yang dialami sang proklamator. Pada tahun 1966 beragam atribut masa kejayaan mulai diurai oleh MPRS. Mulai dari pemilihan/penunjukkan wakil presiden dan pengangkatan pejabat presiden, pengertian mandataris MPR Sementara, Pimpinan Agung Revolusi, dan berpuncak pada peninjauan kembali pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Belakangnya pada 22 Februari 1967 Sukarno “menyerahkan kekuasaan” untuk pejabat presiden dan dilegalisasi dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, presiden Indonesia dimakzulkan untuk pertama kalinya secara resmi pada 12 Maret 1967[19]. SoehartoJend TNI Purn. Umar Wirahadikusumah, Wakil Presiden Indonesia 1983-1988 Jenderal TNI Suharto atau yang dekat diajak berkata-kata Pak Harto merupakan tokoh presiden kedua dari Republik Indonesia. Letak pertamanya dimulai semenjak 27 Maret 1968. Pak Harto dinaikkan oleh MPR Sementara dengan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Presiden Republik Indonesia. Beliau adalah presiden kedua yang ditentukan oleh MPR Sementara. Dalam masa letaknya yang pertama ini suami Ibu Tien tidak ditemani oleh wakil presiden sebagaimana diatur menurut konstitusi. Sebagai mandataris MPR Sementara, secara teori, presiden adalah pelaksana kebijakan lembaga paling tinggi negara tersebut. Pak Harto menjalankan kewajibannya sebagai presiden sampai ada presiden definitif yang dinaikkan oleh MPR hasil pemilu. Pada tahun 1973 pertanggung jawaban Jenderal TNI Suharto dihadapan MPR hasil pemilu 1971 diterima. Kemudian presiden dari kalangan militer yang pertama ini dinaikkan oleh lembaga yang sama sebagai presiden dari calon tunggal pada 24 Maret 1973[20]. Dalam masa letaknya yang kedua Pak Harto ditemani oleh wakil presiden, ISKS Hamengku Buwono IX, Sultan sekaligus Kepala Kawasan Istimewa Yogyakarta[21]. Pada masa-masa ini sampai sekitar 25 tahun mendatang kepemimpinan nasional berlaku dengan urutan yang mudah didampingi relatif tidak diwarnai kontroversi tentang tokoh maupun periodesasi letak. Pada tahun 1978 pertanggung jawaban Suharto dihadapan MPR hasil pemilu 1977 diterima. Pada bulan yang sama purnawiran jenderal ini kembali dinaikkan oleh MPR dari calon tunggal[22]. Dalam masa letak yang ketiga kalinya, Pak Harto ditemani oleh Adam Malik sebagai wakil presiden[23]. Secara matematis, Suharto dinaikkan sehari lebih cepat dari jatah masa letaknya. Selanjutnya pada 1983, lagi-lagi pertanggung jawaban Pak Harto diterima. Bahkan MPR hasil pemilu 1982 memberinya gelar Bapak Pembangunan. Pada 11 Maret 1983, sang purnawirawan kembali dinaikkan oleh MPR untuk menduduki kursi kepresidenannya yang keempat dari calon tunggal[24]. Menurut hitung-hitungan angka beliau dinaikkan tiga belas hari lebih cepat dari masa letaknya yang seharusnya belakangnya pada 23 Maret 1983. Untuk pertama kalinya Pak Harto ditemani oleh purnawirawan militer, Jend TNI (Purn). Umar Wirahadikusumah, sebagai wakil presiden[25]. Tahun 1988, kembali pertanggung jawaban jenderal kelahiran desa Kemusuk diterima. Sesudah genap lima tahun menduduki kursi kepresidenan, Jend (Purn). Suharto kembali dilantik oleh MPR hasil pemilu 1987 pada 11 Maret 1988[26]. Dalam masa letak kelimanya bapak pembangunan ini ditemani wakil presiden dari kalangan militer, Letjend TNI (Purn). Sudarmono SH[27]. Tahun 1993, untuk ke sekian kalinya pertanggung jawaban sang presiden diterima. Pada 11 Maret 1993, sesudah menggenapi masa letaknya, Jenderal TNI (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto dinaikkan untuk menduduki letak presiden keenam[28]. Lagi-lagi MPR hasil pemilu 1992 mengangkatnya dari calon tunggal. Sekarang beliau ditemani oleh mantan panglima militer, Jend TNI (Purn) Try Sutrisno, sebagai wakil presiden[29]. Letjend TNI (Purn). Soedharmono, SH. Wakil Presiden Indonesia 1988-1993 Maret 1998, di tengah badai politik dan ekonomi, pidato pertanggung jawaban Pak Harto diterima oleh MPR. Tidak satupun yang menyangka ini adalah terakhir kalinya beliau menyampaikan laporan pertanggung jawaban. Kurang sehari dari masa letak yang seharusnya dijalani, pada tanggal 10 Maret 1998 Jenderal Agung TNI (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto, dinaikkan dari calon tunggal untuk ketujuh kalinya oleh MPR hasil pemilu 1997[30]. Untuk kedua kalinya beliau ditemani oleh seorang sipil, Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai wakil presiden[31]. Beragam tekanan harus dihadapi sang jenderal yang sudah berusia senja ini. Sebenarnya beliau bisa menggunakan kekuasaan penuh untuk menyingkirkan semua pengganggunya, namun hal itu tidak beliau lakukan. Pimpinan MPR/DPR pada ketika itu sempat menginginkan mundur sang presiden atau menggelar Sidang Istimewa MPR, suatu sidang khusus yang bisa berujung pada pemakzulan seperti yang pernah terjadi pada diri Sukarno. Dan belakangnya pada 21 Mei 1998 Soeharto menyalakan mundur dari letaknya dampak gelombang people power “Gerakan Reformasi 1998”. Baharuddin Jusuf HabibieBaharuddin Jusuf Habibie adalah tokoh presiden ketiga Republik Indonesia. Letak pertamanya dimulai pada 21 Mei 1998. Habibi menggantikan presiden sebelumnya yang mengundurkan diri. Naiknya presiden pertama dari luar Jawa ini menimbulkan sedikit kontroversi setidaknya dalam masalah cara formal pengangkatan sebagai presiden. Secara formal pengucapan sumpah kepresidenan diterapkan dihadapan parlemen. Namun, karena gedung parlemen diduduki oleh pendukung people power yang menyebabkan para legistalor tidak bisa bersidang, pengucapan sumpah letak kepresidenan hanya diterapkan oleh Pak Habibi di depan pimpinan MPR/DPR dan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. Beberapa bulan sesudahnya MPR menggelar Sidang Istimewa. Namun majelis itu tidak memberikan suatu surat pengangkatan khusus sebagaimana pernah diberikan untuk dua presiden sebelumnya Sukarno (1963) dan Suharto ([[1968], 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998). Lembaga paling tinggi negara tersebut hanya mengakui melewati posisi Habibi di dalam Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Bahkan beliau tidak ditemani oleh wakil presiden. Catatan yang diraih oleh presiden kelahiran Provinsi Sulawesi Selatan adalah penyelenggaraan pemilu 1999 yang menghasilkan parlemen baru. Namun parlemen baru yang dipilih melewati pemilu tersebut menolak pertanggung jawaban presiden sesudah presiden diberi kesempatan untuk menggunakan hak jawab untuk parlemen[32]. Pada 19 Oktober 1999 Bacharuddin Yusuf Habibie mengakhiri tugasnya yang sangat singkat dengan mendampingi presiden terpilih mengucapkan sumpah kepresidenan dihadapan sidang umum MPR 1999. Jend TNI Purn Try Sutrisno, Wakil Presiden Indonesia 1993-1998 Abdurrahman WahidAbdurrahman Wahid adalah Presiden ke-4 Indonesia. Masa letaknya dimulai pada tanggal 19 Oktober 1999. Gus Dur adalah presiden terakhir yang dipilih oleh MPR. Beliau dinaikkan oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia. Beliau mengalahkan rivalnya Megawati Soekarnoputri dalam suatu pemilihan yang diterapkan oleh MPR. Namun MPR menentukan rivalnya dalam pemilihan tersebut, Megawati, sebagai wakil presiden yang mendampinginya. Megawati dinaikkan oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Karena satu dan lain hal tentang keterbatasan seperti yang sudah dimaklumi, Gus Dur menyerahkan pelaksanaan tugas teknis pemerintahan sehari-hari pada wakil presiden. Penugasan ini ditentukan dengan Keputusan Presiden Nomor 121 Tahun 2000 tentang Penugasan Presiden untuk Wakil Presiden untuk Melakukan Tugas Teknis Pemerintahan Sehari-hari Presiden Republik Indonesia. Pendulum kekuasaan yang berpindah dari eksekutif ke legislatif mengakibatkan lembaga kepresidenan sepenuhnya tunduk pada parlemen. Hal ini dibuktikan sendiri olehnya. Dua kali sesudah menghadapi memorandum dari DPR, Gus Dur dihadapkan pada suatu pemakzulan. Langkahnya yang mengeluarkan maklumat pembekuan DPR dalam dekrit tidak membuahkan hasil. MPR yang tengah menggelar Sidang Istimewa langsung menolak dekrit itu dengan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2001 tentang Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia terhadap Maklumat Presiden Republik Indonesia Tanggal 23 Juli 2001. Maklumat tersebut juga mengantarkan lebih cepat pada pemakzulannya oleh MPR pada ketika itu juga. Abdurrahman Wahid dibuat menjadi presiden kedua yang dimakzulkan oleh MPR di tengah masa letaknya, berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid. Megawati SoekarnoputriMegawati Soekarnoputri adalah Presiden ke-5 Indonesia. Letak pertamanya dimulai 23 Juli 2001. Megawati menggantikan Gus Dur karena posisinya sebagai wakil presiden. Beliau adalah wakil presiden kedua yang menggantikan presiden ketika selesai dalam masa letaknya. Megawati dinaikkan oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2001 tentang Penetapan Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri Sebagai Presiden Republik Indonesia. Masa letaknya kurang dari 5 tahun sebab beliau hanya mewarisi masa letak Gus Dur. Presiden perempuan pertama Indonesia ini ditemani oleh Wakil Presiden Hamzah Haz yang memenangkan pemilihan wakil presiden oleh MPR dari rivalnya Susilo Bambang Yudhoyono. Hamzah oleh MPR dinaikkan sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/ 2001 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Catatan dalam masa letaknya adalah Pemilu Legislatif pada April 2004 serta Pemilu Presiden pada Juli 2004. Pada Pemilu Presiden 2004, Megawati harus mengakui keunggulan SBY sesudah melewati dua putaran pemilihan. Beliau mengakhiri masa letak pertamanya pada 20 Oktober 2004, sehari lebih lama dari sisa masa letak Gus Dur yang dilimpahkan untuknya. Susilo Bambang YudhoyonoSusilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia 2004–2009 dan 2009–2014 Susilo Bambang Yudhoyono adalah Presiden ke-6 Indonesia. Letak pertamanya dimulai pada 20 Oktober 2004. Beliau bersama pasangannya Muhammad Jusuf Kalla memenangi Pemilu Presiden 2004 yang merupakan pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali. Sesudah mengakhiri masa letaknya yang pertama, SBY kembali mengucapkan sumpah letak presiden untuk kedua kalinya di depan sidang MPR pada 20 Oktober 2009. Kali ini beliau ditemani oleh Boediono sebagai wakil presiden. Pejabat sementaraSyafruddin PrawiranegaraSyafruddin Prawiranegara, Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, 1948–1949 Syafruddin Prawiranegara adalah Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Beliau ditunjuk dengan radiogram yang mengandung mandat dari Presiden Soekarno yang ketika itu memegang kekuasaan pemerintahan negara pada 18 Desember 1948. Oleh sebab Bukittinggi yang dibuat menjadi tempat posisinya juga diserang Belanda, radiogram itu tidak sampai pada ketikanya. PDRI tidak bermarkas di satu tempat melainkan selalu berpindah. Bermula dari perkebunan teh di Halaban, Sumatera Barat beliau pergi ke Riau dan kembali lagi ke Sumatera Barat. Pada bulan Mei 1949, beliau membentuk perwakilan PDRI di pulau Jawa. Beliau berselisih paham dengan Soekarno karena mengirim utusan untuk Belanda dalam Perjanjian Roem-Royen. Sesudah melewati beragam proses berliku belakangnya Syafruddin mau mengembalikan mandat yang sudah diberikan presiden untuk Hatta. Posisi Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia sebagai kepala negara dan/atau kepala pemerintahan ataupun setidaknya setingkat pejabat presiden, adil secara de facto maupun de jure, sedang diperdebatkan apakah sah atau tidak. AssaatAssaat, Pemangku Letak Presiden Indonesia 1949–1950 Assaat adalah Pemangku Letak Presiden Republik Indonesia. Letaknya dimulai pada 27 Desember 1949 ketika Soekarno secara resmi menyerahkan letak Presiden RI untuknya. Assaat sebelumnya adalah Ketua Badan Pekerja KNIP, parlemen Indonesia kala itu. Beliau menjabat sebagai pemangku letak presiden karena UU No. 7 Tahun 1949 menentukan bila presiden dan wakil presiden secara bersama-sama tidak bisa melakukan kewajibannya karenanya Ketua DPR dibuat menjadi "Pemangku Letak Presiden". Letak tersebut diembannya sampai 15 Agustus 1950 ketika beliau menyerahkan kekuasaan untuk Soekarno sebagai Presiden RI (negara kesatuan) berdasarkan persetujuan RIS dan RI pada 19 Mei 1950. SartonoSartono pernah menjabat sebagai Pejabat Presiden Indonesia. Belum banyak data yang dikenal tentang tokoh ini. Satu-satunya ajar yang ada ialah Sartono menandatangani Lembaran Negara tahun 1958 nomor 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13 ,14, 15, 16, 17, dan 18, tertanggal selang 13 Januari 1958 – 17 Februari 1958, yang salah satunya adalah UU No 8 tahun 1958 tentang penetapan UU Drt No 9 tahun 1954 tentang perubahan nama Provinsi Sunda Kecil dibuat menjadi Provinsi Nusa Tenggara (LN 1954 No 66) sebagai UU pada tanggal 17 Februari 1958. Untuk sementara perhitungan tokoh ini diabaikan, dengan pengertian, sesudah mendapat keterangan yang jelas tentang posisinya, tokoh ini akan dibawa masuk[33]. SoehartoSoeharto juga pernah dibuat menjadi Pejabat Presiden Indonesia. Letaknya dimulai pada 22 Februari 1967 walau surat pengangkatannya baru dikeluarkan pada 12 Maret 1967. Beliau dibuat menjadi pejabat presiden sebagai ketetapan dari Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Atur Cara Pengangkatan Pejabat Presiden, sesudah Soekarno dimakzulkan dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Seharusnya Soeharto dibuat menjadi pejabat presiden sampai dengan hal ada presiden yang dipilih oleh MPR baru dari hasil pemilihan umum. Namun pada 27 Maret 1968, karena kondisi politik ketika itu, beliau mengakhiri tugasnya sebagai pejabat presiden karena ditentukan sebagai presiden (penuh) oleh MPRS kala itu. Polemik periode dan pejabatPeriodisasi letak lembaga kepresidenan sering menimbulkan polemik. Namun, sebelum masuk terlalu dalam, perlu dikawal beberapa hal yang boleh jadi bersifat mendasar.
