Contoh masalah administrasi KEUANGAN NEGARA

Oleh:

Sigid Kurniawan Presiden Joko Widodo (kanan) bersama Wakil Presiden Ma\\\'ruf Amin memberikan keterangan kepada wartawan seusai upacara Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024 di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019). Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah memproyeksikan pengelolaan keuangan negara masih akan dihadapkan oleh beberapa permasalahan pada 2020.

Hal ini diungkapkan oleh pemerintah dalam Peraturan Presiden No. 61/2019 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2020 yang dikutip Bisnis.com pada Selasa (22/10/2019).

Dari sisi penerimaan negara, masih terdapat beberapa permasalahan seperti belum pulihnya perekonomian global dan domestik yang masih diproyeksikan stagnan, kecenderungan turunnya harga komoditas sumber daya alam, hingga rendahnya tingkat kepatuhan dan kesadaran pajak.

Lebih lanjut, cakupan basis pajak juga dipandang masih rendah. Pemanfaatan data yang diperoleh baik dari perbankan domestik ataupun AEoI juga masih belum optimal.

Hal ini masih ditambah lagi dengan belum optimalnya pengawasan dan penegakan hukum di bidang perpajakan serta pengelolaan aset negara dan layanan publik.

Akibat permasalahan-permasalahan tersebut, pemerintah menilai hal ini mengakibatkan timbulnya keterbatasan ruang fiskal untuk membiayai pembangunan.

Dalam aspek belanja negara, pemerintah menilai belanja negara masih belum efektif dalam mencapai sasaran pembanguan dan tingginya beban mandatory pending juga membatasi ruang gerak fiskal.

Merujuk pada RKP 2020, pemerintah pada tahun depan menargetkan rasio penerimaan pajak mencapai 10,57% hingga 11,18%.

Selanjutnya, pemerintah juga menargetkan peningkatan kualitas belanja negara dengan meningkatkan belanja modal menjadi 1,43% hingga 1,58% pada 2020 dari 1,18% pada 2019 serta menekan subsidi energi dari 0,99% dari PDB pada 2019 menjadi 0,82% hingga 0,83% pada 2020.

Keseimbangan primer juga ditargetkan berada pada angka surplus yakni sebesar 0% hingga 0,23% dari PDB, lebih baik dari keseimbangan primer pada 2019 yang diproyeksikan mengalami defisit sebesar 0,13% dari PDB.

Dari sisi pembiayaan, defisit anggaran ditargetkan kembali ditekan dari 1,84% dari PDB pada 2019 menjadi tinggal 1,75% hingga 1,52% dari PDB pada 2020.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :

Badan Pemeriksa Keuangan menemukan 13.567 permasalahan senilai Rp8,97 triliun dalam pengelolaan keuangan negara berdasarkan pemeriksaan pada  semester I tahun 2020. Sebanyak 6.702 permasalahan senilai Rp 8,28 triliun merupakan ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. 

"Dari permasalahan ketidakpatuhan tersebut, permasalahan yang dapat mengakibatkan kerugian mencapai Rp 1,79 triliun, potensi kerugian Rp 3,3 triliun, dan kekurangan penerimaan Rp3,19 triliun," ujar  Ketua BPK Agung Firman Sampurna dalam siaran pers, Senin (9/11). 

Agung menjelaskan, permasalahan tersebut telah ditindaklanjuti dengan menyerahkan aset atau menyetor ke kas negara/daerah/perusahaan selama proses pemeriksaan sebesar Rp 670,50 miliar. Sebanyak Rp 384,71 miliar merupakan penyetoran dari pemerintah pusat, BUMN, dan Badan Lainnya.  Selain itu, terdapat 2.651 permasalahan ketidakpatuhan mengakibatkan penyimpangan administrasi.

Selain permasalahan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-ndangan, menurut Agung, terdapat 6.713 permasalahan kelemahan sistem pengendalian intern, serta 152
permasalahan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan senilai Rp692,05 miliar,Atas permasalahan tersebut entitas telah

Temuan-teman tersebut diungkapkan dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2020 yang telah diserahkan BPK kepada pimpinan DPR. Ikhtisar ini merupakan ringkasan dari 634 LHP keuangan, 7 LHP kinerja, dan 39 LHP dengan tujuan tertentu. 

