Dan pakaianmu bersihkanlah dan perbuatan dosa tinggalkanlah adalah arti dari surat dan ayat berapa?

(Dan pakaianmu bersihkanlah) dari najis, atau pendekkanlah pakaianmu sehingga berbeda dengan kebiasaan orang-orang Arab yang selalu menguntaikan pakaian mereka hingga menyentuh tanah di kala mereka menyombongkan diri, karena dikhawatirkan akan terkena barang yang najis.

Tafsir Surat Al-Mudatsir: 1-10 Wahai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan (kepada manusia) dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, danperbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah! dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu bersabarlah. Apabila ditiup sangkakala, maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit, bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah. Di dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan melalui hadits Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abu Salamah, dari Jabir; ia pernah mengatakan bahwa ayat Al-Qur'an yang mula-mula diturunkan adalah firman-Nya: Wahai orang yang berkemul (berselimut). (Al-Muddatstsir:1) Tetapi jumhur ulama berbeda. Mereka berpendapat bahwa Al-Qur'an yang mula-mula diturunkan adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. (Al-'Alaq:1) Sebagaimana yang akan diterangkan di tempatnya, insya Allah. Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Ali ibnul Mubarak, dari Yahya ibnu Abu Kasiryang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Abu Salamah ibnu Abdur Rahman tentang ayat Al-Qur'an yang mula-mula diturunkan. Maka Abu Salamah menjawab dengan membaca firman-Nya: Wahai orang yang berkemul (berselimut). (Al-Muddatstsir: 1) Aku berkata, bahwa orang-orang menyebutnya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. (Al-'Alaq:1) Maka Abu Salamah menjawab, bahwa ia pernah bertanya kepada Jabir ibnu Abdullah tentang masalah ini, dan kukatakan kepadanya apa yang telah kamu katakan kepadaku. Lalu ia menjawab, bahwa ia tidak sekali-kali menceritakan hadits kepadaku melainkan apa yang pernah dikatakan oleh Rasulullah ﷺ kepadanya. Rasulullah ﷺ bersabda, "Aku ber-tahannus di Gua Hira. Setelah aku menyelesaikan tahannus-ku, lalu aku turun, dan tiba-tiba terdengar ada suara yang memanggilku. Aku menoleh ke arah kanan dan ternyata tidak melihat apa pun; dan aku menoleh ke arah kiriku, tetapi ternyata tidak kulihat sesuatu pun; dan aku memandang ke arah depanku, ternyata tidak ada apa-apa; begitu pula sewaktu aku memandang ke arah belakangku. Lalu aku mengarahkan pandanganku ke langit, dan ternyata kulihat sesuatu (yang menakutkan, karena Jibril menampakkan dirinya dalam rupa aslinya). Maka aku pulang ke rumah Khadijah dan kukatakan kepadanya, 'Selimutilah aku, dan tuangkanlah air dingin ke kepalaku (kompreslah aku)'." Nabi ﷺ melanjutkan kisahnya, bahwa lalu mereka (keluarga beliau) menyelimuti diriku dan mengompres kepalaku, maka turunlah firman Allah Swt: Wahai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah. (Al-Muddatstsir: 1-3) Demikianlah menurut riwayat Imam Bukhari melalui jalur ini. Imam Muslim meriwayatkannya melalui jalur Aqil, dari Ibnu Syihab, dari Abu Salamah yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Jabir ibnu Abdullah, ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ menceritakan tentang masa terhentinya wahyu. Antara lain disebutkan, bahwa ketika aku sedang berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara dari langit, maka aku melihat ke arah langit. Tiba-tiba malaikat yang pernah datang kepadaku di Hira datang kepadaku duduk di atas sebuah kursi di antara langit dan bumi, maka aku merasa takut dengannya hingga aku terjatuh ke tanah. Kemudian aku pulang ke rumah keluargaku dan kukatakan, "Selimutilah aku, selimutilah aku, selimutilah aku," maka turunlah firman Allah subhanahu wa ta’ala: Wahai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! (Al-Muddatstsir: 1-2) sampai dengan firman-Nya: dan perbuatan dosa, tinggalkanlah. (Al-Muddatstsir: 5) Abu Salamah mengatakan bahwa ar-rijzu artinya penyembahan berhala, setelah itu wahyu sering datang dan berturut-turut. Konteks hadits inilah yang dikenal, dan