Berikut nilai moral yang terkandung dalam tradisi rasulan kecuali

DIMENSI TEOLOGIS DALAM TRADISI RASULAN DI DUSUN KROPAK DESA CANDIREJO KECAMATAN SEMANU KABUPATEN GUNUNGKIDUL SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Surakarta Untuk Memenuhi Syarat Penyusunan Skripsi Program S1 Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Disusun Oleh : KIDUNG KINANTHI 141.121.001 JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA 2018

ii

iii

iv

v

DAFTAR SINGKATAN Cet : Cetakan h. : Halaman Ibid : Ibidem No : Nomor QS. : Qur an Surat SAW : Shallallahu alaihiwasallam SWT : Subhanahuwata ala Vol : Volume vi

ABSTRAK KIDUNG KINANTHI, Dimensi Teologis dalam Tradisi Rasulan di Dusun Kropak Desa Candirejo Kecamatan Semanu Kabupaten Gunungkidul. Tradisi Rasulan yang ada dalam masyarakat Dusun Kropak merupakan sebuah acara bersih desa yang diadakan setiap satu tahun sekali, tepatnya pada hari jumat legi. Tradisi ini diselenggarakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat yang diberikan, mulai dari kesejahteraan hidup yang dicapai, hasil pertanian yang melimpah dan terhindarnya warga masyarakat setempat dari marabahaya. Maka dari itu setiap diseleggarakannya tradisi Rasulan selalu dilaksanakan upacara-upacara keagamaan seperti upacara buka jalan (uluk salam) dan kenduri atau doa bersama. Penelitian ini lebih difokuskan pada Dimensi Teologis dalam Tradisi Rasulan di Dusun Kropak Desa Candirejo Kecamatan Semanu Kabupaten Gunungkidul dengan rumusan masalah sebagai berikut: bagaimana makna simbolik ubarampe yang ada dalam tradisi Rasulan di Dusun Kropak Desa Candirejo Kecamatan Semanu Kabupaten Gunungkidul? dan dimensi teologis apa saja yang ada dalam tradisi Rasulan di Dusun Kropak Desa Candirejo Kecamatan Semanu Kabupaten Gunungkidul? Penelitian ini bersifat lapangan (field research). Teori yang digunakan adalah teori E. B Taylor yaitu, tentang kepercayaan manusia yang pada mulanya sangat sederhana dan menuju pada tingkatan yang lebih tinggi sesuai dengan perkembangan kemajuan peradaban, serta didukung dengan teori simbol. Sumber primernya yaitu pelaksanaan tradisi Rasulan itu sendiri. Sementara sumber sekundernya diambil dari buku-buku serta materi yang ada kaitannya dengan objek material dan formal penelitian ini. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa setiap ubarampe mempunyai makna simbolik, seperti gunungan yang melambangkan hubungan manusia dengan Tuhan, ingkung yang melambangakn sikap manusia yang selalu njungkung (bersujud) kepada Tuhan, tumpeng yang melambangkan hubungan antar manusia dengan Tuhan, alam dan sesama manusia, kembang, kemenyan dan dupa yang melambangkan keharuman berkah dari para leluhur, janur yang melambangkan tolak balak atau penangkal dari perangai yang buruk, serta do a - do a yang dibacakan melambangkan permohonan kepada Tuhan supaya di dalam menjalankan kehidpan manusia selalu diberikan rizki dan keselamatan. Sedangkan dimensi teologis yang ada dalam tradisi Rasulan di Dusun Kropak yaitu berupa dimensi animistis dan monoteistis. Kata Kunci : Tradisi, Rasulan, ubarampe dan dimensi teologis vii

MOTTO Kesabaran adalah kendaraan yang tidak akan tergelincir, dan sikap menerima adalah pedang yang tidak akan tumpul ~ Ali bin Abi Thalib ~ viii

HALAMAN PERSEMBAHAN Skripsi ini aku persembahkan kepada: Kedua orangtua dan adik-adikku tercinta yang telah memberikan kasih sayang, membimbing, mendidik dan membesarkanku sehingga aku dapat menapaki kehidupan ini. ix

KATA PENGANTAR Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala Sholawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta sahabat dan keluarganya. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat-nya serta atas izin-nyalah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Namun demikian skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan selesainya skripsi ini rasa terimakasih dan tulus serta rasa hormat yang dalam penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Dr. H. Mudofir, M. Pd selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri Surakarta. 2. Bapak Dr. Imam Mujahid, S.Ag, M.Pd selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Intitut Agama Islam Negeri Surakarta. 3. Ibu Dra. Hj. Siti Nurlaili M, M.Hum, selaku Kajur, terimakasih atas segala ilmu yang pernah diajarkan selama ini semoga bermanfaat bagi penulis. 4. Bapak Dr. H. Syamsul Bakri, M.Ag, selaku Pembing Akademik, terimakasih atas segala bimbingan dan ilmu yang pernah diajarkan selama ini semoga bermanfaat bagi penulis. 5. Bapak Dr. H. Imam Sukardi, M.Ag dan Ibu Dra. Hj. Siti Nurlaili M, M. Hum selaku pembimbing yang penuh kesabaran dan kearifan bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 6. Bapak atau Ibu Dosen di Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam dari semester 1 hingga 8 yang dengan penuh semangat dan ikhlas dalam mengajarkan ilmunya selama masa studi ini. x

7. Staff perpustakaan IAIN Surakarta, staff perpustakaan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta yang telah memberikan pelayanan dengan baik, staff perpustakaan Ganesha. 8. Orang tuaku dan adik-adikku tercinta yang tiada pernah lelah melantunkan doa, memberi dukungan moril dan materil, spirit dari waktu ke waktu dan memberikan pelajaran berharga bagaimana menerima dan memaknai hidup ini. 9. Teman-temanku Dyah Ayu, Rufaidah, Fadilah, Sarofah, Ulfa, Rosa yang selalu memberikan semangat, selalu berbagi ilmu yang mereka dapatkan, candaan-candaan yang bermotivasi, sehingga dapat menghilangkan kejenuhan dan kebingungan selama proses mengerjakan skripsi. 10. Teman-temanku satu angkatan di Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam 2014 yang selalu memberikan candaan sehingga dapat menghilangkan kejenuhan, dan selalu senantiasa berbagi ilmu, Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kalimat semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak yag membutuhkannya. Surakarta, 13 Agustus 2018 Penulis xi

DAFTAR ISI HALAMAN COVER... i PERNYATAAN KEASLIAN... ii NOTA DINAS... iii HALAMAN PENGESAHAN... v DAFTAR SINGKATAN... vi ABSTRAK... vii HALAMAN MOTTO... viii HALAMAN PERSEMBAHAN... ix KATA PENGANTAR... x DAFTAR ISI... xii BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Rumusan Masalah... 8 C. Tujuan Penelitian... 8 D. Manfaat Penelitian... 9 D. Kajian Pustaka... 9 E. Kerangka Teori... 12 F. Metode Penelitian... 17 G. Sistematika Pembahasan... 20 BAB II GAMBARAN UMUM DUSUN DAN PROSESI TRADISI RASULAN... 22 A. Gambaran Dusun dan Masyarakat... 22 1. Sejarah Singkat Dusun Kropak... 22 2. Letak Geografis Dusun Kropak... 24 3. Keadaan Demografis... 25 B. Asal-Usul Tradisi Rasulan... 31 C. Pelaksanaan Tradisi Rasulan... 35 1. Waktu dan Tempat... 35 2. Penyelenggara... 36 3. Pihak-pihak yang Terlibat & Sumber Dana yang digunakan.. 37 xii

D. Rangkaian Prosesi & Unsur (ubarampe) Tradisi Rasulan... 39 1. Rangkaian Prosesi Tradisi Rasulan... 39 2. Unsur-unsur (ubarame) Tradisi Rasulan... 42 BAB III TEOLOGI DAN KEPERCAYAAN MANUSIA TENTANG TUHAN... 45 A. Pengertian Teologi... 45 B. Konsep Ke-Tuhanan Orang Jawa... 47 C. Perkembangan Kepercayaan Manusia... 51 BAB IV ANALISIS TERHADAP DIMENSI TEOLOGIS TRADISI RASULAN DI DUSUN KROPAK... 61 A. Makna Simbolik Ubarampe dalam Tradisi Rasulan di Dusun Kropak... 61 B. Dimensi Animistik dan Monoteistik dalam Tradisi Rasulan di Dusun Kropak... 74 1. Dimensi Animistik... 74 2. Dimensi Monoteistik... 79 BAB V PENUTUP... 82 A. Kesimpulan... 82 B. Saran... 83 DAFTAR PUSTAKA... 85 LAMPIRAN... 89 DAFTAR RIWAYAT HIDUP... 93 xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Koentjaraningrat mengatakan bahwa Indonesia merupakan gugusan yang terpanjang di dunia. 1 Indonesia sebagai sebuah negara yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, budaya, dan agama tentunya memiliki ragam tradisi yang berbeda-beda dari satu daerah dengan derah yang lainnya, hal semacam ini kemudian disebut sebagai multikulturalitas bangsa indonesia. 2 Salah satunya tradisi pada masyarakat suku Jawa yang masih kental dengan unsur Hindhu-Budda yang diserap ke dalam tradisi orang Jawa pra Islam bahkan dipertahankan hingga saat ini seperti: upacara bersih desa (rasulan), tirakatan, nyadran, babad dalan, gumbregan, dan slametan dan tentunya masih banyak lagi. Tradisi kebudayaan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Jawa tentunya tidak bisa terlepas dari pengaruh nilai-nilai pencampuran antara agama Hindu-Budha dan agama Islam yang ada didalamnya, sehingga menyebabkan terjadinya apa yang namanya akulturasi budaya. Akulturasi ini di satu sisi terkait dengan apa yang disebut oleh Koentjaranigrat sebagai kelompok keagamaan atau religious community bahwa kesatuan masyarakat yang 1 Koentjaranigrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, cetakan 4, (Jakarta: Djambatan, 1979), h. 1. 2 Mudji Sutrisno, Membaca Rupa Wajah Kebudayaan, cetakan 4, (Yogyakarta: Kanisius, 2017), h. 50. 1

2 mengkonsepsikan dan mengaktifkan suatu religi beserta sistem upacara keagamaan menyatakan bahwa suatu roh itu lebih penting dari pada jasmani. 3 Kepercayaan seperti itu dilakukan oleh orang Jawa sebagai kejawen, di mana ajaran kejawen merupakan keyakinan dan campuran dari agama-agama formal dengan pemujaan terhadap suatu kekuatan alam atau roh. Sebagai contoh, orang Jawa banyak yang beragama Islam, namun pengetahuan mereka tentang agamanya dikatakan masih kurang mendalam, karena praktik keagamaan yang dilakukan hanya sebagai seremoni semata. 4 Di sisi lainya dihadapkan pada pandangan dasar hidup orang Jawa yang penuh laku dalam menghayati hidup sejati. Laku hidup tersebut diwujudkan dalam bentuk ritual, mulai dari tradisi yang penuh dengan nilai spiritualitas dengan tujuan semakin dekat dengan Gusti. Lewat ritual pula, orang Jawa memiliki sikap hidup yang menyakini bahwa ada kekuatan lain di atas kekuatan dirinya sendiri. 5 Oleh sebab itulah, orang Jawa mempunyai pemahaman bahwa setiap gerakkan, kekuatan, dan kejadian di alam disebabkan oleh makhluk-makhluk yang ada disekitarnya. Maka dari itu keyakinan ini di warisan dari generasi ke generasi yang kemudian dikenal sebagai warisan kebudayaan adiluhung yaitu kebudayaan luhur yang diciptakan untuk tujuan luhur pula. 6 3 Koentjaranigrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1965), h. 275. 4 Capt. R.P Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa, (Yogyakarta: Lkis, 2007), h. 1. 5 Suwardi Endraswara, Etnologi Jawa: Penelitian Perbandingan dan Pemaknaan Budaya, (Jakarta: Buku Seru, 2015), h. 104. 6 F.X. Rahyono, Kearifan Budaya dalam Kata, edisi revisi, (Jakarta: Wedata Widya Sastra, 2015), h. 13.

3 Akulturasi budaya dalam istilah antropologi, selalu dikaitkan dengan konsep mengenai timbulnya proses sosial yang disebabkan sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur dari suatu kebudayaan, sehingga nantinya unsur-unsur tersebut lambat laun akan diterima dan diolah ke dalam kebudayaan itu sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian suatu kebudayaan yang ada. 7 Menurut E.B Taylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. 8 Dengan demikian, sebenarnya tradisi kebudayaan yang ada di masyarakat selalu terkait dengan sistem nilai, yang diakui atau tidak bahwa setiap tradisi diajarkan dari generasi ke generasi selanjutnya, oleh karena sulit untuk dirubah karena hal tersebut memiliki orientasi terkait sistem nilai budaya yang sudah ada atau dipelajari warga suatu masyakarat sejak dini melalui proses sosialisasi dan enkulturasi. 9 Wacana tentang modernisasi budaya sebagai upaya pembaharuan dalam kehidupan suatu bangsa biasanya muncul karena perubahan hidup dan kehidupan sebagai akibat dari peningkatan kecerdasan, dan keterikatan dan ketergantungan manusia secara universal, baik ekonomi maupun sosial budaya. 7 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Jilid 1, (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2003), h. 155. 8 Abdullah Faishol & Syamsul Bakri, Islam dan Budaya Jawa, (Surakarta: Pusat Pengembangan Bahasa IAIN Surakarta, 2014), h. 19. 9 Hans. J. Daeng, Manusia Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 48.

4 Sistem nilai budaya ini di dalam kehidupan berbudaya manusia melakukan melalui proses objektivasi. 10 Menurut Miller yang di kutip oleh Kahmad Dadang, proses objektivikasi melibatkan hubungan tiga aspek, yaitu hubungan antara subjek (manusia), kebudayaan (sebagai bentuk eksternal), dan artefak sebagai objek ciptaan manusia. 11 Berkaitan dengan hal tersebut manusia diibaratkan sebagai subjek yang mampu untuk menciptakan suatu kreasi, berupa objek-objek yang mana manusia tidak pernah merasa puas akan kreasi atau ciptaannya sendiri. Hal ini dikarenakan manusia sebagai subjek selalu membandingkan hasil kreasinya dengan kreasi-kreasi lain yang lebih baik sehingga menyebabkan munculnya rasa ketidakpuasan dalam diri manusia. Rasa ketidakpuasan tersebut mempunyai sisi positif, karena manusia terus menerus melakukan pembaruan-pembaruan tanpa meninggalkan nilai-nilai murni dari kreasi awal yang mereka ciptakan. Sama halnya dengan suatu tradisi atau budaya, saat ini bisa kita lihat banyak sekali tradisi-tradisi zaman dahulu yang masih dijalankan akan tetapi dikemas dengan lebih menarik. Namun, hal tersebut tidak menghilangkan nilai-nilai murni dari suatu tradisi tersebut. Setiap budaya yang di jalankan oleh orang Jawa pastinya mempunyai upacara sendiri-sendiri. Upacara tersebut bisa dinilai sangat sakral, bahkan menjadi hal yang wajib saat pelaksanaan suatu tradisi. Hal ini dikarenakan 10 Objektivasi adalah istilah yang digunakan oleh Daniel Miller dalam bukunya, Materila Culture and Mass Consumption. Istilah tersebut digunakan oleh Miller untuk menjelaskan pandangan Hegel tentang bagaimana hubungan antara subjek dan objek dalam metode dialektika. 11 Kahmad Dadang, Sosiologi Agama, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h. 72-73.

5 melalui upacara tersebut tata pelaksanaan dan tujuan dari tradisi yang dilaksanakan bisa tercapai. Di dalam upacara pulalah dibutuhkan sesaji - sesaji (uborampe) yang wajib dan harus ada ketika upacara dilaksanakan. Sisa - sisa uborampe seperti di atas, sampai sekarang masih ada dalam kehidupan masyarakat Jawa, hanya saja telah berubah fungsinya menjadi kesenian rakyat tradisional. Idealnya sebuah tradisi dijalankan untuk melestarikan budaya di suatu daerah serta memiliki makna yang sakral di dalam setiap proses pelaksanaannya, namun faktanya tradisi yang dijalankan saat ini hanya dijadikan sebagai sebuah acara yang wajib dilaksanakan dan hanya untuk hiburan semata tanpa memperdulikan lagi makna sakral yang ada dalam sebuah tradisi tersebut. Akan tetapi, tidak semua masyarakat yang masih melestarikan sebuah tradisi mengabaikan begitu saja makna yang ada dalam tradisi tersebut. Adanya pengaruh tradisi ke dalam perilaku kehidupan seseorang membuktikan bahwasanya tradisi yang ada dalam masyarakat Jawa tidak hanya dipahami sebagai sebuah kebudayaan yang hanya dijalankan saja, tetapi mempunyai implikasi dalam kehidupan. Misalnya tradisi Bersih Desa sebagai wujud ungkapan terimakasih kepada Tuhan atas berkah dan perlindungan yang diberikan. Namun, seiring perkembangan jaman, di beberapa daerah suku Jawa mulai meninggalkan tradisi yang merupakan warisan leluhur ini. Adanya anggapan kurang modern dan merupakan kegiatan yang syarat akan pemborosan dijadikan alasan oleh beberapa daerah tersebut untuk tidak

6 menyelenggarakan tradisi bersih desa lagi. Umumnya daerah tersebut merupakan daerah pinggiran yang sudah mendapat pengaruh budaya dan informasi dari luar sehingga lambat laun mulai mengadopsi budaya kekotaan. Kendati demikian, masih ada daerah-daerah yang tetap menjalankan tradisi leluhur ini. Salah satu daerah yang masih setia melaksanakan upacara tradisi bersih desa adalah dusun Kropak di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Masyarakat Kropak serta masyarakat lain yang ada di Kabupaten Gunungkidul mengenal tradisi Bersih Desa dengan istilah Rasulan. Selain itu, hampir seluruh dusun di Gunungkidul merayakan tradisi tahunan ini. Meski waktu dan tempat penyelengaraannya yang berbeda, namun inti dari kegiatan tersebut tetaplah sama, yakni sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Tradisi Rasulan biasanya lebih dikenal orang dengan tradisi bersih desa sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah yang diberikan kepada manusia, sehingga bisa menjalankan seluruh proses kehidupan dengan baik, dan terhindar dari perangai yang buruk. Masyarakat dusun Kropak sampai saat ini masih menjalankan tradisi Rasulan setiap satu tahun sekali. Sebenarnya dusun Kropak bukanlah satu-satunya dusun yang ada di Kabupaten Gunungkidul yang masih menjalankan tradisi Rasulan, namun karena prosesi dan waktu pelaksanaan yang sangat berbeda dengan tradisi Rasulan yang dilaksanakan di dusun lainnya tradisi Rasulan di Dusun Kropak ini menarik untuk dibahas. Perbedaan tersebut terletak dari adanya upacara buka jalan (uluk salam) yang hanya ada dalam tradisi Rasulan di Dusun Kropak.

