Berikut yang tidak ada dalam proses perjanjian internasional menurut uu no.24 thn 2000 adalah

Berikut yang tidak ada dalam proses perjanjian internasional menurut uu no.24 thn 2000 adalah

Berikut yang tidak ada dalam proses perjanjian internasional menurut uu no.24 thn 2000 adalah
Lihat Foto

freepik.com/chokniti

Ilustrasi Perjanjian Internasional

KOMPAS.com - Perjanjian internasional adalah kesepakatan antara beberapa negara atau organisasi internasional.

Dalam membuat perjanjian internasional, sejumlah negara yang terlibat harus melewati beberapa tahapan tertentu.

Tahapan tersebut diawali dari proses penjajakan, kemudian berlanjut, hingga tahap akhir dalam sebuah perjanjian internasional adalah tahap penandatanganan.

Menurut Janus Sidabalok dalam buku Hukum Perdagangan (Perdagangan Nasional dan Perdagangan Internasional) (2020), pada dasarnya pembuatan perjanjian internasional dilakukan lewat lima tahapan, yakni:

  1. Tahap penjajakan
  2. Tahap perundingan
  3. Tahap perumusan naskah
  4. Tahap penerimaan
  5. Tahap penandatanganan.

Berikut penjelasannya:

Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, penjajakan adalah tahap awal yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang sedang berunding tentang kemungkinan dibuatnya perjanjian internasional.

Baca juga: Asas-Asas Perjanjian Internasional

Dikutip dari buku Hukum Perjanjian Internasional: Sebuah Pengantar (2012) oleh Malahayati, tahap penjajakan dilakukan lewat inisiatif instansi atau lembaga pemerintahan.

Tujuan dilakukannya penjajakan adalah pertukaran pikiran mengenai berbagai masalah yang akan dituangkan dalam perjanjian internasional tersebut.

Tahap perundingan

Adalah tahap kedua dalam pembuatan perjanjian internasional. Perundingan dilaksanakan untuk membahas substansi serta permasalahan teknis yang akan disepakati dalam perjanjian.

Intinya, perundingan ditujukan untuk mencapai kesepakatan atas materi yang barangkali belum disepakati bersama dalam tahap penjajakan.

Operational Office

The Nebula Center Jakarta 2nd Floor, Jl. Kemanggisan Utama Raya no. J4,
Palmerah, Jakarta. 11480.

Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber utama hukum internasional sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional. Sedangkan definisi dari perjanjian internasional (treaty) jika merujuk pada Pasal 2 ayat (1) huruf a Konvensi Wina 1969 adalah sebagai berikut:

“treaty” means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation;

Berdasarkan definisi di atas, pada intinya yang dimaksud dengan treaty atau perjanjian internasional adalah kesepakatan internasional yang dibuat antar negara-negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional.

Perlu diperhatikan, Konvensi Wina 1969 memang merupakan salah satu instrumen utama dalam hukum internasional yang mengatur tentang perjanjian internasional. Akan tetapi, keberlakukan aturan dalam konvensi tersebut terbatas hanya terhadap perjanjian antar negara, dan tidak berlaku untuk perjanjian antara negara dengan organisasi internasional maupun perjanjian antara sesama organisasi internasional.

Dalam hukum internasional, perjanjian antara negara dengan organisasi internasional maupun perjanjian antara sesama organisasi internasional diatur dalam konvensi terpisah yakni Konvensi Wina 1986.

Pemisahan tersebut dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa kewenangan membuat perjanjian internasional oleh organisasi internasional berlainan dengan kewenangan membuat perjanjian internasional oleh negara, demikian pula prosedur untuk membuat perjanjian internasional yang dilakukan oleh negara berbeda dengan prosedur yang dilakukan oleh organisasi internasional.[1]

Karena adanya perbedaan prosedur tersebut, guna menyederhanakan jawaban, kami akan fokus membahas proses/tahapan pembuatan perjanjian internasional yang dibuat oleh negara saja.