Sebagai ilustrasi, bisa diamati pada kasus Presiden Filipina. Ilustrasi ini juga didasarkan pada anggota historis, sebab Supomo ketika menjelaskan UUD 1945 beliau membandingkan UUD Indonesia dengan Konstitusi Filipina[34]. Diosdado Pangan Macapagal adalah Presiden Filipina urutan kesembilan sekaligus presiden kelima dari republik ketiga negara Filipina. Satu yang bisa diamati disini bahwa beliau menduduki dua buah daftar dengan nomor urut yang berlainan. Presiden Macapagal pada 1962 mengubah perayaan resmi hari kemerdekaan dari 4 Juli (hari ketika Amerika Serikat memberikan kemerdekaan Filipina pada 1946, hari yang juga dibuat menjadi peringatan kemerdekaan AS) dibuat menjadi 12 Juni (hari ketika Emilio Aguinaldo mengumumkan kemerdekaan dari Spanyol pada 1898). Keputusan ini sebagai keputusan hukum tentang ketika yang sudah ditentukan sebelumnya. Beliau juga mengakui Jose P. Laurel yang dibuat menjadi Presiden Filipina oleh tentara pendudukan Jepang, sebagai presiden resmi negara itu. Sebelumnya Laurel tidak diakui oleh pemerintahan-pemerintahan Filipina sesudah Perang Dunia II, karena dianggap tidak ada status hukum apapun namun mengakui dua presiden yang ada dalam pengasingan di Amerika. Di sini bisa diamati bahwa pemerintahan pengasingan diakui dan pemerintahan ganda juga diakui. Lebih dari itu Macapagal menetapkan suatu keputusan resmi tentang pengakuan tokoh yang menjabat dalam lembaga kepresidenan Filipina, Ng Pangulo Ng Pilipinas. Periodisasi masa letak maupun urutan tokoh yang duduk dalam lembaga kepresidenan sering menimbulkan ketidaksepakatan. Berikut akan diusahakan untuk memilah periodisasi dan urutan tokoh yang menjabat lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) berdasarkan kronologi tokoh ketika memangku letak untuk yang pertama kalinya. Soekarno ada beberapa probabilitas periodisasi letak presiden, selang lain:
Mohammad Hatta ada beberapa probabilitas periodisasi letak wakil presiden, yaitu:
Syafruddin Prawiranegara ada beberapa probabilitas periodisasi letak, yaitu:
Assaat ada 2 probabilitas periodisasi letak, yaitu:
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia 2004-2009 Soeharto ada beberapa probabilitas periodisasi letak, selang lain:
Hamengkubuwana IX ada 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 24 Maret 1973 sampai 23 Maret 1978. Adam Malik ada 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 23 Maret 1978 sampai 11 Maret 1983. Umar Wirahadikusumah ada 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 11 Maret 1983 sampai 1988. Sudharmono ada 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 11 Maret 1988 sampai 1993. Try Sutrisno ada 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 11 Maret 1993 sampai 1998. Baharuddin Jusuf Habibie ada periode jabatan:
Abdurrahman Wahid ada 1 periode letak presiden yaitu semenjak 19 Oktober 1999 sampai 23 Juli 2001. Megawati Soekarnoputri ada periode jabatan:
Hamzah Haz ada 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 26 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004. Susilo Bambang Yudhoyono ada 2 periode letak presiden yaitu semenjak 20 Oktober 2004 sampai 2009 dan semenjak 20 Oktober 2009 sampai ketika ini. Muhammad Jusuf Kalla ada 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 20 Oktober 2004 sampai 2009. Boediono ada 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 20 Oktober 2009 sampai ketika ini. Untuk mengetahui urutan tokoh atau urutan masa letak lembaga kepresidenan yang ke berapakah sekarang yang menjabat karenanya tinggal merangkai masing-masing masa letak tokoh. Perlu hati-hati dalam merangkai beberapa tokoh karena akan ada over lapping masa tugas dan tidak mungkin over lapping masa tugas. Di sini akan diberi dua contoh berlainan. Contoh Pertama: Sukarno menurut versi (2), Suharto versi (2), Habibie (2), Gus Dur, Mega (2), SBY. Prof. Dr. Boediono, Wakil Presiden Indonesia 2009-2014 Contoh Kedua: Soekarno menurut versi (5), Syafruddin (1), Assaat (1), Suharto versi (3), Habibi (2), Gus Dur, Mega (2), SBY. Kedua contoh di atas memperlihatkan suatu perbedaan yang amat mencolok. Dan itu pun baru contoh dari dua versi. Catatan kaki
PustakaLihat pulaedunitas.com Page 6Simbol Presiden Republik Indonesia Bendera Presiden Republik Indonesia Istana Merdeka, salah satu simbol Lembaga Kepresidenan Indonesia Presiden dan Wakil Presiden Indonesia (secara bersama-sama dinamakan lembaga kepresidenan Indonesia) ada sejarah yang hampir sama tuanya dengan sejarah Indonesia. Diceritakan hampir sama sebab pada ketika proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia belum ada pemerintahan. Barulah sehari kemudian, 18 Agustus 1945, Indonesia ada konstitusi yang dibuat menjadi landasan untuk mengatur pemerintahan (|UUD 1945)dan lembaga kepresidenan yang memimpin seluruh bangsa. Dari titik inilah perjalanan lembaga kepresidenan yang bersejarah dimulai. Sejarah perjalanan lembaga kepresidenan Indonesia ada keunikan tersendiri, sebagaimana tiap-tiap bangsa ada ciri khas pada sejarah pimpinan mereka masing-masing. Perjalanan sejarah yang dilewati lembaga kepresidenan diwarnai setidaknya tiga atau bahkan empat konstitusi. Selain itu ini boleh diceritakan “hanya” diatur dalam konstitusi. Peraturan di bawah konstitusi hanya mengatur beberapa kecil dan itupun letaknya tersebar dalam beragam jenis maupun tingkatan peraturan. Ini berlainan dengan lembaga legislatif dan lembaga yudikatif yang ada undang-undang tentang bangun dan posisi lembaga itu sendiri. Lain daripada itu masalah tokoh dan periodisasi juga membutuhkan pencermatan lebih lanjut. Oleh sebab lembaga kepresidenan beberapa agung diatur dalam konstitusi, karenanya pembahasan sejarah lembaga ini akan difokuskan menurut pengaturan dalam konstitusi dan akan dibagi menurut masa berlakunya masing-masing konstitusi. Pembagian inipun tidak sepenuhnya lepas dari kesukaran di setidaknya dua kurun ketika. Pertama, periode selang tahun 1949–1950 ketika ada dua konstitusi yang berlaku secara bersamaan. Kedua, selang 1999–2002 ketika konstitusi merasakan pembongkaran ulang. Selain itu, karena dinamika yang sedang terus berlaku, karenanya pembahasan artikel hanya akan dibatasi sampai tahun 2008 atau setidak-tidaknya pertengahan 2009. Periode 1945–1950Periode 18 Agustus 1945 – 15 Agustus 1950 adalah periode berlakunya konstitusi yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, yang kelak kemudian dinamakan sebagai UUD 1945. Periode ini dibagi lagi dibuat menjadi dua masa yaitu, pertama, selang 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 ketika negara Indonesia berdiri sendiri, dan kedua selang 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950 ketika negara Indonesia bergabung sebagai negara anggota dari negara federasi Republik Indonesia Serikat. Menurut UUD 1945, lembaga kepresidenan, yang bersifat personal[1], terdiri dari seorang presiden dan seorang wakil presiden. Lembaga ini dipilih oleh MPR dengan syarat tertentu dan ada masa letak selama 5 tahun. Sebelum bekerjanya lembaga ini bersumpah di depan MPR atau DPR. Menurut UUD 1945:
Dr. Ir. Soekarno, Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1967; Presiden RIS 1949-1950 Pada 18 Agustus 1945, untuk pertama kalinya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh PPKI. Dalam masa peralihan ini kekuasaan presiden sangat agung karena seluruh kekuasaan MPR, DPR, dan DPA, sebelum lembaga itu terbentuk, dijalankan oleh presiden dengan bantuan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Namun tugas berat juga dibebankan untuk presiden untuk mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditentukan UUD 1945. Hanya beberapa bulan pemerintahan, KNIP yang dibuat menjadi pembantu presiden dalam menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA menginginkan kekuasaan yang lebih. Hal itu kemudian direspon oleh lembaga kepresidenan dengan memberikan kekuasaan untuk menetapkan haluan negara dan membentuk UU melewati Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang dikeluarkan pada 16 Oktober 1945. Kurang dari sebulan, kekuasaan presiden menjadi kurang dengan terbentuknya Kabinet Syahrir I yang tidak lagi bertanggung jawab untuknya melainkan untuk Badan Pekerja KNIP. Pada tahun-tahun berikutnya ketika kondisi darurat, 29 Juni 1946 – 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 – 3 Juli 1947, presiden mengambil alih kekuasaan lagi. Begitu pula selang 29 Januari 1948 – 27 Desember 1949 kabinet kembali bersifat presidensial (bertanggung jawab untuk presiden). Ketika pemerintahan, termasuk di dalamnya lembaga kepresidenan, di Yogyakarta lumpuh dan tidak bisa bekerjanya ketika Agresi Militer Belanda II. Walau ditawan musuh, nampaknya lembaga ini tidak selesai. Sementara pada ketika yang sama, atas landasan mandat darurat yang diberikan sesaat sebelum kejatuhan Yogyakarta, suatu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang didirikan di pedalaman Sumatera (22 Desember 1948 – 13 Juli 1949) mendapat legitimasi yang sah. Kondisi inilah yang menimbulkan pemerintahan dan juga lembaga kepresidenan ganda. Sebab pemerintahan darurat itupun ada pimpinan pemerintahan (atau lembaga kepresidenan) dengan sebutan Ketua Pemerintahan Darurat. Hal inilah yang sering menimbulkan kontroversi dan polemik berkepanjangan tentang status pemerintah darurat dan status ketua pemerintah darurat. Untuk beberapa pihak, PDRI dan juga Ketua Pemerintahan Darurat adalah penerima tongkat estafet pemerintahan dan kepemimpinan nasional ketika pemerintahan di ibukota tertawan musuh. Oleh karenanya posisinya tidak bisa diabaikan. Lebih-lebih pada 13 Juli 1949, Ketua Pemerintah Darurat Syafruddin Prawiranegara secara resmi menyerahkan kembali mandat untuk Wakil Presiden Mohammad Hatta yang pulang dari tawanan musuh. Namun untuk pihak lain, tidak mundurnya presiden dan wakil presiden secara resmi menunjukkan tongkat estafet pemerintahan dan kepemmpinan nasional tetap dipegang oleh Soekarno dan Mohammad Hatta yang tertawan. Lebih-lebih perundingan-perundingan, seperti Perjanjian Roem-Royen, diterapkan dengan pemerintahan dan lembaga kepresidenan tertawan bukan dengan pemerintah darurat. Periode 1949–1950Negara Federasi Republik Indonesia Serikat 1949-1950 Pada periode 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950, RI bergabung dalam negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan posisi sebagai negara anggota. Hal ini mengakibatkan berlakunya 2 konstitusi secara bersamaan di wilayah negara anggota RI, yaitu Konstitusi RIS dan UUD 1945. Pada 27 Desember 1949, Presiden RI Soekarno sudah menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI untuk Assaat sebagai Pemangku Letak Presiden. Menurut Konstitusi RIS, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri dari seorang presiden. Presiden dipilih oleh Dewan Pemilih (Electoral College) yang terdiri dari utusan negara-negara anggota dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum bekerjanya, presiden bersumpah dihadapan Dewan Pemilih. Berlainan dengan UUD 1945, Konstitusi RIS mengatur posisi dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Selain itu dalam sistematika Konstitusi RIS, hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di beragam pasal. Menurut Konstitusi RIS (secara khusus[2]):
Selain bertindak secara khusus, sebagai anggota dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler[3], presiden, menurut konstitusi, selang lain:
Lembaga kepresidenan dalam periode ini hanya berumur sangat pendek. RI dan RIS sampai kesepakatan pada 19 Mei 1950 untuk kembali ke bangun negara kesatuan. Pada 15 Agustus 1950, di depan sidang DPR dan Senat, diproklamasikan berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia menggantikan negara federasi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS diubah dibuat menjadi Undang-Undang Landasan Sementara Republik Indonesia (yang selanjutnya dikenal sebagai UUDS 1950) berdasarkan UU RIS No. 7 Tahun 1950. Pada hari itu juga, Pemangku Letak Presiden RI, Assaat, menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI untuk Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia. Periode 1950–1959Drs. Moh Hatta, Wakil Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1956 Masa republik ketiga adalah periode diberlakukannya konstitusi sementara yang kelak kemudian dinamakan dengan UUDS 1950. Konstitusi ini sebenarnya merupakan perubahan konstitusi federal. Dari anggota materi, konstitusi negara kesatuan Republik Indonesia ini merupakan perpaduan selang konstitusi federal milik negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan konstitusi yang disahkan oleh PPKI milik Republik Indonesia, sebagai hasil persetujuan RIS dan RI tanggal 19 Mei 1950. Secara tepatnya periode ini berlaku selang 15 Agustus 1950 – 5 Juli 1959. Menurut konstitusi sementara, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri dari seorang presiden dan seorang wakil presiden [Pasal 44, 45, 46 (1), 47, dan 48]. Presiden dan wakil presiden dipilih menurut UU dengan syarat tertentu [pasal 45 (3) dan (5)]. Tidak ada masa letak yang jelas untuk lembaga ini, namun dari sifat konstitusi sementara [pasal 134 dan penjelasan konstitusi], letak ini dipertahankan sampai ada lembaga baru menurut konstitusi tetap yang disusun oleh Konstituante. Sebelum bekerjanya presiden dan wakil presiden bersumpah dihadapan DPR [pasal 47]. Sama seperti konstitusi federal, konstitusi sementara mengatur posisi dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Dalam sistematika konstitusi sementara hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di beragam pasal dalam konstitusi. Menurut konstitusi sementara (secara khusus[4]):