7 Menariknya lagi, tradisi Rasulan yang biasanya hanya diikuti oleh satu dusun saja, ternyata di Dusun Kropak ini diikuti sebanyak tujuh dusun sekaligus yaitu Dusun Kropak, Dusun Mranggen, Dusun Cuwelo Kidul, Dusun Gebang, Dusun Soko, Dusun Pace, dan PPC (Persatuan Perantau Cuwelo) yang mana kesemuanya itu menjadi satu dengan nama Cuwelo, sehingga orang lebih mengenal dengan Rasul Cuwelo bukan Rasul Kropak. Masyarakat Dusun Kropak menganggap tradisi Rasulan ini sebagai sebuah pesta rakyat yang begitu besar dan meriah, tanpa mengetahui akan nilai-nilai atau dimensi teologis yang ada di dalamnya. Hal ini dikarenakan masyarakat hanya menganggap tradisi Rasulan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan saja sehingga terkesan menjadi acara tahunan yang wajib dilaksanakan sebagai hiburan semata yang mana seluruh biaya yang digunakan berasal dari seluruh warga masyarakat Dusun Kropak. Tempat pelaksanaan tradisi Rasulan yaitu di balai dusun, sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan oleh panitia Rasulan. Selain itu karena tradisi Rasulan ini diyakini sudah ada dan sudah diaksanakan sejak zaman dulu, maka oleh masyarakat Dusun Kropak tidak mungkin dibiarkan menghilang begitu saja. Sehingga terkesan menjadi acara tahunan yang wajib dilaksanakan. Sebenarnya tidak hanya seluruh rangkaian prosesi Rasulan yang menarik, melainkan juga di dalam tradisi rasulan di Dusun Kropak ini seperti ada akulturasi antara tradisi Islam dengan Jawa, karena di dalam rangkaian prosesi pelaksanaan Rasulan tidak terlepas dari nuansa Islam.

8 Dalam rangka mengungkap makna yang dihubungkan dengan teologi di dalam tradisi Rasulan, maka sebuah penelitian tentang dimensi teologis yang terdapat dalam tradisi Rasulan penting untuk dilakukan supaya masyarakat paham akan makna yang ada dalam tradisi tersebut ketika dihubungkan dengan keagamaan, sehingga tidak terjadi salah pemaknaan mengetahui keberadaan agama dalam suatu tradisi. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tradisi Rasulan di masyarakat Dusun Kropak Kabupaten Gunugkidul menarik untuk dikaji lebih lanjut. Maka dari itu peneltian ini terdiri dari dua rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana makna simbolik ubarampe yang ada dalam tradisi Rasulan di Dusun Kropak Desa Candirejo Kecamatan Semanu Kabupaten Gunungkidul? 2. Dimensi teologis apa yang ada dalam tradisi Rasulan di Dusun Kropak Desa Candirejo Kecamatan Semanu Kabupaten Gunungkidul? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Mengetahui makna simbolik ubarampe yang ada dalam tradisi Rasulan di Dusun Kropak Desa Candirejo Kecamatan Semanu Kabupaten Gunungkidul.

9 2. Mengetahui dimensi teologis yang ada dalam tradisi Rasulan di masyarakat Dusun Kropak Kabupaten Gunungkidul. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bisa memberi kontribusi dan manfaat bagi pengembangan kajian kebudayaan, baik secara akademik dan praktis, sebagaimana berikut : 1. Manfaat Akademik Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan penelitian lanjutan terutama mengenai dimensi teologis yang terdapat dalam tradisi Rasulan. 2. Manfaat Praktis a. Menambah pemahaman pengetahuan bagi penulis tentang tradisi Rasulan. b. Bermanfaat bagi masyarakat luas dengan memberikan pemahaman dan informasi tentang tradisi Rasulan. E. Kajian Pustaka Sejauh pembacaan penulis terhadap kajian atau penelitian mengenai tradisi Rasulan sebelumnya sudah pernah ada yang diteliti, di antaranya adalah: Pertama, Skripsi Rina Utaminingsih, berjudul Perubahan Pelaksanaan Dalam Tradisi Rasulan di Dusun Kalidadap Gari Wonosari (2010). Rina berusaha mendeskripsikan tentang perubahan pelaksanaan tradisi rasulan yang

10 disebabkan oleh beberapa faktor seperti sesaji yang sudah ditinggalkan oleh sebagian masyarakat akibat dari perekembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju dan pendidikan masyarakatnya yang semakin tinggi. Kedua, skripsi Andri Yulianto berjudul, Upacara Adat Bersih Desa Mbah Bregas di Desa Margoagung, Kecamatan Seyegan, Kabupaten Sleman (2011). Skripsi ini berusaha mengangkat tentang asal-usul upacara adat bersih desa Mbah Bregas di desa Margoagung dan fungsi keagamaan dan sosial budaya serta alasan mengapa upacara adat bersih desa mbah bregas masih dilakukan. hasil dari penelitian bahwa proses pelakasanaan upcara adat bersih desa merupakan bagian dari warisan budaya milik Daerah Istimewa Yogyakarta dan dijadikan sebagai aset pengembangan wisata budaya, khsusunya di desa Margoagung, kecataman Seyegan, kabupaten Sleman. Ketiga, publikasi Rinasari berjudul, Aspek Pendidikan Nilai Religius Dalam Tradisi Rasulan: Studi Kasus di Dukuh Ngadipiro Desa Grajegan Kecamatan Tawangsari Kabupaten Sukoharjo (2012). Publikasi ini berisi tentang tradisi rasulan di dalamnya terdapat aspek pendidikan religius yaitu untuk meningkatkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan pengucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah yang telah diberikan. 12 Keempat, Skripsi Ayu Amborowati berjudul, aspek Nilai-Nilai Sosial Pada Tradisi Bersih Desa Julungan: Studi Kasus Pada Pelekasanaan Tradisi Bersih Desa Julungan di Desa Kalisoro Kecamatan Tawangmangu 12 Rinasari, Aspek Pendidikan Nilai Religius dalam Tradisi Rasulan, (Surakarta : Naskah Publikasi Fakutas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, UMS, 2012)

11 Kabupaten Karangayar (2013). Skripsi tersebut menjelaskan bahwa Upacara bersih desa Julungan adalah upacara adat yang dilaksanakan di desa Kalisoro Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar. Aspek nilai sosial pada tradisi Julungan dapat dilihat dari prosesi atau pelaksanaan tradisi Julungan adalah sebagai acara yang menggambarkan falsafah kehidupan gotong royong penduduk desa Kalisoro dan sifat kebersamaan yang dimiliki sebagai sebuah bentuk ucapan syukur yang ditujukan dengan cara terus memperingati dan terus melestarikan dari suatu hal yang pernah terjadi atau pernah dirasakan, dalam pelaksanaan tradisi Julungan masyarakat antusias untuk mengikuti berbagai prosesi yang dilaksanakan. Kelima, Retno Widiarti berjudul, Studi Tentang Tradisi Bersih Desa Pada Masyarakat Desa Rendeng Kecamatan Gebeng Kabupaten Purworejo (2015). skripsi ini menjelaskan bahwa makna tradisi bersih desa adalah simbol yang digunakan untuk mengungkapakan rasa syukur pada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugrah yang telah diberikan kepada masyarakat, seperti kesehatan dan keselamatan lahir batin, rezeki dan juga untuk sarana mengirim doa pada leluhur untuk memohan ampun atas dosa-dosanya. selain itu, tradisi bersih desa sebagai tradisi penyelarasan seperti meningkatkan silaturahmi, toleransi, ada kebersamaan antar warga sehingga menguatkan persatuan dan kesatuan, serta juga wujud pelestarian adat istiadat. Dari beberapa penelitian di atas belum ada yang meneliti tentang dimensi teologis yang terdapat dalam tradisi Rasulan. Maka dari itu penulis

12 melakukan penelitian tentang tradisi Rasulan dan dimensi teologis yang ada di dalamnya di Dusun Kropak Kabupaten Gunungkidul. F. Kerangka Teori Pada dasarnya manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan kepada kekuatan gaib. Kepercayaan pada hal gaib tersebut akan melahirkan nilai yang digunakan untuk menopang budaya hidup. Nilai-nilai ini kemudian melekat dalam setiap tradisi-tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Di dalam sejarah misalnya kepercayaan manusia sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu, namun dalam perkembanganya yang tercatat hanya beberapa saja yaitu, Dinamisme, Animisme, Politeisme, Henoteisme dan Monoteisme. 13 Terdapat dua teori mengenai perkembangan kepercayaan manusia. Teori yang pertama mengatakan bahwa kepercayaan manusia pada mulanya sangatlah sederhana dan menuju pada kepercayaan yang lebih tinggi sesuai dengan perkembangan kemajuan peradabannya. Teori tersebut dipelopori oleh E.B Taylor. Teori kedua mengatakan bahwa kepercayaan manusia yang pertama adalah monoteisme murni, akan tetapi karena perjalanan hidup manusia, maka kepercayaan tersebut berubah dan di masukki oleh kepercayaan lain yaitu Animisme dan Politeisme. Pada akhirnya, tidak terdapat lagi kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa karean lebih percaya pada kepercayaan yang berasal dari Dinamisme. 14 13 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, cetakan 5, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015,) h. 55. 14 Ibid, h.55-56.

13 Menurut Harun Nasution, Dinamisme merupakan suatu paham bahwa ada benda-benda tertentu yang mempunyai kekuatan gaib dan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Kekuatan ghaib tersebut mempunyai dua sifat yaitu baik dan jahat. Benda yang mempunyai kekuatan ghaib baik, maka akan dipakai dan disenangi, supaya orang yang memakainya senantiasa dilindungi oleh kekuatan baik tersebut, sedangakn benda yang mempunyai kekuatan yang jahat biasanya akan cenderung ditakuti dan dijauhi. Kepercayaan manusia yang lainnya adalah Animisme. Animisme berasal dari bahasa Latin, anima yang berarti jiwa atau roh. Masyarakat primitif mempunyai anggapan bahwa alam dipenuhi oleh roh-roh yang tidak terhitung jumlahnya. Animisme adalah paham tentang semua benda, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa mempunyai jiwa/roh. Bagi masyarakat primitive roh tersebut tersusun dari materi yang halus sekali dan menyerupai uap atau udara. Walaupun demikian roh-roh tersebut terkadang bisa dilihat. Roh dari benda-benda tertentu mempunyai pengaruh terhadap kehidupan manusia. Roh dari benda- benda yang menimbulkan perasaan dahsyat seperti hutan yang lebat, danau yang dalam, sungai yang arusnya deras, pohon besar yang rindang dan lain sebagainya itulah yang dihormati dan ditakuti. Maka dari itu, roh-roh tersebut diberi sesajen untuk menyenangkan hati mereka, misalnya sesajen dalam bentuk binatang, makanan, kembang, dan sebagainya. 15 15 Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya jilid 1, cetakan 5, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1985), h. 4.

14 Lain halnya dengan paham Politeisme. Dalam paham Politeisme hal-hal yang dahsyat bukan lagi dikuasai oleh roh-roh, akan tetapi oleh dewa-dewa. Dewa-dewa dalam paham Politeisme mempunyai tugas tertentu, seperti ada Dewa yang bertugas memberi sinar atau cahaya, dalam agama Mesir Kuno disebut dengan dewa Ra, dewa angina yang disebut dewa Wata dan lain sebagainya. Tujuan beragama dalam paham Politeisme bukan hanya memberi sesajen dan persembahan kepada dewa-dewa, tetapi juga menyembah dan berdo a kepada para dewa. Jadi mereka berdo a tidak hanya pada satu dewa, akan tetapi juga kepada dewa lainnya. 16 Dewa-dewa yang banyak dalam paham Politeisme terkadang salah satu dewa dipandang punya peran besar. Hal tersebut menyebabkan paham Politeisme meningkat menjadi paham Henoteisme. Henoteisme adalah sebuah kepercayaan atau paham yang mempercayai adanya Tuhan tetapi hanya mengakui satu Tuhan saja sebagai Tuhan yang disembah. Oleh karena itu biasanya orang yang mempunyai paham ini, mereka akan mencari sistem kepercayaan yang lebih rasional dan sekaligus memuaskan. 17 Paham yang selanjutnya yaitu Monoteisme. Dasar ajaran Monoteisme ialah Tuhan satu, Tuhan Maha Esa, pencipta alam semesta. Tujuan hidup beragama dalam paham ini tidak lagi mencari keselamatan hidup material saja, tetapi juga keselamatan hidup spiritual atau dalam agama disebut kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Dalam paham monoteisme kekuatan 16 Jirhanuddin, Perbandingan Agama: Pengantar Studi Memahami Agama-agama. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 54-55. 17 Wardoyo, Filsafat Agama (Modul Semester Genap), (Surakarta: Efude Press, 2013) h. 44-46.

15 gaib atau supernatural dipandang sebagai suat zat yang berkuasa mutlak bukan sebagai zat yang menguasai suatu fenomena seperti halnya dalam paham Animisme dan Dinamisme. Oleh karena itu Tuhan dalam paham ini tidak bisa dibujuk maupun dirayu dengan sesaji atau hal yang lainnya, kecuali menyerahkan diri kepada kehendakn-nya saja. Secara konsep, agama Islam dianggap sebagai agama yang paling mewakili Monoteisme. Monoteisme Islam menitikberatkan pada zat Tuhan yang murni ke-esaanya. 18 Untuk memahami adanya paham Animisme, Dinamisme, Politeisme, Henoteisme dan Monoteisme dalam tradisi Rasulan bisa melihat teori simbol yang ada dalam tradisi ini, karena simbol menunjukkan bahwa di setiap tradisi yang dijalankan memiliki makna tersendiri. Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang religius dan penuh simbol. Religiusitas tampak dalam perilaku dan adat istiadat yang ada pada masyarakat Jawa. Berbagai ajaran dan pesan moral sering dinyatakan dalam bentuk simbol simbol. 19 Selain itu, pada dasarnya segala bentuk upacara religius ataupun upacara-upacara peringatan apapun yang dilakukan oleh manusia merupakan bentuk simbolisme. 20 Makna dan maksud upacara itulah yang menjadi tujuan manusia untuk memperingatinya. Simbol mempunyai 18 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, cetakan 5, (Jakarta : Rajawali Pers, 2015), h. 76. 19 Syamsul Bakri, Kebudayaan Islam Bercorak Jawa (Adaptasi Islam dalam Kebudayaan Jawa), dalam DINIKA, Vol. 12, no 2 ( Juli Desember 2014 ), h. 37. 20 Kata simbol berasal dari Bahasa Yunani symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S Poerwadminta mengartikan simbol atau lambang sebagai sesuatu seperti tanda, lukisan, perkataan, lencana dan sebagainya yang menyatakan suatu hal atau mengandung maksut tertentu. Lihat, Budiono Heru Satoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: Grahawidya, 2003), h.17.

16 peran yang sangat menonjol dalam suatu tradisi. Segala bentuk dan kegiatan simbolik dalam masyarakat tradisional merupakan sebuah upaya pendekatan manusia kepada Tuhannya. 21 Pandangan analitis harus sampai kepada ritual supaya upaya untuk mencapai hakikat dari tindakan religius dapat tercapai. Dengan mengkaji ritual, orang bisa memahami tingkah laku yang disakralkan, keyakinan yang membenarkan adanya konsep religius dan keyakinan terhadap tujuan-tujuan religius. 22 Simbol-simbol yang ada dalam tradisi Rasulan di Dusun Kropak Kabupaten Gunungkidul mempunyai hubungan tersendiri, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini bisa dilihat dari prosesi pelaksanaa tradisi Rasulan di mana di dalam setiap ritual yang ada dalam tradisi tersebut mempunyai simbol-simbol tertentu. Orang Jawa yang biasanya dianggap sebagai orang yang primitif, di mana didalam kepercayaan mereka masih menganggap dan mempercayai kekuatan-kekuatan alam. Maka dari itu timbullah pemahaman di kalangan orang Jawa bahwa setiap kekuatan dan kejadian di alam disebabkan oleh makhluk yang berada di sekitarnya. Pandangan ini disebut paham Animisme yaitu paham yang meyakini adanya kekuatan roh atau kekuatan alam. Keyakinan terhadap roh tersebut dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu fetitisme dan spiritisme. Fetitisme adalah pemujaan kepada berwujud yang 21 Budiono Heru Satoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: Grahawidya, 2003), h.48-49 22 M. Soehadha, Orang Jawa Memaknai Agama, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008), h. 18.

17 memiliki jiwa, sedangkan spiritisme merupakan pemujaan roh-roh leluhur dan makhluk halus lainnya yang terdapat di alam. 23 Alasan penulis menggunakan teori mengenai kepercayaan manusia serta teori simbol dikarenakan skripsi ini akan mencari dimensi teologis juga mencari kecenderungan dimensi teologis yang terdapat dalam tradisi Rasulan di Dusun Kropak Kabupaten Gunungkidul tentunya lewat simbol-simbol yang ada disetiap acara Rasulan tersebut. G. Metodelogi Penelitian Supaya lebih mempermudah proses penelitian ini, maka penulis memberi beberapa tahapan pada model penelitian sebagai berikut: 1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Dusun Kropak Kabupaten Gunungkidul sebagai objek penelitian. Sedangkan waktu pelaksanaan penelitian dimulai dari Bulan Juni 2017 Bulan April 2018. 2. Jenis Penelitian Penelitian ini akan menggunakan jenis penelitian lapangan (field research) dan didukung dengan beberapa jenis data yang akan penulis gunakan. Sumber data dalam penelitian ini berasal dari masyarakat Dusun Kropak Kabupaten Gunungkidul. 3. Sumber Data Penulis mengklasifikasikan sumber data menjadi dua macam yaitu, sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer yaitu 23 Capt. R.P Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa, (Yogyakarta: LKis, 2007), h. 1.

18 tradisi Rasulan itu sendiri dan berupa hasil wawancara dengan kepala desa, tokoh masyarakat desa, masyarakat sekitar beserta orang-orang yang terlibat dalam tradisi tersebut yang memberikan beberapa informasi seputar tradisi Rasulan. Sedangkan data sekunder, penulis dapatkan dari data-data berupa buku-buku serta materi yang ada kaitannya dengan obyek material dan formal penelitian ini. 4. Teknik Pengumpulan Data Terkait teknik atau metode pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilakukan sebagai berikut: a. Observasi merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati secara langsung objek yang menjadi fokus penelitian untuk mencari jawaban pada bukti-bukti yang ada dalam lingkungan yang akan diteliti. 24 Dengan metode observasi penulis melakukan pengamatan dan memberikan batasan padahal yang dianggap penting untuk diperhatikan. b. Interview (wawancara) merupakan percakapan yang dilakukan secara langsung dengan tatap muka yang melibatkan orang-orang yang bersangkutan dalam pelaksanaan tradisi Rasulan. Dengan menyiapkan daftar pertanyaan secara terperinci dan sistematis. 25 Penulis berusaha untuk ikut aktif diri dengan bertanya mengenai hal yang akan di bahas sehingga dapat membantu memperoleh informasi. wawancara ini akan dilakukan dengan masyarakat Dusun Kropak Kabupaten Gunungkidul, 24 Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1991), h. 108-111. 25 Barrowi & Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 127.