ini memberikan pengertian bahwa sesungguhnya pernah turun wahyu sebelum itu, karena sabda Nabi ﷺ yang mengatakan: maka kulihat malaikat yang pernah mendatangiku di Hira. Dia adalah Malaikat Jibril yang saat itu datang kepadanya membawa firman Allah Swt: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Al-'Alaq: 1-5) Sesudah itu terjadi masa fatrah dari wahyu, lalu malaikat itu turun lagi kepadanya setelah masa fatrah. Pengertian gabungan kedua hadits tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut, bahwa wahyu yang mula-mula diturunkan sesudah beberapa lama wahyu tidak turun adalah surat ini (Al-Muzzammil). Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, telah menceritakan kepada kami Lais, telah menceritakan kepada kami Aqil, dari Ibnu Syihab yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Salamah ibnu Abdur Rahman mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Jabir ibnu Abdullah, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: Kemudian wahyu mengalami fatrah dariku selama satu masa, Dan ketika aku sedang berjalan, kudengar suara dari langit (memanggilku), maka aku mengarahkan pandanganku ke langit. Tiba-tiba aku melihat malaikat yang pernah datang kepadaku sedang duduk di atas kursi di antara langit dan bumi, maka tubuhku gemetar karenanya hingga aku terjatuh ke tanah. Lalu aku pulang ke rumah keluargaku dan kukatakan kepada mereka, "Selimutilah aku, selimutilah aku, selimutilah aku. Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya, "Wahai orang yang berkemul, bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agangkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah. (Al-Muddatstsir: -5). Kemudian wahyu datang lagi dengan berturut-turut. Bukhari dan Muslim mengetengahkan hadits ini melalui Az-Zuhri dengan sanad yang sama. Imam Ath-Thabarani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnu Syu'aib As-Simsar, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Bisyr Al-Bajali, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'afa ibnu Imran, dari Ibrahim ibnu Yazid yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas mengatakan, bahwa sesungguhnya Al-Walid ibnul Mugirah membuat jamuan makan untuk orang-orang Quraisy. Maka setelah mereka menyantap jamuan itu Al-Walid bertanya kepada mereka, "Bagaimanakah pendapat kalian dengan lelaki ini (maksudnya Nabi ﷺ)?" Sebagian dari mereka mengatakan seorang penyihir, sebagian yang lain mengatakan bukan seorang penyihir. Dan sebagian yang lainnya lagi mengatakan seorang tukang tenung, maka sebagian yang lainnya menjawab bukan seorang tukang tenung. Sebagian dari mereka ada yang mengatakan seorang penyair, dan sebagian yang lainnya menjawabnya bukan seorang penyair. Lalu sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa bahkan dia adalah seorang penyihir yang belajar (dari orang-orang dahulu). Akhirnya mereka sepakat menyebutnya sebagai seorang penyihir yang belajar dari orang-orang dahulu. Ketika berita tersebut sampai kepada Nabi ﷺ, maka hati beliau berduka cita dan menundukkan kepalanya serta menyelimuti dirinya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Wahai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu bersabarlah. (Al-Muddatstsir: 1-7) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: bangunlah, lalu berilah peringatan! (Al-Muddatstsir: 2) Yakni berjagalah dengan tekad yang bulat, lalu berilah peringatan kepada manusia. Dengan demikian, berarti dia dilantik sebagai rasul, sebagaimana dalam wahyu sebelumnya dia dilantik menjadi nabi. dan Tuhanmu agungkanlah. (Al-Muddatstsir: 3) Maksudnya, besarkanlah nama Tuhanmu. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan pakaianmu bersihkanlah. (Al-Muddatstsir: 4) Al-Ajlah Al-Kindi mengatakan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah kedatangan seorang lelaki, lalu menanyakan kepadanya tentang makna ayat ini, yaitu firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan pakaianmu bersihkanlah. (Al-Muddatstsir: 4) Ibnu Abbas menjawab, "Janganlah kamu mengenakannya untuk maksiat dan jangan pula untuk perbuatan khianat." Kemudian Ibnu Abbas mengatakan, "Tidakkah engkau pernah mendengar ucapan Gailan ibnu Salamah As-Saqafi dalam salah satu bait syairnya: 'Dengan memuji kepadaAllah, sesungguhnya kukenakan pakaianku bukan untuk kedurhakaan, dan bukan pula untuk menutupi perbuatan khianat'. Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini: dan pakaianmu bersihkanlah. (Al-Muddatstsir: 4) Bahwa menurut kalam orang-orang Arab, artinya membersihkan pakaian. Tetapi menurut riwayat yang lain dengan sanad yang sama, sucikanlah dirimu dari dosa-dosa. Hal yang sama dikatakan oleh Ibrahim, Asy-Sya'bi, dan ‘Atha’. Ats-Tsauri telah meriwayatkan dari seorang lelaki, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan pakaianmu bersihkanlah. (Al-Muddatstsir: 4) Dari dosa. Hal yang sama dikatakan oleh Ibrahim An-Nakha'i. Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan pakaianmu bersihkanlah. (Al-Muddatstsir: 4) Yakni dirimu bukan pakaianmu. Dan menurut riwayat yang lain dari Mujahid disebutkan bahwa firman-Nya: dan pakaianmu bersihkanlah. (Al-Muddatstsir. 4) Artinya, perbaikilah amalmu. Hal yang sama dikatakan oleh Abu Razin; dan menurut riwayat yang lain, makna firman-Nya: dan pakaianmu bersihkanlah. (Al-Muddatstsir: 4) Yakni kamu bukanlah seorang tukang tenung dan bukan pula seorang penyair, maka berpalinglah kamu dari apa yang mereka katakan. Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan pakaianmu bersihkanlah. (Al-Muddatstsir: 4) Yaitu bersihkanlah dari perbuatan-perbuatan durhaka; dahulu orang-orang Arab mengatakan terhadap seorang lelaki yang melanggar janjinya dan tidak memenuhinya, bahwa dia adalah seorang yang kotor pakaiannya. Dan apabila dia menunaikan janjinya, maka dikatakan bahwa sesungguhnya dia benar-benar orang yang bersih pakaiannya. Ikrimah dan Adh-Dhahhak mengatakan, bahwa janganlah kamu mengenakannya untuk berbuat maksiat. Dan seorang penyair telah mengatakan: Apabila seseorang itu tidak mengotori kehormatannya dengan sifat yang tercela, maka semua pakaian yang dikenakannya indah. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan pakaianmu bersihkanlah. (Al-Muddatstsir: 4) Maksudnya, janganlah pakaian yang kamu kenakan dihasilkan dari mata pencaharian yang tidak baik. Dikatakan pula, "Janganlah kamu kenakan pakaianmu untuk maksiat." Muhammad ibnu Sirin telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan pakaianmu bersihkanlah. (Al-Muddatstsir: 4) Yakni cucilah dengan air. Ibnu Zaid mengatakan bahwa dahulu orang-orang musyrik tidak pernah membersihkan dirinya. Maka Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk bersuci dan membersihkan pakaiannya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir. Tetapi makna ayat mencakup semua pendapat yang telah disebutkan, di samping juga kebersihan (kesucian) hati. Karena sesungguhnya orang-orang Arab menyebut hati dengan sebutan pakaian, seperti apa yang dikatakan oleh Umru-ul Qais berikut ini: Wahai kekasihku Fatimah, sebentar, dengarkanlah kata-kataku yang memohon ini; bahwa jika engkau telah bertekad untuk meninggalkanku, maka lakukanlah dengan baik-baik. Dan jika memang ada sikapku yang kurang berkenan di hatimu, tanyakanlah kepada hatiku dengan mata hatimu, maka engkau akan memahaminya. Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan pakaianmu bersihkanlah. (Al-Muddatstsir: 4) Artinya. bersihkanlah hati dan niatmu. Dan Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi dan Al-Hasan Al-Basri telah mengatakan bahwa perindahlah akhlakmu. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan perbuatan dosa, tinggalkanlah. (Al-Muddatstsir: 5) Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan ar-rijzu ialah berhala, yakni tinggalkanlah penyembahan berhala. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Qatadah, Az-Zuhri, dan Ibnu Zaid, bahwa sesungguhnya ar-rijzu artinya berhala. Ibrahim dan Adh-Dhahhak telah mengatakan sehbungan dengan makna firman-Nya: dan perbuatan dosa tinggalkanlah. (Al-Muddatstsir: 5) Yakni tinggalkanlah perbuatan durhaka. Pada garis besarnya atas dasar takwil mana pun, makna yang dimaksud bukan berarti Nabi ﷺ Telah melakukan sesuatu dari perbuatan-perbuatan tersebut. Makna yang dimaksud semisal dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Wahai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. (Al-Ahzab: 1) Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun, "Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan. (Al-A'raf: 142) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. (Al-Muddatstsir: 6) Ibnu Abbas mengatakan bahwa janganlah kamu memberikan suatu pemberian dengan maksud agar memperoleh balasan yang lebih banyak darinya. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah, Mujahid, ‘Atha’. Tawus, Abul Ahwas, Ibrahim An-Nakha'i, Adh-Dhahhak, Qatadah, dan As-Suddi serta lain-lainnya. Telah diriwayatkan pula dari Ibnu Mas'ud, bahwa dia membaca firman-Nya dengan bacaan berikut, "Dan janganlah kamu merasa memberi dengan banyak." Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa janganlah kamu merasa beramal banyak kepada Tuhanmu. Hal yang sama dikatakan oleh Ar-Rabi' ibnu Anas. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Khasif telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. (Al-Muddatstsir: 6) Yakni janganlah kamu merasa lemah diri untuk berbuat banyak kebaikan. Mujahid mengatakan bahwa orang Arab mengatakan tamannana, artinya merasa lemah diri. Ibnu Zaid mengatakan, janganlah kamu merasa berjasa dengan kenabianmu terhadap manusia dengan maksud ingin memperbanyak dari mereka imbalan jasa berupa duniawi. Keempat pendapat ini yang paling kuat di antaranya adalah yang pertama; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu bersabarlah. (Al-Muddatstsir: 7) Yaitu gunakanlah kesabaranmu dalam menghadapi gangguan mereka sebagai amalmu karena Allah subhanahu wa ta’ala Ini menurut Mujahid, Ibrahim An-Nakha'i berpendapat bahwa bersabarlah kamu terhadap nasibmu karena Allah subhanahu wa ta’ala Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Apabila ditiup sangkakala, maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit, bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah. (Al-Muddatstsir: 8-10) Ibnu Abbas, Mujahid, Asy-Sya'bi, Zaid ibnu Aslam, Al-Hasan, Qatadah, Adh-Dhahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Ibnu Zaid telah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan naqiir ialah sangkakala. Mujahid mengatakan bahwa bentuk sangkakala itu sama dengan tanduk. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Asbat ibnu Muhammad, dari Mutarrif, dari Atiyyah Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan makna firman-Nya: Apabila sangkakala ditiup. (Al-Muddatstsir. 8) Rasulullah Saw, bersabda: Bagaimana aku bisa hidup senang sedangkan malaikat Israfil telah mengulum sangkakalanya dan mengernyitkan dahinya menunggu bila diperintahkan untuk meniup? Maka para sahabat Rasulullah ﷺ bertanya, "Apakah yang engkau anjurkan kepada kami untuk melakukannya, ya Rasulullah?" Rasulullah ﷺ bersabda: Ucapkanlah, 'Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Dia adalah sebaik-baik Pelindung, dan hanya kepada-Nya kami bertawakal. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Asbat dengan sanad yang sama. Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Abu Kuraib, dari Ibnu Fudail dan Asbat; keduanya dari Mutarrif dengan sanad yang sama. Ibnu Jarir telah meriwayatkannya pula melalui jalur lain dari Al-Aufi, dari Ibnu Abbas dengan sanad yang sama. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit. (Al-Muddatstsir: 9) Yakni hari yang sangat keras iagi sangat sulit. bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah. (Al-Muddatstsir: 10) Yaitu tidak mudah bagi mereka menjalaninya. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya: Orang-orang kafir berkata, "Ini adalah hari yang berat. (Al-Qamar: 8) Telah diriwayatkan kepada kami dari Zurarah ibnu Aufa (kadi kota Basrah) bahwa ia mengimami mereka shalat Subuh, Lalu membaca surat ini. Ketika bacaannya sampai kepada firman-Nya: Apabila ditiup sangkakala, maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit, bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah. (Al-Muddatstsir: 8-10) Tiba-tiba ia merintih sekali rintih, Lalu terjungkal dalam keadaan tidak bernyawa lagi; semoga rahmat Allah tercurahkan kepadanya."