Baca Juga

Pada semester I tahun 2020, BPK melakukan pemeriksaan keuangan atas 1 Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2019, 86 LK Kementerian Lembaga (LKKL) Tahun 2019, 1 LK Bendahara Umum Negara (LKBUN) Tahun 2019, 1 LK Pinjaman dan Hibah Luar Negeri Tahun 2019, 541 LK Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2019, serta 4 LK Badan Lainnya Tahun 2019.

Advertising

Advertising

Hasil pemeriksaan BPK atas LKPP Tahun 2019 menghasilkan opini Wajar Tanpa Pengecualian. Opini WTP LKKL tahun 2019 sebesar 97% (85 LKKL) telah melampaui target opini WTP pada Sasaran Pokok Pembangunan Tata Kelola dan Reformasi Birokrasi yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019 sebesar 95%.

Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) diperoleh Komisi Pemilihan Umum serta Badan Siber dan Sandi Negara, sedangkan opini Tidak Menyatakan Pendapat (TMP) diperoleh Badan Keamanan Laut.

LK Pinjaman dan Hibah Luar Negeri yaitu Laporan Keuangan Indonesia Infrastructure Finance Development Trust Fund (IIFD-TF) Tahun 2019 juga mendapat opini WTP. Sedangkan pada LKPD Tahun 2019, opini WTP dicapai oleh seluruh pemerintah provinsi di Indonesia (100%), 364 dari 415 pemerintah kabupaten (88%), dan 87 dari 93 pemerintah kota (94%).

Terdapat 1 pemerintah daerah belum menyampaikan LK kepada BPK yaitu Pemerintah Kabupaten Waropen di Provinsi Papua. Capaian opini WTP pada pemda telah melampaui target kinerja keuangan daerah bidang penguatan tata kelola pemerintah daerah/program peningkatan kapasitas keuangan pemerintah provinsi, kabupaten, dan
kota yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019 masing-masing sebesar 85%, 60%, dan 65% di tahun 2019.

Baca Juga

Sementara itu, pada hasil pemeriksaan atas 4 laporan keuangan badan lainnya tahun 2019 yaitu LK Tahunan BI, LK OJK, LK LPS, dan LK Badan Pengelola Keuangan Haji, seluruhnya mendapat opini WTP.

Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan Andin Hadiyanto sebelumnya menilai opini WTP yang diraih kementerian atau lembaga pemerintah tak berarti entitas tersebut bebas dari korupsi. Menurut dia, pemeriksaan yang dilaksanakan BPK tidak fokus pada tindakan korupsi. "Kemungkinan korupsi masih bisa ada," kata Andin dalam sebuah diskusi virtual pada Juli lalu. 

Kendati demikian, Andin menyebut opini WTP sudah bisa mengurangi penyelewengan anggaran secara signifikan. Pasalnya, semakin akuntabilitas sebuah laporan keuangan, semakin berkurang potensi penyalahgunaan wewenang. Oleh karena itu, pihaknya bakal terus mengidentifikasi potensi model penyelewengan dan korupsi meski laporan keuangan kementerian atau lembaga mendapatkan opini WTP. Potensi pemborosan anggaran pada laporan keuangan juga akan terus dipantau.

BPK memeriksa LKPP berdasarkan empat kriteria opini, yaitu kesesuaian dengan standar akutansi pemerintah, kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern. Selain itu, BPK bisa melaksanakan audit kinerja jika dinilai ada penyelewengan laporan keuangan.

Reporter: Agatha Olivia Victoria

Reformasi tata kelola keuangan negara/daerah telah digulirkan oleh pemerintah pusat, yang merupakan langkah maju khususnya dalam menata sistem pemerintahannya. Reformasi tata kelola keuangan negara/daerah secara ideal tidak hanya mencakup reformasi akuntansi keuangannya. Namun demikian, reformasi akuntansi sektor publik merupakan sesuatu yang sangat fundamental khususnya bagi pengelolaan keuangan daerah. Reformasi ini, secara substantif mengandung pengertian pengelolaan sumber-sumber daya daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan daerah.