19 terutama yang menjadi panitia dalam tradisi rasulan dan tokoh-tokoh masyarakat. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data secara langsung dari sumber-sumber yang dianggap kompeten dan memiliki informasi serta data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. c. Dokumentasi merupakan metode yang digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian. Dengan metode ini penulis mengumpulkan bukti-bukti dengan mengikut sertakan beberapa dokumentasi berupa foto-foto yang ada di lapangan. 5. Metode Analisis Data Setelah data-data terkumpul selanjutnya penulis akan melakukan analisi data, dengan menggunakan beberapa metode analisis data yang sudah umum digunakan dalam kajian filsafat, sebagaima di bawah ini: a. Deskriptif merupakan teknik analisis data yang akan dilakukan dalam rangka mencapai suatu pemahaman terhadap fokus penelitian, dengan memisahkan tiap-tiap bagian dari keselurahan fokus yang akan dikaji. 26 Metode ini akan digunakan di bab II dan III. b. Pemahaman (Verstehen) adalah suatu metode yang dilakukan dengan cara menilai objek kebuadayaan manusia, pemikiran-pemikiran terhadap suatu masalah yang bersifat ganda. 27 Metode ini digunakan hampir semua bab dalam penelitian ini tujuannya untuk memahami 26 Moh Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif Untuk Studi Agama, (Yogyakarta: Suka Press, 2012), h. 134. 27 Khaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdispliner: Metode Penelitian Ilmu Agama Interkonektif Interdispliner Dengan Ilmu Lain, (Yogyakarta: Paradigma, 2010), h. 166.

20 kajian dalam Tradisi Rasulan di Masyarakat Dusun Kropak Kabupaten Gunungkidul. c. Interpretasi merupakan metode digunakan untuk menginterpretasikan suatu gagasan dalam makna yang ada dalam tradisi rasulan Dusun Kropak Kabupaten Gunungkidul. 28 Selain itu metode ini merupakan bagian dari gambaran informasi yang diubah untuk penyesuaikan dengan karya ilmiah. 29 Selanjutnya metode ini digunakan di bab IV (empat) untuk memberi pengertian dan pemahaman yang benar terhadap objek kajian penelitian ini. H. Sistematika Pembahasan Penelitian ini terdiri dari lima bab dan disusun sesuai dengan sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab pertama, berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, kerangkat teori, metodelogi penelitian, dan sistematika penelitian. Bab kedua, berisi gambaran umum masyarakat Dusun Kropak Kabupaten Gunungkidul yang membahas tentang sejarah asal-usul lokasi penelitian, kondisi geografis, kondisi ekonomi, keagamaan Masyarakat Dusun kropak Kabupaten Gunungkidul dan membahasa tentang prosesi tradisi Rasulan. 28 Anton Bakker dan Ahmad Charis Zubair, Metode Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 51. 29 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Cet III, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 42.

21 Bab ketiga, berisi mengenai pengertian teologi, konsep ke-tuhanan orang Jawa serta perkembangan kepercayaan manusia. Bab keempat, berisi analisis mengenai dimensi-dimensi teologis yang ada dalam tradisi Rasulan dan analisis mengenai kecenderungan dimensi teologis yang ada dalam tradisi Rasulan di Masyarakat Dusun Kropak Kabupaten Gunungkidul, Bab kelima, berisi penutup yang meliputi kesimpulan dan saran-saran dari hasil pembahasan.

BAB II GAMBARAN UMUM DUSUN DAN PROSESI TRADISI RASULAN A. Gambaran Dusun dan Masyarakat 1. Sejarah singkat Dusun Kropak Dusun Kropak merupakan salah satu dusun yang termasuk dalam Desa Candirejo. Dusun Kropak merupakan salah satu bagian terpenting dari periodisasi perjalanan sejarah berdirinya atau adanya Desa Candirejo. Selain itu Dusun Kropak juga merupakan salah satu dusun yang mempunyai warisan tradisi budaya, di mana dari masa ke masa tradisi tersebut terus mengalami perubahan dan perkembangan. Dahulu sebelum zaman kemerdekaan di wilayah Kapenewon Semanu terdapat dua Kalurahan yang berdekatan yaitu Kalurahan Panggul dan Kalurahan Cuwelo yang masing-masing membawahi beberapa wilayah Padukuhan. Kalurahan Panggul terdiri dari delapan Padukuhan dan Kalurahan Cuwelo terdiri dari delapan padukuhan juga. Kalurahan Panggul terdiri Padukuhan Nangsri Lor, Padukuhan Nangsri Kidul, Padukuhan Gunung Kunir, Padukuhan Panggul Kulon, Padukuhan Panggul Wetan, Padukuhan Panggul Tengah, Padukuhan Plebengan Kidul, dan Padukuhan Plebengan Lor. Sedangkan untuk Kalurahan Cuwelo terdiri dari Padukuhan Gebang, Padukuhan Soka, 22

23 Padukuhan Cuwelo Kidul, Padukuhan Pace, Padukuhan Kropak, Padukuhan Mranggen, Padukuhan Bulu, dan Padukuhan Jati. 1 Semua padukuhan-padukuhan yang masuk ke dalam Kalurahan Panggul dan Kaluruhan Cuwelo di pimpin oleh tiap-tiap miruda. 2 Seperti dikuti dalam wawancara dengan salah satu sesepuh yang ada di Dusun Kropak sebagai berikut : Dulunya setiap dusun dipimpin oleh seorang miruda mbak. Miruda bertugas untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat di setiap dusun. Jadi masing-masing dusun mempunyai satu Miruda. Nah, setelah tahun 1946 para miruda tersebut diganti dan dibentuklah struktur pemerintahan seperti lurah, carik, dukuh dan sebagainya. 3 Pergantian miruda menjadi pembentukan struktur pemerintahan baru setelah tahun 1946 dilakukan supaya masing-masing Padukuhan dapat terstruktur dan terkelola dengan baik. Sehingga nantinya bisa memberikan dampak yang positif terhadap perkembangan masing-masing padukuhan. Tahun 1946, tepatnya setelah Negara Republik Indonesia Merdeka Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dan Kapenewon Semanu melakukan penataan wilayah, termasuk wilayah Kalurahan Panggul dan Kalurahan Cuwelo. Kedua Kalurahan tersebut digabung menjadi satu wilayah Kalurahan. Dari gabungan dua Kalurahan tersebu dengan pertimbangan geografis digabungkan dua wilayah Padukuhan Pecahan dari Kalurahan Jragum yaitu padukuhan Soga dan Padukuhan Pucangsari sehingga 1 Pemerintah Desa Candirejo, Sejarah Desa Candirejo, artikel diakses pada 25 April 2018 dari http://candirejo-semanu.desa.id/first/artikel/57&hl=id-id&geid=1026. 2 Miruda adalah sejenis Kepala Dusun (Dukuh) yang memimpin setiap padukuhan. Sebutan Miruda ini sudah ada sejak zaman Jepang dan bertahan hingga Zaman Belanda. 3 Wawancara pribadi dengan Bapak Sirin Hartono (Sesepuh Dusun Kropak), Kropak, 10 Maret 2018.

24 terbentuklah Kalurahan Candirejo yang membawahi 18 Padukuhan, di mana salah satunya adalah Dusun Kropak itu sendiri. 4 2. Letak Geografis Dusun Kropak Dusun Kropak beralamat di Jalan raya Semanu Tepus, tepatnya terletak di Desa Candirejo di antara 08 0 04 17 LS dan 110 0 40 45 BT. 5 Dusun Kropak merupakan wilayah dusun yang berlokasi di sebelah Selatan Kecamatan Semanu. Wilayah Dusun Kropak umumnya sudah mulai berbukit-bukit. Terletak dua belas kilo meter dari Ibukota Kecamatan Semanu. Wilayah Dusun Kropak tergolong sangat luas dibandingkan dengan dusun-dusun di sekitarnya, hal ini terllihat dari jumlah penduduk dusun kropak yang paling banyak diantara dusun-dusun lain disekitarnya. Dusun Kropak terdiri dari empat RT dan satu Rw. Dari sebelah timur, Dusun Kropak berbatasan dengan wilayah Dusun Bulu, sedangkan sebelah utara berbatasan dengan Dusun Cuwelo Lor. Dari sebelah Barat, Dusun Kropak berbatasan dengan Dusun Cuwelo Kidul dan dari Sebelah Selatan berbatasan dengan Dusun Mranggen. Jika ditempuh dari Kecamatan Semanu, cukup dengan menggunakan transportasi umum dengan biaya Rp. 5.000 per orang. Namun, saat ini transportasi umum yang ada jarang beroprasi sehingga bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan pribadi atau menggunakan jasa ojek. 4 Pemerintah Desa Candirejo, Sejarah Desa Candirejo, artikel diakses pada 25 April 2018 dari http://candirejo-semanu.desa.id/first/artikel/57&hl=id-id&geid=1026. 5 Kode dan Data Wilayah Administratif Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, diakses pada 26 Maret 2018 dari https://kependudukanpemdadiy.

25 Waktu yang ditempuh jika dari Kecamatan Semanu untuk sampai di Dusun Kropak kurang lebih 15 menit. Namun, apabila di tempuh dari Kota Wonosari kurang lebih menghabiskan waktu 30 menit. Sebagain besar wilayah dari wilayah Dusun Kropak merupakan kawasan pertanian, sehingga sepanjang perjalanan menuju Dusun Kropak kita akan melihat hamparan luas tanah pertanian milik warga. 6 3. Keadaan Demografis a. Keadaan Penduduk Jumlah penduduk Desa Candirejo terdiri dari 8.136 jiwa 7, dimana kesemuanya merupakan warga dari 20 padukuhan yang ada di Desa Candirejo, terdiri dari : Laki-laki Perempuan Tabel 1 4092 Jiwa 4044 Jiwa Sumber : Data kependudukan berdasar populasi per wilayah Desa Candirejo Dari table di atas maka dalam penelitian ini untuk selanjutnya akan difokuskan di Dusun Kropak, maka dari itu pembahasan mengenai keadaan penduduk, keadaan ekonomi, pendidikan dan kondisi keagamaan akan difokuskan hanya di Dusun Kropak saja yang menjadi lokasi penelitian ini. Penduduk Dusun Kropak sebagian besar bukan masyarakat asli Dusun Kropak, akan tetapi merupakan 6 Wawancara pribadi dengan Bapak Sundara (Kepala Dusun Kropak), Kropak 15 Maret 2018. 7 Pemerintah Desa Candirejo, Sejarah Desa Candirejo, artikel diakses pada l8 Mei 2018 dari http://candirejo-semanu.desa.id/first/artikel/57&hl=id-id&geid=1026.

26 masyarakat pendatang. Jumlah penduduk masyarakat Dusun Kropak 491 jiwa 8, terdiri dari : Laki-laki Tabel 2 243 Jiwa Perempuan Jumlah 248 Jiwa 491 Jiwa Sumber : Data Monografi Dusun Kropak tahun 2018 Dari table di atas, bisa diketahui sebagian besar penduduk Dusun Kropak adalah perempuan, sehingga mayoritas yang berperan aktif dalam sistem organisasi dan acara-acara di Dusun Kropak adalah perempuan. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ketua PKK sebagai berikut : b. Kondisi Ekonomi Karena di Kropak ini banyak yang perempuan, jadi acara dusun yang mengkoordinir ya ibu-ibu ini mbak, misalnya seperti acara tujuh belasan, acara pengajian, dan lain sebagainya. Kalau bapakbapak ya hanya bantu-bantu tenaga untuk teknis dan sepenuhnya ya semua yang mengkoordinir ibu-ibu mbak. 9 Manusia merupakan makhluk sosial, sehingga dalam hidupnya manusia tidak bisa hidup secara individual melainkan harus bersosialisasi dengan yang lainnya. Sejatinya manusia sebagai makhluk alam hidup bergantung dengan alam sekitarnya. Setiap masyarakat yang hidup di alam atau lingkungan geografis selalu memnciptakan kehidupan sosial ekonomi yang berbeda-beda tergantung dengan wilayah yang ditempati. 8 Data Rumah Tangga Program Kesehatan Dusun Kropak 23-28 September 2017. 9 Wawancara pribadi dengan Ibu Dwi Astuti (Ketua PKK), Kropak 20 Maret 2018.

27 Umumnya, masyarakat yang tinggal di wilayah perbukitan atau pegunungan akan menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian, lainnya dengan masyarakat yang tinggal di daerah pesisir maka akan menggantungkan hidupnya dari hasil lautnya. Masyarakat Dusun Kropak sebagian besar menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian, seperti dikutip dalam wawancara dengan Kepala Dusun Kropak, sebagai berikut : Warga masyarakat di sini sebagian besar mengandalkan hasil pertanian untuk mencukupi kehidupan hidup mbak, ya walaupun banyak dari mereka yang tidak memiliki lahan pertanian sendiri, tetapi mereka tetap mengandalkan hasil pertanian untuk bertahan hidup, missal dengan menggarap lading milik orang lain, dan nantinya akan bagi hasil. 10 Terdapat pula warga yang menggantungkan hidupnya dengan menjalani profesi lain seperti buruh, pegawai negeri maupun swasta. Namun, jika dibandingkan dengan warga yang berprofesi sebagai petani, jumlahnya lebih kecil. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dari table di bawah ini : Tabel 3 Petani 90 Buruh tani 242 Swasta 56 Wiraswasta 86 PNS 16 Perawat 1 Jumlah 491 Sumber : Data Monografi Dusun Kropak tahun 2018 10 Wawancara pribadi dengan Bapak Sundara (Kepala Dusun Kropak), Kropak, 19 Maret 2018.

28 Dari tabel di atas, bisa diketahui sebagian besar masyarakat Dusun Kropak menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Dari kondisi sosial ekonomi masyarakat Dusun Kropak sesungguhya berlangsung secara dinamik, hanya saja profesi-profesi tersebut hanya dijalankan berdasar pada pengalaman para pendahulu yang diwariskan secara turun-temurun. c. Kondisi Pendidikan Persoalan mengenai pendidikan pada masyarakat Dusun Kropak bisa dipandang cukup maju. Hal ini dibuktikan seluruh warga Dusun Kropak pernah mengenyam bangku pendidikan. Untuk lebih jelasnya bisa di lihat pada tabel di bawah ini : Tabel 4 NO Jenjang Pendidikan Jumlah 1. Tamat SD 200 2. Tamat SLTP 156 3. Tamat SLTA 108 4. Sarjana 27 Jumlah 491 Sumber : Data Monografi Dusun Kropak tahun 2018 Dari hasil tabel di atas warga masyarakat Dusun Kropak mampu mengenyam pendidikan dengan baik. Apabila melihat dari jenjang pendidikan yang sudah dilampaui sebenarnya masyarakat Dusun Kropak mempunyai potensi untuk mengubah dirinya menjadi lebih baik, akan tetapi banyaknya warga yang tidak melanjutkan ke

29 jenjang yang lebih tinggi menjadi penghambat tersendiri. Hal ini dikarenakan banyak yang memilih untuk bekerja maupun menikah. d. Kondisi Keagamaan Keberagamaan masyarakat Dusun Kropak bisa dikatakan cukup beragama. Seperti dikutip dalam wawancara dengan salah satu tokoh agama, sebagai berikut : Di Kropak ini kebanyakan agamanya Islam mbak, tapi ya ada juga agama lain seperti Kristen dan Katolik tapi tidak banyak. Semua warga tetap rukun, ayem, tentrem walau dulu pernah ada konflik tapi sekarang sudah membaik keadaanya. 11 Sesuai penjelasan di atas masyarakat di Dusun Kropak yang tidak hanya mengenal satu agama saja. Di daerah ini terdapat beberapa pemeluk agama, seperti Islam, Kristen dan Katolik. Walaupun kehidupan keagamaan masyarakat Dusun Kropak beragam hubungan antar pemeluk agama berlangsung dengan baik dan harmonis walaupun pernah terjadi konflik. Akan tetapi konflik tersebut kini sudah mulai terselesaikan dengan sikap toleransi yang baik antar warga. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat di tabel di bawah ini : Tabel 5 No Agama Jumlah 1. Islam 463 2. Kristen 27 3. Katolik 1 4. Hindhu - 11 Wawancara pribadi dengan Bapak Tukiran (tokoh agama), Kropak, 25 Maret 2018.

30 5. Budha - Jumlah 491 Sumber : Data Monografi Dusun Kropak tahun 2018 Keharmonisan hubungan antar pemeluk agama dibuktikan manakala para penganut agama Kristen dan Katolik bisa memiliki gereja sendiri. Begitupula dengan warga yang menganut agama Islam juga memiliki masjid sendiri. Walaupun masyarakat di Dusun Kropak merupakan muslim, akan tetapi mereka tidak bersikap semaunya sendiri. Hal ini dibuktikan betapa masyarakat muslim menghormati masyarakat yang beragama Kristen dan Katolik pada waktu Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Pada Hari Raya Idul Fitri masyarakat yang beragama Kristen dan Katolik juga ikut turut serta dalam acara halal bi halal atau syawalan yang biasanya dilakukan di masjid ataupun di balai dusun. Sedangkan pada Hari Raya Idul Adha masyarakat yang memeluk agama Kristen dan Katolik juga bisa merasakan daging qurban. Hal yang menarik mengenai keberagamaan masyarakat Dusun Kropak yaitu walaupun masyarakatnya mayoritas muslim, akan tetapi masyarakat Dusun Kropak masih saja melakukan tradisi-tradisi yang mana di dalamnya mengandung unsur-unsur mistis, seperti tradisi Rasulan yang masih dijalankan hingga saat ini. Selain itu sebagian masyarakat juga masih menjalankan ritual-ritual seperti menyediakan sesajen pada hari-hari tertentu.

31 B. Asal Usul Tradisi Rasulan Kata Rasulan diambil dari kata Rasul yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, akan tetapi kata Rasulan sendiri tidak selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang erat hubungannya dengan peringatan terhadap maulid nabi atau Isra Mi raj. Namun, bagi masyarakat Gunungkidul Rasulan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengungkapkan rasa terimakasih kepada Tuhan atas segala nikmat yang diberikan kepada semua warga, sebagaimana dikutip dalam wawancara dengan salah satu sesepuh Dusun Kropak, sebagai berikut : Kalau Rasulan di Dusun Kropak ini tidak dilakukan untuk memperingati maulid nabi atau semacamnya mbak, ya murni dilakukan untuk ungkapan syukur saja pada yang Maha Kuasa. Jadi ya beda mbak sama Rasulan di tempat lain jika Rasulan dianggap sebagai peringatan untuk maulid nabi atau yang lainnya, tapi ya tergantung pemahaman masyarakat sekitar juga. 12 Tradisi Rasulan biasanya dikenal dengan Tradisi Bersih Desa. Rasulan merupakan suatu tradisi yang sudah lama diselenggarakan oleh masyarakat Gunungkidul. Tradisi Rasulan biasanya diselenggarakan setiap satu tahun sekali, sehingga terkesan seperti acara tahunan yang wajib diselenggarakan. Waktu dan prosesi dari pelaksanaannya pun berbeda-beda tergantung dari kesepakatan warga di setiap dusun. 13 Banyak yang meyakini apabila tradisi ini tidak dilaksanakan maka hal-hal buruk akan menimpa. Hal ini terbukti ketika pada zaman dahulu ketika di Dusun Kropak tradisi Rasulan tidak dilaksanakan kemudian ada salah satu warga yang meninggal dunia. 12 Wawancara pribadi dengan Bapak Sirin Hartono (Sesepuh Dusun Kropak), Kropak, 10 Maret 2018. 13 Candra Bagus Sultan Mixdam& Nur Hidayah, Sosialisasi Adat Rasulan di Kalangan Anak- Anak Pada Era Modernisasi di Daerah Playen Gunungkidul, jurnal diakses pada 5 Januari 2018 dari http://www.journal.student.uny.ac.id.

