Berikut yang tidak termasuk tempat pendidikan yang berkembang pada masa dinasti umayyah adalah

Oleh    Zulfaridha Hanifah, Ni’maturrohmah    

A.     Pendidikan Masa Bani Umayyah

Secara esensial, pendidikan Islam pada masa dinasti Umayah ini hampir sama dengan pendidikan pada masa Khulafaurasyidin. Hanya  saja perhatian para raja di bidang pendidikan agaknya kurang memperlihatkan perkembangan yang maksimal, sehingga pendidikan berjalan tidak diatur oleh pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam. Sastra Arab baik dalam bidang syair, pidato, dan seni prosa, mulai menunjukkan kebangkitannya. Para raja mempersiapkan tempat balai-balai pertemuan penuh hiasan yang indah dan hanya dapat dimasuki oleh kalangan sastrawan dan ulama-ulama terkemuka.

Pada masa Dinasti Bani Umayyah belum ada pendidikan secara formal. Putra-putra khalifah Bani Umayyah biasanya akan “disekolahkan” ke Badiyah, gurun Suriah untuk mempelajari bahasa Arab murni, dan mendalami puisi. Kesanalah Muawiyah mengirimkan putranya yang kemudian menjadi penerusnya, Yazid.

Masyarakat luas memandang orang yang dapat membaca dan menulis bahasa Aslinya, bisa menggunakan busur dan panah, dan pandai berenang sebagai seorang terpelajar. Orang semacam itu disebut dengan al-kamil, yang sempurna. Kemampuan berenang sangat dihargai terutama bagi mereka yang hidup di daerah pantai Mediterania. Nilai-nilai utama yang ditanamkan dalam pendidikan, adalah keberanian, daya tahan saat tertimpa musibah (shabr), menaati hak dan kewajiban tetangga (jiwar), menjaga harga diri (muru’ah), kedermawanan dan keramahtamahan, penghormatan terhadap perempuan dan pemenuhan janji. Kebanyakan nilai tersebut sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan orang Badui.

Dalam masyarakat luas yang hendak memperoleh pendidikan, dalam pengertian masa itu, akan menggunakan masjid untuk mempelajari al-Qur’an dan Hadis. Karena itu, guru-guru paling pertama dalam Islam adalah para pembaca al-Qur’an(qura’). Pada awal 17 H/ 638 M, khalifah Umar mengirimkan qura’ ke berbagai tempat, dan menginstruksikan agar masyarakat belajar kepada mereka di masjid setiap hari Jum’at.

1.    Kurikulum Pendidikan Islam pada masa Bani Umayyah

Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentrasi. Desentrasi artinya pendidikan tidak hanya terpusat di ibu kota Negara saja tetapi sudah dikembangkan secara otonom di daerah yang telah dikuasai seiring dengan ekspansi teritorial. Pada masa bani Umayyah, pakar pendidikan Islam menggunakan kata Al-Maddah untuk pengertian kurikulum. Karena pada masa itu kurikulum lebih identik dengan serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat tertentu.

Sejalan dengan perjalanan waktu pengertian kurikulum mulai berkembang dan cakupannya lebih luas, yaitu mencakup segala aspek yang mempengaruhi pribadi siswa. Kurikulum dalam pengertian yang modern ini mencakup tujuan, mata pelajaran, proses belajar dan mengajar serta evaluasi. Berikut ini adalah macam-macam kurikulum yang berkembang pada masa bani Umayyah:

a.      Kurikulum Pendidikan Rendah

Terdapat kesukaran ketika ingin membatasi mata pelajaran-mata pelajaran yang membentuk kurikulum untuk semua tingkat pendidikan yang bermacam-macam. Pertama, karena tidak adanya kurikulum yang terbatas, baik untuk tingkat rendah maupun untuk tingkat penghabisan, kecuali Alquran yang terdapat pada kurikulum. Kedua, kesukaran diantara membedakan fase-fase pendidikan dan lamanya belajar karena tidak ada masa tertentu yang mengikat murid-murid untuk belajar pada setiap lembaga pendidikan.

Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan Islam, tetapi tidak hanya satu tingkat yang bermula di kuttab dan berakhir di diskusi halaqah. Tidak ada kurikulum khusus yang diikuti oleh seluruh umat Islam. Di lembaga kuttab biasanya diajarkan membaca dan menulis disamping Alquran. Kadang diajarkan bahasa, nahwu, dan arudh.

b.      Kurikulum Pendidikan Tinggi

Kurikulum pendidikan tinggi (halaqah) bervariasi tergantung pada syaikh yang mengajar. Para murid tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu. Mahasiswa bebas untuk mengikuti pelajaran di sebuah halaqah dan berpindah dari sebuah halaqah ke halaqah yang lain, bahkan dari satu kota ke kota lain. Pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang dewasa karena diberikan kepada orang banyak yang tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan mereka mengenai Alquran dan agama. Kurikulum pendidikan tingkat ini dibagi kepada dua jurusan, jurusan ilmu-ilmu agama (al-ulum al-naqliyah) dan jurusan ilmu pengetahuan (al-ulum al-aqliyah).

2.    Metode-metode pendidikan Islam pada masa Bani Umayyah

Pada masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah tidak jauh berbeda dengan Daulah Bani Umayyah, metode pengajaran yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu:

a.     Metode lisan

Metode lisan dapat berupa dikte, ceramah, qira’ah, dan diskusi. Dikte (imla) adalah metode penyampaian pengetahuan yang dianggap baik dan aman karena dengan imla ini peserta didik mempunyai catatan yang akan membantunya ketika ia lupa. Ceramah (al-sama’) adalah guru menjelaskan isi suatu buku dengan hafalan, sedangkan peserta didik mendengarkannya. Qira’ah biasanya digunakan untuk belajar membaca. Diskusi merupakan metode yang khas pada masa ini.

b.     Metode menghafal

Metode menghafal merupakan metode yang peserta didik-peserta didik harus membaca secara berulang-ulang pelajarannya hingga pelajaran tersebut dihafalnya. Sehingga dalam proses selanjutnya, peserta didik harus mengkontekstualisasikan pelajaran yang telah dihafalnya.

c.      Metode tulisan

Metode tulisan dapat dikatakan sebagai pengkopian buku-buku ulama. Dalam pengkopian terjadi proses intektualisasi hingga tingkat penguasaan ilmu peserta didik semakin tinggi, karena dalam pengkopian tidak semata-mata menulis saja dan melakukan telaah terhadap buku tersebut. Metode tulisan ini juga menguntungkan      

d.     Rihlah

Metode rihlah adalah metode mencari hadis yang tersebar ke seluruh daerah pada masa Umar bin Abdul Aziz karena mulai ada orang-orang menyelewengkan makna hadis, sehingga muncul ilmu nahwu.

3.    Lembaga pendidikan Islam pada masa Bani Umayyah

a.       Kuttab/ Maktab

Kuttab/ Maktab berasal dari kata dasar yang sama, yaitu kataba yang artinya menulis. Sedangkan kataba/ maktab berarti tempat untuk menulis, atau tempat dimana dilangsungkan kegiatan tulis menulis. Kebanyakan para ahli pendidikan Islam sepakat bahwa keduanya merupakan istilah yang sama dalam arti lembaga pendidikan Islam tingkat dasar yang mengajarkan membaca dan menulis kemudian meningkat pada pengajaran Alquran dan pengetahuan agama tingkat dasar.

b.    Masjid

Semenjak berdirinya pada masa Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum muslimin, baik yang menyangkut pendidikan maupun sosial ekonomi. Namun yang lebih penting adalah sebagai lembaga pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan masjid pada awal perkembangannya dipakai sebagai sarana informasi dan penyampaian doktrin ajaran Islam. Peranan masjid sebagai pusat pendidikan dan pengajaran senantiasa terbuka lebar bagi setiap orang yang merasa dirinya tetap dan mampu untuk memberikan atau mengajarkan ilmunya kepada orang-orang yang haus akan ilmu pengetahuan.