Paket Undang-undang bidang Keuangan Negara telah memberikan landasan/payung hukum di bidang pengelolaan dan administrasi keuangan negara/daerah. Undang-undang ini dimaksudkan pula untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, kepada daerah telah diberikan kewenangan yang luas, demikian pula dana yang diperlukan untuk menyelenggarakan kewenangan itu. Agar kewenangan dan dana tersebut dapat digunakan dengan sebaik-baiknya untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah, diperlukan kaidah-kaidah sebagai rambu-rambu dalam pengelolaan keuangan daerah.

Otonomi Daerah merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah secara lebih leluasa dan bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi daerah sendiri.

PEMBARUAN TATA KELOLA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH

Perubahan pendekatan akuntansi pemerintah daerah dari single entry menuju double entrymerupakan perubahan yang cukup revolusioner. Kesiapan SDM daerah khususnya di Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (Badan Pengelola Keuangan Daerah) umumnya kurang memiliki latar belakang bidang akuntansi. Oleh karena itu, penerapan pendekatan baru ini relatif akan menghadapi banyak kendala yang cukup besar di daerah. Meskipun pemerintah daerah sudah memiliki software akuntansi pemerintah bagi daerahnya, namun demikian karena penguasaan terhadap akuntansi masih belum memadai, maka kualitas laporan keuangan yang dihasilkan juga menjadi tidak memenuhi kaidah pelaporan keuangan normatif sesuai yang disyaratkan Standar Akuntansi Pemerintahan.

Sistem pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel itu sudah menjadi kebutuhan dalam rangka terciptanya good governance dan clean government yang menjadi simbol reformasi pemerintahan secara umum. Untuk itu upaya percepatan terhadap keberhasilan pembaruan (reformasi) manajemen keuangan bagi pemerintah daerah sudah selayaknya mendapat perhatian serius… Pengelolaan keuangan daerah sering menghadapi masalah ketika perencanaan dan penganggaran tidak dilakukan dan berjalan dengan baik. Gagal dalam merencanakan sesungguhnya merencanakan sebuah kegagalan. Tulisan berikut ini menguraikan 13 permasalaha dalam perencanaan dan penganggaran di daerah berdasarkan. Edy Marbyanto.