32 Warga masyarakat setempat meyakini bahwa hal tersebut merupakan dampak dari tidak dilaksanakannya tradisi Rasulan. Munculnya Tradisi Rasulan sebenarnya tidak diketahui secara pasti, seperti dikutip dalam wawancara dengan salah satu panitia Rasulan, sebagai berikut : Yang pasti Rasulan ini sudah ada sejak dulu mbak, dan pasti setiap tahun diadakan Rasulan ini. Soalnya semenjak saya kecil saya sering melihat dan ikut Rasulan ini ya walaupun saya belum mengerti sepenuhnya. 14 Melihat penjelasan di atas terlihat sekali belum ada catatan resmi mengenai sejak kapan Rasulan ini dilaksanakan. Namun, secara pasti bahwa tradisi ini sudah berlangsung sejak lama dan merupakan warisan dari nenek moyang masyarakat Gunungkidul. Pada umumnya Tradisi Rasulan dilaksanakan oleh para petani setelah masa panen tiba. Hal ini sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala nikmat dan karunia yang diberikan atas hasil panen yang melimpah serta untuk menghormati dhanyang atau mbaureksa (roh-roh halus) penunggu tempattempat keramat. Rasulan biasanya berlangsung selama beberapa hari, tetapi pada saat ini ada yang melaksanakan hanya satu atau dua hari saja, tentunya dengan berbagai kegiatan yang sudah disusun oleh panitia Rasulan, seperti dikuti dalam wawancara dengan ketua panitia Rasulan sebagai berikut : Acara Rasulan di Kropak ini memang terkenal sampai ke desa-desa tetangga, jadi ya acaranya dibuat semeriah mungkin mbak, ya walaupun menghabiskan waktu sampai beberapa hari. Untuk hiburan sendiri panitia 2018. 14 Wawancara pribadi dengan Bapak Suharyuli (Panitia Rasulan tahun 2017), Kropak, 2 April

33 biasanya mengisi dengan kegiatan olahraga sepeti bola dan sepakbola, selain itu ada juga pertunjukkan kesenian seperti reog dan lain sebagainya. Dan untuk acara pucak biasanya panitia menggelar kirab budaya mbak. 15 Biasanya saat suatu Dusun menyelenggarakan Tradisi Rasulan ini, maka dusun-dusun yang lain pun akan turut serta memeriahkan dengan datang langsung maupun berpartisipasi dalam kegiatan atau acara yang ada di tradisi tersebut. Hal unik yang ada di Tradisi Rasulan ini yaitu even budayanya mirip dengan budaya lebaran, di mana seseorang datang ke tempat kerabatnya untuk bersilaturahmi dan menikmati hidangan spesial yang disediakan oleh tuan rumah, seperti dikuti dalam wawancara dengan salah satu warga Dusun Kropak sebagai beriku : Hidangan special yang menjadi menu wajib ada di setiap rumah pada waktu acara Rasulan ini diselenggarakan yaitu jangan Lombok (sayur cabai) lengkap dengan lauk-pauknya seperti tempe bacem, tahu bacem, ayam goreng, bihun, sambal goreng dan lainnya serta peyek yang terbuat dari adonan tepung yang dicampur dengan kacang tanah atau kedelai. Sejak dulu memang itu mbak hidangannya, tapi kalau tergantung si pemilik rumah mau memberikan jamuan seperti apa, tapi untuk jangan lomboknya itu masih khas sampai sekarang. 16 Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, setiap dusun mempunyai suatu tempat khusus yang diyakini sebagai tempat persemayaman dhanyang atau mbaureksa. Tempat-tempat tersebut biasanya berupa pohon seperti resan (pohon beringin). Begitupula dengan tradisi Rasulan selain ungkapan syukur yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, ditujukan pula terhadap mbaureksa yang ada di dusun tersebut. Hal ini dilakukan supaya mbaureksa tidak mengganggu. 15 Wawancara pribadi dengan Bapak Kastana (Ketua Panitia Rasulan tahun 2017), Kropak, 30 Juni 2017. 16 Wawancara pribadi dengan Ibu Retna Subekti (warga Dusun Kropak), Kropak, 5 April 2018.

34 Salah satu dusun di Gunungkidul yang masih menyelenggarakan tradisi Rasulan adalah Dusun Kropak. Tradisi tersebut dilaksanakan setiap satu tahun sekali. Tradisi Rasulan di Dusun Kropak sudah berlangsung sejak lama. Akan tetapi Rasulan yang dilaksanakan pada zaman dulu banyak mengalami perubahan, seperti dikutip dalam wawancara dengan salah satu panitia Rasulan sebagai berikut : Rasulan di Kropak ini sudah sejak dulu, wong saya dari kecil acara ini sudah ada. Rasulan jaman saya kecil dulu jauh beda dengan saat ini. Kalau dulu cuma satu hari dan acaranya cuma satu hari saja, beda dengan saat ini. Pokoknya lebih meriah dan waktunya lebih lama tentunya, jadi warga masyarakat tentunya sangat terhibur sekali. Tapi ya acara intinya sama mbak dari dulu sampai sekarang yaitu acara kenduri itu. Untuk teknis pelaksanaan Rasulan ini tidak seperti yang lain mbak yang harus dilakukan setelah panen, tapi ya manut warga saja. 17 Tradisi Rasulan yang ada di Dusun Kropak berbeda dengan tradisi Rasulan yang ada di tempat lain, karena tradisi Rasulan di Dusun Kropak tidak mesti dilaksanakan setelah panen padi tetapi hanya dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan seluruh warga. Tradisi Rasulan ini juga tidak mengadakan acara bersih-bersih, seperti bersih-bersih makam, sendang, sumur atau tempat-tempat keramat lainnya, tetapi hanya mengadakan acara selametan atau kenduri sebagai acara inti. Sesuai dengan penjelasan di atas tradisi Rasulan yang ada di Dusun Kropak diselenggarakan sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas nikmat yang diberikan, selain ditujukan kepada Tuhan ungkapan syukur juga 17 Wawancara pribadi dengan Bapak Waryana (panitia Rasul 2017), Kropak, 6 April 2018.

35 ditujukan kepada mbaureksa 18 (penunggu) yang ada di Dusun Kropak. Masyarakat Dusun Kropak meyakini penunggu tersebut bertempat di Pohon beringin (resan) yang ada di sebelah selatan telaga, di depan Balai Dusun Cuwelo Kidul, dan di atas gunung. Selain sebagai ungkapan rasa syukur dengan diselenggarakannya tradisi Rasulan mampu meminimalisir terjadinya perselisihan dan perpecahan antar masyarakat. Hal ini juga diungkapkan oleh ketua panitia Rasulan yaitu Kastana seperti dikuti dari Arista Putri sebagai berikut : Ini meminimalisir terjadinya perselisihan dan perpecahan antar masyarakat. Sejak dulu memang sudah dilaksanakan barengan seperti itu. 19 C. Pelaksanaan Tradisi Rasulan di Dusun Kropak 1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Rasulan dilakukan oleh masyarakat Dusun Kropak pada tanggal 30 Juni 2017, tepatnya di hari Jumat Legi selama tiga hari berturut-turut. Seperti dikutip dalam wawancara dengan Sesepuh Dusun Kropak sebagai berikut : Tradisi Rasulan di Dusun Kropak ini dilaksanakan setiap satu tahun sekali mbak, yaitu pada hari jumat Legi, dan pada tahun ini jatuh pada tanggal 30 Juni 2017. Sebenarnya untuk bulan pelaksanaan tradisi Rasulan ini tidak dipatokan harus bulan apa, akan tetapi hanya mengikuti momen saja dan kesepakatan warga. Untuk Rasulan tahun ini jatuh di bulan Juni, karena bertepatan dengan selesainya Hari Raya Idul Fitri. 20 18 Mbaureksa diyakini sebagai sosok ghaib (leluhur, cikal bakal pendiri dusun) yang ada di Dusun Kropak. 19 Arista Putri, Candirejo Meriah Gelar Bakda Campur Rasul, artikel diakses pada 15 Maret 2018 dari http://gunungkidul.sorot.co/berita-93673-candirejo-meriah-gelar-bakda-campurasul.html. 20 Wawancara pribadi dengan Bapak Pujo Hadi Rujiman (sesepuh), Kropak, 6 April 2018.

36 Rasulan yang diselenggarakan di Dusun Kropak selalu dilaksanakan pada hari Jumat Legi, hal ini dikarenakan masyarakat setempat meyakini bahwa Jumat Legi bertepatan dengan berdirinya Kraton Jogja dan sekaligus adanya Dusun Cuwelo. 2. Penyelenggara Penyelenggara tradisi Rasulan adalah orang-orang yang sudah dipilih menjadi panitia acara tersebut yang diyakini mempunyai kemampuan untuk mengatur jalannya acara Rasulan, PPC (Persatuan Perantau Cuwelo) dan juru kunci (Mbah Kaum). Panitia Rasulan selain terdiri dari orang-orang yang berkompeten juga terdiri dari orang-orang yang mempunyai ekonomi tinggi. PPC (Persatuan Perantau Cuwelo) merupakan kelompok perantau yang berada di Jabodetabek, anggotanya terdiri dari warga masyarakat asli Cuwelo yang merantau untuk bekerja. Juru kunci (Mbah Kaum) diyakini sebagai orang yang mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi dengan mbaureksa yang ada di Dusun Kropak. Dalam hal ini juru kunci hanya bertugas dalam bidang-bidng tertentu, seperti memimpin dalam upacara yang berkaitan dengan roh-roh halus, dalam hal ini upacara buka gerbang, membuat sesajen dan memimpin do a sewaktu acara kenduri. 3. Pihak-pihak yang terlibat dan Sumber Dana yang Digunakan Tradisi Rasulan ini melibatkan semua lapisan warga masyarakat dari enam padukuhan, yaitu Padukahan Kropak, Padukuhan Cuwelo Kidul, Padukuhan Soka, Padukuhan Gebang, Padukuhan Pace dan

37 Padukuhan Mranggen. Diikuti oleh banyak Dusun, karena dulunya Dusun Kropak masuk menjadi satu kesatuan Kalurahan Cuwelo dengan dusundusun tersebut. Masih banyak orang yang terlibat dalam acara tersebut, selain kaitannya dengan teknis pelaksanaan Rasulan, antara lain : a. Pamong desa dan pamong dusun serta tokoh masyarakat yang diserahi tugas untuk mengatur jalannya tradisi Rasulan. b. Tokoh agama yang ikut berperan serta dalam acara kenduri atau do a bersama. c. Karangtaruna dari enam padukuhan yang bertugas untuk membantu mengatur jalannya acara Rasulan dan ikut berpartisipasi memeriahkan berbagai acara yang ada dalam tradisi Rasulan. Selain warga masyarakat dari semua lapisan yang ikut memeriahkan acara Rasulan, banyak juga pengunjung dari daerah lain yang datang hanya untuk mencari hiburan semata, ada juga yang datang hanya untuk ngalap berkah. Seperti dikutip dalam wawancara dengan salah satu pengunjung Rasulan sebagai berikut : Saya datang jauh-jauh dari Playen ke sini cuma buat cari berkah saja mbak, soalnya nanti kalau saya dapat salah satu makanan dari gunungangunungan itu banyak yang meyakini bisa membawa berkah. Tapi ya selain itu saya juga ingin melihat langsung Rasul Cuwelo ini, karena katanya rame sekali mbak, jadi saya sangat antusias. 21 Pihak terakhir yang tidak kalah pentingnya dalam acara Rasulan yaitu para pedagang, baik pedagang makanan maupun pedagang mainan. Mereka ada yang membuka warung, ada juga yang menjajakan 21 Wawancara pribadi dengan Ibu Suhariningsih (pengunjung Rasulan), Kropak 30 Juni 2017.

38 dagangannya ditepi-tepi jalan, bahkan mereka rela tidur di pinggir jalan sampai seluruh rangkaian proses Rasulan selesai. Hal ini dikarenakan mayoritas pedaganag berasal dari luar daerah. Sumber dana yang digunakan untuk Rasulan berasal dari warga masyarakat Dusun Kropak, seperti dikutip dalam wawancara dengan ketua panitia Rasulan sebagai berikut : Dana Rasulan pastinya yang palin utama diambil dari warga masyarakat Cuwelo mbak. Untuk tahun ini panitia memutuskan agar setiap kepala keluarga mengelurkan dana iuran sebesar Rp. 90.000. selain itu Persatuan Perantau Cuwelo (PPC) se-jabodetabek juga ikut membantu memberikan dana sesuai dengan kemampuan masing-masing. 22 Keseluruhan dana yang terkumpul sepenuhnya digunakan untuk mendukung berbagai kegiatan yang ada dalam acara Rasulan. Sehingga tidak heran apabila dalam satu kali pelaksanaan Rasulan bisa menghabiskan dana sekitar 60 juta lebih. Maka dari itu ada beberapa warga yang beranggapan bahwa Rasulan hanya menghambur-hamburkan uang saja. D. Rangkain Prosesi dan Unsur-unsur (uborampe) Tradisi Rasulan 1. Rangkaian Prosesi Tradisi Rasulan Persiapan-persiapan yang dilakukan sebelum rangkaian prosesi Rasulan dimulai yaitu dengan membersihkan tempat yang akan dijadikan sebagai pusat acara Rasulan dilaksanakan, menyediakan tempat untuk hiburan, serta menyediakan tempat untuk para pedagang. Pelaksanaan 22 Wawancara pribadi dengan Bapak Kastana (Ketua Panitia Rasulan tahun 2017), Kropak, 30 Juni 2017.

39 tradisi Rasulan dilakukan dengan dua sesi, yaitu pra pelaksanaan Rasulan dan puncak acara Tradisi Rasulan itu sendiri. Pra pelaksanaan dilakukan dua hari sebelum puncak acara Rasulan dilaksanakan. Pada hari pertama Rasulan, dimulai dari sore hari sudah ada pertandingan sepak bola, kemudian pada malam hari diisi dengan pertandingan voli yang berlangsung begitu meriah. Selain kegiatan olahraga yang menjadi hiburan di hari pertama ada juga pentas seni, seperti pentas seni tari yang ditampilkan oleh anak-anak kecil sampai dewasa yang tergabung dalam beberapa sanggar tari. Pentas tari biasanya di mulai dari jam 19.00 dan berakhir sampai jam 20.00. Setelah acara tersebut selesai kemudian dilanjutkan dengan penampilan 14 band dari masing-masing padukuhan. Biasanya penampilan band berlangsung hingga larut malam. Hari kedua merupakan acara inti atau acara puncak Rasulan. Esok harinya semua warga sudah bersiap-siap mulai dari mempersiapkan hidangan dan mempersiapkan acara kirab. 23 Setelah sholat jumat berlangsung maka diadakan acara kirab budaya Rasul. Prosesi kirab diawali dengan mengambil gunungan dari tujuh padukuhan. Seluruh grup kesenian seperti reog dan jathilan serta warga yang sudah berdandan sesuai dengan tema masing-masing padukuhan kemudian berbondongbondong mengarak gunungan tersebut menuju Balai Padukuhan Cuwelo Kidul, yang menjadi titik pusat acara Rasulan dilaksanakan. 23 Kirab merupakan arak-arakan mengelilingi dusun dengan membawa tumpeng atau sajian berupa hasil panen dan makanan siap saji.

40 Tata urutan peserta kirab pun ditentukan sesuai dengan nomor undian yang di dapat. Di awali dengan barisan tiga gadis perawan pembawa janur yang berisi uborampe seperti hasil-hasil pertanian, ada juga kwali yang berisi ingkung ayam. Ada makna tersendiri mengapa harus gadis yang masih perawan yang membawa uborampe tersebut karena dianggap masih suci. Setelah urutan pembawa janur dibelakangnya ada tiga gadis pembawa spanduk yang bertuliskan Rasul Cuwelo, kemudian diikuti oleh seseorang yang dianggap mempunyai pengaruh besar dalam terselenggaranya tradisi Rasulan dengan menaiki kuda berdandan dengan memakai pakaian jawa. Barisan selanjutnya diisi dengan pasukan prajurit kratonan yang membawa tombak dan memainkan gamelan senada dengan langkah kaki mereka. Berikutnya barisan diisi dengan gunungan dari masing-masing padukuhan disertai dengan reog, drum band dan warga masyarakat perpadukuhan yang sudah berdandan sesuai dengan tema. Sebelum sampai di Balai Padukuhan Cuwelo Kidul terlebih dahulu peserta kirab dan warga melakukan upacara buka jalan yang dilakukan di perempatan yang diyakini sebagai pintu gerbang Cuwelo. Upacara buka jalan dipimpim oleh seorang tokoh masyarakat yang diyakini mampu berkomunikasi dengan mbaureksa untuk meminta berkah dan perlindungan, dengan cara menyalakan dupa, menaburkan bunga mawar, menyajikan kwali yang berisi ingkung yang kemudian didoakan. Acara buka jalan diakhiri dengan

41 bunyi pecut yang menandakan bahwa pintu gerbang sudah dibuka oleh mbaureksa dan siap dilewati oleh peserta kirab. Setelah itu acara dilanjutkan dengan melakukan do a bersama (kenduri) di Balai Dusun Cuwelo Kidul untuk meminta ketentraman dan keselamatan seluruh warga yang ditujukan kepada Tuhan. Dalam acara kenduri menggunakan uborampe seperti nasi wuduk berbentuk tumpeng dan ingkung yang berjumlah tujuh untuk dido akan, seperti dikutip dalam wawancara dengan salah satu juru kunci Rasulan sebagai berikut : Untuk acara kenduri dilakukan bersama-sama dan diikuti seluruh warga mbak, tempatnya di Balai Cuwelo Kidul. Saat kenduri yang utama harus ada nasi tumpeng lengkap dengan ingkung. Untuk do a ya biasanya saya membaca do a do a sesuai ajaran agama saya, Islam. 24 Sesuai penjelasan di atas do a yang dibaca memang menggunakan do a-do a sesuai dengan ajaran Islam seperti membaca al-fatehah, shalawat nabi, dan do a supaya terhindar dari hal-hal negatif. Acara kemudian dilanjutkan dengan kegiatan perebutan gunungan yang dibawa oleh masing-masing padukuhan. Hal ini merupakan suatu tontonan yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat dan wisatawan. Gunungan yang diperebutkan biasanya isinya sudah diambil sebagain untuk diberikan kepada para peagang yang ada di lingkungan tempat Rasulan baru kemudian di rayah atau diperbutkan. Setelah acara kirab dan perebutan gunungan selesai, acara selanjutnya yaitu berbagai pertunjukan seperti reog dan jathilan. Acara tersebut berlangsung sampai sore dan dilanjutkan dengan pertunjukan sepakbola. Malam harinya dilanjutkan 24 Wawancara pribadi dengan Bapak Sis Saiman (Juru Kunci Rasulan), Kropak, 6 April 2018.