Selain bertindak secara khusus, sebagai anggota dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler[5], presiden (dan wakil presiden), menurut konstitusi, selang lain:
Lembaga kepresidenan dalam masa republik ketiga tergolong unik. Tokoh yang memangku letak presiden pada periode ini merupakan hasil persetujuan dari RIS dan RI pada 19 Mei 1950 [penjelasan konstitusi]. Sedangkan tokoh wakil presiden untuk pertama kalinya dinaikkan oleh presiden dari tokoh yang diajukan oleh DPR [pasal 45 (4)]. Dari hal-hal tersebut jelas bahwa lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) hanya bersifat sementara seiring pemberlakuan konstitusi sementara dan akan belakangnya dengan lembaga kepresidenan menurut konstitusi tetap yang akan dibuat. Dalam perjalanannya letak wakil presiden merasakan kekosongan per 1 Desember 1956 karena wakil presiden mengundurkan diri. Agak pasal 45 (4) tidak lagi bisa digunakan untuk mengisi lowongan tersebut sedangkan konstitusi tetap maupun UU pemilihan presiden dan wakil presiden belum ada. Pada 1958 presiden sempat berhalangan dan dialihkan oleh pejabat presiden. Kekuasaan lembaga kepresidenan ini otomatis belakangnya seiring munculnya dekrit presiden 5 Juli 1959 dan dialihkan dengan lembaga kepresidenan menurut UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Periode 1959–1999Jend Agung TNI Purn. H. M. Soeharto, Pejabat Presiden Indonesia 1967-1968 dan Presiden Indonesia 1968-1998 Masa republik keempat adalah periode diberlakukannya kembali konstitusi yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945 dengan sebutan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini berlaku selang 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999. Dengan diberlakukannya kembali konstitusi ini karenanya semua kekuasaan, bangun dan posisi, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan praktis sama dengan periode republik I. Untuk melihat secara detilnya diminta melihat kembali masa republik I. Ada beberapa hal yang menarik dari anggota peraturan perundang-undangan dalam periode ini. Menurut dekrit presiden yang memberlakukan kembali konstitusi dari republik I, anggota penjelasan konstitusi mendapat kekuatan hukum yang mengikat karena diterbitkan dalam lembaran negara. Dengan demikian lembaga kepresidenan tidak hanya diatur dalam pasal-pasal konstitusi namun juga dalam penjelasan konstitusi. Dengan keadaan lembaga MPR/MPRS dalam ketatanegaraan republik IV mengundang konsekuensi dengan lahirnya konstitusi semu yang dinamakan Ketetapan MPR/MPRS. Melewati produk hukum ini, secara umum lembaga kepresidenan juga diatur, selang lain melalui: Selain itu presiden sebagai mandataris MPR juga diberi kewenangan dan kekuasaan penuh untuk melakukan tindakan apapun guna menyelenggarakan pemerintahan, selang lain dengan: Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, Wakil Presiden Indonesia 1998 dan Presiden Indonesia 1998-1999 Dengan landasan hukum tersebut lembaga kepresidenan, terutama presiden, dibuat menjadi lembaga tinggi yang “super power” dibanding lembaga tinggi lainnya. Ada beberapa hal unik dan menarik untuk dicermati pada periode ini. Hal-hal tersebut selang lain, pertama, sesudah MPRS terbentuk lembaga ini tidak langsung bersidang untuk menetapkan tokoh yang memangku letak dalam lembaga kepresidenan yang baru. Kedua, pada tahun 1963 MPRS menetapkan ketetapan MPRS yang mengangkat presiden petahana sebagai presiden seumur hidup. Ketiga, munculnya letak “Pejabat Presiden” ketika Presiden dimakzulkan pada tahun 1967. Keempat, penetapan “Pejabat Presiden” dibuat menjadi Presiden pada tahun 1968. Kelima, pengisian lembaga kepresidenan berdasarkan dengan konstitusi baru diterapkan pada tahun 1973, tiga belas tahun sesudah MPR (MPRS) terbentuk. Keenam, pengucapan sumpah pelantikan presiden oleh wakil presiden tidak diterapkan di depan MPR atau DPR melainkan hanya di depan pimpinan MPR/DPR dan Mahkamah Agung ketika presiden mundur dari letaknya pada tahun 1998. Sebenarnya sedang banyak hal lain yang menarik namun mengingat keterbatasan tempat karenanya hanya enam hal di atas yang diketengahkan. Gelombang people power yang dikenal dengan “gerakan reformasi 1998” yang muncul pada tahun 1998 belakangnya juga mengakibatkan sistem ketatanegaraan berganti secara cepat. Presiden tidak lagi ada kekuasaan penuh dengan dicabutnya Ketetapan MPR No. V/MPR/1998[6] dengan Ketetapan MPR No. XII/MPR/1998[7]. Dan periode republik IV yang sudah berusia empat puluh tahun ini pun belakangnya sekitar satu setahun dari munculnya gelombang people power. Periode 1999–2002K. H. Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia 1999-2001 Masa republik kelima adalah periode transisi ketatanegaraan dampak proses perubahan konstitusi “UUD 1945” secara fundamental. Secara tepatnya periode ini berlaku selang 19 Oktober 1999 – 10 Agustus 2002. Periode ini muncul sebagai dampak dari gelombang people power yang dikenal dengan reformasi 1998. Oleh karena perubahan kekuasaan, bangun dan posisi, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan diterapkan secara bertahap karenanya pembahasan periode ini diterapkan menurut tahapan perubahan konstitusi [8]. Pada tahun 1999 sebagai dampak perubahan I konstitusi karenanya ada perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
Pada tahun 2000 sebagai dampak perubahan II konstitusi karenanya ada perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
Pada tahun 2001 sebagai dampak perubahan III konstitusi karenanya ada perubahan kekuasaan, bangun dan posisi, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu: Pada tahun 2002 sebagai dampak perubahan IV konstitusi karenanya ada perubahan kekuasaan, bangun dan posisi, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu: Beberapa hal yang dibuat menjadi catatan dalam periode republik V ini, selang lain, adalah, pertama, untuk pertama kalinya presiden dipilih oleh MPR dari calon yang berjumlah lebih dari satu orang. Kedua, presiden membekukan parlemen dan ada dampak dimakzulkannya presiden. Ketiga, presiden wajib menyampaikan laporan tahunan penyelenggaraan pemerintahan untuk MPR. Sebenarnya periode transisi ini tidak belakangnya pada tahun 2002 melainkan pada tahun 2004. Namun karena acuannya adalah konstitusi karenanya periode ini dicukupkan pada tahun 2002. Periode transisi selanjutnya dibahas pada anggota republik VI. Semenjak 2002Dr(HC), Hj. Diah Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri, Wakil Presiden Indonesia 1999-2001 dan Presiden Indonesia 2001-2004 Masa republik keenam adalah periode diberlakukannya konstitusi yang disahkan PPKI sesudah merasakan proses perubahan ketatanegaraan yang fundamental yang tetap dinamakan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini dihitung mulai 10 Agustus 2002 sampai terjadinya perubahan yang fundamental terhadap konstitusi. Dengan perubahan I-IV konstitusi selama masa republik V karenanya terjadi perubahan yang sangat fundamental dari anggota ketatanegaraan. Dan bisa diceritakan lembaga-lembaga negara, termasuk lembaga kepresidenan, memperoleh kekuasaan, bangun dan posisi, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban yang baru menurut “konstitusi yang baru”. Menurut konstitusi, lembaga kepresidenan bersifat personal dan terdiri dari seorang presiden dan seorang wakil presiden [pasal 4 (2); 3 (2); 6; 6A; 7; 7A; 7B; 8; dan 9]. Lembaga ini dipilih secara langsung oleh rakyat dengan syarat dan atur cara tertentu [pasal 6 dan 6A] dengan masa letak selama lima tahun dan hanya dibatasi untuk dua periode letak [pasal 7]. Sebelum bekerjanya lembaga ini dilantik oleh MPR [pasal 3 (2)] dengan bersumpah di depan MPR atau DPR [pasal 9 (1)] atau pimpinan MPR dan pimpinan MA bila parlemen tidak bisa bersidang [pasal 9 (2)]. Secara sistematika lembaga kepresidenan diatur secara terkonsentrasi pada bab III dari konstitusi. Namun demikian ada pengaturan lembaga kepresidenan di bab-bab lainnya dari konstitusi. Menurut konstitusi: Periode transisi sedang mewarnai masa republik VI ini, setidaknya selang tahun 2002 – 2004. Beragam peraturan konstitusi semu, yang bernama Ketetapan MPR, yang mengatur lembaga kepresidenan, secara bertahap diketengahkan tidak berlaku oleh lembaga pembuatnya sendiri, yaitu MPR, sampai terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004. Selain itu agak peralihan pasal I dan II juga berlaku selama masa transisi ini. Dalam masa transisi ini pula dibuat peraturan UU yang mengatur pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung. Mulai tahun 2004, kekuasaan, bangun dan posisi, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan diatur melewati konstitusi, UU, PP, maupun Perpres. Namun, berlainan dengan lembaga negara lain yang diatur secara terkonsentrasi dalam suatu peraturan perundang-undangan (UU, PP, dan Perpres), peraturan tentang lembaga kepresidenan tidak ada dalam satu UU melainkan tersebar dalam beragam UU, PP, maupun Perpres. Sebagai catatan kesudahan, pada tahun 2004, pertama kalinya dalam sejarah, dipersiapkan pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung oleh rakyat. SoekarnoSoekarno atau lebih umum dinamakan Bung Karno, adalah tokoh presiden pertama dari Indonesia. Letak pertama ini dimulai semenjak 18 Agustus 1945. Bung Karno terpilih secara aklamasi dalam sidang PPKI atas usul Otto Iskandardinata. Beliau ditemani oleh wakil presiden Drs. Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Menurut agak yang ada pada ketika itu kekuasaan presiden sangat agung. Seiring berlakunya ketika kekuasaan legislatif diserahkan untuk Badan Pekerja Komite Nasional pada bulan Oktober 1945. Selanjutnya pada bulan November pada tahun yang sama, Sukarno menyerahkan kekuasaan eksekutif pada Kabinet Syahrir I. Namun demikian pada 29 Juni 1946 – 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 – 3 Juli 1947, Sukarno kembali mengambil alih kekuasaan ketika terjadi kondisi darurat[9]. Pada 29 Januari 1948 Sukarno kembali membentuk kabinet presidensil[10]. Wakil presiden Moh Hatta ditugasi untuk memimpin kabinet sehari-hari. Di sini bisa diamati bahwa presiden dan wakil presiden melakukan pembagian kekuasaan. Sehingga wakil presiden tidak hanya duduk di bangku cadangan yang baru diturunkan ketika pemain utama cedera. Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan gerakan militer menyerang ibukota Yogyakarta. Dalam peristiwa ini Sukarno dan Hatta ikut tertawan sehingga praktis pemerintahan lumpuh walau tidak selesai secara resmi. Namun sebelum tertawan, presiden dan wakilnya sempat mengirimkan mandat untuk Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara yang ada di Sumatera untuk membentuk pemerintahan, dan mandat untuk Menteri Keuangan Mr. A. A. Maramis yang ada di India untuk membentuk pemerintahan pengasingan bila usaha Syafruddin membentuk pemerintahan gagal diterapkan. Syafruddin sukses membentuk pemerintahan darurat di Sumatera pada 22 Desember 1948. Namun Belanda lebih menentukan berunding dengan pemerintahan tertawan. Hal inilah yang menimbulkan kondisi pemerintahan ganda. Sampai belakangnya pada 13 Juli 1949, sesudah melewati proses yang berliku, Syafruddin mengembalikan mandatnya untuk Moh. Hatta. Pada 16 Desember 1949 Sukarno terpilih sebagai presiden negara federasi Republik Indonesia Serikat[11]. Pada ketika yang hampir bersamaan Hatta terpilih sebagai perdana menteri negara federasi[12]. Konstitusi federal yang melarang rangkap letak untuk kepala negara federal dan perdana menteri federal dengan letak apapun, mengharuskan Sukarno dan Hatta untuk meletak letak bersama-sama. Kondisi ini diantisipasi dengan keluarnya UU No 7 Tahun 1949. Dalam UU ini diatur apabila presiden dan wakil presiden berhalangan secara bersama-sama karenanya ketua parlemen dinaikkan dibuat menjadi Pemangku Letak Presiden. Belakangnya pada 27 Desember 1949 Sukarno selesai sebagai presiden dan menyerahkan letak lembaga kepresidenan untuk Ketua Badan Pekerja KNI Pusat, Mr. Asaat Datuk Mudo. Pada 27 Desember 1949 Sukarno memulai masa letaknya yang pertama sebagai presiden negara federal Indonesia. Tidak banyak yang terekam dalam letak presiden federal ini yang sangat singkat ini. Suatu persetujuan selang pemerintah federal RIS (yang bertindak atas namanya sendiri dan atas mandat penuh dari pemerintah negara anggota yang tersisa, pemerintah negara anggota Negara Indonesia Timur dan pemerintah negara anggota Negara Sumatera Timur) dan pemerintah negara anggota Republik Indonesia (yang beribukota di Yogyakarta) menentukan Sukarno sebagai presiden negara kesatuan yang akan dibuat dari penggabungan RIS dengan RI (Yogyakarta). Letak presiden federal dipangku Sukarno sampai tanggal 15 Agustus 1950. Letak ini bisa dihitung sebagai masa letak kedua untuk Sukarno. Pada tanggal itu presiden federal memproklamasikan berdirinya negara kesatuan dihadapan sidang gabungan DPR dan Senat di Jakarta. Sore harinya Bung Karno terbang