3-4. Dalam menyampaikan dakwah pastilah akan banyak rintangan, maka hal itu tidak perlu merisaukan hatimu wahai Nabi. Ikutilah petunjuk-Ku, pertama, agar tetap tegar dan tidak pudar semangatmu, agungkanlah Tuhanmu, dan kedua, untuk menunjang dakwahmu, bersihkanlah pakaianmu. 5-7. Dan petunjuk yang ketiga adalah, tinggalkanlah segala perbuatan yang keji seperti penyembahan berhala, betapa pun banyak yang melakukan. Petunjuk yang keempat, dan janganlah engkau, wahai Nabi Muhammad, memberi yaitu usahamu dalam berdakwah dengan maksud untuk mendapatkan imbalan duniawi dari manusia. Dengan demikian engkau akan memperoleh balasan dari Allah, yang lebih banyak. Petunjuk terakhir, kelima, larangan memperoleh imbalan dapat menimbulkan kesulitan maka apabila menghadapi kesulitan ayat ini memberi petunjuk, dan hanya karena Tuhanmu, maka bersabarlah, pasti engkau akan berhasil dalam dakwahmu.

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad supaya membersihkan pakaian. Makna membersihkan pakaian menurut sebagian ahli tafsir adalah: 1. Membersihkan pakaian dari segala najis dan kotoran, karena bersuci dengan maksud beribadah hukumnya wajib, dan selain beribadah hukumnya sunah. Membersihkan di sini juga termasuk cara memperolehnya, yaitu pakaian yang digunakan harus diperoleh dengan cara yang halal. Ketika Ibnu 'Abbas ditanya orang tentang maksud ayat ini, beliau menjawab bahwa firman Allah tersebut berarti larangan memakai pakaian untuk perbuatan dosa dan penipuan. Jadi menyucikan pakaian adalah membersihkannya dari najis dan kotoran. Pengertian yang lebih luas lagi, yakni membersihkan tempat tinggal dan lingkungan hidup dari segala bentuk kotoran, sampah, dan lain-lain, sebab dalam pakaian, tubuh, dan lingkungan yang kotor banyak terdapat dosa. Sebaliknya dengan membersihkan badan, tempat tinggal, dan lain-lain berarti berusaha menjauhkan diri dari dosa. Demikianlah para ulama Syafi'iyah mewajibkan membersihkan pakaian dari najis bagi orang yang hendak salat. Begitulah Islam mengharuskan para pengikutnya untuk selalu hidup bersih, karena kebersihan jasmani mengangkat manusia kepada akhlak yang mulia. 2. Membersihkan pakaian berarti membersihkan rohani dari segala watak dan sifat-sifat tercela. Khusus buat Nabi Muhammad, ayat ini memerintahkan beliau menyucikan nilai-nilai nubuwwah (kenabian) yang dipikulnya dari segala yang mengotorinya (dengki, dendam, pemarah, dan lain-lain). Pengertian kedua ini bersifat kiasan (majazi), dan memang dalam bahasa Arab kadang-kadang menyindir orang yang tidak menepati janji dengan memakai perkataan, "Dia suka mengotori baju (pakaian)-nya," Sedangkan kalau orang yang suka menepati janji selalu dipuji dengan ucapan, "Dia suka membersihkan baju (pakaian)-nya." Secara singkat, ayat ini memerintahkan agar membersihkan diri, pakaian, dan lingkungan dari segala najis, kotoran, sampah, dan lain-lain. Di samping itu juga berarti perintah memelihara kesucian dan kehormatan pribadi dari segala perangai yang tercela.

