Berikut yang menyusun atrolaber pertama kali pada masa Bani Abbasiyah adalah

This preview shows page 1 - 5 out of 14 pages.

  • 24 pages

    Berikut yang menyusun atrolaber pertama kali pada masa Bani Abbasiyah adalah

  • 106 pages

    Berikut yang menyusun atrolaber pertama kali pada masa Bani Abbasiyah adalah

  • 10 pages

    Berikut yang menyusun atrolaber pertama kali pada masa Bani Abbasiyah adalah

  • 21 pages

    Berikut yang menyusun atrolaber pertama kali pada masa Bani Abbasiyah adalah

  • 19 pages

    Berikut yang menyusun atrolaber pertama kali pada masa Bani Abbasiyah adalah

  • 44 pages

    Berikut yang menyusun atrolaber pertama kali pada masa Bani Abbasiyah adalah

  • Assignment Titas.docx

    Tenaga National University, Kajang

    CFGS 213

    Berikut yang menyusun atrolaber pertama kali pada masa Bani Abbasiyah adalah

  • 1. ILMU, IJTIHAD & JIHAD

    Tenaga National University, Kajang

    ISCB 213

    Berikut yang menyusun atrolaber pertama kali pada masa Bani Abbasiyah adalah

  • 3.docx

    Tenaga National University, Kajang

    EHEB 113

    Berikut yang menyusun atrolaber pertama kali pada masa Bani Abbasiyah adalah

  • TEORI_KEDATANGAN_ISLAM_KE_TANAH_MELAYU.doc

    Tenaga National University, Kajang

    ENERGY 213

    Berikut yang menyusun atrolaber pertama kali pada masa Bani Abbasiyah adalah

  • REPORT TITAS 123.docx

    Tenaga National University, Kajang

    ETIB 113

    Berikut yang menyusun atrolaber pertama kali pada masa Bani Abbasiyah adalah

  • BAB_2_TAMADUN_ISLAM.pdf

    Tenaga National University, Kajang

    MPU 3123

    Berikut yang menyusun atrolaber pertama kali pada masa Bani Abbasiyah adalah

Kajian mendalam ilmu astronomi dimulai di masa Umayyah.

ap

Luar Angkasa

Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada masa Nabi Muhammad SAW, ilmu falak belum mengalami perkembangan yang signifikan. Karena pada saat itu umat Islam disibukkan dengan upaya-upaya menyebarluaskan ajaran Islam ke seluruh pelosok dunia.

Sehingga aktifitas untuk mengkaji tentang astronomi sangat kurang sekali. Jika pun ada, itu hanyalah sebatas pengetahuan- pengetahuan langsung yang diberikan Allah SWT kepada Nabi SAW, dan belum ada kajian ilmiahnya yang berdasarkan ilmu pengetahuan.

Masa keemasan Setelah Islam menyebar sampai di luar Makkah dan Madinah, mulailah para sahabat mengkaji khazanah ilmu falak. Namun, sebagaimana dijelaskan Dr Mu hammad Bashil Al- Thoiy dalam bukunya yang bertajuk Al-Falak wa al-Taqwim, kajian tentang ilmu falak secara mendalam baru dimulai pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, yaitu tepatnya pada masa pemerintahan Khalifah Khalid bin Yazid bin Muawiyah.

Khalifah Khalid dikenal sebagai pemimpin yang cinta akan ilmu pengetahuan. Karenanya semasa ia memerintah, terjadi perubahanperubahan mendasar, terutama pada perkembangan keilmuan untuk mengkaji ilmu pengetahuan (sains).

Hal ini terbukti dengan banyaknya penerjemahan buku-buku yang berkenaan dengan astronomi, kedokteran, fisika, dan disiplin ilmu yang lainnya. Akan tetapi kajian terhadap ilmu falak mengalami perkembangan pesat di masa kekhalifahan Abbasiyah.

Khalifah kedua Dinasti Abbasiyah, Abu Ja’far al-Mansur (712-775 M), menempatkan kajian ilmu falak setelah ilmu tauhid, fikih, dan kedokteran. Semasa berkuasa, ia memerintahkan Muhammad al- Fazari dan Umar bin Farhan at- Thabari untuk menerjemahkan berbagai buku tentang ilmu falak.

Kemudian al-Mansur juga memerintahkan kepada Ibrahim bin Yahya an-Naqqas untuk menerjemah kan karya Ptolemeus yang mengulas tentang sistem perbintangan. Dari sini kemudian mulai bermunculan para pakar Islam yang menggeluti bidang astronomi.