Pada Dinasti Bani Umayyah, masjid merupakan tempat pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi setelah khuttab. Pelajaran yang diajarkan meliputi Al Quran, Tafsir, Hadist dan Fiqh. Juga diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung dan ilmu perbintangan.

c.    Majelis Sastra

Majelis sastra merupakan balai pertemuan yang disiapkan oleh khalifah dihiasi dengan hiasan yang indah, hanya diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama terkemuka. Dalam balai-balai pertemuan seperti ini disediakan pokok-pokok persoalan untuk dibicarakan, didiskusikan dan diperdebatkan.

d.    Pendidikan Istana

Pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukkan khusus bagi anak-anak khalifah dan para pejabat pemerintahan. Kurikulum pada pendidikan istana diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintah, maka kurikulumnya diatur oleh guru dan orang tua murid.

e.    Rumah Guru

Rumah sebenarnya bukan tempat yang nyaman untuk kegiatan belajar mengajar. Namun para ulama di zaman klasik (bani Umayyah dan bani Abbasiyah) banyak yang mempergunakan rumahnya secara ikhlas untuk kegiatan belajar mengajar dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini umumnya disebabkan karena ulama yang bersangkutan tidak memungkinkan memberikan pelajaran di masjid, sedangkan para pelajar banyak yang berniat untuk mempelajari ilmu darinya.

f.     Badiah

Yaitu tempat belajar bahasa Arab yang fasih dan murni. Hal ini terjadi ketika khalifah Abdul Malik ibn Marwan memprogramkan Arabisasi maka muncul istilah Badiah, yaitu dusun Badui di Padang Sahara mereka masih fasih dan murni sesuai dengan kaidah bahasa Arab tersebut. Sehingga banyak khalifah yang mengirimkan anaknya ke Badiah untuk belajar bahasa Arab bahkan ulama juga pergi ke sana di antaranya adalah Al Khalil ibn Ahmad.

4.    Profil guru pada masa Bani Umayyah

Pada masa Umayyah, ilmu menjadi sesuatu yang penting, sehingga masyarakat banyak antusias dalam menuntut ilmu kepada guru-guru yang dianggap tsiqah (terpercaya) dan memiliki keluasan ilmu yang tidak diragukan. Menurut Al-Jahiz dalam Ziauddin Alavi, guru dapat diklasifikasikan ke dalam 3 golongan, yaitu :

a.    Para mu’allim kuttab (guru sekolah anak-anak)

Mempunyai status sosial yang rendah. Hal ini disebabkan oleh kualitas keilmuan mereka yang dangkal dan kurang berbobot. Namun tidak semua demikian, ada sebagian diantara mereka yang ahli di bidang sastra, ahli khat dan fuqaha. Mereka inilah golongan guru muallim al-kuttab yang dihormati dan dihargai seperti: Al-Hajaja, Al-Kumait, Abdil hamid Al-Katib, Atha bin Rabah dan lain-lain.

b.    Para guru yang mengajar para putra mahkota (Muaddib),

Berbeda dengan muallim al-kuttab, para muaddib mempunyai status sosial yang tinggi, bahkan tidak sedikit para ulama yang mendapat kesempatan untuk menjadi muaddib. Hal ini disebabkan karena untuk menjadi muaddib diperlukan beberapa syarat, di antaranya adalah alim, berakhlak mulia, dan dikenal masyarakat.

c.    Para guru yang memberikan pelajaran di masjid-masjid dan sekolah-sekolah

Guru-guru dari golongan ini telah beruntung mendapat kehormatan dan penghargaan yang tinggi di hadapan masyarakat. Hal ini disebabkan penguasaan mereka terhadap ilmu pengetahuan yang begitu mendalam (rasikh) dan berbobot. Di antara mereka adalah guru ilmu syariat, ilmu bahasa, ilmu pasti dan sebagainya. Terdapat beberapa guru dari golongan ini yang terkenal di kalangan masyarakat, diantaranya adalah Abul Aswad Ad-Duali, Hasan Al-Basri, Abu Wadaah, Syuraik Al-Qadhi, Muhamad ibn Al-Hasan, Ahmad ibnu Abi Dawud, dan lain sebagainya.