ke Yogyakarta untuk membubarkan pemerintah RI (Yogyakarta) dan menerima penyerahan kekuasaan dari Pemangku Letak Presiden. Sesudah kembali ke Jakarta pada hari yang sama Sukarno menerima penyerahan kekuasaan dari perdana menteri RIS. ISKS Hamengku Buwono IX, Wakil Presiden Indonesia 1973-1978 Pada 15 Agustus 1950 Sukarno secara resmi sudah dibuat menjadi presiden negara kesatuan yang pertama sesudah menerima kekuasaan dari dua pemerintahan RIS dan RI (Yogyakarta). Letak ini bisa dihitung sebagai letak ketiga untuk Sukarno. Keesokan hari tanggal 16 Agustus 1950, Presiden melantik DPR Sementara Negara Kesatuan, hasil penggabungan dari DPR (RIS), Senat (RIS), Badan Pekerja KNI Pusat(RI-Yogyakarta), dan DPA (RI-Yogyakarta). Berdasarkan konstitusi, Sukarno mengangkat Hatta sebagai Wakil Presiden atas usulan dari DPR Sementara. Untuk Hatta letak ini bisa dihitung sebagai masa letak kedua. Berdasarkan konstitusi pula lembaga ini berulangkali membentuk kabinet. Sampai awal 1956 lembaga kepresidenan sudah membentuk setidaknya enam kabinet dan menerima pengembalian mandat pemerintahan sebanyak lima kali. Pada kesudahan tahun 1956, tanggal 1 Desember 1956, Hatta mengundurkan diri dari letak wakil presiden. Mulai ketika itu, lembaga kepresidenan hanya “dihuni” oleh seorang presiden tanpa wakilnya. UUD Sementara tidak mengatur pemilihan wakil presiden dan menyerahkannya pada konstitusi yang akan disusun oleh Konstituante. Kondisi yang kian genting menyebabkan Sukarno mengeluarkan SOB pada 1957[13]. Perlahan namun pasti kekuasaan Sukarno sebagai Penguasa Tingkatan Perang meningkat. Puncaknya Sukarno mengeluarkan dekrit untuk memberlakukan kembali konstitusi yang pernah digunakan, UUD 1945, serta membubarkan konstituante yang tak kunjung berhenti menyusun konstitusi tetap. Sukarno tetap menjabat presiden berdasar agak peralihan pasal II konstitusi yang disahkan PPKI. Demikian pula DPR Sementara negara kesatuan berganti fungsi dibuat menjadi DPR Peralihan[14] sampai ditentukan DPR yang baru menurut konstitusi. Letak ini bisa dihitung sebagai letak presiden peralihan atau bisa dihitung sebagai masa letak keempat untuk Sukarno. Sementara itu, agak peralihan pasal III dan IV konstitusi sudah tidak bisa digunakan lagi. Presiden tidak ditemani oleh wakil presiden maupun Komite Nasional menyebabkan seluruh kekuasaan pemerintahan negara berpusat pada presiden. Tidak satu pun yang bisa bermain-main dengan kekuasaan presiden. DPR Peralihan pun dibubarkan pada 24 Juni 1960 karena tidak menyetujui RAPBN yang diajukan Sukarno[15]. Sebagai gantinya Sukarno membentuk DPR Gotong Royong[16]. Berdasarkan Penpres No 14 tahun 1960, Presiden bisa membikin produk legislatif bila tidak terjadi kesepakatan dengan parlemen. Pada Desember 1960 Sukarno membentuk MPR Sementara untuk melakukan ketetapan dalam konstitusi. Peranan Sukarno makin agung dengan mengeluarkan PP No 32/1964 yang mengandung DPR-GR merupakan pembantu Presiden/Pimpinan Agung Revolusi dalam anggota legislatif. Melewati UU No 19 tahun 1964 Presiden diberi kewenangan untuk mencampuri keputusan peradilan. MPRS bentukan Sukarno mengeluarkan suatu produk konstitusi semu untuk menetapkan ide-ide Pimpinan Agung Revolusi dan belakangnya menetapkan Sukarno sebagai presiden definitif dengan masa letak seumur hidup pada 1963 tanpa ditemani wakil presiden[17]. Lembaga ini juga memberi kekuasaan secara penuh pada Sukarno untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara[18]. Periode ini bisa dihitung sebagai masa letak kelima untuk Sukarno. Pada periode ini Sukarno menggunakan gelar rangkap “Presiden/Pimpinan Agung Revolusi/Panglima Tertinggi/Mandataris MPRS” lebih banyak dari gelar yang diberikan konstitusi “Presiden”. Perubahan cuaca perpolitikan terjadi secara cepat pada tahun 1966-1968 sebagai dampak badai politik tahun 1965. Periode ini merupakan kondisi terburuk yang dialami sang proklamator. Pada tahun 1966 beragam atribut masa kejayaan mulai diurai oleh MPRS. Mulai dari pemilihan/penunjukkan wakil presiden dan pengangkatan pejabat presiden, pengertian mandataris MPR Sementara, Pimpinan Agung Revolusi, dan berpuncak pada peninjauan kembali pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Belakangnya pada 22 Februari 1967 Sukarno “menyerahkan kekuasaan” untuk pejabat presiden dan dilegalisasi dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, presiden Indonesia dimakzulkan untuk pertama kalinya secara resmi pada 12 Maret 1967[19]. SoehartoJend TNI Purn. Umar Wirahadikusumah, Wakil Presiden Indonesia 1983-1988 Jenderal TNI Suharto atau yang dekat diajak berkata-kata Pak Harto merupakan tokoh presiden kedua dari Republik Indonesia. Letak pertamanya dimulai semenjak 27 Maret 1968. Pak Harto dinaikkan oleh MPR Sementara dengan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Presiden Republik Indonesia. Beliau adalah presiden kedua yang ditentukan oleh MPR Sementara. Dalam masa letaknya yang pertama ini suami Ibu Tien tidak ditemani oleh wakil presiden sebagaimana diatur menurut konstitusi. Sebagai mandataris MPR Sementara, secara teori, presiden adalah pelaksana kebijakan lembaga paling tinggi negara tersebut. Pak Harto menjalankan kewajibannya sebagai presiden sampai ada presiden definitif yang dinaikkan oleh MPR hasil pemilu. Pada tahun 1973 pertanggung jawaban Jenderal TNI Suharto dihadapan MPR hasil pemilu 1971 diterima. Kemudian presiden dari kalangan militer yang pertama ini dinaikkan oleh lembaga yang sama sebagai presiden dari calon tunggal pada 24 Maret 1973[20]. Dalam masa letaknya yang kedua Pak Harto ditemani oleh wakil presiden, ISKS Hamengku Buwono IX, Sultan sekaligus Kepala Kawasan Istimewa Yogyakarta[21]. Pada masa-masa ini sampai sekitar 25 tahun mendatang kepemimpinan nasional berlaku dengan urutan yang mudah didampingi relatif tidak diwarnai kontroversi tentang tokoh maupun periodesasi letak. Pada tahun 1978 pertanggung jawaban Suharto dihadapan MPR hasil pemilu 1977 diterima. Pada bulan yang sama purnawiran jenderal ini kembali dinaikkan oleh MPR dari calon tunggal[22]. Dalam masa letak yang ketiga kalinya, Pak Harto ditemani oleh Adam Malik sebagai wakil presiden[23]. Secara matematis, Suharto dinaikkan sehari lebih cepat dari jatah masa letaknya. Selanjutnya pada 1983, lagi-lagi pertanggung jawaban Pak Harto diterima. Bahkan MPR hasil pemilu 1982 memberinya gelar Bapak Pembangunan. Pada 11 Maret 1983, sang purnawirawan kembali dinaikkan oleh MPR untuk menduduki kursi kepresidenannya yang keempat dari calon tunggal[24]. Menurut hitung-hitungan angka beliau dinaikkan tiga belas hari lebih cepat dari masa letaknya yang seharusnya belakangnya pada 23 Maret 1983. Untuk pertama kalinya Pak Harto ditemani oleh purnawirawan militer, Jend TNI (Purn). Umar Wirahadikusumah, sebagai wakil presiden[25]. Tahun 1988, kembali pertanggung jawaban jenderal kelahiran desa Kemusuk diterima. Sesudah genap lima tahun menduduki kursi kepresidenan, Jend (Purn). Suharto kembali dilantik oleh MPR hasil pemilu 1987 pada 11 Maret 1988[26]. Dalam masa letak kelimanya bapak pembangunan ini ditemani wakil presiden dari kalangan militer, Letjend TNI (Purn). Sudarmono SH[27]. Tahun 1993, untuk ke sekian kalinya pertanggung jawaban sang presiden diterima. Pada 11 Maret 1993, sesudah menggenapi masa letaknya, Jenderal TNI (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto dinaikkan untuk menduduki letak presiden keenam[28]. Lagi-lagi MPR hasil pemilu 1992 mengangkatnya dari calon tunggal. Sekarang beliau ditemani oleh mantan panglima militer, Jend TNI (Purn) Try Sutrisno, sebagai wakil presiden[29]. Letjend TNI (Purn). Soedharmono, SH. Wakil Presiden Indonesia 1988-1993 Maret 1998, di tengah badai politik dan ekonomi, pidato pertanggung jawaban Pak Harto diterima oleh MPR. Tidak satupun yang menyangka ini adalah terakhir kalinya beliau menyampaikan laporan pertanggung jawaban. Kurang sehari dari masa letak yang seharusnya dijalani, pada tanggal 10 Maret 1998 Jenderal Agung TNI (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto, dinaikkan dari calon tunggal untuk ketujuh kalinya oleh MPR hasil pemilu 1997[30]. Untuk kedua kalinya beliau ditemani oleh seorang sipil, Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai wakil presiden[31]. Beragam tekanan harus dihadapi sang jenderal yang sudah berusia senja ini. Sebenarnya beliau bisa menggunakan kekuasaan penuh untuk menyingkirkan semua pengganggunya, namun hal itu tidak beliau lakukan. Pimpinan MPR/DPR pada ketika itu sempat menginginkan mundur sang presiden atau menggelar Sidang Istimewa MPR, suatu sidang khusus yang bisa berujung pada pemakzulan seperti yang pernah terjadi pada diri Sukarno. Dan belakangnya pada 21 Mei 1998 Soeharto menyalakan mundur dari letaknya dampak gelombang people power “Gerakan Reformasi 1998”. Baharuddin Jusuf HabibieBaharuddin Jusuf Habibie adalah tokoh presiden ketiga Republik Indonesia. Letak pertamanya dimulai pada 21 Mei 1998. Habibi menggantikan presiden sebelumnya yang mengundurkan diri. Naiknya presiden pertama dari luar Jawa ini menimbulkan sedikit kontroversi setidaknya dalam masalah cara formal pengangkatan sebagai presiden. Secara formal pengucapan sumpah kepresidenan diterapkan dihadapan parlemen. Namun, karena gedung parlemen diduduki oleh pendukung people power yang menyebabkan para legistalor tidak bisa bersidang, pengucapan sumpah letak kepresidenan hanya diterapkan oleh Pak Habibi di depan pimpinan MPR/DPR dan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. Beberapa bulan sesudahnya MPR menggelar Sidang Istimewa. Namun majelis itu tidak memberikan suatu surat pengangkatan khusus sebagaimana pernah diberikan untuk dua presiden sebelumnya Sukarno (1963) dan Suharto ([[1968], 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998). Lembaga paling tinggi negara tersebut hanya mengakui melewati posisi Habibi di dalam Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Bahkan beliau tidak ditemani oleh wakil presiden. Catatan yang diraih oleh presiden kelahiran Provinsi Sulawesi Selatan adalah penyelenggaraan pemilu 1999 yang menghasilkan parlemen baru. Namun parlemen baru yang dipilih melewati pemilu tersebut menolak pertanggung jawaban presiden sesudah presiden diberi kesempatan untuk menggunakan hak jawab untuk parlemen[32]. Pada 19 Oktober 1999 Bacharuddin Yusuf Habibie mengakhiri tugasnya yang sangat singkat dengan mendampingi presiden terpilih mengucapkan sumpah kepresidenan dihadapan sidang umum MPR 1999. Jend TNI Purn Try Sutrisno, Wakil Presiden Indonesia 1993-1998 Abdurrahman WahidAbdurrahman Wahid adalah Presiden ke-4 Indonesia. Masa letaknya dimulai pada tanggal 19 Oktober 1999. Gus Dur adalah presiden terakhir yang dipilih oleh MPR. Beliau dinaikkan oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia. Beliau mengalahkan rivalnya Megawati Soekarnoputri dalam suatu pemilihan yang diterapkan oleh MPR. Namun MPR menentukan rivalnya dalam pemilihan tersebut, Megawati, sebagai wakil presiden yang mendampinginya. Megawati dinaikkan oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Karena satu dan lain hal tentang keterbatasan seperti yang sudah dimaklumi, Gus Dur menyerahkan pelaksanaan tugas teknis pemerintahan sehari-hari pada wakil presiden. Penugasan ini ditentukan dengan Keputusan Presiden Nomor 121 Tahun 2000 tentang Penugasan Presiden untuk Wakil Presiden untuk Melakukan Tugas Teknis Pemerintahan Sehari-hari Presiden Republik Indonesia. Pendulum kekuasaan yang berpindah dari eksekutif ke legislatif mengakibatkan lembaga kepresidenan sepenuhnya tunduk pada parlemen. Hal ini dibuktikan sendiri olehnya. Dua kali sesudah menghadapi memorandum dari DPR, Gus Dur dihadapkan pada suatu pemakzulan. Langkahnya yang mengeluarkan maklumat pembekuan DPR dalam dekrit tidak membuahkan hasil. MPR yang tengah menggelar Sidang Istimewa langsung menolak dekrit itu dengan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2001 tentang Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia terhadap Maklumat Presiden Republik Indonesia Tanggal 23 Juli 2001. Maklumat tersebut juga mengantarkan lebih cepat pada pemakzulannya oleh MPR pada ketika itu juga. Abdurrahman Wahid dibuat menjadi presiden kedua yang dimakzulkan oleh MPR di tengah masa letaknya, berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid. Megawati SoekarnoputriMegawati Soekarnoputri adalah Presiden ke-5 Indonesia. Letak pertamanya dimulai 23 Juli 2001. Megawati menggantikan Gus Dur karena posisinya sebagai wakil presiden. Beliau adalah wakil presiden kedua yang menggantikan presiden ketika selesai dalam masa letaknya. Megawati dinaikkan oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2001 tentang Penetapan Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri Sebagai Presiden Republik Indonesia. Masa letaknya kurang dari 5 tahun sebab beliau hanya mewarisi masa letak Gus Dur. Presiden perempuan pertama Indonesia ini ditemani oleh Wakil Presiden Hamzah Haz yang memenangkan pemilihan wakil presiden oleh MPR dari rivalnya Susilo Bambang Yudhoyono. Hamzah oleh MPR dinaikkan sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/ 2001 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Catatan dalam masa letaknya adalah Pemilu Legislatif pada April 2004 serta Pemilu Presiden pada Juli 2004. Pada