  1. Intervensi hak budget DPRD terlalu kuat dimana anggota DPRD sering mengusulkan kegiatan-kegiatan yang menyimpang jauh dari usulan masyarakat yang dihasilkan dalam Musrenbang. Jadwal reses DPRD dengan proses Musrenbang yang tidak match misalnya Musrenbang sudah dilakukan, baru DPRD reses mengakibatkan banyak usulan DPRD yang kemudian muncul dan merubah hasil Musrenbang. Intervensi legislative ini kemungkinan didasari motif politis yakni kepentingan untuk mencari dukungan konstituen sehingga anggota DPRD berperan seperti sinterklas yang membagi-bagi proyek. Selain itu ada kemungkinan juga didasari motif ekonomis yakni membuat proyek untuk mendapatkan tambahan income bagi pribadi atau kelompoknya dengan mengharap bisa intervensi dalam aspek pengadaan barang (procurement) atau pelaksanaan kegiatan. Intervensi hak budget ini juga seringkali mengakibatkan pembahasan RAPBD memakan waktu panjang untuk negosiasi antara eksekutif dan legislative. Salah satu strategi dari pihak eksekutif untuk “menjinakkan” hak budget DPRD ini misalnya dengan memberikan alokasi tertentu untuk DPRD missal dalam penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) ataupun pemberian “Dana Aspirasi” yang bisa digunakan oleh anggota DPRD secara fleksibel untuk menjawab permintaan masyarakat. Di salah satu kabupaten di Kaltim, dana aspirasi per anggota DPRD bisa mencapai 2 milyar rupiah per tahun.
  2. Pendekatan partisipatif dalam perencanaan melalui mekanisme musrenbang masih menjadi retorika. Perencanaan pembangunan masih didominasi oleh: Kebijakan kepala daerah, hasil reses DPRD dan Program dari SKPD. Kondisi ini berakibat timbulnya akumulasi kekecewaan di tingkat desa dan kecamatan yang sudah memenuhi kewajiban membuat rencana tapi realisasinya sangat minim.
  3. Proses Perencanaan kegiatan yang terpisah dari penganggaran, Karena ketidakjelasan informasi besaran anggaran, proses Musrenbang kebanyakan masih bersifat menyusun daftar belanja (shopping list) kegiatan. Banyak pihak seringkali membuat usulan sebanyak-banyaknya agar probabilitas usulan yang disetujui juga semakin banyak. Ibarat memasang banyak perangkap, agar banyak sasaran yang terjerat.
  4. Ketersediaan dana yang tidak tepat waktu. Terpisahnya proses perencanaan dan anggaran ini juga berlanjut pada saat penyediaan anggaran. APBD disahkan pada bulan Desember tahun sebelumnya, tapi dana seringkali lambat tersedia. Bukan hal yang aneh, walau tahun anggaran mulai per 1 Januari tapi sampai bulan Juli-pun anggaran program di tingkat SKPD masih sulit didapatkan.
  5. Breakdown RPJPD ke RPJMD dan RPJMD ke RKPD seringkali tidak nyambung (match). Ada kecenderungan dokumen RPJP ataupun RPJM/Renstra SKPD seringkali tidak dijadikan acuan secara serius dalam menyusun RKPD/Renja SKPD. Kondisi ini muncul salah satunya disebabkan oleh kualitas tenaga perencana di SKPD yang terbatas kuantitas dan kualitasnya. Dalam beberapa kasus ditemui perencanaan hanya dibuat oleh Pengguna Anggaran dan Bendahara, dan kurang melibatkan staf program sehingga banyak usulan kegiatan yang sifatnya copy paste dari kegiatan yang lalu dan tidak visioner.
  6. Kualitas RPJPD, RPJM Daerah dan Renstra SKPD seringkali belum optimal. Beberapa kelemahan yang sering ditemui dalam penyusunan Rencana tersebut adalah; indicator capaian yang seringkali tidak jelas dan tidak terukur (kalimat berbunga-bunga), data dasar dan asumsi yang seringkali kurang valid, serta analisis yang kurang mendalam dimana jarang ada analisis mendalam yang mengarah pada “how to achieve”suatu target.
  7. Terlalu banyak “order” dalam proses perencanaan dan masing-masing ingin menjadi arus utama misalnya gender mainstreaming, poverty mainstreaming, disaster mainstreaming dll. Perencana di daerah seringkali kesulitan untuk menterjemahkan isu-isu tersebut. Selain itu “mainstreaming” yang seharusnya dijadikan “prinsip gerakan pembangunan” seringkali malah disimplifikasi menjadi sector-sektor baru, misalnya isu poverty mainstreaming melahirkan lembaga Komisi Pemberantasan Kemiskinan padahal yang seharusnya perlu didorong adalah bagaimana setiap SKPD bisa berkontribusi mengatasi kemiskinan sesuai tupoksinya masing-masing. Demikian pula isu gender, juga direduksi dengan munculnya embel-embel pada Bagian Sosial menjadi “Bagian Sosial dan Pemberdayaan Perempuan” misalnya.
  8. Koordinasi antar SKPD untuk proses perencanaan masih lemah sehingga kegiatan yang dibangun jarang yang sinergis bahkan tidak jarang muncul egosektoral. Ada suatu kasus dimana di suatu kawasan Dinas Kehutanan mendorong program reboisasi tapi disisi lain Dinas Pertambangan memprogramkan ekploitasi batubara di lokasi tersebut.
  9. SKPD yang mempunyai alokasi anggaran besar misal Dinas Pendidikan dan Dinas PU seringkali tidak mempunyai tenaga perencana yang memadai. Akibatnya proses perencanaan seringkali molor. Hal ini sering diperparah oleh minimnya tenaga Bappeda yang mampu memberikan asistensi kepada SKPD dalam penyusunan rencana.
  10. APBD kabupaten/Kota perlu evaluasi oleh Pemprop. Disisi lain Pemprop mempunyai keterbatasan tenaga untuk melakukan evaluasi tersebut. Selain itu belum ada instrument yang praktis yang bisa digunakan untuk evaluasi anggaran tersebut. Hal ini berakibat proses evaluasi memakan waktu agak lama dan berimbas pada semakin panjangnya proses revisi di daerah (kabupaten/kota).
  11. Kualitas hasil Musrenbang Desa/Kecamatan seringkali rendah karena kurangnya Fasilitator Musrenbang yang berkualitas. Fasilitasi proses perencanaan tingkat desa yang menurut PP 72 tahun 2005 diamanahkan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten (bisa via Pemerintah Kecamatan) seringkali tidak berjalan. Proses fasilitasi hanya diberikan dalam bentuk surat edaran agar desa melakukan Musrenbang, dan jarang dalam bentuk bimbingan fasilitasi di lapangan.
  12. Pedoman untuk Musrenbang atau perencanaan (misal Permendagri 66 tahun 2007) cukup rumit (complicated) dan agak sulit untuk diterapkan secara mentah-mentah di daerah pelosok pedesaan yang sebagian perangkat desa dan masyarakatnya mempunyai banyak keterbatasan dalam hal pengetahuan, teknologi dll.