Tahapan Perjanjian Internasional

Selanjutnya, menyambung pertanyaan Anda, apa saja tahapan dalam proses pembuatan perjanjian internasional? Pada pokoknya, ada 3 tahapan pembuatan perjanjian internasional adalah sebagai berikut:[2]

Tahapan perjanjian internasional adalah dimulai dari perundingan, di mana biasanya didahului oleh pendekatan-pendekatan oleh pihak yang bermaksud mengadakan perjanjian internasional, atau yang dalam bahasa diplomatik dikenal dengan lobbying. Lobbying dapat dilakukan secara formal maupun secara nonformal. Bila dalam lobbying telah ada titik terang tentang kesepakatan tentang suatu masalah, maka kemudian diadakan perundingan secara resmi yang akan dilakukan oleh orang-orang yang resmi mewakili negaranya, menerima kesepakatan yang telah dirumuskan, dan mengesahkannya.[3]

Orang-orang yang berwenang mewakili negaranya ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 7 Konvensi Wina 1969, di antaranya yaitu kepala negara (seperti presiden), kepala pemerintahan (seperti perdana Menteri), dan menteri luar negeri.

Dalam tahapan perundingan ini terdapat juga proses penerimaan teks (adoption of the text),[4] di mana para pihak yang berunding merumuskan teks dari perjanjian yang kemudian diterima oleh masing-masing pihak peserta perundingan. Penerimaan naskah/teks dalam konferensi yang melibatkan banyak negara dilakukan dengan persetujuan 2/3 dari negara yang hadir dan menggunakan suaranya, kecuali jika 2/3 negara tersebut setuju untuk memberlakukan ketentuan lain.[5]

Setelah adanya penerimaan teks dalam tahapan perundingan, tahapan perjanjian internasional selanjutnya adalah dilakukan pengesahan teks yang telah diterima oleh peserta perundingan tadi.[6] Proses pengesahan teks perjanjian internasional dilakukan sesuai kesepakatan para peserta perundingan, atau dengan pembubuhan tanda tangan wakil negara dalam teks perjanjian internasional tersebut.[7] 

Menurut Pasal 1 angka 2 UU 24/2000, ratifikasi merupakan salah satu perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional.

Namun, dari perspektif hukum perjanjian internasional, proses ratifikasi ini tak selalu diperlukan agar sebuah perjanjian internasional bisa berlaku mengikat terhadap suatu negara. Hal ini dikarenakan, bisa saja peserta perundingan perjanjian internasional menyepakati bahwa penandatanganan perjanjian saja sudah cukup menandakan persetujuan negara terhadap perjanjian tersebut.[8]

Proses ratifikasi ini diperlukan, di antaranya jika teks perjanjian internasional terkait menyatakan bahwa persetujuan negara untuk terikat ditunjukkan dengan cara ratifikasi.[9]

Di Indonesia, ratifikasi sebagai pengesahan perjanjian internasional ini dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.[10]

Baca juga: Status Hukum UU Ratifikasi

Sebagai catatan, selain ratifikasi, ada juga berbagai cara lainnya untuk menunjukkan persetujuan sebuah negara untuk terikat kepada perjanjian internasional, seperti aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval). Penggunaan cara-cara tersebut bisa dilakukan tergantung kepada persetujuan para pihak dan ketentuan dalam perjanjian internasional.[11]

Singkatnya, 3 tahapan perjanjian internasional adalah terdiri dari awal pembentukannya melalui perundingan hingga berlaku mengikat ke sebuah negara misalnya dengan ratifikasi sebagaimana kami jelaskan di atas.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Hukumonline Bagi-Bagi THR! Buat ucapan Selamat Lebaran dengan menggunakan dua istilah hukum di kolom comment Instagram Hukumonline selama periode 20 - 25 April 2022. Ada total hadiah Rp1,5jt untuk para pemenang dengan ucapan yg paling menarik dan kreatif. Yuk segera ikutan di sini!

Demikian jawaban dari kami tentang tahapan perjanjian internasional, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Referensi:

  1. I Made Pasek Diantha, dkk. Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional. Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2016;
  2. Sri Setianingsih Suwardi, Ida Kurnia. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2019.

[1] Sri Setianingsih Suwardi, Ida Kurnia. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hal. 4

[2] Sri Setianingsih Suwardi, Ida Kurnia. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hal. 25; I Made Pasek Diantha, dkk. Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional. Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2016, hal. 19

[3] Sri Setianingsih Suwardi, Ida Kurnia. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hal. 24-25

[4] Sri Setianingsih Suwardi, Ida Kurnia. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hal. 29

[6] Sri Setianingsih Suwardi, Ida Kurnia. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hal. 29

[7] Pasal 10 Konvensi Wina 1969

[8] Pasal 12 ayat (1) huruf b Konvensi Wina 1969

[9] Pasal 14 ayat (1) huruf a Konvensi Wina 1969

[11] Pasal 11 Konvensi Wina 1969