42 dengan pertunjukan seni Kethoprak yang biasanya mendatangkan bintang tamu-bintang tamu terkenal. Dan pada hari ketiga ditutup dengan acara wayang kulit. 2. Unsur-unsur (uborampe) Tradisi Rasulan Ubarampe yang digunakan dalam tradisi Rasulan sangat beragam, seperti dikutip dalam wawancara dengan salah satu juru kunci Rasulan sebagai berikut : Dalam Rasulan ini selalu dan pasti ada ubarampenya, seperti gunungan yang dibuat oleh masing masing padukuhan, ada juga sego wuduk, ingkung, kembang, kemenyan, janur, kuali, dupa. Ubarampe itu tidak semuanya digunakan pada saat yang bersamaan mbak, ya penggunaanya sesuai acara yang dilakukan, karena setiap ubarampe ada artinya sendiri. 25 a. Gunungan Terdapat tujuh gunungan yang ada dalam Tradisi Rasulan di Dusun Kropak. Bentuknya bermacam-macam sesuai dengan kesepakatan warga masing-masing dusun, ada yang berbentuk hewan dan ada juga yang berbantuk rumah-rumahan. Gunungan-gunungan tersebut bisanya berisi makanan-makanan hasil masakan warga masyarakat yang sudah dibungkus dan ditata dalam satu wadah. Ada juga yang berisi sayur-sayuran dan tanaman palawija. Tujuh gunungan tersebut pada acara puncak akan dibawa ke tempat di mana Rasulan dilaksanakan dan nantinya sebelum dibagikan kepada warga masyarakat sekitar akan dido akan terlebih dahulu. 25 Wawancara pribadi dengan Bapak Noto (Juru Kunci Rasulan), Kropak, 5 Juli 2017.

43 b. Ingkung Ingkung biasanya dibuat oleh warga masyarakat per-padukuhan yang telah ditunjuk oleh Dukuh setempat. Biasanya masing-masing padukuhan membuat tiga ingkung, yang nantinya akan dido akan terlebih dahulu sebelum dibagikan. c. Tumpeng Tumpeng dalam Tradisi Rasulan berupa nasi putih yang dimasak menggunakan santan. Masyarakat Dusun Kropak menyebut tumpeng dengan sebutan nasi wuduk atau dalam bahasa Indonesia adalah nasi uduk. Tumpeng dibuat denga bentuk segitiga dan mengerucut ke atas. Biasanya tumpeng disajikan dengan ingkung saja, yang ditempatkan dalam satu wadah. d. Kembang Kembang atau bunga yang digunakan untuk sesaji dalam Tradisi Rasulan biasanya terdiri dari bunga mawar, bunga melati, bunga kenanga dan bunga kanthil. Bunga-bunga tersebut wajib ada di saat upacara buka jalan (uluk salam) di laksanakan. e. Kuali Kuali biasanya sebagai wadah ingkung yang digunakan untuk upacara buka jalan. Setelah ingkung dimasukkan ke dalam kuali nantinya akan ditutup kain kafan.

44 f. Janur Janur digunakan sebagai wadah hasil-hasil pertanian, seperti kacang-kacangan dan padi. Selain itu digunakan pula sebagai wadah bunga yang nantinya akan digunakan untuk sesaji dalam upacara buka jalan. g. Kemenyan Kemenyan digunakan sebagai pelengkap saat upacara buka jalan yang diletakkan diatas wadah yang terbuat dari tanah lia kemudian dibakar. h. Dupa Selain kemenyan dalam upacara buka jalan juga menggunakan dupa. Dupa yang digunakan biasanya berjumlah tiga buah. Dupa-dupa tersebut akan dibakar sebagai sesaji, sama seperti kemenyan. 26 26 Wawancara pribadi dengan Bapak Noto (Juru Kunci Rasulan), Kropak, 5 Juli 2017.

BAB III TEOLOGI DAN KEPERCAYAAN MANUSIA TENTANG TUHAN A. Pengertian Teologi Teologi secara bahasa berasal dari kata theos yang berarti Tuhan, dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara bahasa teologi adalah ilmu tentang ketuhanan. Sedangkan secara terminologis, teologi adalah ilmu yang membahas Tuhan dan segala sesuatu yang terkait dengannya, hubungan manusia dengan Tuhan, dan hubungan Tuhan dengan manusia. Hanafi menyimpulkan bahwa teologi merupakan ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan pertaliannya dengan manusia, baik berdasarkan kebenaran wahyu ataupun berdasarkan penyelidikan akal manusia. Istilah teologi sebenarnya bukan berasal dari khazanah dan tradisi Islam, akan tetapi teologi merupakan istilah yang diambil dari agama lain, yaitu khazanah dan tradisi gereja Kristiani. Kata tersebut kemudian mengalami perluasan makna dan masuk ke khazanah agama-agama lain, termasuk agama Islam. Selain bertugas untuk meneliti, memperkuat dan mengajarkan kepercayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat agama, dan juga untuk memperkokoh semangat dan gairah mempertahankan kepercayaan tersebut, teologi juga bertanggungjawab untuk membimbing dan memurnikannya. 1 1 Ngainun Naim, Teologi Kerukunan : Mencari Titik Temu Dalam Keragaman, cetakan I, (Yogyakarta : Teras, 2011), h. 1-4. 45

46 Sejalan dengan penjelasan di atas yang menjelaskan bahwa teologi bertugas untuk meneliti, memperkuat dan mengajarkan kepercayaan kepada manusia memang benar, hal ini sesuai dengan keyakinan manusia yang mengarah kepada praktik mempersonifikasikan alam sebagai Tuhan (mitologi alam), mempersonifikasikan leluhur sebagai Tuhan (animisme), maupun meyakini benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan magis (dinamisme), tidaklah bisa dihindari. Walaupun dalam keyakinan mereka yang paling dalam tetap mengatakan bahwa perilaku tersebut tidaklah berarti politeisme atau shirik, karena mereka tidak menyangkal adanya Tuhan yang Esa. Pembuktian tentang adanya Tuhan, selalu berkaitan dengan hubungan antara ide dengan fakta dan bukan hubungan antara ide dengan ide, maka dari itu dalam menyelidiki tentang adanya Tuhan kita mungkin sekali melakukan kesalahan. Oleh karena itu, kita tidak berhak untuk bersikap yakin secara mutlak. Adanya Tuhan tidak dapat dibuktikan dengan secara mutlak, maka dari itu kepercayaan agama menunjukkan kepada suatu zat yang dianggap sebagai riil dan obyektif. 2 Apabila seseorang diminta untuk membuktikan tentang adanya Tuhan biasanya orang tersebut menunjukkan perhatiannya terhadap alam, khususnya beberapa kejadian-kejadian alam yang dipahami. Walaupun bukti yang didapatkan dalam kejadian-kejadian alam tersebut tidak mencukupi, akan tetapi orang yang mempunyai pemahaman yang kurang 2 D.E. Trueblood, Filsafat Agama : Philosophy of Religion, disadur oleh H.M Rasjidi, cetakan 10 (Jakarta : Bulan Bintang, 2002), h. 47.

47 memang sepantasnya memakai bukti tersebut. Bukti tersebut bukan merupakan logika akal yang amat kuat, akan tetapi tetap merupakan bukti yang kokoh. 3 Manusia bisa saja menyembah benda-benda hidup, tetumbuhan, berhala, Tuhan yang ghaib, seorang manusia yang kudus, atau suatu karakter yang jahat. Manusia bisa menyembah apa saja yang mereka miliki, akan tetapi dalam batin mereka tetap mampu membedakan keyakinan-keyakinan religius tersebut. 4 B. Konsep Ke-Tuhanan Orang Jawa Istilah Jawa walaupun lebih dititikberatkan pada nuansa etnis, namun faktor komitmen dengan apa yang disebut Kebudayaan Jawa masih harus dipertimbangkan. Sebab, pada zaman global seperti saat ini, tidak dapat dipungkiri ada orang yang jelas-jelas beretnis Jawa, namun tampilan kulturalnya sepenuhnya tidak Jawa lagi, melainkan kultur lain yang lebih kental dihayatinya. 5 Hal semacam itu, apabila dipandang dari segi hak pribadi memang sah-sah saja. Namun apabila dipandang dari sudut kacamata kebudayaan jelas orang semacam itu sudah tercabut akar keetnisan asliya dan telah lebur dalam wacana kultur baru yang dipilih dan dihayatinya. Jadi, masyarakat Jawa dapat diartikan sebagai masyarakat yang beretnis Jawa 3 D.E. Trueblood, Filsafat Agama : Philosophy of Religion, disadur oleh H.M Rasjidi, cetakan 10 (Jakarta : Bulan Bintang, 2002), h. 56. 4 Roibin, Relasi Agama dan Budaya Masyarakat Kontemporer, cetakan I, (Malang : UIN- MALANG PRESS, 2009), h. 69. 5 Muhammad Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, cetakan I, (Yogyakarta : LESFI, 2002), h. 11.

48 yang masih komitmen terhadap kebudayaan Jawa, apakah tinggal di Jawa, khususnya di Yogyakarta atau juga di luar Pulau Jawa. 6 Orang Jawa sebagai pelaku agama resmi sering melakukan tindakan sinkretis, misalkan sebagai umat Islam pergi Jumatan, salat lima waktu, namun juga mengikuti aktivitas salah satu paguyuban penghayat kepercayaan kejawen. Hal demikian terjadi karena sebelum agama resmi ada, orang Jawa memiliki keyakinan asli yang disebut kebatinan Jawa. Bahkan sebelum itu keyakinan animism dan dinamisme telah mewarnai kehidupan mereka. Kepercayaan terhadap makhluk halus, dewa-dewa, kekuatan gaib, kekuatan sakti, sebagai warisan nenek moyang dipegang teguh oleh warga masyarakat. Sebagai contoh masyarakat petani masih mempercayai Dewi Sri sebagai dewa kesuburan. Itulah sebabnya pelaku agama resmi pun masih ada yang menjalanan berbagai tradisi kejawen seperti merti desa, nyadran, kirim doa, labuhan, dan saparan, dengan menampilkan aneka ragam sesaji. 7 Penduduk pulau Jawa pada umumnya berkembang bersama alam. Dari situlah orang Jawa mulai mempelajari pengaruh alam berupa cuaca panas dan dingin, hujan dan kekeringan serta semua kekuatan yang terdapat di alam. Dengan terus menerus berjuang melawan alam, lambat laun penduduk di pulau Jawa dapat mengenal kekuatannya sendiri. 6 Muhammad Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, cetakan I, (Yogyakarta : LESFI, 2002), h. 12. 7 Suwardi Endraswara, Agama Jawa : Ajaran, Amalan dan Asal-Usul Kejawen, (Yogyakarta : Narasi, 2015), h. 63.

49 Melalui pergaulannya dengan berbagai kekuatan alam, maka timbullah pemahaman dikalangan orang Jawa bahwa setiap gerakkan, kekuatan, dan kejadian di alam disebabkan oleh makhluk-makhluk yang berada disekitarnya. Hasil keyakinan melalui didikan alam tersebut terus dianut oleh orang Jawa secara turun temurun. Bahkan ketika zaman colonial, ketika orang Jawa sudah banyak yang menganut agama formal, seperti Islam, Hindu, Nasrani, dan pemujaan terhadap kekuatan alam tidak ditinggalakan, bahkan hingga saat ini. Hal ini membuktikan bahwasanya agama yang mereka anut tidak mampu menghilangkan keyakinan terhadap adanya kekuatan alam. Secara garis besar agama dan keyakinan yang dianut orang Jawa pada tahun 1920 dibagi menjadi tiga yaitu, Tiang Tenger, Animisme, dan Islam. Tiang Tenger merupakan orang Jawa yang menganut kepercayaan yang berasal dari Hindu Wasiya yang semula menganut kepercayaan Brahma. Ketika ajaran Islam menyebar di Pulau Jawa pada abad ke-14, mereka tetap mempertahankan kepercayaannya. Akan tetapi ketika pelarian Hindu Parsi datang ke Jawa pada abad ke-16, mereka beralih kepercayaan ke agama Hindu Parsi. 8 Sejalan dengan penjelasan di atas, sebelum mengenal Tuhan, orang Jawa telah memiliki paham Animisme. Paham tersebut dianggap sebagai pilar pengenalan Tuhan. Animisme Jawa sebenarnya merupakan agama asli. Agama ini ada sejak orang Jawa mengenal siapa Tuhan dan alam 8 Capt. R. P. Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa, (Yogyakarta : LKiS, 2007), h. 1-3.

50 sekitarnya. Pengenalan terhadap Tuhan tentu diawali dengan proses panjang yang disebut laku. Orang Jawa sering menyebut Ingsun 9, sebagai representasi Tuhan. Ingsun juga disebut Sang Alip. Istilah ini biasanya dikemukakan oleh penghayat tasawuf Jawa. Agama Jawa senantiasa mengajak warganya untuk meghayati Ingsun sampai ke dasar hati. Jika orang Jawa mampu menghayati Ingsun, menandakan bahwa orang tersebut sudah paham pada jati dirinya. Jati diri tidak lain merupakan identitas diri yang amat berharga. Dalam usaha mengetahui siapa sejatinya diri ini atau dalam bahasa Jawa sapa ingsun ini, pada dasarnya merupakan bagian dari usaha pendekatan kepada Sang Pencipta, suatu usaha manunggaling kawula Gusti. Pada dasarnya kita semua berasal dari Tuhan, akan tetapi tidak begitu saja muncul di dunia ini. Semua ada lantarannya, ada proses maupun prosedurnya yaitu melalui orang tua atau leluhur kita masingmasing. Maka dari itu sudah sewajibnya bagi kita untuk hormat dan mencintai orang yang telah menjadi perantara dari kehendak Tuhan sehingga menjadikan kita ada di dunia ini. Hal tersebut merupakan penjelasan dan pegangan bagi kita bahwa Tuhan Yang Maha Asih dengan segala cinta kasih-nya memberikan suatu anugerah yang tiada terhingga. 9 Ingsun berasal dari kata ingwang (bahasa Jawa Kuna). Dalam karya sastra Jawa berbentuk suluk, misalkan Suluk Sujinah, kata ingsun selalu berkonotasi Tuhan. Ingsun berarti aku, namun dalam agama Jawa yang dimaksud adalah Tuhan.

51 Atas dasar tersebut orang Jawa akan berbuat santun untuk lebih menghayati Ingsun. 10 C. Perkembangan Kepercayaan Manusia Masyarakat Jawa sejak sebelum datangnya Hindu, Buddha telah mengenal kepercayaan yang disebut animisme-dinamisme. Kepercayaan masyarakat tersebut diyakini sebagai kebatinan masyarakat Jawa atau bisa diartikan religinya masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa mempunyai keyakinan bahwa mereka tetap mengalami ketergantungan dari kekuasaankekuasaan duniawi yang tidak dapat diperhitungkan. Oleh karena itu, mereka menempatkan pada posisi bagaimana mereka tetap selaras dengan keinginan-keinginan leluhur untuk mempertahakan tradisinya. 11 Masih dalam konteks yang sama, Simuh juga mengatakan bahwa suku-suku bangsa Indonesia, khususnya suku Jawa sebelum kedatangan pengaruh Hinduisme telah hidup teratur dengan tradisi animistik dan dinamistik sebagai akar religiusitas, dan hukum adat sebagai pranata sosial mereka. Sedemikian kuatnya animisme dan dinamisme itu mengakar pada karakter asli masyarakat Jawa, hingga ragam budaya dan kepercayaan apapun yang bersentuhan dengan religi Jawa, tetap saja tidak banyak berpengaruh secara signifikan bagi perubahan esensial religi animism dan dinamisme yang menjadi symbol kejawen tersebut. 12 10 Suwardi Endraswara, Agama Jawa : Ajaran, Amalan dan Asal-Usul Kejawen, (Yogyakarta : Narasi, 2015), h. 176-177. 11 Muhammad Fauzan, Pandangan Kejawen Tentang Tuhan Menurut Damardjati Supadjar, (Skripsi S1 Fakulstas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009), h. 2. 12 Roibin, Relasi Agama dan Budaya Masyarakat Kontemporer, cetakan 1 (Malang : UIN- Malang Press, 2009), h. 125-126.

52 Anggapan masyarakat Jawa mengenai roh-roh para leluhur yang berada di sekitar mereka, menyebabkan masyarakat Jawa berkeyakinan apabila ada masyarakat yang menyeleweng dari aturan adat maka suatu saat ia akan terkena balasannya sendiri. Itulah sebabnya, masyarakat Jawa tidak bisa dirombak tradisinya meskipun telah datang agama baru di masyarakat Jawa. Hal ini dikarenakan, religi animism-dinamisme yang menjadi akar budaya asli Indonesia, khususnya masyarakat Jawa cukup memiliki daya tahan yang kuat terhadap pengaruh kebudayaankebudayaan yang telah maju. 13 Masyarakat Jawa memiliki karakter religius dan bertuhan. Hal tersebut terlihat dari fakta sejarah bahwa mereka mempunyai kepercayaan adanya Tuhan yang mengayomi dan melindungi, serta adanya agamaagama yang dianut masyarakat Jawa, seperti Hindu, Buddha, Kristen, dan Islam. Akan tetapi, dalam beragama di antara masyarakat Jawa terdapat golongan yang memiliki pandangan sinkretis. Dalam artian, bahwa mereka cenderung mengkompromikan hal-hal yang sedikit bereda bahkan bertentangan dengan agama. Sinkretis bagi masyarakat Jawa juga berarti bahwa mereka cenderung berpandangan tidak mempersoalkan benar atau salah dalam beragama, murni atau tidaknya agama. Sehingga, semua agama dilihatnya benar. 14 13 Muhammad Fauzan, Pandangan Kejawen Tentang Tuhan Menurut Damardjati Supadjar, (Skripsi S1 Fakulstas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009), h. 3. 14 Kholid Karomi, Tuhan dalam Mistik Islam Kejawen (Kajian atas Pemikiran Raden Ngabehi Ranggawarsita, dalam Kalimah, Vol. II, No.2 (September 2013), h. 288.

53 Sejalan dengan kepercayaan masyarakat Jawa di atas terdapat dua teori yang membahas mengenai perkembangan kepercayaan manusia yang dipelopori oleh E. B Taylor. Teori pertama mengatakan bahwa kepercayaan manusia pada mulanya sangatlah sederhana dan menuju kepercayaan yang lebih tinggi sesuai dengan perkembangan kemajuan peradabannya. Teori kedua mengatakan bahwa kepercayaan manusia yang pertama adalah monoteisme murni, akan tetapi karena perjalanan hidup manusia, maka kepercayaan tersebut berubah dan dimasuki oleh kepercayaan lain, yaitu animisme dan politeisme. 15 Kepercayaan merupakan salah satu unsur budaya yang sangat penting dalam kehidupan manusia, oleh sebab itu kepercayaan merupakan bagian dari suprkastruktur kehidupan mansyarakat yang mumpuni. C. Kluckhohn, seorang antropolog mengatakan bahwa agama (kepercayaan) merupakan salah satu unsur budaya yang sangat penting dan selalu ada dalam kehidupan masyarakat. Dari penjelasan tersebut maka untuk memahami kebudayaan awal di Indonesia secara keseluruhan adalah memahami kepercayaan awal yang menjadi pedoman hidup anggota masyarakatnya, yang secara umum walaupun berbeda dalam konten bagaimana mengaplikasikan kepercayaan tersebut baik dalam cara ritual (penyembahan) maupun aplikasi sehari-hari pada masyarakat yang berbeda. 16 15 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama : Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, cetakan 5, (Jakarta : Rajawali Pers, 2015), h. 55. 16 Ahmad Afandi, Animisme-Dinamisme Serta Adaptasi Kebudayaan Hindu-Budha Dengan Kebudayaan Asli Di Pulau Lombok-NTB, dalam Historis, Vol. 1 No. 1 (Desember 2016), h. 2.

