Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentangPerkawinan. perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku. Show Syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi setiap orang untuk melangsungkan perkawinan? UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya Pasal 6 dan 7, mengatur syarat-syarat melangsungkan perkawinan. Pengaturan syarat-syarat ini diantaranya bertujuan untuk melindungi kepentingan perempuan dari perkawinan paksa dan perkawinan di bawah umur. Adapun syarat-syarat tersebut adalah :
Dalam hal apa perkawinan menurut Undang-Undang dilarang? Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
Apakah jika perkawinan tidak dicatatkan, suatu perkawinan tidak sah? Proses pencatatan perkawinan sendiri, sebenarnya ini tidak menjadikan perkawinan itu tidak sah karena proses pencatatan itu sendiri adalah proses administratif. Dalam konteks agama/adat perkawinan yang tidak dicatatkan di-anggap sah. Namun dalam hukum nasional, proses pen-catatan ini telah menjadi bagian dari hukum positif, ka-rena hanya dengan proses ini maka masing-masing pihak diakui segala hak dan kewajibannya di depan hukum. Dan pencatatan perkawinan akan membawa akibat terhadap anak-anak yang dilahirkan dan pemenuhan hak-hak dasarnya Siapa yang bertugas melakukan pencatatan perkawinan? Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan bagi yang beragama selain Islam (Katholik, Kristen, Budha, Hindu, Konghucu, Penghayat dan lain-lain) pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS). Persyaratan apa yang harus dipenuhi dalam pencatatan perkawinan ? Untuk mendapatkan pelayanan pencatatan perkawinan, harus melengkapi persyaratan berikut ini:
Kapan waktu yang tepat untuk mencatatkan perkawinan ? Catatkan perkawinan Anda ke instansi yang berwenang sebelum melewati waktu satu bulan sejak perkawinan menurut Agama dilangsungkan Bagaimana dengan penghayat kepercayaan yang berada di lokasi-lokasi terpencil ? Pasal 45 – 47 dan pasal 67 Perpres No. 25 Tahun 2008 merumuskan bahwa pendaftaran penduduk termasuk pencatatan biodata kependudukan, pencatatan atas pelaporan peristiwa kependudukan, pendataan masyarakat rentan administrasi kependudukan serta penerbitan dokumen kependudukan. Masyarakat terpencil masuk dalam pengertian masyarakat rentan sehingga untuk pendaftaran penduduk, termasuk pencatatan peristiwa kependudukan dilakukan oleh Tim Pendataan dari Gubernur/Bupati Walikota. Tim akan mendatangi komunitas terpencil tersebut untuk melakukan pendataan, mengisikan formulir pendataan untuk ditandatangani penduduk, melakukan verifikasi dan validasi; mencatat dan merekam data penduduk untuk disampaikan ke instansi pelaksana; dan menerbitkan Surat Keterangan Tanda Komunitas. Apa yang dilakukan Kantor Catatan Sipil (KCS) terhadap permohonan pencatatan perkawinan? Pejabat Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana akan mencatat perkawinan dengan tata cara:
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Demikian bunyi ketentuan Pasal 1 UU 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. UU 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki pertimbangan bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara. Pasal 1 UU Perkawinan dalam penjelasan Pasal demi Pasal dijelaskan bahwa Perkawinan sangat erat hubungannya dengan kerohanian dan agama. Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah ke Tuhanan Yang Maha Esa. Maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga bahagia rapat hubungan dengan keturunan, merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan. Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, untuk beristeri lebih dari seorang, harus dipenuhi syarat-syarat yaitu adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka, adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri- isteri dan anak-anak mereka. Hal persetujuan di atas tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Apabila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. JIka kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang di atas, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut. Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Jikaterjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur, orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. Pemberian dispensasi oleh Pengadilan wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau kedua orang tua calon mempelai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) berlaku juga ketentuan mengenai permintaan dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6) UU Perkawinan ini. Perkawinan dilarang antara dua orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri; berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan; berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki prinsip-prinsip atau azas-azas perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Azas-azas atau prinsip-prinsip dalam UU 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah:
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan di Jakarta oleh Presiden Soeharto pada tanggal 2 Januari 1974. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diundangkan oleh Menteri/Sekretaris Negara Sudharmono. SH pada tanggal 2 Januari 1974 di Jakarta. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1. Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diudnangkan dan ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan Presiden Joko Widodo pada tanggal 14 Oktober 2019 di Jakarta. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mulai berlaku setelah diundangkan Plt. Menkumham Tjahjo Kumolo pada tanggal 15 Oktober 2019 di Jakarta. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan karena :
Hal-hal yang dapat dijadikan untuk melakukan perceraian dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Perubahan tersebut adalah mengubah Pasal 7 dan menyisipkan 1 Pasal diantara Pasal 65 dan Pasal 66 yaitu Pasal 65A, seperti berikut ini:
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diubah oleh Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pertimbangan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara. Dasar hukum Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah:
Demikian pula apabila mengenai sesuatu hal Undang-undang ini tidak mengatur dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada. Berikut isi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan perubahannya setelah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hanya Pasal 7 diubah dan penambahan Pasal 65A di antara Pasal 65 dan Pasal 66 (bukan format asli):
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 14
Pasal 15Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah. Pasal 19Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut. Pasal 20Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan. Pasal 21
Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 23Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :
Pasal 24Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 25Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri. Pasal 26
Pasal 27
Pasal 28
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Pasal 31
Pasal 32
Pasal 33Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. Pasal 34
BAB VII HARTA BENDA DALAM PERKAWINANPasal 35
Pasal 36
Pasal 37Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Perkawinan dapat putus karena:
Pasal 39
Pasal 40
Pasal 41Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
BAB IX KEDUDUKAN ANAKPasal 42Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 43
Pasal 44
BAB X HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAKPasal 45
Pasal 46
Pasal 47
Pasal 48Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan betas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Pasal 49
BAB XI PERWALIANPasal 50
Pasal 51
Pasal 52Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-undang ini. Pasal 53
Pasal 54Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan Keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Pasal 58Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. Pasal 59
Pasal 60
Pasal 61
Pasal 62Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini. Bagian Keempat PengadilanPasal 63
BAB XIII KETENTUAN PERALIHANPasal 64Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah. Pasal 65
Ditambah 1 Pasal oleh UU 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Penambahan tersebut adalah menyisipkan 1 Pasal diantara Pasal 65 dan Pasal 66 yaitu Pasal 65A, seperti berikut ini: menjadi: Pasal 65APada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, permohonan perkawinan yang telah didaftarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tetap dilanjutkan prosesnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. BAB XIV KETENTUAN PENUTUPPasal 66Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 67
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Demikianlah isi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diubah dan dipebaharui beberapa pasalnya oleh UU 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. [ Foto A Minangkabau wedding in West Sumatera, Indonesia By Mamasamala - Own work, CC BY-SA 3.0, Link ] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentangPerkawinan |