22 Oct 2019, 12:32 WIB - Oleh: Show
Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah memproyeksikan pengelolaan keuangan negara masih akan dihadapkan oleh beberapa permasalahan pada 2020. Hal ini diungkapkan oleh pemerintah dalam Peraturan Presiden No. 61/2019 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2020 yang dikutip Bisnis.com pada Selasa (22/10/2019). Dari sisi penerimaan negara, masih terdapat beberapa permasalahan seperti belum pulihnya perekonomian global dan domestik yang masih diproyeksikan stagnan, kecenderungan turunnya harga komoditas sumber daya alam, hingga rendahnya tingkat kepatuhan dan kesadaran pajak. Lebih lanjut, cakupan basis pajak juga dipandang masih rendah. Pemanfaatan data yang diperoleh baik dari perbankan domestik ataupun AEoI juga masih belum optimal. Hal ini masih ditambah lagi dengan belum optimalnya pengawasan dan penegakan hukum di bidang perpajakan serta pengelolaan aset negara dan layanan publik. Akibat permasalahan-permasalahan tersebut, pemerintah menilai hal ini mengakibatkan timbulnya keterbatasan ruang fiskal untuk membiayai pembangunan. Dalam aspek belanja negara, pemerintah menilai belanja negara masih belum efektif dalam mencapai sasaran pembanguan dan tingginya beban mandatory pending juga membatasi ruang gerak fiskal. Merujuk pada RKP 2020, pemerintah pada tahun depan menargetkan rasio penerimaan pajak mencapai 10,57% hingga 11,18%. Selanjutnya, pemerintah juga menargetkan peningkatan kualitas belanja negara dengan meningkatkan belanja modal menjadi 1,43% hingga 1,58% pada 2020 dari 1,18% pada 2019 serta menekan subsidi energi dari 0,99% dari PDB pada 2019 menjadi 0,82% hingga 0,83% pada 2020. Keseimbangan primer juga ditargetkan berada pada angka surplus yakni sebesar 0% hingga 0,23% dari PDB, lebih baik dari keseimbangan primer pada 2019 yang diproyeksikan mengalami defisit sebesar 0,13% dari PDB. Dari sisi pembiayaan, defisit anggaran ditargetkan kembali ditekan dari 1,84% dari PDB pada 2019 menjadi tinggal 1,75% hingga 1,52% dari PDB pada 2020. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Simak Video Pilihan di Bawah Ini :
Badan Pemeriksa Keuangan menemukan 13.567 permasalahan senilai Rp8,97 triliun dalam pengelolaan keuangan negara berdasarkan pemeriksaan pada semester I tahun 2020. Sebanyak 6.702 permasalahan senilai Rp 8,28 triliun merupakan ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. "Dari permasalahan ketidakpatuhan tersebut, permasalahan yang dapat mengakibatkan kerugian mencapai Rp 1,79 triliun, potensi kerugian Rp 3,3 triliun, dan kekurangan penerimaan Rp3,19 triliun," ujar Ketua BPK Agung Firman Sampurna dalam siaran pers, Senin (9/11). Agung menjelaskan, permasalahan tersebut telah ditindaklanjuti dengan menyerahkan aset atau menyetor ke kas negara/daerah/perusahaan selama proses pemeriksaan sebesar Rp 670,50 miliar. Sebanyak Rp 384,71 miliar merupakan penyetoran dari pemerintah pusat, BUMN, dan Badan Lainnya. Selain itu, terdapat 2.651 permasalahan ketidakpatuhan mengakibatkan penyimpangan administrasi. Selain permasalahan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-ndangan, menurut Agung, terdapat 6.713 permasalahan kelemahan sistem pengendalian intern, serta 152 Temuan-teman tersebut diungkapkan dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2020 yang telah diserahkan BPK kepada pimpinan DPR. Ikhtisar ini merupakan ringkasan dari 634 LHP keuangan, 7 LHP kinerja, dan 39 LHP dengan tujuan tertentu. Baca JugaPada semester I tahun 2020, BPK melakukan pemeriksaan keuangan atas 1 Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2019, 86 LK Kementerian Lembaga (LKKL) Tahun 2019, 1 LK Bendahara Umum Negara (LKBUN) Tahun 2019, 1 LK Pinjaman dan Hibah Luar Negeri Tahun 2019, 541 LK Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2019, serta 4 LK Badan Lainnya Tahun 2019. Hasil pemeriksaan BPK atas LKPP Tahun 2019 menghasilkan opini Wajar Tanpa Pengecualian. Opini WTP LKKL tahun 2019 sebesar 97% (85 LKKL) telah melampaui target opini WTP pada Sasaran Pokok Pembangunan Tata Kelola dan Reformasi Birokrasi yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019 sebesar 95%. Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) diperoleh Komisi Pemilihan Umum serta Badan Siber dan Sandi Negara, sedangkan opini Tidak Menyatakan Pendapat (TMP) diperoleh Badan Keamanan Laut. LK Pinjaman dan Hibah Luar Negeri yaitu Laporan Keuangan Indonesia Infrastructure Finance Development Trust Fund (IIFD-TF) Tahun 2019 juga mendapat opini WTP. Sedangkan pada LKPD Tahun 2019, opini WTP dicapai oleh seluruh pemerintah provinsi di Indonesia (100%), 364 dari 415 pemerintah kabupaten (88%), dan 87 dari 93 pemerintah kota (94%). Terdapat 1 pemerintah daerah belum menyampaikan LK kepada BPK yaitu Pemerintah Kabupaten Waropen di Provinsi Papua. Capaian opini WTP pada pemda telah melampaui target kinerja keuangan daerah bidang penguatan tata kelola pemerintah daerah/program peningkatan kapasitas keuangan pemerintah provinsi, kabupaten, dan Baca JugaSementara itu, pada hasil pemeriksaan atas 4 laporan keuangan badan lainnya tahun 2019 yaitu LK Tahunan BI, LK OJK, LK LPS, dan LK Badan Pengelola Keuangan Haji, seluruhnya mendapat opini WTP. Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan Andin Hadiyanto sebelumnya menilai opini WTP yang diraih kementerian atau lembaga pemerintah tak berarti entitas tersebut bebas dari korupsi. Menurut dia, pemeriksaan yang dilaksanakan BPK tidak fokus pada tindakan korupsi. "Kemungkinan korupsi masih bisa ada," kata Andin dalam sebuah diskusi virtual pada Juli lalu. Kendati demikian, Andin menyebut opini WTP sudah bisa mengurangi penyelewengan anggaran secara signifikan. Pasalnya, semakin akuntabilitas sebuah laporan keuangan, semakin berkurang potensi penyalahgunaan wewenang. Oleh karena itu, pihaknya bakal terus mengidentifikasi potensi model penyelewengan dan korupsi meski laporan keuangan kementerian atau lembaga mendapatkan opini WTP. Potensi pemborosan anggaran pada laporan keuangan juga akan terus dipantau. BPK memeriksa LKPP berdasarkan empat kriteria opini, yaitu kesesuaian dengan standar akutansi pemerintah, kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern. Selain itu, BPK bisa melaksanakan audit kinerja jika dinilai ada penyelewengan laporan keuangan. Reporter: Agatha Olivia Victoria
Reformasi tata kelola keuangan negara/daerah telah digulirkan oleh pemerintah pusat, yang merupakan langkah maju khususnya dalam menata sistem pemerintahannya. Reformasi tata kelola keuangan negara/daerah secara ideal tidak hanya mencakup reformasi akuntansi keuangannya. Namun demikian, reformasi akuntansi sektor publik merupakan sesuatu yang sangat fundamental khususnya bagi pengelolaan keuangan daerah. Reformasi ini, secara substantif mengandung pengertian pengelolaan sumber-sumber daya daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan daerah. Paket Undang-undang bidang Keuangan Negara telah memberikan landasan/payung hukum di bidang pengelolaan dan administrasi keuangan negara/daerah. Undang-undang ini dimaksudkan pula untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, kepada daerah telah diberikan kewenangan yang luas, demikian pula dana yang diperlukan untuk menyelenggarakan kewenangan itu. Agar kewenangan dan dana tersebut dapat digunakan dengan sebaik-baiknya untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah, diperlukan kaidah-kaidah sebagai rambu-rambu dalam pengelolaan keuangan daerah. Otonomi Daerah merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah secara lebih leluasa dan bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi daerah sendiri. PEMBARUAN TATA KELOLA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAHPerubahan pendekatan akuntansi pemerintah daerah dari single entry menuju double entrymerupakan perubahan yang cukup revolusioner. Kesiapan SDM daerah khususnya di Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (Badan Pengelola Keuangan Daerah) umumnya kurang memiliki latar belakang bidang akuntansi. Oleh karena itu, penerapan pendekatan baru ini relatif akan menghadapi banyak kendala yang cukup besar di daerah. Meskipun pemerintah daerah sudah memiliki software akuntansi pemerintah bagi daerahnya, namun demikian karena penguasaan terhadap akuntansi masih belum memadai, maka kualitas laporan keuangan yang dihasilkan juga menjadi tidak memenuhi kaidah pelaporan keuangan normatif sesuai yang disyaratkan Standar Akuntansi Pemerintahan. Sistem pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel itu sudah menjadi kebutuhan dalam rangka terciptanya good governance dan clean government yang menjadi simbol reformasi pemerintahan secara umum. Untuk itu upaya percepatan terhadap keberhasilan pembaruan (reformasi) manajemen keuangan bagi pemerintah daerah sudah selayaknya mendapat perhatian serius… Pengelolaan keuangan daerah sering menghadapi masalah ketika perencanaan dan penganggaran tidak dilakukan dan berjalan dengan baik. Gagal dalam merencanakan sesungguhnya merencanakan sebuah kegagalan. Tulisan berikut ini menguraikan 13 permasalaha dalam perencanaan dan penganggaran di daerah berdasarkan. Edy Marbyanto.
Dalam praktek penerapan P3MD, pendekatan pemecahan masalah yang HANYA melihat ke AKAR MASALAH saja dapat berpotensi menimbulkan bias dan oversimplifikasi terhadap suatu persoalan. Contoh kasus nyata; di sebuah desa di daerah masyarakat dan pemerintah mengidentifikasi bahwa rendahnya pengetahuan masyarakat disebabkan tidak adanya fasilitas sumber bacaan di wilayah itu. Sebagai solusinya mereka kemudian mengusulkan untuk dibangunkan “gedung perpustakaan”. Ternyata setelah gedung perpustakaan dibangun, sampai beberapa tahun berikutnya perpustakaan tersebut tidak pernah berfungsi bahkan kemudian dijadikan Posko Pemilu. Mengapa demikian? Hal itu terjadi karena mereka hanya berpikir soal membangun gedung, tetapi lupa berpikir dan mengusulkan bagaimana menyediakan buku/bahan bacaan untuk perpustakaan itu, lupa mengusulkan kepengurusan untuk mengelola perpustakaan itu dll. Kondisi seperti diatas mungkin tidak akan terjadi kalau mereka berpikir dulu soal “outcome” misalnya meningkatkan minat baca 50 % warga masyarakat. Dari outcome tersebut nantinya bisa diidentifikasi output yang diperlukan misalnya: adanya gedung perpustakaan, buku atau bahan bacaan, tenaga pengelola perpustakaan, kesadaran masyarakat untuk datang ke perpustakaan dll. Dari contoh kasus itu nampaknya untuk pemerintah dan masyarakat memang perlu didorong untuk memahami alur berpikir logis (logical framework) sebuah perencanaan. Selain itu pola pikir yang ada yang cenderung berorientasi “Proyek” (yang berorientasi jangka pendek dan berkonotasi duit) menjadi orientasi “Program” (orientasi jangka panjang dan lebih berkonotasi sebagai gerakan pembangunan). Opsi KuratifIsu manajemen keuangan daerah bukanlah semata urusan internal pemerintahan tetapi mesti dilihat sebagai bentuk akuntabilitas vertikal kepada pusat sebagai sumber dana perimbangan dan tanggung jawab politik kepada rakyat. Untuk itu, terhadap temuan masalah, sanksi tegas harus diberikan, bila perlu lewat instrumen fiskal pula (pemotongan DAU). Opsi kuratif/represif ini saatnya mulai diterapkan pemerintah pusat kalau tidak mau masalah tersebut menjadi beban permanen. Selain itu, langkah persiapan (preventif) mesti segera menjadi program prioritas baik lewat penguatan kapasitas aparat perencana, pelaksana dan pengawas keuangan maupun redesain kelembagaan institusi inspektorat. DAFTAR PUSTAKAhttp://rajawaligarudapancasila.blogspot.co.id/2011/05/tiga-belas-masalah-keuangan-negara-dan.html https://dokumen.tips/documents/13-masalah-pengelolaan-keuangannegara-dan-daeraha.html |