Hukum orang bertanya tapi tidak dijawab

NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM TIDAK MENJAWAB PERTANYAAN, BILA TIDAK TAHU

Salah satu sisi tanggung jawab akademis seorang guru (atau siapapun), tidak boleh berbicara pada masalah yang sama sekali buta tentangnya. Akibat buruk akan muncul di kemudian hari. Ia bisa menyesatkan, kalau materi itu berkaitan dengan agama, lantaran kekeliruan dalam menjawab. Dampak lainnya, ketika nantinya “boroknya” tersingkap, maka kepercayaan orang kepadanya akan terkikis, dusta akan disematkan padanya meski berkata jujur, dan ilmu akan sirna. Sebuah akibat buruk yang muncul dari kedustaan.[1]

Ada fenomena memprihatinkan, tatkala dijumpai orang-orang yang begitu berani “berfatwa” untuk menjawab berbagai persoalan agama. Padahal, latar belakangnya sama sekali tidak mendukung dan tidak memiliki kapabilitas. Bukan berarti Islam hanya monopoli para ulama saja, tetapi pada masing-masing bidang ada pakarnya.

Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok termulia dan paling tahu tentang Islam. Meski demikian, ketika beliau mendapatkan pertanyaan yang belum diketahui jawabannya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam, atau meresponnya dengan mengatakan : La adri (aku tidak tahu).

Imam al Bukhari rahimahullah dan Muslim rahimahullah meriwayatkan :

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ مَرِضْتُ فَعَادَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَهُمَا مَاشِيَانِ فَأَتَانِي وَقَدْ أُغْمِيَ عَلَيَّ فَتَوَضَّأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَبَّ عَلَيَّ وَضُوءَهُ فَأَفَقْت فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ أَصْنَعُ فِي مَالِي كَيْفَ أَقْضِي فِي مَالِيفَلَمْ يُجِبْنِي بِشَيْءٍ حَتَّى نَزَلَتْ آيَةُ الْمَوَارِيثِ

Dari Muhammad bin al Munkadir, ia mendengar Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma bercerita : “Aku pernah sakit. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Abu Bakar Radhiyallahu anhu menjengukku dengan berjalan kaki. Beliau mendatangiku saat aku pingsan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil air wudhu dan memercikkan air wudhunya kepadaku sehingga aku siuman”. Aku bertanya : “Wahai, Rasulullah. Bagaimana cara aku menangani urusan hartaku? Apa yang harus aku lakukan terhadap hartaku?”
“Beliau tidak menjawab dengan sesuatu pun, sampai akhirnya turun ayat tentang pembagian warisan”. [Muttafaqun ‘alaih. Shahihu al Bukhari, kitab al I’tisham bi al Kitab wa as Sunnah, no. 7309; Shahih Muslim, kitab al Faraidh, bab Miratsi al Kalalah, no. 7].

Imam al Bukhari menempatkan hadits ini pada bab : (artinya) Nabi, (bila) ditanya tentang sesuatu yang belum turun wahyu padanya, beliau mengatakan “aku tidak tahu”, atau tidak menjawab, sampai turunnya wahyu; tidak berkata berdasarkan ra`yu atau qiyas merujuk firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”[2]. [Lihat Fathul Bari 13/290].

Sikap semacam ini diikuti oleh para sahabat dan para ulama generasi berikutnya. Tidak mau menjawab, dan atau melemparkan pertanyaan itu kepada orang lain dalam masalah-masalah yang memang belum mereka ketahui duduk persoalannya atau hukumnya. Karena memang, tidak ada orang yang menguasai seluruh ilmu.

Contoh untuk masa sekarang, Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad hafizhahullah. Seorang yang ‘alim dalam bidang hadits. Dalam taklim yang diselenggarakan pada malam hari di Masjid Nabawi, tidak jarang beliau mengatakan “la adri” (aku tidak tahu) di depan hadirin, pada masalah yang ditanyakan kepada beliau. Demikian ini merupakan sikap ksatria, sebagai wujud pengakuan betapa dangkalnya ilmu manusia, dan betapa luasnya ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala al ‘Alimu al Khabir.

