Kemandirian daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal menjadi issue yang dihadapi oleh setiap Pemerintahan Daerah, karena kebutuhan daerah (fiscal need) yang tidak seimbang dengan kapisitas fiskal (fiscal capacity) akan menimbulkan kesenjangan fiskal (fiscal gap). Pemerintah Daerah harus dapat meningkatkan PAD tanpa harus melanggar norma-norma dengan cara mengoptimalisasi potensi yang ada. Optimalisasi PAD dari sisi penerimaan hendaknya diikuti dengan pengelolaan penggunaan anggaran dari sisi pengeluaran dan dikelola dengan baik dengan prinsip value for money serta dilakukan secara komprehensif dengan berbagai strategi sesuai dengan kaidah pengelolaan keuangan daerah dan keuangan negara, dengan peningkatan prosedur pengendalian dari intern pemerintah daerah agar terpenuhi prinsif stewardship dan accountability. Pendapatan Asli Daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih yang diperoleh dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Peengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan serta Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah, sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 285 ayat (1), Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pada Pasal 21 ayat (1) dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pda Pasal 26 ayat (1). Pengertian pendapatan asli daerah seharusnya tidak perlu menjadi perdebatan lagi karena dalam peraturan peundang-undangan sudah diatur dengan jelas, objek pendapatan asli daerah dalam pelaksanaannya harus memiliki dasar hukum yang jelas untuk dipungut atau tidaknya. Untuk Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan pelaksanaan di Daerah harus diatur dengan Peraturan Daerah, dan Pemerintah Daerah dilarang melakukan pungutan diluar yagn telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 286 ayat (2). Peraturan Daerah sebagai dasar pelaksanaan merupakan persyaratan mutlak bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan pungutan, karena SKPD dilarang melakukan pungutan selain yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah sesuai Pasal 58 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 hal ini juga diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pada Pasal 128 ayat (2). Reformasi peraturan perundang-undangan sudah memberikan perubahan yang mendasar, hal ini dapat kita cermati pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Di dalam Undang-Undang tersebut mengubah sistem yang semulanya open list menjadi close list, Pemerintah Daerah hanya dapat melakukan pungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang tersebut, dan penambahan jenis pungutan untuk Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012. Kebijakan Pemerintah Pusat sesuai dengan Undang-Undang memberikan kewenangan Pemerintah Daerah dengan memperluas basis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam hal kewenangan penetapan tarif. Dalam hal pengawasan pungutan daerah telah diubah dari represif menjadi preventif yaitu setiap Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat dapat melakukan pembatalan Peraturan Daerah karena melanggar aturan yang lebih tinggi dan tidak diatur dalam peraturan perundangan. Karena seusai dengan Undnang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan akan diakui keberadaannya dan memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan (Pasal 8 ayat (2). Apabila Pemerintah Daerah membuat suatu produk hukum khususnya Pajak Daerah dan Retribusi Daerah melanggar ketentuan peraturan yang lebih tinggi, maka Pemeritah Pusat melalui Menteri Keuangan memberikan sanksi diantaranya :
Pendapat Asli Daerah dibagi berdasarkan jenis pendapatan dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dibagi ke dalam 4 (empat) jenis, yaitu : 1. PAJAK DAERAH Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :
Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Retribusi daerah terdiri atas 3 (tiga) jenis, yaitu :
Retribusi Jasa Usaha meliputi Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah, Retribusi Pasar Grosir/Pertokoan. Retribusi Tempat Pelelangan, Retribusi Terminal, Retribusi Tempat Khusus Parkir, Retribusi Tempat Penginapan/pesanggrahan/Villa, Retribusi Rumah Potong Hewan, Retribusi Pelayanan Kepelabuhan, Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga, Retribusi Penyeberangan di Air, serta Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.
Jenis pendapatan yang mencakup bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD, milik pemerintah/BUMN dan perusahaan milik swasta. Peran BUMD dalam peningkatan pendapatan asli daerah sangat dibutuhkan sekali dalam menggerakan ekonomi. Kinerja dari BUMD dari sisi internal, harus mampu menjadi pemacu utama pertumbuhan dan pengembangan ekonomi, sedangkan dari sisi eksternal BUMD dituntud untuk menarik investasi asing maupun domestik agar perumbuhan ekonomi di daerah memberikan multiplier effect yang besar. Pendapatan dari jenis ini sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah antara lain : Laba Atas Penyertaan Modal pada BUMD, Laba Atas Penyertaan Modal pada BUMD dan Laba Atas Penyertaan Modal pada Perusahaan Patungan/Milik Swasta. 2. LAIN-LAIN PENDAPATAN ASLI DAERAH YANG SAH Jenis pendapatan yang dianggarkan untuk menampung penerimaan daerah yang tidak termasuk jenis pajak daerah, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Jenis pendapatan ini seperti : Hasil Penjualan Aset Daerah yang Tidak Dipisahkan, Jasa Giro, Pendapatan Bunga Deposito, Tuntutan Ganti Kerugian Daerah, Komisi, Potongan dan Selisih NIlai Tukar, Pendapatan Denda Atas Keterlambatan Pelaksanaan Pekerjaan, Pendapatan Denda Pajak, Pendapatan Denda BPHTB, Pendapatan Denda Retribusi, Pendapatan Hasil Eksekusi Atas Jaminan, Pendapatan dari Pengembalian, Fasilitas Sosial dan Fasiltas Umum, Pendapatan dari Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan, Pendapatan dari Angsuran/Cicilan Penjualan dan Hasil Pengelolaan Dana Bergulir Agar tidak terjadi persepsi yang berbeda mengenai Pendapatan Asli Daerah, harus diketahui mana yang menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah. Semua Penerimaan Daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah mekanismenya harus berdasarkan Peraturan Daerah yang telah ditetapkan dan aturan yang ditetapkan tidak dibenarkan melampaui kewenangan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah (dan revisinya yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011). Perlu dijelaskan, khususnya untuk sektor perikanan, Pemerintah Daerah hanya dapat melakukan pungutan untuk PAD pada jenis Retribusi Perizinanan Tertentu yaitu Retribusi Izin Usaha Perikanan dan Retribusi Jasa Usaha yaitu Retribusi Tempat Pelelangan dan Retribusi Pelayanan Kepelabuhan dengan syarat fasilitasnya sudah disediakan oleh Pemerintah Daerah. Sedangkan dari Dana Bagi Hasil Perikanan dari Pemerintah Pusat seluruh Kabupaten/Kota hanya memperoleh alokasi bagi rata yang sama. *** |