54 Sejalan dengan penjelasan di atas bahwa sebagian besar masyarakat Jawa mengaku secara formal beragama Islam, namun demikian sikap dan praktik keagamaan sehari-hari yang mereka hayati, senantiasa dijiwai dalam batin yang paling dalam oleh agama asli kejawen tersebut, yaitu animisme dan dinamisme. Bermula dari kepercayaan animisme dan dinamisme Jawa dengan varian-varian mitologinya yang ada pada masing-masing wilayah yang dipertemukan dengan budaya luar yang lebih tinggi, misalnya Hindu, Budha, dan Islam telah memunculkan model kepercayaan baru berupa Islam Kejawen, Hindu Kejawen dan Budha Kejawen, sesuai dengan wilayah di mana mereka berada. 17 Berikut adalah beberapa kepercayaan manusia yang kemudian mengalami perkembangan, diantaranya adalah a. Dinamisme Istilah dinamisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu dunamos. Dinamisme adalah kepercayaan terhadap benda-benda di sekitar manusia karena diyakini memiliki kekuatan yang gaib. Dengan kata lain, dinamisme adalah keyakinan terhadap kekuatan yang berada dalam zat suatu benda dan diyakini mampu memberikan suatu manfaat dan marabahaya. Kesaktian tersebut bisa berasal dari api, batu-batuan, air, pohon, binatanag, bahkan manusia. Unsur dinamisme lahir dari rasa ketergantungan manusia terhadap daya dan kekuatan lain yang berada di luar dirinya. 17 Roibin, Relasi Agama dan Budaya Masyarakat Kontemporer, cetakan 1 (Malang : UIN- Malang Press, 2009), h. 126.

55 Setiap manusia selalu merasa membutuhkan zat lain yang dianggap mampu memberikan pertolongan dengan kekuatan yang dimilikinya. Maka dari itu, dalam diri manusia akan timbul suatu ketergantungan kepada zat tersebut, karena manusia akan terus mencari zat itu untuk disembah supaya dirinya merasa tenang dan nyaman jika berada di dekat zat tersebut. 18 Sebagai contoh dari tindakan dinamisme ini yaitu melakukan pemujaan terhadap roh nenek moyang yang telah meninggal menetap ditempat-tempat tertentu, seperti pohon besar. Arwah nenek moyang tersebut sering dimintai tolong untuk berbagai urusan, dengan cara memasukkan arwah-arwah mereka ke dalam benda-benda pusaka seperti batu hitam atau batu merah delima dan lain sebagainya. Ada juga yang menyebutkan bahwa dinamisme merupakan kepercayaan yang mempercayai terhadap kekuatan yang abstrak yang berdiam pada suatu benda. Istilah tersebut disebut dengan mana. 19 Tujuan manusia dalam agama yang mempunyai paham dinamisme adalah memperoleh mana sebanyak mungkin. Semakin bertambah mana seseorang, semakin bertambah dan terjamin keselamatannya. Sebaliknya semakin berkurang mana-nya semakin 18 Ridwan Hasan, Kepercayaan Animisme dan Dinamisme Dalam Masyarakat Islam Aceh, dalam Miqot, Vol.XXXVI, no.2 (Desember 2012), h. 287. 19 Mana adalah kekuatan yang tersembunyi dan siapa yang dianggap mampu menguasainya tentu mendapat kedudukan terhormat dalam masyarakat. Energi yang misterius memancar dari suatu objek atau benda yang memiliki mana bisa ditransmisikan kepada seseorang, dan seseorang itu juga bisa saja mengalirkan kepada benda-benda dan manusia. Oleh karena itu, bagi orang yang meiliki mana sangat diharapkan agar kekuatan itu digunakan untuk menolong masyarakat. Namun, tidak jarang juga mana digunakan untuk hal-hal yang mendatangkan bahaya. Lihat, Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama : Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, cetakan ke-5, (Jakarta : Rajawali Pers, 2015), h. 59-60.

56 mudah mendapat bahaya. Di samping itu, mana yang tidak bisa dikontrol dan mana yang membawa bahaya bagi manusia harus dijauhi. Hanya dukunlah yang boleh mendekati mana yang berbahaya dengan membaca mantra-mantra atau mengadakan gerak-gerak ritual tertentu. 20 b. Animisme E. B. Taylor berpendapat bahwa agama primitif timbul dari animisme ini. Menurutnya ada empat tahap proses yang dilalui oleh animisme untuk bisa diakui sebagai agama primitif, yaitu : 1. Tahap pertama, masyarakat primitif menghayalkan adanya hantujiwa (ghost-soul) orang mati yang dapat mengunjungi orang yang hidup. 2. Tahap kedua, jiwa menampakkan diri. 3. Tahap ketiga, timbul kepercayaan dalam masyarakat tersebut bahwa segala sesuatu berjiwa. 4. Tahap keempat, dari yang berjiwa itu ada yang menonjol, seperti pohon besar atau batu yang aneh, dan akhirnya yang opaling menonjol dari semua itulah yang disembah. 21 Animisme merupakan kepercayaan bahwa semua yang berada di alam mempunyai jiwa. Jiwa atau roh bebas dan tidak terikat kepada sesuatu, dan dapat menggerakkan semua benda di ala mini. Dari pemahaman inilah terbentuk kepercayaan bahwa segala sesuatu yang berasal dari alam, dengan bantuan suatu ilmu atau secara kebetulan saja 20 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama : Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, cetakan 5, (Jakarta : Rajawali Pers, 2015), h. 60-61. 21 Ibid, h. 63.

57 karena pengaruh roh dapat mendatangkan kebahagiaan atau kecelakaan. 22 Ciri utama kepercayaan animisme adalah percaya kepada kewujudan roh. Di antaranya adalah penganut kepercayaan ini meyakini bahwa roh seseorang yang telah mati akan bergentayangan, mengganggu mereka. Oleh sebab itu, mereka mengadakan acara ritual kepada arwah tersebut pada hari ketiga, ketujuh dan keseratus. Dalam hal ini, penganut animisme melakukan pemujaan terhadap kekuatan roh tersebut yang dipimpin oleh pawing. Tujuannya adalah untuk memperoleh kebaikan dan terhindar dari bencana alam. Adapun karakteristik masyarakat yang menganut paham ini, anatara lain adalah mereka selalu memohon perlindungan dan permintaan sesuatu kepada roh-roh, misalnya untuk penyembuhan penyakit, sukses dalam bercocok tanam, terhindar dari gangguan hama tanaman, hidup rukun, berhasil dalam berburu, selamat dalam perjalaan jauh dan berperang, terhindar dari gangguan bencana alam, dan lain sebagainya. 23 Di jawa, paham animistis masih terasa ketika orang-orang datang ke kuburan, membakar kemenyan, dengan lantunan doa-doa (mantra) Jawa. Ada juga yang datang ke kuburan dibalut dengan nuansa agama menjadi ziarah. Ketika orang Jawa pergi ke kuburan, lalu pulang membuat sesaji di senthong, dengan tujuan roh nanti akan hadir untuk 22 Capt. R. P. Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa, (Yogyakarta : LKiS, 2007), h. 75. 23 Ridwan Hasan, Kepercayaan Animisme dan Dinamisme Dalam Masyarakat Islam Aceh, dalam Miqot, Vol.XXXVI, no.2 (Desember 2012), h. 286-287.

58 memakan sesaji tersebut. hal semacam ini jelas merupakan bentuk animism Jawa, yang mana animism Jawa tersebut sulit dihilangkan karena sudah mentradisi. 24 c. Politeisme Politeisme megandung kepercayaan pada dewa-dewa. Apabila roh-roh dalam animisme tidak diketahui tugas-tugasnya yang sebenarnya, lain halnya dengan dewa-dewa dalam politeisme telah mempunyai tugas-tugas tertentu. Berlainan dengan roh-roh, dewa-dewa diyakini lebih berkuasa. Maka dari itu, tujuan hidup beragama di sini bukanlah hanya memberi sesajen dan persembahan kepada dewa-dewa itu, tetapi juga menyembah dan berdoa pada mereka untuk menjauhkan amarahya dari masyarakat yang bersangkutan. Paham politeisme di dalamnya terdapat paham pertentangan tugas antara dewa-dewa yang banyak tersebut. misalnya, dewa kemarau dam dewa hujan mempunyai tugas yang bertentangan. Demikian juga dengan dewa musim panas dan dewa musim dingin. Dengan demikian seorang polities apabila berdoa tidak hanya memanjatkan doa kepada satu dewa saja, tetapi kepada dewa lawannya. 25 Dewa dalam politeisme lebih kecil jumlahnya daripada roh-roh yang disembah pada animisme. Dalam politeisme fungsi dan sifat dari dewa itu lebih jelas daripada roh-roh dalam animisme. Roh dalam 24 Suwardi Endraswara, Agama Jawa : Ajaran, Amalan dan Asal-Usul Kejawen, (Yogyakarta : Narasi, 2015), h. 184. 25 Harun Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspeknya jilid 1, cetakan 5, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1985), h. 6-7.

59 animism belum memiliki kepribadian yang tetap dan bentuknya masih samar-samar. Misalnya, hutan lebat mempunyai roh, tetapi apa dan bagaimana roh itu tidak jelas. Pada awalnya, dewa-dewa dalam politeisme mempunyai kedudukan yang hampir sama. Namun, karena beberapa hal lama kelamaan beberapa diantara mereka mempunyai kedudukan yag lebih tinggi dari pada dewa-dewa yang lain. Walaupun demikian, bukan berarti dewa-dewa yang lain tidak diakui lagi. Dewa-dewa tersebut tetap diakui, hanya saja tidak semulia dan setinggi dewa yang utama. Dewa-dewa yang dianggap rendah tersebut tetap dibutuhkan ketika menghadapi hal-hal yang khusus, seperti meminta hujan kepada dewa hujan ketika datang masa kemarau. 26 d. Henoteisme Henoteisme adalah kepercayaan yang tidak menyangkal adanya Tuhan banyak, tetapi hanya mengakui satu Tuhan tunggal sebagai Tuhan yang disembah. Kepercayaan kepada satu Tuhan lebih mendatangkan kepuasan dan diterima akal sehat. Dari sini timbullah aliran yang mengutamakan satu dewa dari beberapa dewa untuk disembah. Dewa atau Tuhan tersebut dianggap sebagai kepala atau bapak dari Tuhan-Tuhan yang lain. 27 Henoteisme mengakui satu Tuhan untuk satu bangsa, dan bangsa-bangsa lain mempunyai Tuhannya sendiri-sendiri. Henoteisme 26 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama : Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, cetakan 5, (Jakarta : Rajawali Pers, 2015), h. 68-69. 27 Ibid, h.72.

60 mengandung Tuhan nasional. Paham yang serupa ini terdapat dalam perkembangan paham keagamaan masyarakat Yahudi. 28 e. Monoteisme Kepercayaan yang dianut masyarakat yang sudah maju bukan lagi dinamisme, animism, politeisme atau henoteisme, tetapi monoteisme. Dasar ajaran monoteisme ialah Tuhan satu, Tuhan Maha Esa, pencipta alam semesta. Dengan demikian perbedaan antara henoteisme dan monoteisme ialah bahwa dalam agama akhir ini Tuhan tidak lagi merupakan Tuhan nasional tetapi Tuhan internasional, Tuhan semua bangsa di dunia ini bahkan Tuhan alam semesta. Kekuatan gaib atau supernatural dalam monoteisme dipandang sebagai suatu zat yang berkuasa mutlak dan bukan lagi sebagai suatu zat seperti dalam paham animisme dan politeisme. Oleh karena itu, Tuhan dalam monoteisme tidak dapat dibujuk-bujuk dengan saji-sajian sehingga bukan kekuasaan supernatural yang mengikuti kemauan manusia. Namun sebaliknya, manusialah yang tunduk kepada kemauan Tuhan. 29 28 Harun Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspeknya jilid 1, cetakan 5, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1985), h. 7-8, 29 Ibid, h. 8-9.

BAB IV ANALISIS TERHADAP DIMENSI TEOLOGIS TRADISI RASULAN A. Makna Simbolik Ubarampe dalam Tradisi Rasulan di Dusun Kropak Agama dan ritual ibarat dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, agama merupakan pengetahuan dan keyakinan kepada yang gaib dan ritual merupakan perwujudan pengetahuan dan keyakinan yang dipraktekkan secara simbolik dalam kehidupan. Sebagaimana diketahui, di dalam tradisi Islam Jawa, setiap kali terjadi perubahan siklus kehidupan manusia, ratarata mereka mengadakan ritual selamatan atau wilujengan (memohon keselamatan dan kebahagiaan dalam hidup), dengan memakai berbagai benda, makanan sebagai simbol penghayatannya atas hubungan diri dengan Allah. 1 Ritual menunjukkan sistem simbolik yang menjelaskan tentang apa yang dipahami dan dirasakan serta motivasi yang kuat dalam diri pemeluk untuk melakukan relasi kepada Yang Gaib dan meneguhkan keyakinan berdasarkan relasi tersebut. Tindakan simbolik dalam ritual tersebut, hampir selalu menjelaskan adanya keyakinan terhadap adanya kekuatan gaib yang ingin dituju melalui serangkaian tindakan dan ucapan khusus 1 Muhammad Solikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa : Ritual-ritual dan Tradisi-tradisi tentang Kehamilan, Kelahiran, Pernikahan, dan Kematian dalam Kehidupan Sehari-hari Masyarakat Islam Jawa, cetakan I, (Yogyakarta : Narasi, 2010), h. 49. 61

62 seperti do a, dzikir, pembacaan teks suci yang dilakukan oleh seorang diri atau secara bersama-sama. 2 Simbol-simbol ritual tersebut di antaranya adalah ubarampe (piranti atau hardware dalam bentuk makanan), yang disajikan dalam ritual selamatan (wilujengan), ruwatan dan sebagainya. Hal itu merupakan aktualisasi dari pikiran, keinginan, dan perasaan pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Upaya pendekatan diri melalui ritual sedekahan, kenduri, selamatan dan sejenisnya tersebut sesungguhnya adalah bentuk akumulasi budaya yang bersifat abstrak. Hal tersebut terkadang juga dimaksudkan sebagai upaya negosiasi spiritual, sehingga segala hal gaib yang diyakini berada di atas manusia tidak akan menyentuhnya secara negatif. 3 Selain ubarampe, simbol-simbol ritual ada juga yang berupa sesaji dan tumbal. Sesaji juga merupakan wacana simbol yang digunakan sebagai srana untuk negosiasi spiritual kepada hal-hal gaib. Hal ini dilakukan supaya makhluk-makhluk halus di atas kekuatan manusia tidak mengganggu. Dengan pemberian makan secara simbolis kepada roh halus, diharapkan roh tersebut akan jinak dan mau membantu hidup manusia. 4 2 Aris Widodo, Islam dan Budaya Jawa : Pertautan antara Ajaran, Pemahaman dan Praktek Islam di Kalangan Muslim Jawa, cetakan I, (Surakarta : Fakultas Syariah IAIN Surakta, 2016), h. 82. 3 Muhammad Solikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa : Ritual-ritual dan Tradisi-tradisi tentang Kehamilan, Kelahiran, Pernikahan, dan Kematian dalam Kehidupan Sehari-hari Masyarakat Islam Jawa, cetakan I, (Yogyakarta : Narasi, 2010), h. 49-50. 4 Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen : Sinkritisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa (Yogyakarta : Narasi, t.th.), h. 247.

63 Sebagian orang yang awam menganggap bahwa sesaji merupakan hal yang sia-sia, dianggap menyembah hal-hal yang aneh, dan bahkan dianggap tidak masuk akal. Anggapan-anggapan tersebut tentunya ditolak oleh orang Jawa yang masih menganut ritual-ritual yang mana di dalamnya terdapat berbagai macam sesaji sebagai ubarampenya. Selain itu sesaji yang dilakukan oleh masyarakat Jawa merupakan sebuah tindakan simbolik. Memang harus diakui bahwa sebagian dari simbol-simbol ritual dan simbol spiritual yang diaktualisasikan oleh masyarakat Jawa mengandung pengaruh asimilasi antara Hindu-Jawa, Budha-Jawa dan Islam-Jawa yang menyatu dalam wacana kultural mistik. 5 Salah satu tradisi masyarakat Jawa yang masih dilaksanakan hingga sekarang adalah tradisi Rasulan, di mana di dalam tradisi tersebut terdapat berbagai macam ubarampe yang digunakan selama proses pelaksanaan tradisi Rasulan. Berbagai macam ubarampe tersebut di dalamnya terdapat berbagai makna simbolik. Pelaksanaan tradisi Rasulan di Dusun Kropak Kabupaten Gunungkidul di dalamnya terdapat berbagai macam ubarampe atau sesaji yang mempunyai simbol tersendiri dalam mengungkapkan sebuah makna. Beraneka ragam ubarampe digunakan dalam tradisi Rasulan dan kebanyakan berasal dari alam. Hal ini dikarenakan masyarakat Jawa 5 Muhammad Solikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa : Ritual-ritual dan Tradisi-tradisi tentang Kehamilan, Kelahiran, Pernikahan, dan Kematian dalam Kehidupan Sehari-hari Masyarakat Islam Jawa, cetakan I, (Yogyakarta : Narasi, 2010), h. 50.

64 mempunyai pandangan bahwa manusia sejatinya harus menyatu dengan alam, karena alamlah yang memberikan kebutuhan-kebutuhan manusia. Sesaji atau ubarampe yang digunakan terdiri dari : a. Gunungan Gunungan berasal dari kata gunung, hal ini dikarenakan bentuknya mirip dengan gunung.gunungan merupakan unsur yang paling utama ada dan wajib ada saat pelaksanaan tradisi Rasulan, seperti dikuti dalam wawancara dengan ketua panitia Rasulan sebagai berikut : Gunungan itu wajib ada saat acara Rasulan, di Rasulan dusun lain pasti juga ada gunungannya mbak. Kalau yang ada di Rasulan kita ini gunungannya dari masing masing padukuhan, jadi banyak sekali. Kalau makna khusus tentang gunungan tidak ada, ya hanya saja dengan gunungan yang bentuknya selalu tinggi ke atas itu ada hubungannya dengan yang maha Kuasa. Isi gunungan bermacam macam mbak, misalnya sayur sayuran seperti kacang panjang yang melambangkan pikiran manusia yang selalu jangka panjang, Lombok yang melambangkan keberanian, tomat yang melambangkan kesadaran manusia, terong yang melambangkan jalan kehidupan dan wortel melambangkan sikap perilaku manusia. Kalau untuk gunungan yang berisi hasil-hasil pertanian warga itu sebagai simbol rasa syukur saja kepada Tuhan karena dengan hasil pertanian yang elimpah manusia dapat bertahan hidup sampai sampai saat ini. Jadi ya intinya syukur marang Pengeran. 6 Terdapat tujuh gunungan yang selalu ada di setiap perayaan Rasulan, ada yang berbentuk rumah-rumahan dan ada yang berbentuk hewan. Sebenarnya tidak ada maksud atau makna tersendiri dengan bentuk dari berbagai gunungan tersebut, hanya saja tujuan utamanya gunungan merupakan bentuk sendiri sebagai perantara ucapan 6 Wawancara pribadi dengan Bapak Kastana (Ketua Panitia Rasulan tahun 2017), Kropak, 30 Juni 2017.