Pada masa Khalifah al-Mansur ini dana negara yang dikeluarkannya untuk membiayai pengembang an astronomi tidaklah sedikit. Sehingga tidak mengherankan jika hasil-hasil yang dicapai sangatlah memuaskan. Faktor ini pula yang mendorong kajian ilmu falak tetap berlanjut serta mengalami fase kemajuan di masa-masa selanjutnya.

Kajian tentang astronomi Islam mencapai masa kejayaan dan keemasan di masa Khalifah Harun al-Rasyid dan anaknya al- Ma’mun. Pada masa pemerintahan al-Rasyid dan al-Ma’mun, Islam mencapai puncak prestasi dalam bidang peradaban.

Saat berkuasa, antara tahun 813 hingga 833 M, Khalifah al-Ma’mun memerintahkan penerjemahan berbagai buku tentang astronomi yang berbahasa Persia, India, dan Yunani ke dalam bahasa Arab. Di masa al- Ma’mun ini juga muncul para ahli astronomi yang terkenal, seperti Habasyi al-Hasib al-Marwazi dan Abu Yusuf Ya’qub bin Ishak al-Kindi.

Selanjutnya di Abad seterusnya pengembangan ilmu falak di tubuh Islam masih tetap berlanjut. Astronomi bukan hanya berkembang di Asia Barat, Eropa Selatan, dan Afrika Utara yang berada dalam wilayah kekuasaan Muslim di Abad Pertengahan, tetapi juga di Asia Tengah dan Asia Timur. Astronomastronom yang terkenal di wilayah ini adalah al-Kharaki, al-Qazwini, dan Zakaria bin Muhammad bin Mahmud Abu Yahya (1200-1282).

Zaman kegemilangan astronomi di tanah Islam ini berakhir dalam kurun abad ke-12. Buku-buku hasil karya ilmuwan Muslim sedikit demi sedikit telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, terutamanya di Toledo, Spanyol. Hasil terjemahan tersebut kemudian disebarluaskan di seluruh kawasan benua Eropa. Melalui terjemahan tersebutlah tokoh-tokoh intelektual Eropa, di penghujung zaman pertengahan, mengkaji semula teori Ptolemeus dan mempelajari perkembangan astronomi hasil sumbangan dunia Islam.

  • ilmu astronomi
  • ilmu falak
  • ilmuwan muslim

sumber : Mozaik Republika

Al-Fazari ikut membawa Muslim berada di garda depan dalam pengembangan astronomi.

Wordpress.com

Al-Fazari: Astronom Baghdad. Foto: Astronomi Islam (ilustrasi).