Seseorang yang bukan ahli di dalam satu bidang, ia harus legawa, tidak memasuki wilayah yang bukan bidangnya secara mendalam. Utamanya dalam masalah agama.

Begitu pula, orang yang ilmu agamanya masih setengah-setengah, tidak boleh “nekad” memposisikan diri sebagai mufti dan berfatwa menuntaskan persoalan hukum-hukum syariat yang disodorkan masyarakat. Hukum yang keluar dari mulut kita tanpa landasan ilmu dari Allah dan RasulNya, merupakan kedustaan atas nama Allah dan RasulNya.

(Diangkat dari kitab An Nabiyyu Mu’alliman, Prof. Dr Fadhl Ilahi, Cet. I, Idaratu Turjumani al Islam, Pakistan, 1424H / 2003M)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl9 Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat penjelasan ini pada Hilyah Thalibi al ‘Ilmi, Syaikh Bakr Abu Zaid. Hlm. 62
[2]. An Nisa : 104.

  1. Home
  2. /
  3. Bahasan : Uswah Nabi
  4. /
  5. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa...

Ada hadits qudsi yang artinya kurang lebih, “Wahai Muhammad, sesungguhnya umatmu selalu bertanya, apakah ini, apakah itu, sehingga nanti mereka akan mengatakan, ‘Inilah Allah yang telah menciptakan makhluk, tetapi siapakah yang menciptakan Allah?'” Apakah maksud hadits itu? Mengapa kita tidak boleh banyak bertanya? Bukankah bertanya termasuk menambah pengetahuan?

[M. Alif Aulia – via formulir pertanyaan]

Jawab:
Manusia memiliki naluri ingin tahu. Akan tetapi, dia juga memiliki keterbatasan. Akalnya tidak mampu mengetahui segala sesuatu. Agama sama sekali tidak melarang seseorang untuk bertanya. Banyak pertanyaan para sahabat Nabi Saw yang dijawab oleh al-Quran, demikian juga oleh Nabi Muhammad Saw, bahkan al-Quran memerintahkan agar bertanya kepada yang mengetahui [baca QS an-Nahl [16]: 43, al- Anbiya [21]: 7]. Akan tetapi, ada pertanyaan yang sejak semula telah keliru. Misalnya, “Siapa yang lebih Anda suka untuk mati terlebih dahulu, ibu atau bapak Anda?”. Menjawab pertanyaan ini pasti keliru karena pertanyaan ini tidak perlu dilayani, bahkan keliru menanyakannya.

Ada juga pertanyaan yang jawabannya akan menyusahkan atau berdampak negatif bila didengar. Allah swt melarang menanyakannya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan [kepada Nabimu] hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu” [QS al-Maidah [5]: 101].

Selanjutnya, ada pertanyaan yang tidak mampu dicerna jawabannya oleh penanya. Dalam hal semacam ini, pertanyaan itu sebaiknya tidak dijawab atau bahkan tidak perlu ditanyakan. “Mereka bertanya kepadamu tentang Ruh. Katakanlah bahwa ruh adalah urusan Tuhanku, kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit” [QS al-Isra [17]: 85]. Ada lagi pertanyaan yang tidak dapat dijawab dengan uraian yang memuaskan akal, tetapi dijawab oleh kalbu dengan pendekatan iman. Ada lagi yang tidak dapat dijawab dengan lisan, tetapi lebih cepat dengan pengamalan. “Jeruk ini manis atau kecut?” Jawaban tepat dan tercepat adalah menyuruh penanya mencicipinya.