65 terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat yang telah diberikan selama satu tahun penuh. Di dalam gunungan-gunungan tersebut terdapat berbagai macam makanan diantaranya masakan warga masyarakat berupa nasi putih lengkap dengan lauk pauknya seperti ayam goreng, bihun, oseng tempe, oseng kentang. Lauk pauk tersebut melambangkan ungkapan syukur manusia kepada Tuhan yang memberi hidup. Ada juga satu gunungan khusus yang berisi sayur-sayuran seperti kacang panjang, cabai merah (Lombok abang), terong ungu, terong hijau, oyong, wortel, kol, buncis, dan tomat. Berikut makna simbolik yang terkandung dalam berbagai macam sayuran tersebut: 1. Kacang panjang melambangkan bahwa dalam kehidupan seharihari manusia selalu berpikir panjang ke depan dan senantiasa berpikir positif, sehingga dalam menjalankan kehidupan dapat menanggapi segala permasalahan hidup dengan penuh kesadaran dan bijaksana. 2. Cabai merah (lombok abang) dan cabai hijau melambangkan harapan munculnya sikap keberanian dan tekad untuk menegakkan kebenaran Tuhan, dan berani menanamkan dan mencontoh sifaksifat Tuhan.

66 3. Tomat, melambangkan kesadaran manusia yang nantinya kesadaran tersebut akan menimbulkan perbuatan yang positif dan berupaya menjadi jalma limpet seprapat tamat. 7 4. Terong ungu dan terong hijau melambangkan kehidupan manusia yang senantiasa diberikan jalan yang terang oleh Tuhan. 5. Wortel melambangkan seseorang yang mempunyai sikap tegas dan teguh pendirian dan selalu memahami nilai-nilai kehidupan. Selain berisi sayur-sayuran gunungan tersebut juga berisi berbagai macam buah-buahan seperti jeruk, apel hijau, timun, dan salak. Kesemua buah-buahan tesebut melambangkan rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan rezeki yang telah diberikan. Kemudian juga berisi sayuran, gunungan tersebut juga berisi berbagai hasil pertanian seperti jagung dan padi. Padi mempunyai makna tersendiri di mana padi merupakan tanaman yang sangat memberi manfaat bagi manusia begitu pula dengan jagung. Padi dan jagung menjadi bagian dari isi gunungan sebagai simbol dari hasil pertanian warga yang sudah dipanen. b. Ingkung Ingkung adalah ayam kampung yang dimasak dan disajikan secara utuh. Dalam berbagai ritual tradisi di Jawa, seperti tradisi Rasulan ini, ingkung menjadi bagian dari ubarampe atau kelengkapan 7 Muhammad Solikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa : Ritual-ritual dan Tradisi-tradisi tentang Kehamilan, Kelahiran, Pernikahan, dan Kematian dalam Kehidupan Sehari-hari Masyarakat Islam Jawa, cetakan I, (Yogyakarta : Narasi, 2010), h. 56.

67 sesaji yang disajikan sebagai sajen untuk menemani atau melengkapi hidangan lain dalam sajen seperti tumpeng, seperti dikutip dalam wawancara dengan salah satu juru kunci Rasulan sebagai berikut : Setiap Rasulan di sini selalu dan wajib ada ingkung yang digunakan pas acara kenduri siang harinya. Seperti kata orang dulu ingkung itu melambangkan sikap manusia, khususnya warga di sini akan sikap pasrahnya kepada Yang Maha Kuasa. Intinya ingkung itu melambangkan hubungan manusia dengan Tuhan. 8 Ingkung dijadikan sebagai simbol harapan perwujudan dari citacita manusia yang diwujudkan dengan selalu n jungkung atau bersujud 9, dan selalu manekung (muhasabah) atau selalu berinstropeksi diri. Ingkung juga melambangkan sikap pasrah dan menyerah atas kekuasaan Tuhan. Ubarampe ingkung dimaksudkan untuk menyucikan orang yang memiliki hajat dan tamu yang menghadiri acara selamatan tersebut. c. Tumpeng Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta lauk pauknya dalam bentuk kerucut, oleh karena itu disebut dengan nasi tumpeng. Tumpeng dalam tradisi Rasulan biasanya terdiri dari nasi uduk (nasi wuduk) dan ingkung. Biasanya disebut dengan tumpeng rangsul/rasul, yang maknanya adalah mengikuti jalan lurus sesuai ajaran Rasulullah. Maka dari itu bagian dari uborampenya adalah ayam yang dimasak dan 8 Wawancara pribadi dengan Bapak Sis Saiman (Juru Kunci Rasulan), Kropak, 6 Apri 2018. 9 Muhammad Solikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa : Ritual-ritual dan Tradisi-tradisi tentang Kehamilan, Kelahiran, Pernikahan, dan Kematian dalam Kehidupan Sehari-hari Masyarakat Islam Jawa, cetakan I, (Yogyakarta : Narasi, 2010), h. 52-53.

68 disajikan secara utuh. Sebagai ciri khasnya ingkung biasanya mendampingi tumpeng Rasul. 10 Nasi uduk (nasi wuduk) yang melambangkan kesucian hidup, karena selama memasak nasi tersebut, orang-orang yang memasak selalu dalam keadaan berwudhu atau selalu dalam keadaan suci. Bentuk tumpeng yang selalu mengerucut ke atas mengandung makna mendalam yang mengangkat hubungan antar manusia dengan Tuhan, alam dan dengan sesama manusia, seperti dikutip dalam wawancara dengan salah satu panitia Rasulan sebagai berikut : Intinya sesuai bentuk tumpeng yang dibuat mengerucut ke atas, jelas ada hubungannya dengan Gusti Allah mbak. Mengerucut ke atas menunjukkan Gusti Allah yang ada di atas sana, yang wajib kita sembah untuk meminta do a sesuai dengan keinginan kita. 11 Selain itu juga mengandung makna spiritual yang tinggi, hal ini terkait dengan kepercayaan orang Jawa yang selalu mengidentikan Tuhan berada ditempat yang maha tinggi, tempat penguasa alam semesta yaitu kemuliaan Tuhan Yang Maha Esa. d. Kembang Kembang atau bunga mempunyai makna filosofis dalam kehidupan yaitu supaya kita senantiasa mendapatkan keharuman dari para leluhur, seperti dikutip dalam wawancara dengan salah satu juru kunci Rasulan sebagai berikut : 10 Muhammad Solikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa : Ritual-ritual dan Tradisi-tradisi tentang Kehamilan, Kelahiran, Pernikahan, dan Kematian dalam Kehidupan Sehari-hari Masyarakat Islam Jawa, cetakan I, (Yogyakarta : Narasi, 2010), h. 52. 11 Wawancara pribadi dengan Bapak Suharyuli (Panitia Rasulan 2017), Kropak, 2 April 2018.

69 Sesuai dengan bunga yang baunya wangi, jadi bunga atau kembang yang digunakan di Rasulan ini melambangkan harapan kita sebagai umat manusia mendapatkan berkah lewat keharuman dari para leluhur pendahulu kita semua, misalnya selalu bahagia dalam menjalani kehidupan selama di dunia. Setiap kembang yang digunakan mempunyai makna sendiri sendiri tentunya mbak. Ada empat jenis kembang yang selalu dipakai mbak yaitu kanthil, melati, kenanga dan mawar. 12 Keharuman merupakan suatu berkah tersendiri yang begitu berlimpah dari para leluhur yang nantinya dapat mengalir (sumrambah) kepada anak turunnya. Dalam tradisi Rasulan, tepatnya pada waktu upacara buka jalan (uluk salam) yang dilakukan ketika kirab dilaksanakan dan bertempat di tengah perempatan jalan, biasanya memakai rangkaian kembang setaman sebagai pelengkap sesaji yang diberikan kepada para leluhur. Biasanya terdiri dari berbagai jenis bunga dan setiap bunga memiliki makna simbolik tersendiri. Berikut makna simboliknya, seperti yang diungkapkan dalam wawancara di atas: 1. Kembang kanthil (kanthi laku, tansah kumanthil) mempunyai makna bahwa manusia mempunyai tali rasa, atau tansah kumanthil. Bisa juga bermakna pula kasih sayang yang mendalam, yakni curahan kasih saying kepada seluruh makhluk tanpa terkecuali kepada para leluhur. 12 Wawancara pribadi dengan Bapak Noto (Juru Kunci Rasulan), Kropak, 5 Juli 2017.

70 2. Kembang melati / mlathi (rasa melad saka njero ati) mempunyai makna bahwa setiap orang melakukan segala kebaikan seharusnya melibatkan hati. 3. Kembang kenanga (keneng-a yang berarti gapailah) mempunyai makna supaya anak turun selalu mengenang semua peninggalan leluhur seperti benda-benda seni, tradisi, kesenian, kebudayaan, dan ilmu spiritual lainnya. 4. Kembang mawar (mawi-arsa) mempunyai makna dalam menjalani kehidupan setiap manusia harus menjalaninya dengan niat yang tulus tanpa mengharap pamrih (pahala), termasuk dalam menghayati nilai-nilai luhur yang ditinggalkan oleh para leluhur. e. Kemenyan dan Dupa Pelaksanaan upacara buka jalan dalam tradisi Rasulan selain menggunakan berbagai macam ubarampe seperti ingkung dan berbagai macam bunga setaman juga menggunakan kemenyan dan dupa. Membakar kemenyan dan dupa merupakan suatu perwujudan persembahan kepada roh para leluhur, seperti yag dikutip dalam wawancara dengan salah satu juru kunci Rasulan sebagai berikut : Membakar kemenyan dan dupa hanya dilakukan ketika upacara uluk salam di perempatan jalan mbak, ritual seperti itu dilakukan secara khusus untuk berkomunikasi dengan roh para leluhur untuk lebih dekat supaya acara Rasulan dapat terlaksana dengan baik, karena menurut saya pada dasarnya roh roh makhluk halus itu suka dengan wewangian seperti bau kemenyan dan dupa. 13 13 Wawancara pribadi dengan Bapak Noto (Juru Kunci Rasulan), Kropak, 5 Juli 2017.

71 Bau wangi-wangian yang dikeluarkan oleh kemenyan dan dupa yaitu berupa asap diyakini mempunyai esensi tersendiri untuk mendekatkan roh para leluhur. f. Janur Janur merupakan daun kelapa yang masih muda, biasanya berwarna kekuningan. Janur melambangkan kemenangan, dalam arti setiap hambatan dan rintangan telah dimusnahkan. Warna janur yang kuning juga melambangkan tolak balak atau penangkal, selain itu juga menggambarkan sebagai sinar surga. Janur dalam tradisi Rasulan digunakan sebagai wadah atau tempat berbagai macam ubarampe, seperti bunga setaman, dan berbagai hasil pertanian berupa palawija. Tidak sembarang orang yang diperbolehkan membawa janur beserta isinya tersebut, seperti yang dikutip dalam wawancara dengan salah satu panitia Rasulan sebagai berikut : Khusus untuk yang membawa janur ini dipilih perempuan yang masih gadis, karena perempuan yang masih gadis merupakan simbol dari kesucian. Warna dari kuning janur juga melambangkan cahaya atau sinar yang bisa menerangi jalan hidup manusia, maka dari itu ya yang membawa harus orang yang masih suci pula mbak. 14 Kriteria orang yang dipilih merupakan wanita yang masih muda dan masih gadis dilengkapi dengan pakaian adat jawa, hal ini dikarenakan janur yang melambangkan kesucian harus dibawa pula oleh orang yang masih suci. 14 Wawancara pribadi dengan Bapak Suharyuli (Panitia Rasulan 2017), Kropak, 2 April 2018.

72 g. Do a secara Islam Waktu acara kirab budaya sudah selesai dilaksanakan kemudian acara berikutnya dilanjutka dengan do a bersama (kenduri) yang dipimpin oleh salah satu juru kunci Rasulan. Do a yang dipanjatkan menggunakan do a do a sesuai ajaran agama Islam. Hal pertama yang dilakukan adalah membaca Al-Fatihah bersama-sama kemudian dilanjutkan dengan membaca shalawat Nabi, berikut bacaanya: Allahumma sholli ala Muhammad wa ala ali Muhammad kama Shollaita ala Ibrahim wa ala ali Ibrahim, innaka hamidun majid. Allahumma barik ala Muhammad wa ala ali Muhammad kama barokta ala Ibrahim wa ala ali Ibrahim, innaka hamidun majid. Setelah shalawat Nabi selesai dibacakan kemudian dilanjutkan dengan membaca do a meminta rizki sebagai berikut : Allahumma inni as-aluka an tarzuqoni rizqon halaalan waasi an thoyyiban min ghairi ta abin walaa masyaqqatin walaa dloirin walaa nashabin innaka a-laa kulli sya-in qadir. Kemudian dilanjutkan dengan membaca do a keselamatan dunia dan akhirat sebagai berikut : Allahumma innaa nas-aluka salaamatan fid diini wa affiyatan fil jasadi wa ziyaadatan fil ilmi wa barokatan fir rizqi wa taubatan qoblal mauti wa rahmatan indal mauti wa maghfirotan ba dal mauti, Allahumma hawwin alainaa fii sakaraatil mauti wannajaata minan naari wal afwa indal hisaabi, rabbana laa tuzigh quluubanaa ba da idz hadaitanaa wahab lanaa mil ladunka rahma, innaka antal wahhab, Rabbana aatina fiddunnyaa hasanah, wa fil aakhirati hasanah, waqinaa adzaa ban naar, Subhaana rabbikaa rabbil izzati ammaa yashifuun wa saamun alal mursaliin, wal hamdulillahi rabbil aalamiin. Selama do a-do a di atas diucapkan, para peserta do a bersama (kenduri) mengucapkan amiin. Acara do a bersama kemudian ditutup

73 dengan acara makan bersama berupa nasi tumpeng lengkap dengan ingkung, seperti dikutip dalam wawancara dengan salah satu juru kunci Rasulan sebagai berikut : Untuk mengawali do a bersama biasanya saya membukanya dengan ucapan pembuka dengan bahasa jawa, yang intinya dengan adanya acara Rasul ini semua warga masyarakat mengharapakan kehidupan yang lebih baik, menjalankan kehidupan dengan nyaman, tentram dan sejahtera. Kemudian baru setelah itu saya membacakan do a seperti do a meminta rejeki, do a memohon keselamatan. 15 Orang Jawa melakukan upacara selamatan yang disebut sesaji bumi. Upacara ini dilakukan setahun sekali. Upacara ini juga dinamakan bersih desa, rasulan. Tujuan adanya sesajian adalah untuk memberi penghormatan kepada pendiri desa atau dusun yaitu cikal bakal, juga roh pelindung desa yaitu dhanyang desa, leluhur dan lelembut. 16 Slametan atau selamatan berasal dari kata slamet (dalam bahasa Arab salamah) yang berarti selamat, bahagia, sentosa. Selamat bisa dimaknai lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Slametan merupakan simbol wujud bakti orang Jawa yang disebut pangastuti. 17 Setiap orang selalu mendambakan keselamatan, karena apabila orang tersebut sudah merasakan selamat, maka dapat melaksanakan berbagai kegiatan dan memperoleh manfaatnya. Kepercayaan masyarakat Jawa yang meyakini bahwa gangguan yang dapat merusak keselamatan hidup mereka datangnya dari mana saja, 15 Wawancara pribadi dengan Bapak Sis Saiman (Juru Kunci Rasulan), Kropak, 6 Apri 2018. 16 Capt. R. P. Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa, (Yogyakarta : LKiS, 2007), h. 145. 17 Aris Widodo, Islam dan Budaya Jawa : Pertautan Antara Ajaran, Pemahaman, dan Praktek Islam di Kalangan Muslim Jawa, cetakan I, (Surakarta : Fakultas Syariah IAIN Surakta, 2016), h. 83.

74 akan tetapi masyarakat Jawa juga sangat mempercayai bahwa keselamatan dapat berasal dari diri sendiri, orang lain, alam semesta ataupun dari halhal yang bersifat gaib. B. Dimensi Animistik dan Monoteistik dalam Tradisi Rasulan di Dusun Kropak Tradisi Rasulan yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Kropak Kabupaten Gunungkidul, yang mana mayoritas penduduknya beragama Islam tampak bahwa dalam rangkaian proses pelaksanaanya dipengaruhi oleh adat istiadat sebelum Islam datang dan kemudian terbentuklah suatu sistem kebudayaan yang sampai sekarang masih dijalankan. Berdasarkan uraian tersebut, penulis akan menganalisa dimensi-dimensi teologis apa saja yang ada dalam pelaksanaan tradisi Rasulan. Tentunya hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat setempat. Penulis menganalisa dengan melihat rangkaian prosesi tradisi Rasulan dan makna simbolik berbagai ubarampe yang digunakan. 1. Dimensi Animistis dalam Tradisi Rasulan di Dusun Kropak Sebagaimana yang telah dijelaskan, tradisi Rasulan ini di dalamnya terdapat serangkaian proses mulai dari persiapan, hiburanhiburan, kirab budaya dan doa bersama. Semua rangkaian proses tersebut tidak terlepas dari nilai-nilai spriritual, khususnya pada waktu kirab budaya dan doa bersama (kenduri). Pada waktu kirab budaya hal yang sangat penting yaitu sewaktu upacara buka jalan (uluk salam)

75 yang ditujukan selain kepada Tuhan Yang Maha Esa juga ditujukan yang utama kepada mbaureksa, dhanyang ataupun penunggu dusun untuk mengungkapkan rasa hormat dan rasa terimakasih atas nikmat yang diberikan selama satu tahun penuh, baik dalam hasil pertanian maupun keberlangsungan hidup yang jauh dari hal-hal negatif. Pengungkapan rasa syukur tersebut disimbolkan dengan mengadakan upacara buka jalan (uluk salam) yang dilakukan ditengah perempatan jalan yang diyakini oleh warga masyarakat sebagai pintu gerbang utama untuk masuk ke wilayah Cuwelo. Berbagai macam uborampe yang telah dipersiapkan kemudian digunakan untuk dido akan sekaligus dipersembahkan kepada si mbaureksa, yang diyakini rohnya masih ada disekeliling mereka dan menempati pohon besar (pohon beringin) yang dikeramatkan sehingga setiap kali ada acara-acara besar di Dusun Kropak seperti Rasulan dan pernikahan, pohon beringin tersebut selalu diberi sesajian dengan cara digantungkan. Hal ini erat kaitanya dengan kepercayaan masyarakat yaitu Animisme yang masih dipegang erat. Tylor memperkenalkan istilah animisme untuk menyebut semua bentuk kepercayaan dalam makhluk-makhluk berjiwa, yang meliputi dua bentuk yaitu kepercayaan bahwa manusia mempunyai jiwa yang tetap bertahan sesudah kematiannya dan kepercayaan bahwa ada makhluk-makhluk berjiwa lainnya. Sebagai fenomena religius, animisme tampaknya bersifat universal. Animisme dapat

76 didefinisikan sebagai kepercayaan pada makhluk-makhluk adikodrati yang dipersonalisasikan. Manifestasinya adalah Roh Yang Mahatinggi hingga pada roh halus yang tak terhitung banyaknya, roh leluhur, dan roh dalam objek-objek alam. Kepercayaan pada roh tersebut biasanya termasuk suatu rasa kebutuhan akan suatu bentuk komunikasi dengan mereka untuk menagkal kejahatan, menghilangkan musibah atau menjamin kesejahteraan. 18 Untuk menunjukkan kepercayaan yang bersifat animisme, umumnya penduduk masyarakat Dusun Kropak masih percaya akan adanya roh atau arwah orang yang meninggal dunia disebut dengan leluhur, mbaureksa. Konsep leluhur selalu ada dalam alam pikiran masyarakat setempat. Biasanya orang yang mempercayai akan hal-hal yang bersifat animistis terkadang mempersonifikasikan sebagai makhluk halus yang dianggap menempati alam sekitar tempat tinggal manusia (misalnya hutan rimba, pohon-pohon yang besar) dan selalu mengawasi tingak laku mereka. Makhluk halus atau roh para leluhur (mbaureksa) dapat dikategorikan antara yang jahat dan yang baik. Yang jahat dianggap bisa mengganggu dan yang baik dianggap dapat membantu dan melindungi manusia dari gangguan gaib lainnya. Supaya dapat berhubungan dengan leluhur tersebut harus melalui perantara yaitu seorang dukun. Dukun dianggap sebagai 18 Suwardi Endraswara, Agama Jawa : Ajaran, Amalan dan Asal-Usul Kejawen, (Yogyakarta : Narasi, 2015), h. 185-187.