Pemilu Presiden 2004, Megawati harus mengakui keunggulan SBY sesudah melewati dua putaran pemilihan. Beliau mengakhiri masa letak pertamanya pada 20 Oktober 2004, sehari lebih lama dari sisa masa letak Gus Dur yang dilimpahkan untuknya. Susilo Bambang YudhoyonoSusilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia 2004–2009 dan 2009–2014 Susilo Bambang Yudhoyono adalah Presiden ke-6 Indonesia. Letak pertamanya dimulai pada 20 Oktober 2004. Beliau bersama pasangannya Muhammad Jusuf Kalla memenangi Pemilu Presiden 2004 yang merupakan pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali. Sesudah mengakhiri masa letaknya yang pertama, SBY kembali mengucapkan sumpah letak presiden untuk kedua kalinya di depan sidang MPR pada 20 Oktober 2009. Kali ini beliau ditemani oleh Boediono sebagai wakil presiden. Pejabat sementaraSyafruddin PrawiranegaraSyafruddin Prawiranegara, Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, 1948–1949 Syafruddin Prawiranegara adalah Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Beliau ditunjuk dengan radiogram yang mengandung mandat dari Presiden Soekarno yang ketika itu memegang kekuasaan pemerintahan negara pada 18 Desember 1948. Oleh sebab Bukittinggi yang dibuat menjadi tempat posisinya juga diserang Belanda, radiogram itu tidak sampai pada ketikanya. PDRI tidak bermarkas di satu tempat melainkan selalu berpindah. Bermula dari perkebunan teh di Halaban, Sumatera Barat beliau pergi ke Riau dan kembali lagi ke Sumatera Barat. Pada bulan Mei 1949, beliau membentuk perwakilan PDRI di pulau Jawa. Beliau berselisih paham dengan Soekarno karena mengirim utusan untuk Belanda dalam Perjanjian Roem-Royen. Sesudah melewati beragam proses berliku belakangnya Syafruddin mau mengembalikan mandat yang sudah diberikan presiden untuk Hatta. Posisi Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia sebagai kepala negara dan/atau kepala pemerintahan ataupun setidaknya setingkat pejabat presiden, adil secara de facto maupun de jure, sedang diperdebatkan apakah sah atau tidak. AssaatAssaat, Pemangku Letak Presiden Indonesia 1949–1950 Assaat adalah Pemangku Letak Presiden Republik Indonesia. Letaknya dimulai pada 27 Desember 1949 ketika Soekarno secara resmi menyerahkan letak Presiden RI untuknya. Assaat sebelumnya adalah Ketua Badan Pekerja KNIP, parlemen Indonesia kala itu. Beliau menjabat sebagai pemangku letak presiden karena UU No. 7 Tahun 1949 menentukan bila presiden dan wakil presiden secara bersama-sama tidak bisa melakukan kewajibannya karenanya Ketua DPR dibuat menjadi "Pemangku Letak Presiden". Letak tersebut diembannya sampai 15 Agustus 1950 ketika beliau menyerahkan kekuasaan untuk Soekarno sebagai Presiden RI (negara kesatuan) berdasarkan persetujuan RIS dan RI pada 19 Mei 1950. SartonoSartono pernah menjabat sebagai Pejabat Presiden Indonesia. Belum banyak data yang dikenal tentang tokoh ini. Satu-satunya ajar yang ada ialah Sartono menandatangani Lembaran Negara tahun 1958 nomor 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13 ,14, 15, 16, 17, dan 18, tertanggal selang 13 Januari 1958 – 17 Februari 1958, yang salah satunya adalah UU No 8 tahun 1958 tentang penetapan UU Drt No 9 tahun 1954 tentang perubahan nama Provinsi Sunda Kecil dibuat menjadi Provinsi Nusa Tenggara (LN 1954 No 66) sebagai UU pada tanggal 17 Februari 1958. Untuk sementara perhitungan tokoh ini diabaikan, dengan pengertian, sesudah mendapat keterangan yang jelas tentang posisinya, tokoh ini akan dibawa masuk[33]. SoehartoSoeharto juga pernah dibuat menjadi Pejabat Presiden Indonesia. Letaknya dimulai pada 22 Februari 1967 walau surat pengangkatannya baru dikeluarkan pada 12 Maret 1967. Beliau dibuat menjadi pejabat presiden sebagai ketetapan dari Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Atur Cara Pengangkatan Pejabat Presiden, sesudah Soekarno dimakzulkan dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Seharusnya Soeharto dibuat menjadi pejabat presiden sampai dengan hal ada presiden yang dipilih oleh MPR baru dari hasil pemilihan umum. Namun pada 27 Maret 1968, karena kondisi politik ketika itu, beliau mengakhiri tugasnya sebagai pejabat presiden karena ditentukan sebagai presiden (penuh) oleh MPRS kala itu. Polemik periode dan pejabatPeriodisasi letak lembaga kepresidenan sering menimbulkan polemik. Namun, sebelum masuk terlalu dalam, perlu dikawal beberapa hal yang boleh jadi bersifat mendasar.
Sebagai ilustrasi, bisa diamati pada kasus Presiden Filipina. Ilustrasi ini juga didasarkan pada anggota historis, sebab Supomo ketika menjelaskan UUD 1945 beliau membandingkan UUD Indonesia dengan Konstitusi Filipina[34]. Diosdado Pangan Macapagal adalah Presiden Filipina urutan kesembilan sekaligus presiden kelima dari republik ketiga negara Filipina. Satu yang bisa diamati disini bahwa beliau menduduki dua buah daftar dengan nomor urut yang berlainan. Presiden Macapagal pada 1962 mengubah perayaan resmi hari kemerdekaan dari 4 Juli (hari ketika Amerika Serikat memberikan kemerdekaan Filipina pada 1946, hari yang juga dibuat menjadi peringatan kemerdekaan AS) dibuat menjadi 12 Juni (hari ketika Emilio Aguinaldo mengumumkan kemerdekaan dari Spanyol pada 1898). Keputusan ini sebagai keputusan hukum tentang ketika yang sudah ditentukan sebelumnya. Beliau juga mengakui Jose P. Laurel yang dibuat menjadi Presiden Filipina oleh tentara pendudukan Jepang, sebagai presiden resmi negara itu. Sebelumnya Laurel tidak diakui oleh pemerintahan-pemerintahan Filipina sesudah Perang Dunia II, karena dianggap tidak ada status hukum apapun namun mengakui dua presiden yang ada dalam pengasingan di Amerika. Di sini bisa diamati bahwa pemerintahan pengasingan diakui dan pemerintahan ganda juga diakui. Lebih dari itu Macapagal menetapkan suatu keputusan resmi tentang pengakuan tokoh yang menjabat dalam lembaga kepresidenan Filipina, Ng Pangulo Ng Pilipinas. Periodisasi masa letak maupun urutan tokoh yang duduk dalam lembaga kepresidenan sering menimbulkan ketidaksepakatan. Berikut akan diusahakan untuk memilah periodisasi dan urutan tokoh yang menjabat lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) berdasarkan kronologi tokoh ketika memangku letak untuk yang pertama kalinya. Soekarno ada beberapa probabilitas periodisasi letak presiden, selang lain:
Mohammad Hatta ada beberapa probabilitas periodisasi letak wakil presiden, yaitu:
Syafruddin Prawiranegara ada beberapa probabilitas periodisasi letak, yaitu:
Assaat ada 2 probabilitas periodisasi letak, yaitu:
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia 2004-2009 Soeharto ada beberapa probabilitas periodisasi letak, selang lain:
Hamengkubuwana IX ada 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 24 Maret 1973 sampai 23 Maret 1978. Adam Malik ada 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 23 Maret 1978 sampai 11 Maret 1983. Umar Wirahadikusumah ada 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 11 Maret 1983 sampai 1988. Sudharmono ada 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 11 Maret 1988 sampai 1993. Try Sutrisno ada 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 11 Maret 1993 sampai 1998. Baharuddin Jusuf Habibie ada periode jabatan:
Abdurrahman Wahid ada 1 periode letak presiden yaitu semenjak 19 Oktober 1999 sampai 23 Juli 2001. Megawati Soekarnoputri ada periode jabatan:
Hamzah Haz ada 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 26 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004. Susilo Bambang Yudhoyono ada 2 periode letak presiden yaitu semenjak 20 Oktober 2004 sampai 2009 dan semenjak 20 Oktober 2009 sampai ketika ini. Muhammad Jusuf Kalla ada 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 20 Oktober 2004 sampai 2009. Boediono ada 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 20 Oktober 2009 sampai ketika ini. Untuk mengetahui urutan tokoh atau urutan masa letak lembaga kepresidenan yang ke berapakah sekarang yang menjabat karenanya tinggal merangkai masing-masing masa letak tokoh. Perlu hati-hati dalam merangkai beberapa tokoh karena akan ada over lapping masa tugas dan tidak mungkin over lapping masa tugas. Di sini akan diberi dua contoh berlainan. Contoh Pertama: Sukarno menurut versi (2), Suharto versi (2), Habibie (2), Gus Dur, Mega (2), SBY. Prof. Dr. Boediono, Wakil Presiden Indonesia 2009-2014 Contoh Kedua: Soekarno menurut versi (5), Syafruddin (1), Assaat (1), Suharto versi (3), Habibi (2), Gus Dur, Mega (2), SBY. Kedua contoh di atas memperlihatkan suatu perbedaan yang amat mencolok. Dan itu pun baru contoh dari dua versi. Catatan kaki
PustakaLihat pulaedunitas.com Page 7Lambang Presiden Republik Indonesia Bendera Presiden Republik Indonesia Istana Merdeka, salah satu lambang Lembaga Kepresidenan Indonesia Presiden dan Wakil Presiden Indonesia (secara bersama-sama dinamakan lembaga kepresidenan Indonesia) memiliki sejarah yang hampir sama tuanya dengan sejarah Indonesia. Diceritakan hampir sama sebab pada ketika proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia belum memiliki pemerintahan. Barulah sehari kemudian, 18 Agustus 1945, Indonesia memiliki konstitusi yang diproduksi menjadi landasan untuk mengatur pemerintahan (|UUD 1945)dan lembaga kepresidenan yang memimpin seluruh bangsa. Dari titik inilah perjalanan lembaga kepresidenan yang bersejarah dimulai. Sejarah perjalanan lembaga kepresidenan Indonesia memiliki keunikan tersendiri, sebagaimana tiap-tiap bangsa memiliki ciri khas pada sejarah pimpinan mereka masing-masing. Perjalanan sejarah yang dilewati lembaga kepresidenan diwarnai setidaknya tiga atau bahkan empat konstitusi. Selain itu ini boleh diceritakan “hanya” diatur dalam konstitusi. Peraturan di bawah konstitusi hanya mengatur beberapa kecil dan itupun letaknya tersebar dalam beragam jenis maupun tingkatan peraturan. Ini berlainan dengan lembaga legislatif dan lembaga yudikatif yang memiliki undang-undang tentang bangun dan posisi lembaga itu sendiri. Lain daripada itu masalah tokoh dan periodisasi juga membutuhkan pencermatan semakin lanjut. Oleh sebab lembaga kepresidenan beberapa agung diatur dalam konstitusi, karenanya pembahasan sejarah lembaga ini akan difokuskan menurut pengaturan dalam konstitusi dan akan dibagi menurut masa berlakunya masing-masing konstitusi. Pembagian inipun tidak sepenuhnya lepas dari kesukaran di setidaknya dua kurun ketika. Pertama, periode selang tahun 1949–1950 ketika ada dua konstitusi yang berlaku secara bersamaan. Kedua, selang 1999–2002 ketika konstitusi merasakan pembongkaran ulang. Selain itu, karena dinamika yang sedang terus berlaku, karenanya pembahasan artikel hanya akan dibatasi sampai tahun 2008 atau setidak-tidaknya pertengahan 2009. Periode 1945–1950Periode 18 Agustus 1945 – 15 Agustus 1950 adalah periode berlakunya konstitusi yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, yang kelak kemudian dinamakan sebagai UUD 1945. Periode ini dibagi lagi diproduksi menjadi dua masa yaitu, pertama, selang 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 ketika negara Indonesia berdiri sendiri, dan kedua selang 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950 ketika negara Indonesia bergabung sebagai negara anggota dari negara federasi Republik Indonesia Serikat. Menurut UUD 1945, lembaga kepresidenan, yang bersifat personal[1], terdiri dari seorang presiden dan seorang wakil presiden. Lembaga ini dipilih oleh MPR dengan syarat tertentu dan memiliki masa letak selama 5 tahun. Sebelum bekerjanya lembaga ini bersumpah di depan MPR atau DPR. Menurut UUD 1945:
