Gelar nuansa Arab yang diperoleh Sunan Agung adalah

tirto.id - Nama aslinya adalah Pangeran Ratu. Namun, setelah memperoleh gelar sultan dari Syarif (semacam gubernur) Mekkah atas otorisasi Kekhalifahan Utsmaniyah yang berpusat di Turki pada 23 Juni 1636, ia mendapat nama baru dengan nuansa Arab, Abdulmafakhir Mahmud Abdulkadir. Abdulmafakhir adalah penguasa Kesultanan Banten ke-4, raja Nusantara pertama yang “resmi” menyandang gelar sultan.Sebelum Abdulmafakhir, embel-embel sultan sejatinya telah banyak digunakan oleh para pemimpin kerajaan Islam atau kesultanan yang ada di Indonesia. Namun, Abdulmafakhir adalah raja Nusantara pertama yang menerima gelar sultan secara “resmi” dari Dinasti Utsmaniyah sebagai kekhalifahan Islam terbesar yang pernah meruntuhkan kejayaan Imperium Romawi Timur itu.

  • Baca juga: Kejatuhan Pusat Perang Salib Konstantinopel

Tentang Gelar “Resmi” Sultan

Pemberian gelar sultan dari otoritas kekhalifahan Islam untuk raja-raja di Indonesia sebenarnya cukup sulit ditelusuri. Namun, jikapun ia bukan sultan “resmi” pertama di Nusantara, setidaknya Abdulmafakhir adalah raja pertama di Pulau Jawa yang menyandang gelar untuk pemimpin kerajaan Islam tersebut (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, 2008:94).
Penguasa terbesar Kesultanan Mataram Islam, Sultan Agung, belum menggunakan gelar sultan ketika naik tahta pada 1613. Saat pertama kali memerintah, gelarnya adalah “Panembahan Hanyakrakusuma" atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma", kemudian sejak 1624 diganti menjadi "Susuhunan Agung Hanyakrakusuma".

Pada 1641 atau 5 tahun setelah pemberian gelar sultan kepada Abdulmafakhir, Agung Hanyakrakusuma pergi ke Mekkah. Dikutip dari buku Southeast Asia: A Historical Encyclopedia yang disusun Keat Gin Ooi (2004:132), di sana ia mendapatkan gelar serupa dari otoritas yang sama dan memperoleh nama bernuansa Arab: Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani.

Jauh sebelumnya, di kawasan barat Nusantara pernah tersemat nama Sultan Sulaiman Ibn Abdullah Ibn al-Basir. Ia adalah pemimpin Kesultanan Lamuri (Lam Reh) di Aceh yang wafat pada 1211 (M.C. Ricklefs, ‎Bruce Lockhart, ‎& Albert Lau, A New History of Southeast Asia, 2010:79).



  • Baca juga: Kejamnya Sultan Samudera Pasai dan Serbuan Majapahit

Beberapa referensi menyebut Sulaiman adalah penguasa kerajaan di Nusantara pertama yang menyandang gelar sultan (William H. Frederick dan ‎Robert L. Worden, Indonesia: A Country Study, 2011:xxiii). Namun, belum diketahui apakah gelar tersebut diperoleh “resmi” dari otoritas kekhalifahan Islam seperti yang didapat Sultan Abdulmafakhir dan Sultan Agung Hanyakrakusuma atau bukan.Dari penelusuran tersebut, tidak salah jika beberapa sumber memberikan kesimpulan bahwa Abdulmafakhir dari Banten adalah raja pertama yang menyandang gelar sultan secara “resmi” di Indonesia. Atau setidaknya ia adalah wakil Kekhalifahan Turki Usmani di Nusantara.
  • Baca juga: Ironi dalam Kematian Tak Terduga Sultan Utsmaniyah

Prahara Internal Kesultanan Banten

Pangeran Ratu –nama asli Sultan Abdulmafakhir– sudah ditetapkan sebagai penguasa Kesultanan Banten sejak usianya masih 5 bulan. Tahun 1596 itu, ayahnya, Maulana Muhammad, wafat di Palembang ketika hendak menguasai wilayah tersebut untuk dijadikan sebagai wilayah taklukan Kesultanan Banten.Maulana Muhammad dan Pangeran Ratu adalah keturunan langsung dari Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati. Setelah penaklukan Sunda Kelapa oleh pasukan gabungan Kesultanan Demak-Cirebon pimpinan Fatahillah pada 22 Juni 1527, syiar Islam di kawasan barat Jawa semakin masif.

Sunan Gunung Jati membuka jalan Islam ke Banten yang semula dikuasai oleh Kerajaan Pasundan (Pakuan-Pajajaran). Ia adalah ayah dari Maulana Hasanuddin yang kelak menjadi raja Kesultanan Banten pertama (H.A. Ambary & J. Dumarçay, The Sultanate of Banten, 1990).