77 perantara yang bisa menghubungkan manusia dengan leluhurnya yang mempunyai peranan cukup penting baik dalam kehidupan keluarga ataupun masyarakat, misalnya dalam peristiwa-peristiwa yang menyangkut hidup seseorang. 19 Hal tersebut tentunya sesuai dengan pemikiran Geertz yang menyatakan bahwa slametan di Jawa merupakan gambaran ritual animistik, di mana yang diberi sesaji dalam slametan adalah roh para leluhur. Selain sebagai sebuah proses, slametan juga merupakan perwujudan dari tradisi lokal. Slametan merupakan mediasi, untuk melakukan kontak simbolik dengan kekuatan adikodrati. 20 Upacara buka jalan di mulai dengan penyerahan ingkung yang telah dimasukkan ke dalam kuali lengkap dengan tutup kain kafan. Kemudian diterima oleh seorang dukun atau juru kunci yang diyakini mampu berkomunikasi dengan mbaureksa tersebut. Berbagai ubarampe yang telah diserahkan seperti ingkung, bunga setaman, hasil pertanian berupa palawija kemudian ditata sedemikan rupa. Sebelum membacakan do a, terlebih dahulu juru kunci membakar kemenyan dan dupa. Membakar kemenyan biasanya diniatkan sebagai talining iman, urubing cahya kumara, kukuse ngambah swarga, ingkang nampi Dzat ingkang Maha Kuwaos 19 Purwadi, Upacara Tradisional Jawa : Menggali Untaian Kearifan Lokal, Cetakan I, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), h. 61-62. 20 Suwardi Endraswara, Agama Jawa : Ajaran, Amalan dan Asal-Usul Kejawen, (Yogyakarta : Narasi, 2015), h. 29.

78 (sebagai tali pengikat keimanan, nyalanya diharapkan sebagai cahaya kumara, asapnya diharapkan sebagai bau-bauan surga, supaya dapat diterima oleh Tuhan Yang Maha Kuasa). Sebagai ujub agar sesajinya dikabulkan, maka haruslah berniat : niat ingsung ngobong menyan, menyan talining iman, urubing cahya kumara, kukuse ngambah swarga, ingkang nampi dzat ingkang maha kuwaos. Artinya, saya niat membakar kemenyan sebagai pengikat iman. Nyala kemenyan merupakan cahaya kumara, asapanya diharapakan sampai surga, dan dapat diterima oleh Tuhan. 21 Setelah itu barulah sang juru kunci membacakan ritual khusus yang mana tujuan ritual tersebut mengungkapkan rasa terimakasih kepada mbaureksa serta memohon keselamatan dan kesejahteraan kembali untuk kehidupan yang akan dijalani selama satu tahun berikutnya. Apabila serangkaian prosesi upacara bukan jalan telah selesai maka ingkung dan hasil pertanian tadi selanjutnya akan dibawa kirab kembali dan nantinya akan didoakan kembali oleh seluruh warga masyarakat, tepatnya di Balai Padukuhan Cuwelo Kidul. Sesampainya ditempat akan dilaksanakan doa bersama (kenduri) ingkung tersebut dibawa masuk dan disandingkan dengan tujuh tumpeng yang terdiri dari nasi uduk dan ingkung yang sudah dibentuk sedemikian rupa. 21 Muhammad Solikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa : Ritual-ritual dan Tradisi-tradisi tentang Kehamilan, Kelahiran, Pernikahan, dan Kematian dalam Kehidupan Sehari-hari Masyarakat Islam Jawa, cetakan I, (Yogyakarta : Narasi, 2010), h. 50.

79 2. Dimensi Monoteistik dalam Tradisi Rasulan di Dusun Kropak Dimensi monoteistik yang terdapat dalam tradisi Rasulan dapat dilihat dari upacara kenduri atau do a bersama yang dilakukan setelah acara kirab budaya selesai. Berbeda dengan upacara buka jalan (uluk salam) yang ditujukan kepada mbaureksa atau dhanyang yang mendiami salah satu pohon beringin yang ada di Dusun Kropak, kenduri khusus ditujukan hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Rasul-Nya. Kenduri selametan seperti yang ada dalam tradisi Rasulan memiliki arti penting dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sistem religi masyarakat setempat. Dalam Ensiklopedia Kebudayaa Jawa dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kenduren dalah upacara sedekah makanan karena seseorang telah memperoleh anugerah atau kesuksesan sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Di dalam kenduren biasanya terdapat ubarampe tumpeng rasul (metua dalan kang lempeng = lewatilah jalan yang lurus mengikuti ajaran Rasul Allah), yang disandingkan dengan ingkung. Ingkung melambangkan ibadah sepenuhnya hanya kepada Allah. Setelah tumpeng dan ingkung siap, kemudian salah satu tokoh agama memimpin do a sesuai dengan tuntunan dan syariat Islam, seperti membaca surat al-fatihah, shawata Nabi, do a memohon rezeki, daan do a memohon keselamatan dunia dan akhirat. Barulah kemudian nasi tumpeng dan ingkung tersebut dimakan secara bersama

80 dengan harapan mendapat keberkahan dari Allah. Sementara makanan yang ada di dalam ke-tujuh gunungan juga ikut di bagi-bagikan kepada para pengunjung dan pedagang. Terlihat dari penjelasan di atas Nampak bahwa inti dari kenduri adalah bersyukur kepada Allah, dan menyampaikan permohonan (do a) kebaikan kepada Allah, disertai dengan memberikan sesuatu yakni hidangan sebagai shodaqoh kepada orang lain Hal ini menunjukkan bahwa hanya ada satu Tuhan saja yang dipercaya yaitu Allah SWT, sesuai dengan ajaran Monoteisme yaitu Tuhan satu, Tuhan Maha Esa dan pencipta Alam semesta. Maka dari itu, dalam kenduri tidak ada saji-sajian seperti yang ada di upacara buka jalan, karena di sinilah manusia yang tunduk kepada kemauan Tuhan yaitu dengan cara berdo a memohon segala yang diinginkan. Tradisi Rasulan yang masih dijalankan oleh masyarakat Dusun Kropak merupakan suatu tradisi yang secara turun temurun dilaksanakan oleh hampir semua masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Hal ini tentunya dengan harapan supaya mereka mendapatkan keselamatan hidup dan terhindar dari hal-hal yang dapat membahayakan diri baik yang datang dari orang lain maupun dari hal-hal yang gaib. Salah satu sifat dari masyarakat muslim Jawa adalah religius dan bertuhan. Sebelum agama-agama besar datang ke Indonesia, khususnya di

81 Jawa, mereka sudah mempunyai kepercayaan adanya Tuhan yang melindungi dan mengayomi mereka dan keberagamaan semakin berkualitas dengan masuknya agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Islam dan Kristen ke Jawa. Namun pengamatan sepintas dapat dilihat bahwa dalam keberagamaan masyarakat Jawa rata-rata tidak bersungguhsungguh dalam melaksanakan ajaran-ajaran agamanya. 22 Prinsip pelaksanaan tradisi Rasulan yang dilaksanakan oleh masyarakat Dusun Kropak adalah sebagai upaya tolak bala serta ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dan mbaureksa karena telah terhindar dari mara bahaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah kehidupan masyarakat Kropak telah mengalami akulturasi budaya dan agama. Hal ini terbukti dengan adanya rangkaian acara yang tergolong merupakan suatu kepercayaan animism dan monoteisme. Demikian makna simbolik ubarampe yang terdapat dalam tradisi Rasulan di Dusun Kropak dan dimensi-dimensi teologis dalam pelaksanaan upacara Tradisi Rasulan di Dusun Kropak, Desa Candirejo, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunungkidul. 22 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta : Balai Pustaks, 1984), h. 310.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian tentang Dimensi Teologis dalam Tradisi Rasulan di Dusun Kropak Desa Candirejo Kecamatan Semanu Kabupaten Gunungkidul dapat diambil kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian sebagai berikut : 1. Makna simbolik ubarampe yang terdapat dalam tradisi Rasulan di Dusun Kropak dapat dilihat dari berbagai macam ubarampe yang digunakan, seperti gunungan yang melambangkan hubungan manusia dengan Tuhan, ingkung yang melambangakn sikap manusia yang selalu njungkung (bersujud) kepada Tuhan, tumpeng yang melambangkan hubungan antar manusia dengan Tuhan, alam dan sesama manusia, kembang, kemenyan dan dupa yang melambangkan keharuman berkah dari para leluhur, janur yang melambangkan tolak balak atau penangkal dari perangai yang buruk, serta do a - do a yang dibacakan melambangkan permohonan kepada Tuhan supaya di dalam menjalankan kehidpan manusia selalu diberikan rizki dan keselamatan. 2. Dimensi teologis tercermin dalam simbol-simbol baik berupa tindakan yang dilakukan masyarakat ketika tradisi Rasulan dilaksanakan ataupun benda seperti ubarampenya. Seperti tercermin dalam upacara buka jalan (uluk salam) yang ditujukan kepada mbaureksa (roh leluhur) yang ada di Dusun Kropak untuk memohon pertolongan supaya terhindar dari mara 82

83 bahaya. Di dalam upacara buka jalan tersebut terdapat berbagai macam ubarampe seperti kemenyan, kembang setaman, dupa dan sesaji yang ditujukan kepada Mbaureksa. Hal tersebut menggambarkan dimensi animistis yang ada dalam tradisi Rasulan di Dusun Kropak. Terdapat pula dimensi monoteistis yang tercermin dari berbagai macam ubarampe seperti ingkung, tumpeng, buah-buahan serta sayur-sayuran. Selain itu dimensi monoteistis juga terdapat dalam acara do a bersama (Kenduri) yang mana tujuannya ada berdo a hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. B. Saran Berdasarkan hasil penilitan dan pembahasan serta kesimpulan di atas, maka penulis mengajukan saran : 1. Supaya makna tradisi Rasulan di Dusun Kropak tidak hilang akibat adanya modifikasi berbagai prosesi atau rangkaian acara yang dikemas sedemikan rupa, maka perlu dipertahankan hakikat dan tujuan awal diadakannya tradisi Rasulan tersebut. Hal ini bertujuan supaya hakikat ataupun nilainilai luhur yang ada dalam tradisi Rasulan di Dusun Kropak tidak hilang seiring perkembangan zaman, sehingga masyarakat setempat, khusunya anak muda dalam menjalankan tradisi Rasulan setiap tahunnya tidak hanya sekedar sebagai acara hiburan semeta yang diharus dilaksanakan. Misalnya saja dengan mencari informasi tentang bagaimana sejarah dan maksud tradisi Rasulan melalui sesepuh dusun.

84 2. Untuk pemerintah dusun dan pemerintah desa supaya lebih memperkenalkan dan menyebar luaskan lagi tradisi Rasulan tersebut dengan cara menyebarluaskan lewat media sosial. Selain itu pemerintah setempat juga diharapkan memberikan sumbangan dana yang lebih lagi supaya tradisi Rasulan setiap tahunnya berjalan meriah sehingga mampu menarik minat warga masyarakat luar daerah.

Buku DAFTAR PUSTAKA Afandi, Ahmad. Animisme-Dinamisme Serta Adaptasi Kebudayaan Hindu- Budha dengan Kebudayaan Asli di Pulau Lombok-NTB. Dalam Historis. Vol. I, no. 1 (Desember 2016): h.2. Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia. Ed 1, cetakan 5. Jakarta: Rajawali Pers, 2015. Bakker, Anton dan Ahmad Charis Zubair. Metode Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1990. Bakri, Syamsul. Kebudayaan Islam Bercorak Jawa (Adaptasi Islam dalam Kebudayaan Jawa). Dalam DINIKA, Vol. 12, no. 2 (Juli Desember 2014) : h. 37. Dadang, Kahmad. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000. Daeng, Hans. J. Manusia Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Damami, Muhammad. Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, cetakan I. Yogyakarta : LESFI, 2002. Data Rumah Tangga Program Kesehatan Dusun Kropak 23-28 September 2017. D. E. Trueblood. Filsafat Agama : Philosopy of Religion, disadur oleh H.M. Rasjidi, cetakan 10. Jakarta : Bulan Bintang, 2002. Endraswara, Suwardi. Etnologi Jawa: Penelitian Perbandingan dan Pemaknaan Budaya. Jakarta: Buku Seru, 2015. Endraswara, Suwardi. Agama Jawa: Ajaran, Amalan dan Asal-Usul Kejawen. Yogyakarta : Narasi, 2015. Endraswara, Suwardi. Mistik Kejawen : Sinkritisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi, t.th. Faishol, Abdullah & Syamsul Bakri. Islam dan Budaya Jawa. Surakarta: Pusat Pengembangan Bahasa IAIN Surakarta, 2014. Fauzan, Muhammad. Pandangan Kejawen Tentang Tuhan Menurut Damardjati Supadjar. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2009. Hasan, Ridwan. Kepercayaan Animisme dan Dinamisme dalam Masyarakat Islam Aceh. Dalam Miqot. Vol. XXXVI, no. 2 (Desember 2012): h.287. Jirhanuddin. Perbandingan Agama: Pengantar Studi Memahami Agama-agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Karoimi, Kholid. Tuhan dalam Mistik Islam Kejawen (Kajian atas Pemikiran Raden Ngabehi Ranggawarsita. Dalam Kalimah. Vol II, no. 2 (September 2013): h. 288. 85

86 Khaelan. Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdispliner: Metode Penelitian Ilmu Agama Interkonektif Interdispliner Dengan Ilmu Lain. Yogyakarta: Paradigma, 2010. Koentjaranigrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat, 1965.. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Cetakan 4. Jakarta: Djambatan, 1979.. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.. Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1991.. Pengantar Antropologi. Jilid 1. Jakarta: Asdi Mahasatya, 2003. Naim Ngainun. Teologi Kerukunan : Mencari Titik Temu dalam Keragaman, cetakan I. Yogyakarta : Teras, 2011. Nasution, Harun. Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya jilid 1, cetakan 5. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1985. Purwadi. Upacara Tradisional Jawa : Menggali Untaian Kearifan Lokal, cetakan I. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005. Rahyono, F.X. Kearifan Budaya dalam Kata. edisi revisi. Jakarta: Wedata Widya Sastra, 2015. Rinasari. Aspek Pendidikan Nilai Religius Dalam Tradisi Rasulan. Surakarta: Naskah Publikasi Fakutas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UMS, 2012. Roibin. Relasi Agama dan Budaya Masyarakat Kontemporer, cetakan I. Malang : UIN-MALANG PRESS, 2009. Satoto, Budiyono Heru. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Grahawidya, 2003. Soehadha, Moh. Metode Penelitian Sosial Kualitatif Untuk Studi Agama. Yogyakarta: Suka Press, 2012.. Orang Jawa Memaknai Agama. Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2008. Solikhin, Muhammad. Ritual dan Tradisi Islam Jawa : Ritual-ritual dan Tradisitradisi tentang Kehamilan, Kelahiran, Pernikahan dan Kematian dalam Kehidupan Sehari-hari Masyarakat Islam Jawa, cetakan I. Yogyakarta : Narasi, 2010. Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat, cetakan 3. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Sutrisno, Mudji. Membaca Rupa Wajah Kebudayaan, cetakan 4. Yogyakarta: Kanisius, 2017. Suwandi & Barrowi. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

87 Suyono, Capt.R.P. Dunia Mistik Orang Jawa. Yogyakarta: PT Lkis Printing, 2007. Wardoyo. Filsafat Agama (Modul Semester Genap). Surakarta: Efude Press, 2013. Widodo, Aris. Islam dan Budaya Jawa : Pertautan Antara Ajaran, Pemahaman dan Praktek Islam di Kalangan Muslim Jawa, cetakan I. Surakarta : Fakultas Syariah IAIN Surakarta, 2016. Internet Hidayah, Nur dan Candra Bagus Sultan Mixdam. Sosialisasi Adat Rasulan di Kalangan Anak-anak Pada Era Modernisasi di Daerah Playen Gunungkidul, jurnal diakses pada 5 Januari 2018 dari http://www.journal.student.uny.ac.id. Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogayakarta, diakses pada 26 Maret 2018 dari https://kependudukanpemdadiy Pemerintah Desa Candirejo. Sejarah Desa Candirejo, artikel diakses pada 25 April 2018 dari http://candirejo-semanu.desa.id/first/artikel/57&hl=id- ID&geid=1026 Putri, Arista. Candirejo Meriah Gelar Bakda Campur Rasul, artikel diakses pada 15 Maret 2018 dari http://gunungkidul.sorot.co/berita-93673-candirejomeriah-gelar-bakda-campu-rasul.html Wawancara Pribadi Wawancara pribadi dengan Bapak Kastana (Ketua Panitia Rasulan tahun 2017), Kropak, 29 Juni 2017 dan 30 Juni 2017. Wawancara pribadi dengan Ibu Suhariningsih (Pengunjung Rasulan), Kropak 30 Juni 2017. Wawancara pribadi dengan Bapak Noto (Juru Kunci Rasulan), Kropak 5 Juli 2017. Wawancara pribadi dengan Bapak Sirin Hartono (Sesepuh Dusun Kropak), Kropak 10 Maret 2018. Wawancara pribadi dengan Bapak Sundara (Kepala Dusun Kropak), Kropak, 15 Maret 2018 dan 19 Maret 2018. Wawancara pribadi dengan Ibu Dwi Astuti (Ketua PKK), Kropak, 20 Maret 2018.

88 Wawancara pribadi dengan Bapak Tukiran (tokoh agama), Kropak, 25 Maret 2018. Wawancara pribadi dengan Bapak Suharyuli (Panitia Rasulan tahun 2017), Kropak, 2 April 2018. Wawancara pribadi dengan Ibu Retna Subekti (warga Dusun Kropak), Kropak, 5 April 2018. Wawancara pribadi dengan Bapak Pujo Hadi Rujiman (Sesepuh Dusun Kropak), Kropak, 6 April 2018. Wawancara pribadi dengan Bapak Sis Saiman (Juru Kunci Rasulan), Kropak, 6 April 2018. Wawancara pribadi dengan Bapak Waryono (Panitia Rasulan 2017), Kropak, 6 April 2018.

89 LAMPIRAN gadis pembawa baki upacara buka jalan suasana selesai buka jalan

90 gunungan utama suasana kirab proses penyadaran kembali peserta reog

Gunungan-gunungan per-padukuhan 91