Bisakah hak asuh anak jatuh ke tangan ayah?

Mengacu pada UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, meski telah bercerai, mantan suami dan istri tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak mereka berdasarkan kepentingan anak.

Kewajiban ini berlaku sampai anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri. Artinya, kasih sayang orang tua terhadap anak tidak boleh dihalangi oleh pihak mana pun meski mereka telah bercerai.

Namun, tidak ada penjelasan rinci dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 mengenai hak asuh anak jatuh kepada siapa.

Undang-undang ini hanya menyebutkan, jika ada perselisihan mengenai hak asuh atau penguasaan anak-anak, maka pengadilan yang akan memberi keputusan.

Aturan terkait pemegang hak asuh anak dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam Pasal 105 KHI, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun merupakan hak ibunya.

Jika anak tersebut sudah berusia 12 tahun, maka keputusan akan diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak asuhnya.

Selain itu, terdapat pula yurisprudensi terkait hak asuh anak di bawah umur yang jatuh kepada ibunya.

Putusan Mahkamah Agung RI No. 102 K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975 menyatakan, “Berdasarkan yurisprudensi mengenai perwalian anak, patokannya ialah bahwa ibu kandung yang diutamakan, khususnya bagi anak-anak yang masih kecil, karena kepentingan anak yang menjadi kriterium, kecuali kalau terbukti bahwa ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara anaknya.”

Begitu pula dengan Putusan Mahkamah Agung RI No. 126 K/Pdt/2001 tanggal 28 Agustus 2003 yang menyatakan bahwa “Bila terjadi perceraian, anak yang masih di bawah umur pemeliharaannya seyogyanya diserahkan kepada orang terdekat dan akrab dengan si anak, yaitu ibu.”

Baca juga: 10 Daerah dengan Angka Perceraian Tertinggi di Indonesia

Dalam Pasal 156 huruf c KHI, ayah atau ibu yang bercerai dapat kehilangan hak asuh anaknya atau yang dalam peraturan ini disebut hadhanah.

Hadhanan dapat berpindah jika ibu atau ayah yang menjadi pemegang hak asuh dianggap tidak layak melakukan pengasuhan.

Pasal 156 huruf c berbunyi, “apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.”

Merujuk pada pasal ini, artinya, untuk memenangkan gugatan hak asuh anak, seorang penggugat harus bisa menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak.

doktorhukum.com – Salah satu pertanyaan yang sering muncul ketika seorang laki-laki ingin bercerai dengan isterinya adalah apakah ia berhak mendapatkan hak asuh anak, walaupun anak tersebut berumur di bawah 12 tahun ?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka salah satu pendekatan yang dapat digunakan yaitu dengan melihat ketentuan peraturan perundang-undangan serta praktek hukum yang berlaku selama ini.

Apabila mengacu pada Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), maka pada prinsipnya kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Artinya,  Walaupun orang tuanya telah bercerai, maka anak-anak mereka tetap memiliki hak untuk mendapatkan pemeliharaan serta pendidikan yang baik dari kedua orang tuanya. Oleh karena itu, biasanya apabila hakim memutus suatu perceraian, maka hakim dalam pertimbangannya memberikan kewajiban kepada orang tua untuk selalu bersama-sama memberikan pemeliharaan, pendidikan serta kehidupan yang layak kepada anaknya.

Lalu menjadi suatu pertanyaan, bagaimana dengan hak asuh anak ?

UU Perkawinan tidak menjelaskan secara eksplisit terkait dengan siapa pihak yang berhak mendapatkan hak asuh anak setelah orang tua bercerai. Selain itu, UU Perkawinan juga tidak menjelaskan ukuran (syarat) apa yang dipakai sehingga seorang orang tua dapat mendapatkan hak asuh anak.