Ketika Pangeran Ratu ditetapkan sebagai raja pada 23 Juni 1596, roda pemerintahan Kesultanan Banten dijalankan oleh seorang mangkubumi (perdana menteri) bernama Jayanegara. Setelah Jayanegara wafat pada 1602, jabatan mangkubumi dialihkan kepada adiknya, yaitu Yudhanegara.

Namun, Yudhanegara yang kemudian menikahi ibunda Pangeran Ratu atau janda Maulana Muhammad, Ratu Ayu Wanagiri, tidak terlalu lama menjabat. Pada 17 November 1602 ia diberhentikan karena ternyata kurang cakap memimpin. Mangkubumi Yudhanegara tidak disegani, baik oleh para pejabat kesultanan maupun rakyat Banten (Hamka, Sejarah Umat Islam, 2016).

  • Baca juga: Benarkah Fatahillah Membantai Rakyat Betawi?
Kepemimpinan Kesultanan Banten lalu diambil-alih langsung oleh Ratu Ayu Wanagiri. Namun, selama masa pemerintahan ibunda Pangeran Ratu ini, situasi Banten justru bertambah runyam. Beberapa kali terjadi upaya penggulingan kekuasaan yang dilakukan oleh orang-orang dalam istana sendiri. Bahkan, Banten mengalami perang saudara selama setahun sejak 8 Maret 1608.

Berkat andil salah seorang pejabat istana yang bernama Pangeran Jayakarta, polemik tersebut berhasil dipadamkan. Kemudian, diangkatlah Pangeran Arya Ranamanggala (putra Maulana Yusuf, Raja Banten era 1570-1585), sebagai perdana menteri atau wali sultan (Tri Hatmadji, Ragam Pusaka Budaya Banten, 2005:78).

Gelar nuansa Arab yang diperoleh Sunan Agung adalah


Kakek Sultan Ageng Tirtayasa

Kepemimpinan Pangeran Arya Ranamanggala sangat baik, termasuk dalam menghadapi VOC (Belanda) yang sudah mulai masuk ke wilayah Banten. Pemerintahannya teguh, politiknya tegas, menghornati orang-orang Eropa dan diberikannya hak yang sama (Nasruddin Anshoriy Ch, Bangsa Inlander: Potret Kolonialisme di Bumi Nusantara, 2008:50).Namun, pada awal 1624, Pangeran Arya Ranamanggala mengundurkan diri dari jabatannya karena sakit dan wafat dua tahun kemudian. Pangeran Ratu yang kala itu sudah cukup umur pun resmi memegang kendali pemerintahan sebagai penguasa Kesultanan Banten yang ke-4.
  • Baca juga: Sultan Jawa yang Dibunuh Istrinya Sendiri
Wafatnya Pangeran Arya Ranamanggala rupanya dimanfaatkan oleh VOC. Suksesi kepemimpinan kesultanan dijadikan kesempatan bagi kompeni Belanda untuk memonopoli perdagangan lada di Banten yang kala itu memang menjadi salah satu bandar dagang teramai di Jawa.

Pangeran Ratu tentu saja menolak kehendak VOC itu. Akibatnya, VOC melakukan blokade dengan menghalangi kapal-kapal dagang dari Cina dan Maluku yang ingin berdagang di pelabuhan Banten. Ini tentu saja merugikan Banten, dan pecahlah perang pada November 1633 (Nina Herlina Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah, 2004:46).

Peperangan itu berlangsung selama 6 tahun hingga akhirnya kedua belah pihak sepakat berdamai untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Hingga tahun-tahun berikutnya, situasi Banten di bawah kepemimpinan Pangeran Ratu atau Sultan Abdulmafakhir relatif aman meskipun hubungan panas-dingin dengan VOC masih dirasakan.Selain pernah mengawali perlawanan terhadap VOC, Sultan Abdulmafakhir juga merintis jalinan diplomatik antara Banten dengan bangsa-bangsa lain di mancanegara, terutama dengan Kerajaan Inggris dan beberapa kerajaan Islam di Timur Tengah. Relasi ini kelak dilanjutkan oleh Sultan Banten penerusnya.
  • Baca juga: Si Pengadu Domba Cornelis Speelman
Sultan Abdulmafakhir memutuskan turun tahta pada 1647 dan digantikan oleh putranya, Abu al-Ma'ali Ahmad. Namun, era pemerintahan Sultan Banten ke-5 hanya berlangsung selama 3 tahun. Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad mangkat pada 1650, mendahului ayahnya yang meninggal dunia setahun berikutnya.

Sepeninggal Sultan Abdulmafakhir yang wafat tanggal 10 Maret 1651, tahta Banten diserahkan kepada cucunya, Sultan Ageng Tirtayasa. Inilah sultan yang bertekad menjadikan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar di Nusantara. Ia pun melanjutkan perjuangan kakek dan ayahnya dalam upaya mengusir VOC dari Banten meskipun gagal lantaran siasat adu domba yang diterapkan kaum penjajah.

Gelar nuansa Arab yang diperoleh Sunan Agung adalah

Gambar 01. Sultan Agung Hanyokrokusumo

Sultan Agung Hanyokrokusumo (1593 - 1645) adalah raja Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang. Sultan Agung merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyokrowati dan Ratu Mas Adi Dyah Banowati. Sultan Agung naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun.