SURAH AL-MUDDATSTSIR

(YANG BERSELUBUNG)

SURAH KE-74, 56 AYAT, DITURUNKAN DI MEKAH

(AYAT 1-56)


***


Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Pengasih.


ORANG YANG BERSELUBUNG


Ayat 1

“Wahai orang yang berselubung!"

Tidaklah perlu lagi kita uraikan panjang lebar apa yang jadi arti dan kata berselubung dan apa sebab disebut demikian. Karena artinya sama juga dengan al-Muzzammil, yang berselimut dan telah diuraikan pada surah yang terdahulu. Dia boleh diartikan menurut harfiyahnya, yaitu bahwa Nabi kita ketika ayat turun menyelubungi dirinya dengan kain selimut. Memakai kain selimut adalah karena kedinginan atau bukan karena demam ataupun sakit. Dan boleh pula diartikan bahwa yang dimaksud ialah jabatan yang begitu mulia, menjadi Nabi Allah adalah laksana suatu selubung yang terletak di atas dirinya yang mesti dilaksanakannya dengan baik. Tetapi sepakat semua ahli tafsir bahwa al- Muddatstsir sama juga dengan al-Muzzammil adalah gelar-gelar kemuliaan yang dilekatkan Allah ke atas diri Nabi kita ﷺ.

Setelah beliau dipanggil dengan gelar kehormatannya itu, datanglah perintah utama dan pertama kepada beliau.


Ayat 2

“Bangunlah, lalu peningatkanlah!"

Bangunlah dan mulailah lancarkan tugas yang dipikulkan ke atas dirimu. Sejak ini engkau tidak dapat berdiam diri lagi. Jalan sudah terentang di hadapanmu, lalu peringatkanlah! Sampaikanlah peringatan itu kepada kaum engkau.

Apakah yang akan diperingatkan itu? Isi peringatan akan dijelaskan kelak pada ayat 8.

Sekarang yang terpenting lebih dahulu ialah mempersiapkan diri, bangun dan tegak untuk menyampaikan peringatan apa yang harus diketahui oleh manusia. Sebelum peringatan itu disampaikan, ingatlah


Ayat 3

“Dan Tuhan engkau hendaklah engkau agungkan."

Jelaslah dalam ayat ini bahwa sebelum Nabi ﷺ meneruskan langkah, bangun dan memberikan peringatan kepada kaumnya, hendaklah terlebih dahulu dia mengingat akan Allah. Hendaklah Allah itu diagungkan dan dibesarkan. Karena perintah untuk bangun dan tegak untuk menyampaikan peringatan itu adalah datang langsung dari Allah sendiri. Semuanya ini terjadi atas kehendak-Nya. Manusia-manusia yang hendak diberi peringatan adalah makhluk Allah, dan Nabi yang diutus adalah Utusan Allah. Karena perintah datang dari Allah, supaya pekerjaan berhasil dan berjaya, hendaklah terlebih dahulu berkontak dengan Allah. Karena hasil atau tidaknya usaha ini bergantung kepada pertolongan Allah juga.

Mengagungkan dan membesarkan Allah adalah puncak dari kejayaan hidup. Kita tidak berarti apa-apa dan alam sekeliling pun tidak ada artinya apa-apa, dan semuanya kecil belaka. Yang Besar dan Yang Agung hanya Allah. Allahu Akbar!

Sebelum melangkah lebih jauh, inilah yang terlebih dahulu wajib dijadikan pangkalan atau landasan.

Sesudah hati dibulatkan kepada Allah, hendaklah tilik diri sendiri, sudahkah bersih. Sebab itu maka syarat kedua yang wajib dilengkapkan sesudah membesarkan dan mengagungkan Allah ialah


Ayat 4

“Dan pakaian engkau, hendaklah engkau bersihkan."

Berbagai pula penafsiran ahli tafsir tentang maksud pembersihan pakaian ini. Tetapi di sini kita ambil saja penafsiran yang sederhana, yaitu sabda Rasulullah ﷺ sendiri,

“Kebersihan itu adalah satu sudut dari iman." (HR Imam Ahmad dan at-Tirmidzi)

Beliau Rasulullah ﷺ akan berhadapan dengan orang banyak, dengan pemuka- pemuka dari kaumnya atau dengan siapa saja. Kebersihan adalah salah satu pokok yang penting bagi menarik perhatian orang. Kebersihan pakaian besar pengaruhnya kepada sikap hidup sendiri. Kebersihan menimbulkan harga diri, yaitu hal yang amat penting dijaga oleh orang-orang yang hendak tegak menyampaikan dakwah ke tengah-tengah masyarakat. Pakaian yang kotor menyebabkan jiwa sendiri pun turut kusut masai. Tiap-tiap manusia yang budiman akan merasakan sendiri betapa besar pengaruh pakaian yang bersih itu kepada hati sendiri dan kepada manusia yang di keliling kita. Itu sebabnya maka setelah syari'at Islam berdiri, Nabi kita ﷺ pun selalu menganjurkan kebersihan. Dan beliau pun selalu membersihkan giginya, menggosok dan menyikat dengan semacam urat kayu, yang terkenal dengan nama kayu irak, yang harum baunya. Dan beliau pun suka pula memakai yang harum-harum. Terutama ketika akan pergi mengerjakan shalat Jum'at.