Satu satunya aturan yang dijadikan dasar setiap orang tua yang bercerai untuk mendapatkan hak asuh anak adalah “Kompilasi Hukum Islam (KHI)” yang di dalam Pasal 105 berbunyi :

Dalam hal terjadinya perceraian :

  1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
  2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
  3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Dari uraian Pasal 105 tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa anak yang belum mencapai 12 (dua belas) tahun, maka akan menjadi hak asuh ibu-nya. Sedangkan apabila telah mencapai diatas 12 (dua belas) tahun, maka akan tersebut akan diberikan kesempatan memilih apakah ikut dengan ibu atau ayahnya.

Sebagai catatan, walaupun anak yang dibawah 12 (dua belas) tahun tersebut  hak asuh-nya berada ditangan ibu-nya. Akan tetapi dalam pertimbangan hukum majelis hakim biasanya seorang ayah tetap diberikan kesempatan untuk tetap bertemu dengan anaknya tersebut. Selain itu, ayah juga diberikan kewajiban untuk memberikan nafkah kepada anaknya setiap bulannya berdasarkan putusan hakim.

Apakah ayah masih bisa mendapatkan hak asuh anak terhadap anak dibawah 12 (dua belas) tahun ?

Dalam praktek hukum, terdapat banyak kasus dimana seorang ayah mendapatkan hak asuh anak. Artinya, hakim dapat mengesampingkan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut. Namun, putusan-putusan tersebut sangat jarang terjadi, sebab memerlukan alasan-alasan yang rasional dan objektif sehingga hakim menerimanya.

Alasan-alasan yang mungkin dapat mengesampingkan Pasal 150 KHI, sehingga hakim memberikan hak asuh anak kepada ayah adalah sebagai berikut :

  1. Ibu dari anak tersebut dalam keadaan tidak normal (gila / tidak waras),
  2. Ibu dari anak tersebut sering mabuk-mabukan dan keluar malam,
  3. Ibu dari anak tersebut positif memakai narkoba, 
  4. Ibu dari anak tersebut mengidap penyakit yang membahayakan apabila anak, serta
  5. Ibu dari anak tersebut meninggalkan anak dengan jangka waktu yang lama.

Alasan-alasan diatas, wajib dibuktikan secara objekif di pengadilan. Sebagai contoh, apabila seorang ibu dalam keadaan tidak normal (gila/tidak waras) maka harus dibuktikan dengan diagnosa dokter, atau apabila ibu tersebut positif narkoba, maka harus dibuktikan dengan pembuktian tertulis juga dari dokter. Apabila bukti yang dihadirkan lemah, maka dapat dipastikan hak asuh anak tetap berada di ibu-nya.

Adapun alasan lain seperti ibu dari anak tersebut terbukti melakukan perselingkuhan adalah kecil kemungkinan dapat dijadikan alasan bahwa hak asuh anak tersebut akan beralih kepada ayahnya.

Bagaimana cara agar hak asuh anak jatuh ke suami?

Jika pihak suami atau ayah menginginkan hak asuh anaknya, berikut syarat agar hak asuh anak jatuh ke suami setelah perceraian:.
Kondisi psikologi. ... .
Kondisi ekonomi. ... .
Itikad baik. ... .
Persetujuan Bersama. ... .
Keterangan Saksi. ... .
Ibu Tidak Bertanggung Jawab. ... .
Didapati Fakta Jika Ibu Tidak Dapat Memenuhi Kebutuhan Anak..

Apakah ayah bisa mengambil hak asuh anak?

Ibu mendapatkan hak asuh anak sepenuhnya apabila sang anak masih dibawah umur atau berusia kurang dari 12 tahun. Namun ayah juga bisa mendapatkan hak mengasuh anak apabila ibu dinilai memiliki tabiat buruk yang membahayakan anak.

Hak asuh anak jatuh ke ayah umur berapa?

Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (di bawah 7 tahun) atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; Pemeliharaan anak yang di atas 7 tahun diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Apa yang membuat ibu kehilangan hak asuh anak?

Berikut beberapa sebab ibu kehilangan hak asuh anak: a. Seorang ibu berperilaku buruk. b. Seorang ibu yang masuk ke dalam penjara. c. Seorang ibu tidak bisa menjamin kesehatan jasmani dan rohani anaknya.