Gabungan relawan rescue mengibarkan bendera Merah Putih di Kali Ciliwung, Jakarta, Minggu (22/8/2021). Ilustrasi Contoh Sikap Positif Sesuai dengan Nilai-nilai Kebangsaan dalam UUD 1945.
TRIBUNNEWS.COM - Berikut ini contoh sikap positif berkaitan dengan nilai-nilai kebangsaan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai konstitusi Republik Indonesia, UUD 1945 berisi nilai-nilai semangat yang harus diimplementasikan oleh seluruh masyarakat. Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan dan pengesahan UUD RI 1945 merupakan sebuah konsensus bangsa Indonesia. Adapun konsensusnya yakni kehidupan berbangsa dan bernegara dilandasi oleh Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Baca juga: Apa itu Puisi? Inilah Pengertiannya, Lengkap dengan Unsur dan Jenisnya Baca juga: Apa itu Pranata Sosial? Inilah Pengertiannya, Lengkap dengan Fungsi-fungsinya BELAJAR KEBHINEKAAN - Siswa SMP An Nashr mengunjungi Gereja Katedral Ijen dalam Field Trip Anak Indonesia Cinta Kebhinekaan Indonesia di Gereja Katedral Ijen, Kota Malang, Senin (7/8/2017). Kunjungan ke sejumlah tempat ibadah ini untuk mengenalkan keberagaman agama dan budaya Indonesia. SURYA/HAYU YUDHA PRABOWO (SURYA/SURYA/HAYU YUDHA PRABOWO)Dalam hal kehidupan berbangsa dan bernegara, seluruh masyarakat perlu mengangkat kembali nilai-nilai semangat juang. Khususnya berdasar nilai-nilai yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dikutip dari Buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Kelas VIII SMP/MTs (2017) oleh Lukman Surya dkk, berikut contoh sikap positif berkaitan dengan nilai-nilai kebangsaan dalam UUD 1945. 1. Nilai Religius - Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. - Hormat dan menghormati serta bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup. Jakarta - Pancasila adalah Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apakah kamu tahu apa saja nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila? Pancasila disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945. Pancasila disahkan bersamaan dengan UUD 1945 oleh PPKI. Sebab, Pancasila sebagai dasar negara merupakan bagian dari UUD 1945 yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Nilai berperan sebagai dasar pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai berada dalam hati nurani sebagai suara hati atau kata hati. Menurut Prof. DR. Dardji Darmodiharjo, Pancasila merupakan nilai kerohanian yang mencakup nilai material, nilai vital, nilai kebenaran atau kenyataan, nilai estetis, nilai etis atau moral, dan nilai religius, seperti dikutip dari buku Pancasila oleh Tim Pusdiklat Pengembangan SDM Kementerian Keuangan. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menurut Prof. Dr. Notonegoro terbaigi menjadi tiga, yaitu nilai material, nilai vital, dan nilai kerohanian. Nilai material dalah segala sesuatu yang berguna bagi unsur manusia. Nilai vital adalah sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan dan aktivitas. Sementara itu, nilai kerohanian adalah segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian menurut Notonegoro terdiri atas empat macam. Nilai pertama yaitu nilai kebenaran yang bersumber pada unsur akal manusia, dan nilai kedua yaitu nilai keindahan yang bersumber pada unsur rasa indah manusia. Nilai ketiga yaitu nilai kebaikan atau nilai moral yang bersumber pada unsur kodrat manusia dalam segala dimensinya. Sementara itu, nilai keempat adalah nilai religius yang merupakan nilai ketuhanan, kerohanian yang tinggi dan mutlak. Nilai religius bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia. Nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila:1. Nilai yang terkandung