Kebersihan sangat membuka bagi pikiran dan kekotoran atau bau busuk tidak layak di tengah majelis, sehingga beliau pandang makruh (tidak layak) memakan makanan yang baunya kurang enak jika akan pergi ke mesjid berjamaah, apatah lagi berjum'at.

Kemudian datanglah perintah agar memenuhi syarat yang ketiga.

Ayat 5

“Dan penbuatan dosa hendaklah engkau jauhi."

Dalam ayat ini disebut ar-rujza, kita artikan dengan arti yang dipakai oleh Ibrahim an-Nakha'i dan adh-Dhahhak, yaitu hendaklah engkau jauhi dosa. Tetapi menurut riwayat Ali bin Abu Thalhah yang dia terima dari Ibnu Abbas, ar-rujza di sini artinya lebih khusus, yaitu berhala.

Arti yang dipakai oleh Ibnu Abbas ini pun harus menjadi pegangan kita juga. Sebab syarat utama dari kemenangan dan keberhasilan dakwah dan peringatan kepada manusia, terutama kaum musyrikin yang tersesat itu ialah dari semula harus menjauhi kebiasaan mereka yang hendak dibanteras dan diruntuhkan itu. Yang utama hendak dibanteras dan dihancurkan sebagai pokok pegangan mereka ialah berhala itu. Di dalam surah Ibraahiim ayat 35 dahulu kala Nabi Ibrahim telah berdoa kepada Allah agar anak-cucu beliau dipelihara daripada menyembah berhala, karena sudah terlalu banyak manusia yang menjadi sesat, disesatkan oleh berhala itu. Maka diberilah Nabi kita syarat ketiga sesudah membesarkan Allah dan berpakaian bersih agar menjauhkan diri daripada berhala itu. jangan mendekat ke sana, jangan menunjukkan muka senang kepadanya. Sehingga apabila beliau thawaf di masa itu keliling Ka'bah, meskipun lebih tiga ratus berhala besar kecil yang ditegakkan kaum musyrikin keliling Ka'bah, benar-benar Rasulullah ketika thawaf menjauh dari sana. Usahkan memegang, mendekat saja pun tidak.

Sesudah itu Allah pun memerintahkan pula memegang syarat keempat,


Ayat 6

“Dan janganlah engkau membeni karena ingin batasan lebih banyak."

Artinya ialah jangan menyebut jasa, jangan menghitung-hitung sudah berapa pengorbanan, perjuangan dan usaha yang telah dikerjakan untuk berbuat baik. Lalu menghitung-hitung sekian banyak jasaku, yang itu adalah usahaku. Yang di sana baru terjadi karena perjuanganku. Si anu terlepas dari bahaya syirik karena pengajaran yang aku berikan.

Inilah satu penyakit yang kadang-kadang tidak dapat ditahan-tahan oleh manusia yang alpa akan diri. Diperbuatnya kebajikan, lalu disebut-sebutnya. Bolehlah kita ingat firman Allah yang disampaikan Nabi kepada orang yang beriman di dalam surah al-Baqarah ayat 264, supaya orang yang beriman jangan merusakkan shadaqahnya dengan menyebut-nyebut dan menyakiti, seperti perbuatan orang yang beramal karena riya, karena ingin pujian. Maka sejak akan memulai langkah pertama, bangun menyampaikan peringatan, kepada beliau sudah diperingatkan supaya ikhlas dalam berdakwah dan beramal jangan menyebut-nyebut jasa, dan jangan pula meminta penghargaan yang banyak.

Memang, begitulah disiplin yang dilekatkan kepada diri seorang Rasul. Mereka tidak boleh meminta upah kepada manusia, tidak boleh minta pujian. Upah hanya di sisi Allah.

Dan tidak boleh menyebut jasa. Karena sebagai manusia yang jadi pelopor dari iman, apa yang mesti dikerjakan dalam dunia ini kalau bukan rentetan sambung-bersambung daripada jasa? Apa yang mesti diamalkan kalau bukan yang baik, yang saleh?


Ayat 7

“Dan untuk Tuhan engkau, bersabarlah engkau.`

Inilah syarat kelima yaitu sabar.