Dr. Ir. Soekarno, Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1967; Presiden RIS 1949-1950 Pada 18 Agustus 1945, untuk pertama kalinya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh PPKI. Dalam masa peralihan ini kekuasaan presiden sangat agung karena seluruh kekuasaan MPR, DPR, dan DPA, sebelum lembaga itu terbentuk, dijalankan oleh presiden dengan bantuan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Namun tugas berat juga dibebankan untuk presiden untuk mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditentukan UUD 1945. Hanya beberapa bulan pemerintahan, KNIP yang diproduksi menjadi pembantu presiden dalam menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA menginginkan kekuasaan yang semakin. Hal itu kemudian direspon oleh lembaga kepresidenan dengan memberikan kekuasaan untuk menetapkan haluan negara dan membentuk UU melewati Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang dikeluarkan pada 16 Oktober 1945. Kurang dari sebulan, kekuasaan presiden menjadi kurang dengan terbentuknya Kabinet Syahrir I yang tidak lagi bertanggung jawab untuknya melainkan untuk Badan Pekerja KNIP. Pada tahun-tahun berikutnya ketika kondisi darurat, 29 Juni 1946 – 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 – 3 Juli 1947, presiden mengambil alih kekuasaan lagi. Begitu pula selang 29 Januari 1948 – 27 Desember 1949 kabinet kembali bersifat presidensial (bertanggung jawab untuk presiden). Ketika pemerintahan, termasuk di dalamnya lembaga kepresidenan, di Yogyakarta lumpuh dan tidak mampu bekerjanya ketika Agresi Militer Belanda II. Walau ditawan musuh, nampaknya lembaga ini tidak selesai. Sementara pada ketika yang sama, atas landasan mandat darurat yang diberikan sesaat sebelum kejatuhan Yogyakarta, suatu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang didirikan di pedalaman Sumatera (22 Desember 1948 – 13 Juli 1949) mendapat legitimasi yang sah. Kondisi inilah yang menimbulkan pemerintahan dan juga lembaga kepresidenan ganda. Sebab pemerintahan darurat itupun memiliki pimpinan pemerintahan (atau lembaga kepresidenan) dengan sebutan Ketua Pemerintahan Darurat. Hal inilah yang sering menimbulkan kontroversi dan polemik berkepanjangan tentang status pemerintah darurat dan status ketua pemerintah darurat. Untuk beberapa pihak, PDRI dan juga Ketua Pemerintahan Darurat adalah penerima tongkat estafet pemerintahan dan kepemimpinan nasional ketika pemerintahan di ibukota tertawan musuh. Oleh karenanya posisinya tidak mampu diabaikan. Lebih-lebih pada 13 Juli 1949, Ketua Pemerintah Darurat Syafruddin Prawiranegara secara resmi menyerahkan kembali mandat untuk Wakil Presiden Mohammad Hatta yang pulang dari tawanan musuh. Namun untuk pihak lain, tidak mundurnya presiden dan wakil presiden secara resmi menunjukkan tongkat estafet pemerintahan dan kepemmpinan nasional tetap dipegang oleh Soekarno dan Mohammad Hatta yang tertawan. Lebih-lebih perundingan-perundingan, seperti Perjanjian Roem-Royen, dilakukan dengan pemerintahan dan lembaga kepresidenan tertawan bukan dengan pemerintah darurat. Periode 1949–1950Negara Federasi Republik Indonesia Serikat 1949-1950 Pada periode 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950, RI bergabung dalam negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan posisi sebagai negara anggota. Hal ini mengakibatkan berlakunya 2 konstitusi secara bersamaan di wilayah negara anggota RI, yaitu Konstitusi RIS dan UUD 1945. Pada 27 Desember 1949, Presiden RI Soekarno sudah menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI untuk Assaat sebagai Pemangku Letak Presiden. Menurut Konstitusi RIS, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri dari seorang presiden. Presiden dipilih oleh Dewan Pemilih (Electoral College) yang terdiri dari utusan negara-negara anggota dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum bekerjanya, presiden bersumpah dihadapan Dewan Pemilih. Berlainan dengan UUD 1945, Konstitusi RIS mengatur posisi dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara semakin rinci. Selain itu dalam sistematika Konstitusi RIS, hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di beragam pasal. Menurut Konstitusi RIS (secara khusus[2]):
Selain berperan secara khusus, sebagai anggota dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler[3], presiden, menurut konstitusi, selang lain:
Lembaga kepresidenan dalam periode ini hanya berumur sangat pendek. RI dan RIS sampai kesepakatan pada 19 Mei 1950 untuk kembali ke bangun negara kesatuan. Pada 15 Agustus 1950, di depan sidang DPR dan Senat, diproklamasikan berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia menggantikan negara federasi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS diubah diproduksi menjadi Undang-Undang Landasan Sementara Republik Indonesia (yang selanjutnya dikenal sebagai UUDS 1950) berdasarkan UU RIS No. 7 Tahun 1950. Pada hari itu juga, Pemangku Letak Presiden RI, Assaat, menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI untuk Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia. Periode 1950–1959Drs. Moh Hatta, Wakil Presiden Indonesia 1945-1949 dan 1950-1956 Masa republik ketiga adalah periode diberlakukannya konstitusi sementara yang kelak kemudian dinamakan dengan UUDS 1950. Konstitusi ini sebenarnya merupakan perubahan konstitusi federal. Dari anggota materi, konstitusi negara kesatuan Republik Indonesia ini merupakan perpaduan selang konstitusi federal milik negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan konstitusi yang disahkan oleh PPKI milik Republik Indonesia, sebagai hasil persetujuan RIS dan RI tanggal 19 Mei 1950. Secara tepatnya periode ini berlaku selang 15 Agustus 1950 – 5 Juli 1959. Menurut konstitusi sementara, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri dari seorang presiden dan seorang wakil presiden [Pasal 44, 45, 46 (1), 47, dan 48]. Presiden dan wakil presiden dipilih menurut UU dengan syarat tertentu [pasal 45 (3) dan (5)]. Tidak ada masa letak yang jelas untuk lembaga ini, namun dari sifat konstitusi sementara [pasal 134 dan penjelasan konstitusi], letak ini dipertahankan sampai ada lembaga baru menurut konstitusi tetap yang disusun oleh Konstituante. Sebelum bekerjanya presiden dan wakil presiden bersumpah dihadapan DPR [pasal 47]. Sama seperti konstitusi federal, konstitusi sementara mengatur posisi dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara semakin rinci. Dalam sistematika konstitusi sementara hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di beragam pasal dalam konstitusi. Menurut konstitusi sementara (secara khusus[4]):
Selain berperan secara khusus, sebagai anggota dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler[5], presiden (dan wakil presiden), menurut konstitusi, selang lain:
Lembaga kepresidenan dalam masa republik ketiga tergolong unik. Tokoh yang memangku letak presiden pada periode ini merupakan hasil persetujuan dari RIS dan RI pada 19 Mei 1950 [penjelasan konstitusi]. Sedangkan tokoh wakil presiden untuk pertama kalinya dinaikkan oleh presiden dari tokoh yang diajukan oleh DPR [pasal 45 (4)]. Dari hal-hal tersebut jelas bahwa lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) hanya bersifat sementara seiring pemberlakuan konstitusi sementara dan akan belakangnya dengan lembaga kepresidenan menurut konstitusi tetap yang akan diproduksi. Dalam perjalanannya letak wakil presiden merasakan kekosongan per 1 Desember 1956 karena wakil presiden mengundurkan diri. Agak pasal 45 (4) tidak lagi mampu digunakan untuk mengisi lowongan tersebut sedangkan konstitusi tetap maupun UU pemilihan presiden dan wakil presiden belum ada. Pada 1958 presiden sempat berhalangan dan dialihkan oleh pejabat presiden. Kekuasaan lembaga kepresidenan ini otomatis belakangnya seiring munculnya dekrit presiden 5 Juli 1959 dan dialihkan dengan lembaga kepresidenan menurut UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Periode 1959–1999Jend Agung TNI Purn. H. M. Soeharto, Pejabat Presiden Indonesia 1967-1968 dan Presiden Indonesia 1968-1998 Masa republik keempat adalah periode diberlakukannya kembali konstitusi yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945 dengan sebutan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini berlaku selang 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999. Dengan diberlakukannya kembali konstitusi ini karenanya semua kekuasaan, bangun dan posisi, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan praktis sama dengan periode republik I. Untuk melihat secara detilnya diminta melihat kembali masa republik I. Ada beberapa hal yang menarik dari anggota peraturan perundang-undangan dalam periode ini. Menurut dekrit presiden yang memberlakukan kembali konstitusi dari republik I, anggota penjelasan konstitusi mendapat kekuatan hukum yang mengikat karena diterbitkan dalam lembaran negara. Dengan demikian lembaga kepresidenan tidak hanya diatur dalam pasal-pasal konstitusi namun juga dalam penjelasan konstitusi. Dengan keadaan lembaga MPR/MPRS dalam ketatanegaraan republik IV mengundang konsekuensi dengan lahirnya konstitusi semu yang dinamakan Ketetapan MPR/MPRS. Melewati produk hukum ini, secara umum lembaga kepresidenan juga diatur, selang lain melalui: Selain itu presiden sebagai mandataris MPR juga diberi kewenangan dan kekuasaan penuh untuk melakukan tindakan apapun guna menyelenggarakan pemerintahan, selang lain dengan: Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, Wakil Presiden Indonesia 1998 dan Presiden Indonesia 1998-1999 Dengan landasan hukum tersebut lembaga kepresidenan, terutama presiden, diproduksi menjadi lembaga tinggi yang “super power” dibanding lembaga tinggi lainnya. Ada beberapa hal unik dan menarik untuk dicermati pada periode ini. Hal-hal tersebut selang lain, pertama, sesudah MPRS terbentuk lembaga ini tidak langsung bersidang untuk menetapkan tokoh yang memangku letak dalam lembaga kepresidenan yang baru. Kedua, pada tahun 1963 MPRS menetapkan ketetapan MPRS yang mengangkat presiden petahana sebagai presiden seumur hidup. Ketiga, munculnya letak “Pejabat Presiden” ketika Presiden dimakzulkan pada tahun 1967. Keempat, penetapan “Pejabat Presiden” diproduksi menjadi Presiden pada tahun 1968. Kelima, pengisian lembaga kepresidenan sesuai dengan konstitusi baru dilakukan pada tahun 1973, tiga belas tahun sesudah MPR (MPRS) terbentuk. Keenam, pengucapan sumpah pelantikan presiden oleh wakil presiden tidak dilakukan di depan MPR atau DPR melainkan hanya di depan pimpinan MPR/DPR dan Mahkamah Agung ketika presiden mundur dari letaknya pada tahun 1998. Sebenarnya sedang banyak hal lain yang menarik namun mengingat keterbatasan tempat karenanya hanya enam hal di atas yang diketengahkan. Gelombang people power yang dikenal dengan “gerakan reformasi 1998” yang muncul pada tahun 1998 belakangnya juga mengakibatkan sistem ketatanegaraan berganti secara cepat. Presiden tidak lagi memiliki kekuasaan penuh dengan dicabutnya Ketetapan MPR No. V/MPR/1998[6] dengan Ketetapan MPR No. XII/MPR/1998[7]. Dan periode republik IV yang sudah berusia empat puluh tahun ini pun belakangnya sekitar satu setahun dari munculnya gelombang people power. Periode 1999–2002K. H. Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia 1999-2001 Masa republik kelima adalah periode transisi ketatanegaraan dampak proses perubahan konstitusi “UUD 1945” secara fundamental. Secara tepatnya periode ini berlaku selang 19 Oktober 1999 – 10 Agustus 2002. Periode ini muncul sebagai dampak dari gelombang people power yang dikenal dengan reformasi 1998. Oleh karena perubahan kekuasaan, bangun dan posisi, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan dilakukan secara bertahap karenanya pembahasan periode ini dilakukan menurut tahapan perubahan konstitusi [8]. Pada tahun 1999 sebagai dampak perubahan I konstitusi karenanya ada perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
Pada tahun 2000 sebagai dampak perubahan II konstitusi karenanya ada perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
Pada tahun 2001 sebagai dampak perubahan III konstitusi karenanya ada perubahan kekuasaan, bangun dan posisi, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu: Pada tahun 2002 sebagai dampak perubahan IV konstitusi karenanya ada perubahan kekuasaan, bangun dan posisi, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu: Beberapa hal yang diproduksi menjadi catatan dalam periode republik V ini, selang lain, adalah, pertama, untuk pertama kalinya presiden dipilih oleh MPR dari calon yang berjumlah semakin dari satu orang. Kedua, presiden membekukan parlemen dan berdampak dimakzulkannya presiden. Ketiga, presiden wajib menyampaikan laporan tahunan penyelenggaraan pemerintahan untuk MPR. Sebenarnya periode transisi ini tidak belakangnya pada tahun 2002 melainkan pada tahun 2004. Namun karena acuannya adalah konstitusi karenanya periode ini dicukupkan pada tahun 2002. Periode transisi selanjutnya dibahas pada anggota republik VI. Semenjak 2002Dr(HC), Hj. Diah Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri, Wakil Presiden Indonesia 1999-2001 dan Presiden Indonesia 2001-2004 Masa republik keenam adalah periode diberlakukannya konstitusi yang disahkan PPKI sesudah merasakan proses perubahan ketatanegaraan yang fundamental yang tetap dinamakan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini dihitung mulai 10 Agustus 2002 sampai terjadinya perubahan yang fundamental terhadap konstitusi. Dengan perubahan I-IV konstitusi selama masa republik V karenanya terjadi perubahan yang sangat fundamental dari anggota ketatanegaraan. Dan mampu diceritakan lembaga-lembaga negara, termasuk lembaga kepresidenan, memperoleh kekuasaan, bangun dan posisi, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban yang baru menurut “konstitusi yang baru”. Menurut konstitusi, lembaga kepresidenan bersifat personal dan terdiri dari seorang presiden dan seorang wakil presiden [pasal 4 (2); 3 (2); 6; 6A; 7; 7A; 7B; 8; dan 9]. Lembaga ini dipilih secara langsung oleh rakyat dengan syarat dan atur cara tertentu [pasal 6 dan 6A] dengan masa letak selama lima tahun dan hanya dibatasi untuk dua periode letak [pasal 7]. Sebelum bekerjanya lembaga ini dilantik oleh MPR [pasal 3 (2)] dengan bersumpah di depan MPR atau DPR [pasal 9 (1)] atau pimpinan MPR dan pimpinan MA bila parlemen tidak mampu bersidang [pasal 9 (2)]. Secara sistematika lembaga kepresidenan diatur secara terkonsentrasi pada bab III dari konstitusi. Namun demikian ada pengaturan lembaga kepresidenan di bab-bab lainnya dari konstitusi. Menurut konstitusi: Periode transisi sedang mewarnai masa republik VI ini, setidaknya selang tahun 2002 – 2004. Beragam peraturan konstitusi semu, yang bernama Ketetapan MPR, yang mengatur lembaga kepresidenan, secara bertahap diketengahkan tidak berlaku oleh lembaga pembuatnya sendiri, yaitu MPR, sampai terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004. Selain itu agak peralihan pasal I dan II juga berlaku selama masa transisi ini. Dalam masa transisi ini pula diproduksi peraturan UU yang mengatur pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung. Mulai tahun 2004, kekuasaan, bangun dan posisi, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan diatur melewati konstitusi, UU, PP, maupun Perpres. Namun, berlainan dengan lembaga negara lain yang diatur secara terkonsentrasi dalam suatu peraturan perundang-undangan (UU, PP, dan Perpres), peraturan tentang lembaga kepresidenan tidak ada dalam satu UU melainkan tersebar dalam beragam UU, PP, maupun Perpres. Sebagai catatan kesudahan, pada tahun 2004, pertama kalinya dalam sejarah, dipersiapkan pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung oleh rakyat. SoekarnoSoekarno atau semakin umum dinamakan Bung Karno, adalah tokoh presiden pertama dari Indonesia. Letak pertama ini dimulai semenjak 18 Agustus 1945. Bung Karno terpilih secara aklamasi dalam sidang PPKI atas usul Otto Iskandardinata. Beliau ditemani oleh wakil presiden Drs. Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Menurut agak yang ada pada ketika itu kekuasaan presiden sangat agung. Seiring berlakunya ketika kekuasaan legislatif diserahkan untuk Badan Pekerja Komite Nasional pada bulan Oktober 1945. Selanjutnya pada bulan November pada tahun yang sama, Sukarno menyerahkan kekuasaan eksekutif pada Kabinet Syahrir I. Namun demikian pada 29 Juni 1946 – 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 – 3 Juli 1947, Sukarno kembali mengambil alih kekuasaan ketika terjadi kondisi darurat[9]. Pada 29 Januari 1948 Sukarno kembali membentuk kabinet presidensil[10]. Wakil presiden Moh Hatta ditugasi untuk memimpin kabinet sehari-hari. Di sini mampu diamati bahwa presiden dan wakil presiden melakukan pembagian kekuasaan. Sehingga wakil presiden tidak hanya duduk di bangku cadangan yang baru diturunkan ketika pemain utama cedera. Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan gerakan militer menyerang ibukota Yogyakarta. Dalam peristiwa ini Sukarno dan Hatta ikut tertawan sehingga praktis pemerintahan lumpuh walau tidak selesai secara resmi. Namun sebelum tertawan, presiden dan wakilnya sempat mengirimkan mandat untuk Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara yang ada di Sumatera untuk membentuk pemerintahan, dan mandat untuk Menteri Keuangan Mr. A. A. Maramis yang ada di India untuk membentuk pemerintahan pengasingan bila usaha Syafruddin membentuk pemerintahan gagal dilakukan. Syafruddin sukses membentuk pemerintahan darurat di Sumatera pada 22 Desember 1948. Namun Belanda semakin menentukan berunding dengan pemerintahan tertawan. Hal inilah yang menimbulkan kondisi pemerintahan ganda. Sampai belakangnya pada 13 Juli 1949, sesudah melewati proses yang berliku, Syafruddin mengembalikan mandatnya untuk Moh. Hatta. Pada 16 Desember 1949 Sukarno terpilih sebagai presiden negara federasi Republik Indonesia Serikat[11]. Pada ketika yang hampir bersamaan Hatta terpilih sebagai perdana menteri negara federasi[12]. Konstitusi federal yang melarang rangkap letak untuk kepala negara federal dan perdana menteri federal dengan letak apapun, mengharuskan Sukarno dan Hatta untuk meletak letak bersama-sama. Kondisi ini diantisipasi dengan keluarnya UU No 7 Tahun 1949. Dalam UU ini diatur apabila presiden dan wakil presiden berhalangan secara bersama-sama karenanya ketua parlemen dinaikkan diproduksi menjadi Pemangku Letak Presiden. Belakangnya pada 27 Desember 1949 Sukarno selesai sebagai presiden dan menyerahkan letak lembaga kepresidenan untuk Ketua Badan Pekerja KNI Pusat, Mr. Asaat Datuk Mudo. Pada 27 Desember 1949 Sukarno memulai masa letaknya yang pertama sebagai presiden negara federal Indonesia. Tidak banyak yang terekam dalam letak presiden federal ini yang sangat singkat ini. Suatu persetujuan selang pemerintah federal RIS (yang berperan atas namanya sendiri dan atas mandat penuh dari pemerintah negara anggota yang tersisa, pemerintah negara anggota Negara Indonesia Timur dan pemerintah negara anggota Negara Sumatera Timur) dan pemerintah negara anggota Republik Indonesia (yang beribukota di Yogyakarta) menentukan Sukarno sebagai presiden negara kesatuan yang akan diproduksi dari penggabungan RIS dengan RI (Yogyakarta). Letak presiden federal dipangku Sukarno sampai tanggal 15 Agustus 1950. Letak ini mampu dihitung sebagai masa letak kedua untuk Sukarno. Pada tanggal itu presiden federal memproklamasikan berdirinya negara kesatuan dihadapan sidang gabungan DPR dan Senat di Jakarta. Sore harinya Bung Karno terbang ke Yogyakarta untuk membubarkan pemerintah RI (Yogyakarta) dan menerima penyerahan kekuasaan dari Pemangku Letak Presiden. Sesudah kembali ke Jakarta pada hari yang sama Sukarno menerima penyerahan kekuasaan dari perdana menteri RIS. ISKS Hamengku Buwono IX, Wakil Presiden Indonesia 1973-1978 Pada 15 Agustus 1950 Sukarno secara resmi sudah diproduksi menjadi presiden negara kesatuan yang pertama sesudah menerima kekuasaan dari dua pemerintahan RIS dan RI (Yogyakarta). Letak ini mampu dihitung sebagai letak ketiga untuk Sukarno. Keesokan hari tanggal 16 Agustus 1950, Presiden melantik DPR Sementara Negara Kesatuan, hasil penggabungan dari DPR (RIS), Senat (RIS), Badan Pekerja KNI Pusat(RI-Yogyakarta), dan DPA (RI-Yogyakarta). Sesuai konstitusi, Sukarno mengangkat Hatta sebagai Wakil Presiden atas usulan dari DPR Sementara. Untuk Hatta letak ini mampu dihitung sebagai masa letak kedua. Sesuai konstitusi pula lembaga ini berulangkali membentuk kabinet. Sampai awal 1956 lembaga kepresidenan sudah membentuk setidaknya enam kabinet dan menerima pengembalian mandat pemerintahan sebanyak lima kali. Pada kesudahan tahun 1956, tanggal 1 Desember 1956, Hatta mengundurkan diri dari letak wakil presiden. Mulai ketika itu, lembaga kepresidenan hanya “dihuni” oleh seorang presiden tanpa wakilnya. UUD Sementara tidak mengatur pemilihan wakil presiden dan menyerahkannya pada konstitusi yang akan disusun oleh Konstituante. Kondisi yang kian genting menyebabkan Sukarno mengeluarkan SOB pada 1957[13]. Perlahan namun pasti kekuasaan Sukarno sebagai Penguasa Tingkatan Perang meningkat. Puncaknya Sukarno mengeluarkan dekrit untuk memberlakukan kembali konstitusi yang pernah digunakan, UUD 1945, serta membubarkan konstituante yang tak kunjung berhenti menyusun konstitusi tetap. Sukarno tetap menjabat presiden berdasar agak peralihan pasal II konstitusi yang disahkan PPKI. Demikian pula DPR Sementara negara kesatuan berganti fungsi diproduksi menjadi DPR Peralihan[14] sampai ditentukan DPR yang baru menurut konstitusi. Letak ini mampu dihitung sebagai letak presiden peralihan atau mampu dihitung sebagai masa letak keempat untuk Sukarno. Sementara itu, agak peralihan pasal III dan IV konstitusi sudah tidak mampu digunakan lagi. Presiden tidak ditemani oleh wakil presiden maupun Komite Nasional menyebabkan seluruh kekuasaan pemerintahan negara berpusat pada presiden. Tidak satu pun yang mampu bermain-main dengan kekuasaan presiden. DPR Peralihan pun dibubarkan pada 24 Juni 1960 karena tidak menyetujui RAPBN yang diajukan Sukarno[15]. Sebagai gantinya Sukarno membentuk DPR Gotong Royong[16]. Sesuai Penpres No 14 tahun 1960, Presiden mampu membikin produk legislatif bila tidak terjadi kesepakatan dengan parlemen. Pada Desember 1960 Sukarno membentuk MPR Sementara untuk melakukan ketetapan dalam konstitusi. Peranan Sukarno makin agung dengan mengeluarkan PP No 32/1964 yang mengandung DPR-GR merupakan pembantu Presiden/Pimpinan Agung Revolusi dalam anggota legislatif. Melewati UU No 19 tahun 1964 Presiden diberi kewenangan untuk mencampuri keputusan peradilan. MPRS bentukan Sukarno mengeluarkan suatu produk konstitusi semu untuk menetapkan ide-ide Pimpinan Agung Revolusi dan belakangnya menetapkan Sukarno sebagai presiden definitif dengan masa letak seumur hidup pada 1963 tanpa ditemani wakil presiden[17]. Lembaga ini juga memberi kekuasaan secara penuh pada Sukarno untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara[18]. Periode ini mampu dihitung sebagai masa letak kelima untuk Sukarno. Pada periode ini Sukarno menggunakan gelar rangkap “Presiden/Pimpinan Agung Revolusi/Panglima Tertinggi/Mandataris MPRS” semakin banyak dari gelar yang diberikan konstitusi “Presiden”. Perubahan cuaca perpolitikan terjadi secara cepat pada tahun 1966-1968 sebagai dampak badai politik tahun 1965. Periode ini merupakan kondisi terburuk yang dialami sang proklamator. Pada tahun 1966 beragam atribut masa kejayaan mulai diurai oleh MPRS. Mulai dari pemilihan/penunjukkan wakil presiden dan pengangkatan pejabat presiden, pengertian mandataris MPR Sementara, Pimpinan Agung Revolusi, dan berpuncak pada peninjauan kembali pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Belakangnya pada 22 Februari 1967 Sukarno “menyerahkan kekuasaan” untuk pejabat presiden dan dilegalisasi dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, presiden Indonesia dimakzulkan untuk pertama kalinya secara resmi pada 12 Maret 1967[19]. SoehartoJend TNI Purn. Umar Wirahadikusumah, Wakil Presiden Indonesia 1983-1988 Jenderal TNI Suharto atau yang dekat diajak berkata-kata Pak Harto merupakan tokoh presiden kedua dari Republik Indonesia. Letak pertamanya dimulai semenjak 27 Maret 1968. Pak Harto dinaikkan oleh MPR Sementara dengan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Presiden Republik Indonesia. Beliau adalah presiden kedua yang ditentukan oleh MPR Sementara. Dalam masa letaknya yang pertama ini suami Ibu Tien tidak ditemani oleh wakil presiden sebagaimana diatur menurut konstitusi. Sebagai mandataris MPR Sementara, secara teori, presiden adalah pelaksana kebijakan lembaga paling tinggi negara tersebut. Pak Harto menjalankan kewajibannya sebagai presiden sampai ada presiden definitif yang dinaikkan oleh MPR hasil pemilu. Pada tahun 1973 pertanggung jawaban Jenderal TNI Suharto dihadapan MPR hasil pemilu 1971 diterima. Kemudian presiden dari kalangan militer yang pertama ini dinaikkan oleh lembaga yang sama sebagai presiden dari calon tunggal pada 24 Maret 1973[20]. Dalam masa letaknya yang kedua Pak Harto ditemani oleh wakil presiden, ISKS Hamengku Buwono IX, Sultan sekaligus Kepala Kawasan Istimewa Yogyakarta[21]. Pada masa-masa ini sampai sekitar 25 tahun mendatang kepemimpinan nasional berlaku dengan urutan yang mudah didampingi relatif tidak diwarnai kontroversi tentang tokoh maupun periodesasi letak. Pada tahun 1978 pertanggung jawaban Suharto dihadapan MPR hasil pemilu 1977 diterima. Pada bulan yang sama purnawiran jenderal ini kembali dinaikkan oleh MPR dari calon tunggal[22]. Dalam masa letak yang ketiga kalinya, Pak Harto ditemani oleh Adam Malik sebagai wakil presiden[23]. Secara matematis, Suharto dinaikkan sehari semakin cepat dari jatah masa letaknya. Selanjutnya pada 1983, lagi-lagi pertanggung jawaban Pak Harto diterima. Bahkan MPR hasil pemilu 1982 memberinya gelar Bapak Pembangunan. Pada 11 Maret 1983, sang purnawirawan kembali dinaikkan oleh MPR untuk menduduki kursi kepresidenannya yang keempat dari calon tunggal[24]. Menurut hitung-hitungan angka beliau dinaikkan tiga belas hari semakin cepat dari masa letaknya yang seharusnya belakangnya pada 23 Maret 1983. Untuk pertama kalinya Pak Harto ditemani oleh purnawirawan militer, Jend TNI (Purn). Umar Wirahadikusumah, sebagai wakil presiden[25]. Tahun 1988, kembali pertanggung jawaban jenderal kelahiran desa Kemusuk diterima. Sesudah genap lima tahun menduduki kursi kepresidenan, Jend (Purn). Suharto kembali dilantik oleh MPR hasil pemilu 1987 pada 11 Maret 1988[26]. Dalam masa letak kelimanya bapak pembangunan ini ditemani wakil presiden dari kalangan militer, Letjend TNI (Purn). Sudarmono SH[27]. Tahun 1993, untuk ke sekian kalinya pertanggung jawaban sang presiden diterima. Pada 11 Maret 1993, sesudah menggenapi masa letaknya, Jenderal TNI (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto dinaikkan untuk menduduki letak presiden keenam[28]. Lagi-lagi MPR hasil pemilu 1992 mengangkatnya dari calon tunggal. Sekarang beliau ditemani oleh mantan panglima militer, Jend TNI (Purn) Try Sutrisno, sebagai wakil presiden[29]. Letjend TNI (Purn). Soedharmono, SH. Wakil Presiden Indonesia 1988-1993 Maret 1998, di tengah badai politik dan ekonomi, pidato pertanggung jawaban Pak Harto diterima oleh MPR. Tidak satupun yang menyangka ini adalah terakhir kalinya beliau menyampaikan laporan pertanggung jawaban. Kurang sehari dari masa letak yang seharusnya dijalani, pada tanggal 10 Maret 1998 Jenderal Agung TNI (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto, dinaikkan dari calon tunggal untuk ketujuh kalinya oleh MPR hasil pemilu 1997[30]. Untuk kedua kalinya beliau ditemani oleh seorang sipil, Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai wakil presiden[31]. Beragam tekanan harus dihadapi sang jenderal yang sudah berusia senja ini. Sebenarnya beliau mampu menggunakan kekuasaan penuh untuk menyingkirkan semua pengganggunya, namun hal itu tidak beliau lakukan. Pimpinan MPR/DPR pada ketika itu sempat menginginkan mundur sang presiden atau menggelar Sidang Istimewa MPR, suatu sidang khusus yang mampu berujung pada pemakzulan seperti yang pernah terjadi pada diri Sukarno. Dan belakangnya pada 21 Mei 1998 Soeharto menyalakan mundur dari letaknya