dalam sila pertama Pancasila adalah nilai religius atau nilai ketuhanan2. Nilai yang terkandung dalam sila kedua Pancasila adalah nilai kemanusiaan3. Nilai yang terkandung dalam sila ketiga Pancasila adalah nilai persatuan bangsa4. Nilai yang terkandung dalam sila keempat Pancasila adalah nilai kerakyatan 5. Nilai yang terkandung dalam sila kelima Pancasila adalah nilai keadilan sosial Meskipun nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila termasuk nilai kerohanian, tetapi nilai kerohanian ini mengakui pentingnya nilai material dan nilai vital secara seimbang. Hal ini dibuktikan dengan susunan sila-sila yang sistematis hirarkis mulai dari ketuhanan Yang Maha Esa hingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia . Gimana detikers, sudah tahu ya tahu apa saja nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila? Simak Video "Besok Hari Lahir Pancasila, Warga Diimbau Tak Gelar Upacara Fisik" (lus/lus)
Nilai Religius di SekolahSejak pemikiran manusia memasuki tahap positif dan fungsional sekitar abad ke-18, pendidikan (baca: pendidikan agama) mulai digugat eksistensinya. Suasana kehidupan modern dengan kebudayaan massif serta terpenuhinya berbagai mobilitas kehidupan secara teknologis-mekanis, pada satu sisi telah melahirkan krisis etika dan moral. Meminjam bahasanya Zainuddin, Manusia di penjuru dunia ini cenderung mengabaikan aturan-aturan yang diberikan oleh Tuhan dan memisahkan fungsi pengaturan kehidupan dari campur tangan agama (sekuler).Dalam konteks keindonesiaan, badai krisis tersebut pada puncak kulminasinya dapat pada kerusuhan bulan Mei 1998 yang telah memporak-porandakan tatanan nilai agama dan masyarakat. Etika dan tatakrama yang selama ini terinternalisasi dalam budaya anak bangsa yang santun, berubah menjadi gugusan retorika yang tak bermakna. Bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang ber- tipikal qur’anik karena indahnya kehidupan di tengah kondisi bangsa yang serba plural, menjadi bangsa kanibal (pemangsa sesamanya) yang menakutkan.Krisis moral tersebut tidak hanya melanda masyarakat lapisan bawah (grass root), tetapi juga meracuni atmosfir birokrasi negara mulai dari level paling atas sampai paling bawah. Munculnya fenomena white collar crimes (kejahatan kerah putih atau keja¬hatan yang dilakukan oleh kaum berdasi, seperti para eksekutif, birokrat, guru, politisi atau yang setingkat dengan mereka), serta isu KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang dilakukan oleh para elit, merupakan indikasi kongrit bangsa Indonesia sedang mengalami krisis multidimensional.Ralitas di atas mendorong timbulnya berbagai gugatan terhadap efektivitas pendidikan agama yang selama ini dipandang oleh sebagaian besar masyarakat telah gagal dalam membangun afeksi anak didik dengan nilai-nilai yang eternal serta mampu menjawab tantangan zaman yang teruys berubah (aktual). Terlebih lagi dalam hal ini, dunia pendidikan yang mengemban peran sebagai pusat pengembangan ilmu dan SDM, pusat sumber daya penelitian dan sekaligus pusat kebudayaan kurang berhasil –kalau tidak dikatakan gagal- dalam mengemban misinya. Sistem pendidikan yang dikembangkan selama ini lebih mengarah pada pengisian kognitif mahasiswa un-sich, sehingga melahirkan lulusan yang cerdas tetapi kurang bermoral. Aspek afeksi dan psikomotor yang sangat vital keberadaannya terabaikan begitu saja.Fenomena di atas tidak terlepas dari adanya pemahaman yang kurang benar tentang agama (religi) dan keberagaan (religiusitas). Agama sering kali dimaknai secara dangkal, tekstual dan cenderung esklusif. Nilai-nilai agama hanya dihafal sehingga hanya berhenti pada wilayah kognisi, tidak sampai menyentuh aspek afeksi dan psikomotorik.Keberagamaan (religiusitas) tidak selalu identik dengan agama. Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan, dalam aspek yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya. Sedangkan keberagamaan atau religiusitas lebih melihat aspek yang "di dalam lubuk hati nurani" pribadi. Dan karena itu, religiusitas lebih dalam dari agama yang tampak formal.Istilah nilai keberagamaan (religius) merupakan istilah yang tidak mudah untuk diberikan batasan secara pasti. Ini disebabkan karena nilai merupakan sebuah realitas yang abstrak. Secara etimologi nilai keberagamaan berasal dari dua kata yakni: nilai dan keberagamaan. Menurut Rokeach dan Bank bahwasannya nilai merupakan suatu tipe kepercayaan yang berada pada suatu lingkup sistem kepercayaan di mana seseorang bertindak untuk menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang dianggap pantas atau tidak pantas. Ini berarti pemaknaan atau pemberian arti terhadap suatu objek. Sedangkan keberagamaan merupakan suatu sikap atau kesadaran yang muncul yang didasarkan atas keyakinan atau kepercayaan seseorang terhadap suatu agama.Menurut Gay Hendricks dan Kate Ludeman dalam Ari Ginanjar, terdapat beberapa sikap religius yang tampak dalam diri seseorang dalam menjalankan tugasnya, di antaranya: a. Kejujuran Rahasia untuk meraih sukses menurut mereka adalah dengan selalu berkata jujur. Mereka menyadari, justru ketidak jujuran kepada pelanggan, orang tua, pemerintah dan masyarakat, pada akhirnya akan mengakibatkan diri mereka sendiri terjebak dalam kesulitan yang berlarut-larut. Total dalam kejujuran menjadi solusi, meskipun kenyataan begitu pahit.b. Keadilan Salah satu skill seseorang yang religius adalah mampu bersikap adil kepada semua pihak, bahkan saat ia terdesak sekalipun. Meraka berkata, "pada saat saya berlaku tidak adil, berarti saya telah mengganggu keseimbangan dunia.d. Bermanfaat bagi Orang Lain Hal ini merupakan salah satu bentuk sikap religus yang tampak dari diri seseorang. Sebagaimana sabda Nabi saw: "sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain".e. Rendah Hati Sikap rendah hati merupakan sikap tidak sombong mau mendengarkan pendapat orang lain dan tidak memaksakan gagasan atau kehendaknya. Dia tidak merasa bahwa dirinyalah yang selalu benar mengingat kebenaran juga selalu ada pada diri orang lain.f. Bekerja Efisien Mereka mampu memusatkan semua perhatian mereka pada pekerjaan saat itu, dan begitu juga saat mengerjakan pekerjaan selanjutnya. Mereka menyelesaikan pekerjaannya dengan santai, namun mampu memusatkan perhatian mereka saat belajar dan bekerja.g. Visi ke Depan h. Disiplin Tinggi Mereka sangatlah disiplin. Kedisiplinan mereka tumbuh dari semangat penuh gairah dan kesadaran, bukan berangkat dari keharusan dan keterpaksaan. Mereka beranggapan bahwa tindakan yang berpegang teguh pada komitmen untuk diri sendiri dan orang lain adalah hal yang dapat menumbuhkan energi tingkat tinggii. Keseimbangan Seseorang yang memiliki sifat religius sangat menjaga keseimbangan hidupnya, khusunya empat aspek inti dalam kehidupannya, yaitu: keintiman, pekerjaan, komunitas dan spiritualitas.Dalam kontek pembelajaran, beberapa nilai religius tersebut bukankan tanggung jawab guru agama semata. Kejujuran tidak hanya disampaikan lewat mata pelajaran agama saja, tetapi juga lewat mata pelajaran lainnya. Misalnya seorang guru matematika mengajarkan kejujuran lewat rumus-rumus pasti yang menggambarkan suatu kondisi yang tidak kurang dan tidak lebih atau apa adanya. Begitu juga seorang guru ekonomi bisa menanamkan nilai-nilai keadilan lewat pelajaran ekonomi. Seseorang akan menerima untung dari suatu usaha yang dikembangkan sesuai dengan besar kecilnya modal yang ditanamkan. Dalam hal ini, aspek keadilanlah yang diutamakan.Keberagamaan atau religiusitas seseorang diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupannya. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat dengan mata, tetapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati seseorang.Menurut Nurcholis Madjid, agama bukanlah sekedar tindakan-tindakan ritual seperti shalat dan membaca do’a. Agama lebih dari itu, yaitu keseluruhan tingkah laku manusia yang terpuji, yang dilakukan demi memperoleh ridla atau perkenan Allah. Agama dengan demikian meliputi keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup ini, yang tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur atas dasar percaya atau iman kepada Allah dan tanggung jawab pribadi di hari kemudian.Dari beberapa penjelasan di atas dapat dipahami bahwa nilai religius adalah nilai-nilai kehidupan yang mencerminkan tumbuh-kembangnya kehidupan beragama yang terdiri dari tiga unsur pokok yaitu aqidah, ibadah dan akhlak yang menjadi pedoman perilaku sesuai dengan aturan-aturan Illahi untuk mencapai kesejahteraan serta kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Bila nilai-nilai religius tersebut telah tertanam pada diri siswa dan dipupuk dengan baik, maka dengan sendirinya akan tumbuh menjadi jiwa agama. Dalam al ini jiwa agama merupakan suatu kekuatan batin, daya dan kesanggupan dalam jasad manusia yang menurut para ahli Ilmu Jiwa Agama, kekuatan tersebut bersarang pada akal, kemauan dan perasaan. Selanjutnya, jiwa tersebut dituntun dan dibimbing oleh peraturan atau undang-undang Illahi yang disampaikan melalui para Nabi dan Rosul-Nya untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia untuk mencapai kesejahteraan baik di kehidupan dunia ini maupun dan di akhirat kelak.Bila jiwa agama telah tumbuh dengan subur alam diri siswa, maka tugas pendidik selanjutnya adalah menjadikan nilai-nilai agama sebagai sikap beragama siswa. Sikap keberagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya kepada agama. Sikap keagamaan tersebut karena adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsur afektif dan perilaku terhadap agama sebagai unsur konatif/ psikomotorik. Jadi sikap keagamaan pada anak sangat berhubungan erat dengan gejala kejiwaan anak yang terdiri dari tiga aspek tersebut.Daftar Pustaka:1. Zainuddin, Tantangan Pendidikan Tinggi Islam Pada Millenium Ketiga, dalam tabloid GEMA STAIN Malang, edisi Mei-Juni 2000, hal. 2.2. Moh. Yunus, Pluralitas Agama dan Kekerasan Kolektif, Perspektif Sosiolagi Agama, Dalam majalah el-Harakah STAIN Malang, Edisi April – Juni 2000, hal : 263. A. Qodri Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan : Pandai dan Bermanfaat ), Semarang: Aneka Ilmu, 2002, hal. 8-144. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: Rosdakarya, 2001, hal. 2885. Madyo Ekosusilo, Hasil Penelitian Kualitatif Sekolah Unggul Berbasis Nilai (Studi Multi Kasus di SMA Negeri 1, SMA Regia Pacis, dan SMA Al Islam 01 Surakarta), Sukoharjo: Univet Bantara Press, 2003), hal.226. Ary Ginanjar Agustian Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power: Sebuah Inner Journey Melalui Ihsan. Jakarta: ARGA, 2003, hal. 2497. Djamaluddin Ancok, Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, Cet. II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, hal. 768. Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius. Jakarta: Paramadina, 1997, hal. 1249. Muhaimin dan Abdul Mudjib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Triganda Karya, Bandung, 1993, hal. 35Dipublikasikan Oleh:M. Asrori Ardiansyah, M.Pd Pendidik di Malang |