Sultan Agung dikenal sebagai salah satu raja yang berhasil membawa kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kejayaan pada 1627, tepatnya setelah empat belas tahun Sultan Agung memimpin kerajaan Mataram Islam. Pada masa pemerintahan Sultan Agung daerah pesisir seperi Surabaya dan Madura berhasil ditaklukan. Pada kurun waktu 1613 sampai 1645 wilayah kekuasaan Mataram Islam meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian Jawa Barat. Kehadiran Sultan Agung sebagai penguasa tertinggi, membawa Kerajaan Mataram Islam kepada peradaban kebudayaan pada tingkat yeng lebih tinggi. Sultan Agung memiliki berbagai keahlian baik dalam bidang militer, politik, ekonomi, sosial dan budaya,yang menjadikan peradaban kerajaan Mataram pada tingkat yang lebih tinggi.

Gelar nuansa Arab yang diperoleh Sunan Agung adalah

Gambar 02. Wilayah Kekuasaan Kerajaan Mataram Islam

Sultan Agung  merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran melakukan perlawanan dengan Belanda yang kala itu hadir lewat kongsi dagang VOC (Vereenigde Ooos Indische Compagnie). Perlawanan Sultan Agung terhadap VOC di Batavia dilakukan pada tahun 1628 dan 1629. Perlawanan tersebut disebabkan karena Sulan Agung menyadari bahwa kehadiran VOC di Batavia dapat membahayakan hegemoni kekuasaan Mataram Islam di Pulau Jawa. Kekuasaan Mataram Islam pada waktu itu meliputi hampir seluruh Jawa dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu VOC telah menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia. Selain itu, kehadiran VOC akan menghambat penyebaran agama Islam di Jawa yang dilakukan Sultan Agung. Sultan Agung memiliki prinsip untuk tidak penah bersedia berkompromi dengan VOC maupun penjajah lainnya. Namun serangan Mataram Islam terhadap VOC yang berkedudukan di Batavia mengalami kegagalan disebabkan tentara VOC membakar lumbung persediaan makanan pasukan kerajaan Mataram Islam pada saat itu.

Di samping dalam bidang politik dan militer, Sulan Agung juga mencurahkan perhatiannya pada bidang ekonomi dan kebudayaan. Upaya yang dilakukan Sultan Agung antara lain memindahkan penduduk Jawa Tengah ke Karawang, Jawa Barat, di mana terdapat sawah dan ladang yang luas dan subur. Sultan Agung juga meneruskan pendahulunya untuk meletakan dasar perkembangan Mataram Islam dengan memberikan pengajaran dan pendidikan kepada rakyat Mataram Islam sehingga pada masa pemerintahannya, menempatkan ulama dengan kedudukan terhormat, yaitu sebagai pejabat anggota Dewan Parampara (Penasihat tinggi kerajaan). Disampning itu dalam struktur pemerintahan kerajaan didirikan Lembaga Mahkamah Agama Islam, dan gela raja-raja di Mataram Islam meliputi raja Pandita, artinya disamping sebagai penguasa, raja juga sebagai kepala pemerintahan dan kepala agama (Islam)

Selain itu Sultan Agung juga berusaha menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan Indonesia asli dengan Hindu dan Islam. Misalnya grebeg disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang saat ini dikenal sebagai garebeg Puasa dan Grebeg Maulud. Selain itu Sultan Agung juga mengenalkan penanggalan tahun saka dan kitab filsafat Sastra Gendhing. Adapun keberhasilan Sultan Agung dalam bdang kebudayaan yaitu dapat mengubah perhitungan peredaran Matahari ke perhitungan peredaran bulan, sehingga dianggap telah menuliskan tinta emas pada masa pemerintahannya. Berkat usaha yang dilakukan oleh Sultan Agung dalam memajukan agama dan kebudayaan Islam, ia memperoleh gelar Susuhunan (Sunan) yang selama ini diberikan kepada Wali.

Gelar nuansa Arab yang diperoleh Sunan Agung adalah

Gambar 02. Grebeg Maulud

Di lingkungan keraton Mataram Islam, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa Bagongan yang harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat demi untuk menghilangkan kesenjangan satu sama lain. Kebijakan ini diharapkan dapat terciptanya rasa persatuan di antara penghuni istana. Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Dia membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram mulai dari dirinya. Sultan juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan hidup trah Mataram. Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram.

Gelar nuansa Arab yang diperoleh Sunan Agung adalah

Gambar 03. Astana Imogiri

Sumber Referensi:

De Graaf. 1985.  Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Temprint.

De Graaf. 1986. Puncak Kekuasaan Mataram. Jakarta: Pustaka Grafiti Pers.

Kutoyo, Sutrisno. 1986. Sejarah Ekspedisi Pasukan Sultan Agung ke Batavia. Jakarta: Ditjara Mitra Ditjenbud

09.05/09/08/2021