Demikian aneka pertanyaan. Setan sering menabur keraguan dalam hati manusia melalui pertanyaan yang dimunculkannya ke dalam benak manusia. Jika manusia memperturutkan, dia akan terjerumus. Rasul Saw. mengingatkan, “Setan akan datang kepada salah seorang di antara kamu, lalu dia bertanya, ‘Siapa yang menciptakan ini? Siapa yang menciptakan itu?’ Sampai akhirnya dia bertanya, ‘Siapa yang menciptakan Tuhanmu?’ Maka bila dia sampai kepada pertanyaan ini, hendaklah manusia memohon perlindungan kepada Allah dan hendaklah dia berhenti [melayani pertanyaan-pertanyaan semacam ini].” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

Maksud Nabi Saw. jangan biarkan akal melayaninya, tetapi biar kalbu yang diasah dan diasuh oleh iman yang melayaninya. Memang, bagi yang mengasah nalar dan mengasuh jiwanya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan akan dipilah dan dipilihnya, mana pertanyaan yang benar sehingga boleh dijawab, mana pertanyaan yang sejak semula telah keliru sehingga tidak perlu dilayani karena pasti akan keliru pula jawabannya, mana yang dijawab melalui nalar atau kalbu, dan mana lagi yang jawabannya dengan jalan pintas dan aman.

Seandainya manusia merasa puas dengan perasaan atau informasi jiwa dan intuisinya dalam mencari dan berkenalan dengan Tuhan, niscaya banyak jalan yang dapat dipersingkat dan tidak sedikit kelelahan yang dapat disingkirkan, tetapi tidak semua orang demikian. Banyak juga orang yang menempuh jalan berliku-liku dengan memasuki lorong sempit guna melayani ajakan akal ketika mengajukan aneka pertanyaan sambil mendesak memperoleh jawaban yang memuaskan nalar. Bagi yang puas dengan informasi intuisi, akan merasakan ketenangan dan kedamaian bersama kekuatan Yang Maha Agung itu.

Islam tidak menolak melayani desakan akal atau dorongan nalar. Bukankah beragam argumen akliah yang dipaparkan bersamaan dengan sentuhan-sentuhan rasa guna membuktikan keesaan-Nya. Bukankah Dia memerintahkan untuk memandang alam dan fenomenanya dengan pandangan nalar serta memikirkannya? Akan tetapi, sekali lagi, akal manusia sering tidak puas hanya sampai pada titik ketika wujud-Nya terbukti, akal manusia sering ingin mengenal Dzat dan hakikat-Nya bahkan ingin melihat-Nya dengan mata kepala sendiri seakan-akan Tuhan adalah sesuatu yang dapat terjangkau oleh pancaindra.

Nah, di sinilah letak kesalahan bahkan letak bahaya. Di arena inilah, banyak ‘pemikir’ jatuh tersungkur. Seandainya mereka menempuh cara yang mereka tempuh ketika merasa takut pada harimau tanpa melihat wujudnya cukup dengan mendengar raungnya, atau seandainya mereka berinteraksi dengan Tuhan sebagaimana berinteraksi dengan matahari, meraih kehangatan dan memanfaatkan cahayanya tanpa harus mengenal hakikatnya, banyak daya dan waktu yang dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. Akan tetapi, sekali lagi, tidak semua manusia sama. Dari sini, datang peringatan Rasul Saw seperti yang telah dikemukakan tadi.

Demikian, wallahu a’lam.

[M. Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran]

Apakah bertanya dilarang?

Allah swt melarang menanyakannya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan [kepada Nabimu] hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu” [QS al-Maidah [5]: 101].

Mengapa ada larangan untuk tidak boleh banyak bertanya?

Hadis di atas memberikan faedah: (a) Haram bertanya jika sekiranya pertanyaan itu akan menimbulkan masalah yang rumit dan membuka celah syubhat yang akan mendatangkan banyak perselisihan. Dan dapat dipastikan bahwa penyakit perselisihan akan mengantarkan manusia kepada kebinasaan.

Mengapa kita harus selalu bertanya?

Kita bertanya karena kita ingin mengetahui dan memahami keadaan sesuatu sehingga kita bisa mengambil keputusan atau tindakan yang harus kita ambil. Kedua, kita bertanya karena kita ingin tahu bagaimana cara melakukan banyak kegiatan dalam hidup.