Rep: Yusuf Asiddiq Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Muhammad ibnu Ibrahim al-Fazari menyumbang peran. Terutama dalam perkembangan astronomi di masa Abbasiyah. Ilmuwan yang karib disapa al-Fazari ini bahkan disebut-sebut sebagai salah satu astronom paling awal di dunia Islam. Di antara sumbangsih besarnya melalui pemikirannya dan penerjemahan sejumlah literatur asing.Melalui sejumlah langkah yang ditempuhnya, al-Fazari ikut membawa Muslim berada di garda depan dalam pengembangan astronomi. Silang pendapat muncul mengenai dari mana ia berasal. Sejumlah kalangan mengungkapkan al-Fazari mungkin berkebangsaan Persia.Di sisi lain, beberapa sejarawan pun angkat bicara. Menurut mereka, jika mengacu pada nama, al-Fazari berasal dari Arab, tetapi mempelajari keahliannya di Persia. Al-Fazari hidup sekitar abad ke-8, dan menetap serta berkarya di Baghdad, Irak, ibu kota kekhalifahan Abbasiyah.Filsuf, astronom, serta ahli matematika ini lahir di tengah keluarga ilmuwan. Ayahnya diketahui bernama Ibrahim al-Fazari, yang dikenal pula sebagai astronom dan ahli matematika. Sejumlah catatan sejarah menyingkap peran Muhammad al-Fazari pada masa awal kelahiran tradisi intelektual di kota 1001 malam itu.Bersama beberapa cendekiawan lainnya, seperti Naubakht, Masha'Allah, dan Umar ibnu al-Farrukhan al-Tabari. Dia meletakkan dasar-dasar penerapan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Dinasti Abbasiyah yang berkuasa saat itu memberikan peluang dan dukungan besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Pun pada bidang astronomi.Khalifah al-Mansyur merupakan penguasa Abbasiyah pertama yang memberi perhatian serius dalam pengkajian astronomi serta astrologi. Khalifah tidak segan mengeluarkan dana besar untuk memulai pengembangan ilmu ini. Ia mengumpulkan serta mendorong kaum cendekia Muslim menerjemahkan beragam literatur.Seperti literatur dari Yunani, Romawi Kuno, India, hingga Persia. Pada masa itu, memang terjadi kegairahan luar biasa dalam transfer ilmu pengetahuan. Dalam pengembangan intelektualitas di Baghdad, sang khalifah menunjuk seorang ahli astronomi bernama Naubahkh, yang memimpin upaya itu.Khalifah pernah menulis surat kepada kaisar Bizantium supaya mengirimkan buku-buku ilmiah untuk diterjemahkan, termasuk buku-buku tentang ilmu astronomi. Secara khusus, pada tahun 772 Masehi, Khalifah al-Mansyur meminta al-Fazari menerjemahkan sebuah buku tentang astronomi dari India. Judulnya Sindhind, tulisan Brahmaghupta.Buku luar biasa itu dibawa oleh seorang pengembara dan ahli astronomi India bernama Mauka, ke Baghdad, dan segera menarik perhatian kaum terpelajar di sana. Al-Fazari menunaikan tugasnya dengan baik. Bukan tanpa alasan khalifah memberikan amanat penting itu kepada al-Fazari.Al-Fazari, ungkap Ehsan Masood dalam bukunya, Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern, saat itu telah menguasai astronomi. Maka itu, di bawah arahan khalifah langsung, dia mampu menerjemahkan serta menyadur teks astronomi India kuno yang sangat teknis itu.Kemudian, ia menyematkan judul pada karya terjemahan tersebut, yaitu Zij al sinin al Arab (Tabel Astronomi Berdasarkan Penanggalan Bangsa Arab). Ilmuwan kondang bernama Yaqub ibnu Tariq juga membantu kerja pengalihbahasaan ini. Gairah dan kemauan para sarjana Muslim belajar dari tradisi lain menjadi kunci keberhasilan.Menurut Ehsan Masood, penerjemahan Sindhind sangat berharga. Tak hanya karena wawasan astronominya, tapi juga sistem penomoran India yang ada di dalamnya. Kerja al-Fazari melalui penerjemahan mengenalkan sistem itu ke dunia Arab untuk pertama kalinya.Ada kesinambungan yang berkait kelindan. Tugas yang diawali al-Fazari pada masa selanjutnya disempurnakan al-Khawarizmi. Al-Fazari menyusun zij atau tabel indeks kalkulasi posisi benda-benda langit. Perhitungan dengan mengombinasikan penanggalan India, Kalpa Aharganas, dengan perhitungan tahun Hijriah Arab.Selain itu, dalam karyanya al-Fazari mencantumkan daftar negara-negara di dunia dan dimensinya berdasarkan perhitungan tabel. Ketika kekhalifahan dipangku oleh Khalifah Harun al-Rasyid, al-Fazari lantas membuat astrolabe pertama di dunia Islam. Di tangan para pakar, astrolabe menjadi instrumen ilmiah paling penting yang pernah dibuat.Dengan desain akurat, astrolabe menjadi instrumen penentu posisi pada abad pertengahan. Benda ini pun merupakan model alam semesta yang bisa digenggam, sekaligus jam matahari untuk mengukur tinggi dan jarak bintang. Chaucer dalam Treatise in the Astrolabe, menyatakan astrolabe kemudian menjadi alat bantu navigasi utama.Hanya dalam kurun beberapa tahun setelah diciptakannya astrolabe oleh al-Fazari, kemajuan astronomi melesat. Instrumen itu memainkan peran signifikan terhadap pencapaian bidang astronomi umat Muslim hingga masa-masa berikutnya. Seorang astronom bernama al-Sufi berhasil memanfaatkannya dengan baik.Al-Sufi mampu memetakan sekitar seribu kegunaan astrolabe dalam berbagai bidang yang berbeda, seperti astronomi, astrologi, navigasi, survei, penentuan arah kiblat, waktu shalat, dan penunjuk waktu. Ada karya lain al-Fazari, berupa syair dengan judul Qasida fi Ilm al-Nujum  (Puisi tentang Ilmu Pengetahuan dan Perbintangan).

Pada abad ke-13, karya ini ditemukan kembali oleh penjelajah dan ahli geografi Muslim bernama Yaqut al-Hamawi dan al-Safadi.

Baca Juga

  • al fazari
  • astronomi islam
  • astronom islam
  • al-fazari