dampak gelombang people power “Gerakan Reformasi 1998”. Baharuddin Jusuf HabibieBaharuddin Jusuf Habibie adalah tokoh presiden ketiga Republik Indonesia. Letak pertamanya dimulai pada 21 Mei 1998. Habibi menggantikan presiden sebelumnya yang mengundurkan diri. Naiknya presiden pertama dari luar Jawa ini menimbulkan sedikit kontroversi setidaknya dalam masalah cara formal pengangkatan sebagai presiden. Secara formal pengucapan sumpah kepresidenan dilakukan dihadapan parlemen. Namun, karena gedung parlemen diduduki oleh pendukung people power yang menyebabkan para legistalor tidak mampu bersidang, pengucapan sumpah letak kepresidenan hanya dilakukan oleh Pak Habibi di depan pimpinan MPR/DPR dan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. Beberapa bulan sesudahnya MPR menggelar Sidang Istimewa. Namun majelis itu tidak memberikan suatu surat pengangkatan khusus sebagaimana pernah diberikan untuk dua presiden sebelumnya Sukarno (1963) dan Suharto ([[1968], 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998). Lembaga paling tinggi negara tersebut hanya mengakui melewati posisi Habibi di dalam Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Bahkan beliau tidak ditemani oleh wakil presiden. Catatan yang diraih oleh presiden kelahiran Provinsi Sulawesi Selatan adalah penyelenggaraan pemilu 1999 yang menghasilkan parlemen baru. Namun parlemen baru yang dipilih melewati pemilu tersebut menolak pertanggung jawaban presiden sesudah presiden diberi kesempatan untuk menggunakan hak jawab untuk parlemen[32]. Pada 19 Oktober 1999 Bacharuddin Yusuf Habibie mengakhiri tugasnya yang sangat singkat dengan mendampingi presiden terpilih mengucapkan sumpah kepresidenan dihadapan sidang umum MPR 1999. Jend TNI Purn Try Sutrisno, Wakil Presiden Indonesia 1993-1998 Abdurrahman WahidAbdurrahman Wahid adalah Presiden ke-4 Indonesia. Masa letaknya dimulai pada tanggal 19 Oktober 1999. Gus Dur adalah presiden terakhir yang dipilih oleh MPR. Beliau dinaikkan oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia. Beliau mengalahkan rivalnya Megawati Soekarnoputri dalam suatu pemilihan yang dilakukan oleh MPR. Namun MPR menentukan rivalnya dalam pemilihan tersebut, Megawati, sebagai wakil presiden yang mendampinginya. Megawati dinaikkan oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Karena satu dan lain hal tentang keterbatasan seperti yang sudah dimaklumi, Gus Dur menyerahkan pelaksanaan tugas teknis pemerintahan sehari-hari pada wakil presiden. Penugasan ini ditentukan dengan Keputusan Presiden Nomor 121 Tahun 2000 tentang Penugasan Presiden untuk Wakil Presiden untuk Melakukan Tugas Teknis Pemerintahan Sehari-hari Presiden Republik Indonesia. Pendulum kekuasaan yang berpindah dari eksekutif ke legislatif mengakibatkan lembaga kepresidenan sepenuhnya tunduk pada parlemen. Hal ini dibuktikan sendiri olehnya. Dua kali sesudah menghadapi memorandum dari DPR, Gus Dur dihadapkan pada suatu pemakzulan. Langkahnya yang mengeluarkan maklumat pembekuan DPR dalam dekrit tidak membuahkan hasil. MPR yang tengah menggelar Sidang Istimewa langsung menolak dekrit itu dengan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2001 tentang Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia terhadap Maklumat Presiden Republik Indonesia Tanggal 23 Juli 2001. Maklumat tersebut juga mengantarkan semakin cepat pada pemakzulannya oleh MPR pada ketika itu juga. Abdurrahman Wahid diproduksi menjadi presiden kedua yang dimakzulkan oleh MPR di tengah masa letaknya, berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid. Megawati SoekarnoputriMegawati Soekarnoputri adalah Presiden ke-5 Indonesia. Letak pertamanya dimulai 23 Juli 2001. Megawati menggantikan Gus Dur karena posisinya sebagai wakil presiden. Beliau adalah wakil presiden kedua yang menggantikan presiden ketika selesai dalam masa letaknya. Megawati dinaikkan oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2001 tentang Penetapan Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri Sebagai Presiden Republik Indonesia. Masa letaknya kurang dari 5 tahun sebab beliau hanya mewarisi masa letak Gus Dur. Presiden perempuan pertama Indonesia ini ditemani oleh Wakil Presiden Hamzah Haz yang memenangkan pemilihan wakil presiden oleh MPR dari rivalnya Susilo Bambang Yudhoyono. Hamzah oleh MPR dinaikkan sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/ 2001 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Catatan dalam masa letaknya adalah Pemilu Legislatif pada April 2004 serta Pemilu Presiden pada Juli 2004. Pada Pemilu Presiden 2004, Megawati harus mengakui keunggulan SBY sesudah melewati dua putaran pemilihan. Beliau mengakhiri masa letak pertamanya pada 20 Oktober 2004, sehari semakin lama dari sisa masa letak Gus Dur yang dilimpahkan untuknya. Susilo Bambang YudhoyonoSusilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia 2004–2009 dan 2009–2014 Susilo Bambang Yudhoyono adalah Presiden ke-6 Indonesia. Letak pertamanya dimulai pada 20 Oktober 2004. Beliau bersama pasangannya Muhammad Jusuf Kalla memenangi Pemilu Presiden 2004 yang merupakan pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali. Sesudah mengakhiri masa letaknya yang pertama, SBY kembali mengucapkan sumpah letak presiden untuk kedua kalinya di depan sidang MPR pada 20 Oktober 2009. Kali ini beliau ditemani oleh Boediono sebagai wakil presiden. Pejabat sementaraSyafruddin PrawiranegaraSyafruddin Prawiranegara, Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, 1948–1949 Syafruddin Prawiranegara adalah Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Beliau ditunjuk dengan radiogram yang mengandung mandat dari Presiden Soekarno yang ketika itu memegang kekuasaan pemerintahan negara pada 18 Desember 1948. Oleh sebab Bukittinggi yang diproduksi menjadi tempat posisinya juga diserang Belanda, radiogram itu tidak sampai pada ketikanya. PDRI tidak bermarkas di satu tempat melainkan selalu berpindah. Bermula dari perkebunan teh di Halaban, Sumatera Barat beliau pergi ke Riau dan kembali lagi ke Sumatera Barat. Pada bulan Mei 1949, beliau membentuk perwakilan PDRI di pulau Jawa. Beliau berselisih paham dengan Soekarno karena mengirim utusan untuk Belanda dalam Perjanjian Roem-Royen. Sesudah melewati beragam proses berliku belakangnya Syafruddin mau mengembalikan mandat yang sudah diberikan presiden untuk Hatta. Posisi Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia sebagai kepala negara dan/atau kepala pemerintahan ataupun setidaknya setingkat pejabat presiden, adil secara de facto maupun de jure, sedang diperdebatkan apakah sah atau tidak. AssaatAssaat, Pemangku Letak Presiden Indonesia 1949–1950 Assaat adalah Pemangku Letak Presiden Republik Indonesia. Letaknya dimulai pada 27 Desember 1949 ketika Soekarno secara resmi menyerahkan letak Presiden RI untuknya. Assaat sebelumnya adalah Ketua Badan Pekerja KNIP, parlemen Indonesia kala itu. Beliau menjabat sebagai pemangku letak presiden karena UU No. 7 Tahun 1949 menentukan bila presiden dan wakil presiden secara bersama-sama tidak mampu melakukan kewajibannya karenanya Ketua DPR diproduksi menjadi "Pemangku Letak Presiden". Letak tersebut diembannya sampai 15 Agustus 1950 ketika beliau menyerahkan kekuasaan untuk Soekarno sebagai Presiden RI (negara kesatuan) sesuai persetujuan RIS dan RI pada 19 Mei 1950. SartonoSartono pernah menjabat sebagai Pejabat Presiden Indonesia. Belum banyak data yang dikenal tentang tokoh ini. Satu-satunya ajar yang ada ialah Sartono menandatangani Lembaran Negara tahun 1958 nomor 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13 ,14, 15, 16, 17, dan 18, tertanggal selang 13 Januari 1958 – 17 Februari 1958, yang salah satunya adalah UU No 8 tahun 1958 tentang penetapan UU Drt No 9 tahun 1954 tentang perubahan nama Provinsi Sunda Kecil diproduksi menjadi Provinsi Nusa Tenggara (LN 1954 No 66) sebagai UU pada tanggal 17 Februari 1958. Untuk sementara perhitungan tokoh ini diabaikan, dengan pengertian, sesudah mendapat keterangan yang jelas tentang posisinya, tokoh ini akan dibawa masuk[33]. SoehartoSoeharto juga pernah diproduksi menjadi Pejabat Presiden Indonesia. Letaknya dimulai pada 22 Februari 1967 walau surat pengangkatannya baru dikeluarkan pada 12 Maret 1967. Beliau diproduksi menjadi pejabat presiden sebagai ketetapan dari Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Atur Cara Pengangkatan Pejabat Presiden, sesudah Soekarno dimakzulkan dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Seharusnya Soeharto diproduksi menjadi pejabat presiden sampai dengan hal ada presiden yang dipilih oleh MPR baru dari hasil pemilihan umum. Namun pada 27 Maret 1968, karena kondisi politik ketika itu, beliau mengakhiri tugasnya sebagai pejabat presiden karena ditentukan sebagai presiden (penuh) oleh MPRS kala itu. Polemik periode dan pejabatPeriodisasi letak lembaga kepresidenan sering menimbulkan polemik. Namun, sebelum masuk terlalu dalam, perlu dikawal beberapa hal yang boleh jadi bersifat mendasar.
Sebagai ilustrasi, mampu diamati pada kasus Presiden Filipina. Ilustrasi ini juga didasarkan pada sisi historis, sebab Supomo ketika menjelaskan UUD 1945 beliau membandingkan UUD Indonesia dengan Konstitusi Filipina[34]. Diosdado Pangan Macapagal adalah Presiden Filipina urutan kesembilan sekaligus presiden kelima dari republik ketiga negara Filipina. Satu yang mampu diamati disini bahwa beliau menduduki dua buah daftar dengan nomor urut yang berlainan. Presiden Macapagal pada 1962 mengubah perayaan resmi hari kemerdekaan dari 4 Juli (hari ketika Amerika Serikat memberikan kemerdekaan Filipina pada 1946, hari yang juga diproduksi menjadi peringatan kemerdekaan AS) diproduksi menjadi 12 Juni (hari ketika Emilio Aguinaldo mengumumkan kemerdekaan dari Spanyol pada 1898). Keputusan ini sebagai keputusan hukum tentang ketika yang sudah ditentukan sebelumnya. Beliau juga mengakui Jose P. Laurel yang diproduksi menjadi Presiden Filipina oleh tentara pendudukan Jepang, sebagai presiden resmi negara itu. Sebelumnya Laurel tidak diakui oleh pemerintahan-pemerintahan Filipina sesudah Perang Dunia II, karena dianggap tidak ada status hukum apapun namun mengakui dua presiden yang ada dalam pengasingan di Amerika. Di sini mampu diamati bahwa pemerintahan pengasingan diakui dan pemerintahan ganda juga diakui. Semakin dari itu Macapagal menetapkan suatu keputusan resmi tentang pengakuan tokoh yang menjabat dalam lembaga kepresidenan Filipina, Ng Pangulo Ng Pilipinas. Periodisasi masa letak maupun urutan tokoh yang duduk dalam lembaga kepresidenan sering menimbulkan ketidaksepakatan. Berikut akan diusahakan untuk memilah periodisasi dan urutan tokoh yang menjabat lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) sesuai kronologi tokoh ketika memangku letak untuk yang pertama kalinya. Soekarno memiliki beberapa probabilitas periodisasi letak presiden, selang lain:
Mohammad Hatta memiliki beberapa probabilitas periodisasi letak wakil presiden, yaitu:
Syafruddin Prawiranegara memiliki beberapa probabilitas periodisasi letak, yaitu:
Assaat memiliki 2 probabilitas periodisasi letak, yaitu:
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia 2004-2009 Soeharto memiliki beberapa probabilitas periodisasi letak, selang lain:
Hamengkubuwana IX memiliki 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 24 Maret 1973 sampai 23 Maret 1978. Adam Malik memiliki 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 23 Maret 1978 sampai 11 Maret 1983. Umar Wirahadikusumah memiliki 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 11 Maret 1983 sampai 1988. Sudharmono memiliki 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 11 Maret 1988 sampai 1993. Try Sutrisno memiliki 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 11 Maret 1993 sampai 1998. Baharuddin Jusuf Habibie memiliki periode jabatan:
Abdurrahman Wahid memiliki 1 periode letak presiden yaitu semenjak 19 Oktober 1999 sampai 23 Juli 2001. Megawati Soekarnoputri memiliki periode jabatan:
Hamzah Haz memiliki 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 26 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004. Susilo Bambang Yudhoyono memiliki 2 periode letak presiden yaitu semenjak 20 Oktober 2004 sampai 2009 dan semenjak 20 Oktober 2009 sampai ketika ini. Muhammad Jusuf Kalla memiliki 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 20 Oktober 2004 sampai 2009. Boediono memiliki 1 periode letak wakil presiden yaitu semenjak 20 Oktober 2009 sampai ketika ini. Untuk mengetahui urutan tokoh atau urutan masa letak lembaga kepresidenan yang ke berapakah sekarang yang menjabat karenanya tinggal merangkai masing-masing masa letak tokoh. Perlu hati-hati dalam merangkai beberapa tokoh karena akan ada over lapping masa tugas dan tidak mungkin over lapping masa tugas. Di sini akan diberi dua contoh berlainan. Contoh Pertama: Sukarno menurut versi (2), Suharto versi (2), Habibie (2), Gus Dur, Mega (2), SBY.
Prof. Dr. Boediono, Wakil Presiden Indonesia 2009-2014 Contoh Kedua: Soekarno menurut versi (5), Syafruddin (1), Assaat (1), Suharto versi (3), Habibi (2), Gus Dur, Mega (2), SBY.
Kedua contoh di atas memperlihatkan suatu perbedaan yang amat mencolok. Dan itu pun baru contoh dari dua versi. Catatan kaki
ReferensiLihat pulaedunitas.com |