Tiga golongan guru yang dikemukakan Al-Jahiz menggunakan penilaian sudut pandang sosial guru pada masa tersebut. Sudah menjadi tradisi Islam pada masa klasik bahwa guru tidak pernah memberikan waktu kapan peserta didik harus selesai belajar kepadanya, kecuali ia telah menyelesaikan kitab yang dikajinya (khatam). Peserta didik diberi kebebasan untuk belajar kepada siapa saja dan kapan saja, bahkan guru tidak pernah menawarkan pelajaran secara khusus yang harus diselesaikan oleh murid pada waktu tertentu.

5.    Materi pendidikan pada masa Bani Umayyah

a.     Ilmu agama, seperti: Al-Qur’an, Haist, dan Fiqh. Proses pembukuan Hadist terjadi pada masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz sejak saat itulah hadis mengalami perkembangan pesat.

b.     Ilmu sejarah dan geografi, yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah, dan riwayat.

c.       Ilmu pengetahuan bidang bahasa, yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa, nahwu, sharaf dan lain lain

d.     Bidang filsafat, yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing, seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran.

6.    Kebijakan pemerintah pada masa Bani Umayyah

Para penguasa dan pemimpin Muslim memiliki perhatian yang besar terhadap ilmu pengetahuan sejak masa Khulafaur Rasyidin. Mereka mendirikan dan menghidupi berbagai sarana penunjang ilmu pengetahuan dan pendidikan, termasuk lembaga-lembaganya. As-Suffah yang menjadi model pendidikan Islam ketika Nabi berada di Madinah tersebar keluar Madinah sejalan dengan persebaran masjid. Di daerah-daerah baru pada masa bani Umayyah dimana bahasa Arab bukan bahasa pertama dan Alquran belum dikenal, pembangunan lembaga pendidikan Islam, seperti kuttab dan masjid menjadi tujuan utama para khalifah dan gubernur, sehingga biaya pembangunan  ditanggung pemerintah. Banyak sekali dana yang dialokasikan untuk mendirikan dan memelihara sekolah-sekolah ini dengan cara memberikan beasiswa yang besar kepada murid yang berhak menerimanya.

DAFTAR PUSTAKA


Hitti, Philip K. History of The Arabs,terj R. Cecep Lukman Yasin dkk. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005.

Langgulung, Hasan. Asas –Asas Pendidika Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992.

Rahman, Fazlur. Islam. Bandung: Penerbit Pustaka, 1994.

Suwendi. Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Anonymous (tanpa nama). Sistem Pendidikan Pada Masa Bani Umayyah. (online) http://uusahmadhusaini.blogspot.com/2011/11/sistem-pendidikan-islam-pada-masa-bani.html, diakses pada 14 Nopember 2013.

http://ibnu-safruddin.blogspot.com/2012/12/sejarah-pendidikan-islam-pada-masa-bani_9.html.Diakses 14 Nopember 2013.

http://karyaulama.blogspot.com. Diakses 14 Nopember 2013.


Anonymous (tanpa nama). Sistem Pendidikan Pada Masa Bani Umayyah. (online) http://uusahmadhusaini.blogspot.com/2011/11/sistem-pendidikan-islam-pada-masa-bani.html, diakses pada 14 Nopember 2013.

http://ibnu-safruddin.blogspot.com/2012/12/sejarah-pendidikan-islam-pada-masa-bani_9.html. Diakses 14 Nopember 2013.