Pada ayat 10 dari surah al-Muzzammil beliau disuruh bersikap sabar, yaitu sabar yang indah. Kelak di surah al-lnsaan, ayat 24 diperingatkan lagi supaya beliau sabar melaksanakan hukum Allah beliau dan jangan diikuti keinginan orang-orang yang berdosa dan kafir itu. Maka bertemulah berpuluh ayat-ayat menyuruh Nabi Muhammad bersabar karena pangkal kemenangan tidak lain daripada kesabaran. Di dalam ayat ini diperingatkan benar-benar bahwa Muhammad perlu sabar. Sabar bukan untuk kepentingan pribadinya sendiri, melainkan untuk terlaksananya kehendak Allah. Ketika kesabaran nyaris hilang, ingatlah bahwa awak adalah Utusan Allah. Yang engkau laksanakan ini adalah kehendak Allah dan umat yang engkau datangi adalah hamba Allah!

Itulah lima syarat yang harus beliau penuhi di dalam melakukan dakwah, menyampaikan peringatan kepada umat manusia. Dengan syarat itulah beliau harus bangun tegak, berdiri dan berjuang.


Ayat 8

“Maka apabila telah ditiup sangkakala."

Atau serunai sangkakala, yang menurut sabda Nabi sendiri akan ditiup oleh malaikat yang bernama Israfil, itulah pertanda bahwa permulaan Kiamat telah datang.


Ayat 9

“Maka itulah dia, di hari itu, hari yang sulit."

Maka ditiuplah serunai sangkakala itu. Lalu bergoncanglah dunia ini, tanggallah segala sendi-sendinya. Sisa manusia yang masih hidup pada masa itulah mati rata-rata. Bukan saja manusia, bahkan segala yang bernyawa. Tidak ada yang dapat bertahan hidup lagi. Di mana akan hidup? Padahal keadaan segala sesuatu sudah berubah? Gunung-gunung berubah menjadi abu, sehingga tidak ada yang menghalangi angin berembus lagi, maka matilah manusia dan makhluk di muka bumi. Kayu-kayu di hutan pun terbongkar, maka matilah binatang-binatang di hutan. Air di laut pun mendidih menggelagak, ikan-ikan pun matilah dalam laut. Burung-burung tidak dapat hinggap lagi, sebab bumi sudah bergoncang. Burung-burung akan mati kepayahan mencari sarang. Hari itu adalah hari yang sangat sulit.


Ayat 10

“Bagi orang-orang yang kafir tidaklah mudah."

Sebab tempat pergantungan jiwanya tidak ada. Sejak semula mereka tidak mempunyai pegangan. Mereka menolak ajaran Allah, mereka menantang ajaran rasul-rasul. Mereka bertindak di muka bumi membuat kerusakan. Sebab itu bagi mereka hari itu tidak mudah!

Lalu bagi siapa yang mudah? Yang mudah ialah bagi orang yang beriman.

Sebab sejak semula mereka telah memperhitungkan jalan yang akan ditempuh, menurut anjuran dan ajaran yang dibawakan oleh utusan-utusan Allah. Mereka tidak takut menghadapi maut, karena segala amalan yang saleh yang mereka kerjakan di kala hidup, tidak lain ialah untuk memudahkan melalui gerbang maut itu.

Semuanya ini adalah peringatan. Kita makhluk dipersilakan memilih, mau yang mudah, jadi orang berimanlah. Kalau tidak, maka tidaklah mudah jalan yang akan mereka tempuh.

Menurut keterangan dari lbnu Katsir dalam tafsirnya, bahwa pada suatu pagi, shalat Shubuh berjamaah di Masjid Bashrah, yang jadi imam shalat ialah qadhi negeri Bashrah, Zarrarah bin Aufa. Beliau membaca surah al-Muddatstsir ini. Sesampai pada ayat 8 dan 9 dan 10.

Sesampai di ghairu yasiir itu beliau terhenti membaca dan tersungkur jatuh, terus meninggal Rahimahullah! Sama dengan shalat Maghribnya Syekh Dawud Rasyidi di Surau Syekh Jambek pada tahun 1946. Ketika sujud membaca subhana rabbiyal a'laa, beliau terus sujud dan tidak bangun lagi. Beliau telah melepaskan napasnya yang penghabisan. Rahimahullah!