Dalam praktek penerapan P3MD, pendekatan pemecahan masalah yang HANYA melihat ke AKAR MASALAH saja dapat berpotensi menimbulkan bias dan oversimplifikasi terhadap suatu persoalan. Contoh kasus nyata; di sebuah desa di daerah masyarakat dan pemerintah mengidentifikasi bahwa rendahnya pengetahuan masyarakat disebabkan tidak adanya fasilitas sumber bacaan di wilayah itu. Sebagai solusinya mereka kemudian mengusulkan untuk dibangunkan “gedung perpustakaan”. Ternyata setelah gedung perpustakaan dibangun, sampai beberapa tahun berikutnya perpustakaan tersebut tidak pernah berfungsi bahkan kemudian dijadikan Posko Pemilu. Mengapa demikian? Hal itu terjadi karena mereka hanya berpikir soal membangun gedung, tetapi lupa berpikir dan mengusulkan bagaimana menyediakan buku/bahan bacaan untuk perpustakaan itu, lupa mengusulkan kepengurusan untuk mengelola perpustakaan itu dll. Kondisi seperti diatas mungkin tidak akan terjadi kalau mereka berpikir dulu soal “outcome” misalnya meningkatkan minat baca 50 % warga masyarakat. Dari outcome tersebut nantinya bisa diidentifikasi output yang diperlukan misalnya: adanya gedung perpustakaan, buku atau bahan bacaan, tenaga pengelola perpustakaan, kesadaran masyarakat untuk datang ke perpustakaan dll. Dari contoh kasus itu nampaknya untuk pemerintah dan masyarakat memang perlu didorong untuk memahami alur berpikir logis (logical framework) sebuah perencanaan. Selain itu pola pikir yang ada yang cenderung berorientasi “Proyek” (yang berorientasi jangka pendek dan berkonotasi duit) menjadi orientasi “Program” (orientasi jangka panjang dan lebih berkonotasi sebagai gerakan pembangunan).

Opsi Kuratif

Isu manajemen keuangan daerah bukanlah semata urusan internal pemerintahan tetapi mesti dilihat sebagai bentuk akuntabilitas vertikal kepada pusat sebagai sumber dana perimbangan dan tanggung jawab politik kepada rakyat. Untuk itu, terhadap temuan masalah, sanksi tegas harus diberikan, bila perlu lewat instrumen fiskal pula (pemotongan DAU).

Opsi kuratif/represif ini saatnya mulai diterapkan pemerintah pusat kalau tidak mau masalah tersebut menjadi beban permanen. Selain itu, langkah persiapan (preventif) mesti segera menjadi program prioritas baik lewat penguatan kapasitas aparat perencana, pelaksana dan pengawas keuangan maupun redesain kelembagaan institusi inspektorat.

DAFTAR PUSTAKA

http://rajawaligarudapancasila.blogspot.co.id/2011/05/tiga-belas-masalah-keuangan-negara-dan.html

https://dokumen.tips/documents/13-masalah-pengelolaan-keuangannegara-dan-daeraha.html